Friday, May 27, 2011

Air dan Kehidupan



Air merupakan komoditas yang penting dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup dimuka bumi. Tanpa air, peradaban manusia akan dengan cepat musnah. Karena air, sebuah peradaban akan tumbuh. Meskipun 70 persen dari muka bumi adalah air, namun 97 persen darinya adalah air laut (asin) yang tidak dapat dikonsumsi secara langsung oleh manusia.
Pada hakikatnya, kuantitas air dibumi tidak berubah. Hal ini disebabkan adanya siklus hidrologi. Siklus hidrologi adalah siklus perputaran air di alam. Namun, persediaan air tawar yang ada dibumi semakin menghawatirkan. Faktanya, hanya 0,29 % air tawar yang dimanfaatkan. Sisanya tersimpan di kutub sebagai gunning es.

Sunday, May 22, 2011

Berlabu di Perpustakaan Baru Apresiasi, Prestasi, dan Kontroversi (2-Habis)

 Setelah penantian panjang yang penuh dengan kontroversi dan kritik, perpustakaan baru UI mulai dibuka pada tanggal 13 Mei 2011 yang lalu. Suasana perpustakaan cukup nyaman. Kemegahan bangunan dan beberapa sentuhan artistik menambah keindahan dan kenyamanan perpustakaan itu. Belum lagi pemandagan yang tersaji di halaman perpustakaan. Disana pengunjung bisa menikmati sejuk danau dan rindangnya pohon-pohon nan hijau. Dari lantai 5, pemandangannya juga tidak kalah menggiurkan.

Thursday, May 19, 2011

Putri Kiyai di Bulan Suci

Oleh Mang Oejank Indro

Ia memiliki kharisma yang tinggi. Bukan hanya karena ia anak seorang kiyai, ia juga seorang yang memiliki intelektualitas yang sangat tinggi. Kemampuannya dalam hal agama tidak diragukan lagi. Banyak sudah yang berbondong ingin menjadikannya sebagai menantunya. Tapi banyak juga yang pulang dengan tangan hampa.ia tak tampak sedikitpun mirip dengan putri raja. Selir kaisar dan apalah namanya. Sangat sederhana jika aku boleh mengatakannya. Semenjak mengenalnya, aku sadar, ternyata ia tidak bbegitu cantik, tapi sangat menarik. Sangat susah untuk menjelaskan runyamnya perasaanku kepadanya. Skalipun aku berkali-kali memperoleh medali emas di setiap kompetisi menulis puisi, tetap saja sulit bagiku menuangkan kalimat untuk melukiskan pribadinya. Nah, pribadinya itu lho, itu yang jarang dimiliki orang lain.
Pertemuanku dengannya berlangsung sebulan yang lalu. Bulan Sya’ban. Tanggalnya aku sudah lupa. Pokoknya antara tanggal 6 sampai 9. Saat itu, aku masih remaja. Usiaku belum genap 18 tahun. Kata psikiater ‘masih puber’. Karena dirumah aku sering berulah, menyusahkan orang tua, dan kadang manja, aku dikirim ke pondok. Pikirku, daripada bapak dan ibu terus sakit karena melihat tingkahku, mending aku jauh dari rumah. Nakal dan berandal diluar lebih aman.
Tidak berat jika harus meniggalkan rumah. Apalagi untuk belajar. Hemm.. dunia memang sulit dicerna. Sayangnya, kalau masuk surga, kita harus hidup di dunia, tidak seperti malaikat-malaikat tak bersyahwat itu.
Beberapa orang sibuk dengan buku kecil bertuliskan huruf arab gundul. Ada yang berpakain mewah, ada yang memakai baju takwa, da nada juga yang hanya mengenakan kaos oblong. Untuk bawahannya, mereka kompak memakai sarung. Tidak ada yang mengenakan celana kain, apalagi jeans. Aku hanya meamndangi mereka. Berlagak sebagai santri baru yang butuh perhatian dan pengarahan. Diam saja. Tak lama kemudian, seorang pria agak tua menghampiriku. Ia duduk disebelahku. “Santri baru ya nak?” Ia bertanya. “Iya, bapak pengurus pondok sini ya pak?” Aku balik bertanya.
“Semua santri dan keluarga pak kiai adalah pengurus pondok ini.” Jawabnya. “Asli mana? Tanyanya lagi.

Friday, May 13, 2011

BAHASA

Bahasaku tidak mudah
Rapuh dan jauh dari Jelatah
usang jika ditelan mentah-mentah
Satu pagi tak mungkin berujung duka semata

Balik badan dan jangan tertawa
Meskipun ini bukan kisah nyata
Narasi terpenggal halus lurus bersila
Abaikan saja nafas buruk sangka

Asing..
Hilir...

Kutukan batin memecah raga
Ciptakan delik bercecer jiwa
Ciptakan lagi sirna kamar pujangga
Bedakan dua dan tiga suku bangsa

Bangga anak Indonesia
Bangga anak Bangsa
Bangga anak Pancasila
Bangga anak Nusantara

K H A Y A L

Aku menepis keraguan
Tergolong manakah makhluk sepertiku
Kiasan dahaga tak sempat menjelma
Kolong-kolong tanah melayang sendu

Takutku berebut inang bernyawa
Sabar... Cengkeeram lembar dahan pilu
Semilir ilmu tersatir indah membahana
Ratakan gaung belenggu untuk juangmu

Masihkah terlalu Kecil?
Sedangkan Tuhanku tak pernah menggigil
Pijakanku tak buram dan lepas tanpa hasil
Usah berpuisi....Cukup melamun kecil

Wednesday, May 4, 2011

Samidun


Oleh, Mang Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com

Semua dianggapnya sempurna. Meskipun ada yang salah, ia hanya menggeleng-geleng kepala. Lalu menjauhkan rasa dengki. Tanpa ada kata yang terlontar. Membisu saja. Padahal, usianya sudah baligh. Sekarang ia sudah jadi mahasiswa di universitas ternama di Indonesia. Semoga sikap lugu dan neriman tidak sepenuhnya segan ia budayakan. Jika terus-terusan seperti ini, ia akan terbiasa dengan intimidasi dan mudah ditarik oleh lingkungannya. Entah mengapa ia bertingkah seperti keledai dungu. Hanya diam saja. Seperti awal semester ini, disaat sejumlah penerima beasiswa sedang gaduh menuntut pencaiaran dana biaya hidup (living cost), ia hanya mesam-mesem. Apa ia tidak memikirkan nasib ketiga adiknya yang menggantungkan makan dari keringatnya? Apa ia tega melihat ibunya berpanas-panas menikmati sengatan matahari di tengah sawah. Itu jika musim kemarau, kalau musim hujan, ibunya harus menggigil berbalut air hujan. Tidak cukup malukah ia dengan semua ini? Daripada jauh-jauh kuliah dengan menggantungkan beasiswa. Sedangkan keuarga tertati menghidupi diri jauh di pelosok desa.
Samidun nama sahabatku itu. Selama ini, ia menetap satu kamar denganku. Aku yang menanggung biaya kosnya. Termasuk biaya tambahan listrik dan sebagainya. Setahuku, ia hanya membawa dua stel baju tiga kaus dalam, dua celana dalam, dan dua celana. Salah satu celananya pun sudah
bertaburan tambalan. Lebih parah lagi, resleting celana tersebut rusak, dan setiap kali ia mengenakannya, dengkulnya selalu terjuntai murka keluar. Naas dan tragis memang hidupnya.
“Dun, kamu itu lho, hak kamu itu sudah di cederai. Kok malah nyantai, leha-leha, koyok wong sugih aja.” Malam ini aku menegurnya. Sengaja aku memecah konsentrasi belajarnya. Kadang-kadang aku getir sendiri. membayangkan ia dengan tenang menjalani hidup, meskipun tidak tahu besok mau hidup dengan apa.
“Wo, hidup itu sudah ada yang ngatur. Nyantai aja. Hidup kok dibikin susah.” Jawabnya. Ia segera menutup buku kalkulus 1 yang tebal itu.
“Lho, bukan gitu Dun..”
“Terus..?” Aku memotong.
“Kamu percaya tidak kalau Tuhan itu maha adil?”
“Yo mesti percaya…”
“Nah, itu, itu jawabnnya. Buktinya, aku masih bisa hidup meskipun sekamar sama kamu.”
“Maksutmu opo cok? Ndak suka sekamar sama aku?”
“Ha ha ha. Yo nggak apa-apa. Terimakasih.” Ia mletakkan buku kalkulusnya di meja kecil. Antara kursiku dan kursinya. “Dun, adikmu, Sumi, sudah lunas biaya ujiannya?” Tanyaku. Samidun mengangkat kakinya. Posisinya seperti orang di warung kopi. Pandangannya memusat ke langit. “Woi, ngalamun. Aku tanya cok!” Sengaja kubuyarkan lamunan Samidun. “Belum Wo, masih tunggu beasiswa cair.” Jawabnya melas. Guratan dahinya mengkerut-kerut. “Hemmm, memang Tuhan maha adil.” Gumamku. “Raimu, asu.” Aku hanya tertawa liar. “Makannya, beasiswa itu hakmu, kalau memang yang member hak itu tidak melaksanakan kewajiban, tanya dong! Jangan mbideg saja.”
“Iya juga ya Wo, kalau kamu kuliah dikirim dari dari rumah. Lha aku, malah ngirim ke rumah.” Samidun mengigau. “Memang Tuhan Maha adil.” Tuturku singkat.
“Jancok, raimu Wo. Seneng lihat teman susah?” Samidun menyanggah.
“Mukamu memang muka susah.” Tukasku lantas tertawa.
“Waaah, kacau.”
“Eh, Dun, Samidun.. Tuhan memang menyuruh kita untuk berusaha, tapi Tuhan tidak menuntut kita untuk berhasil.”
“Tumben kata-kata kamu putih, biasanya keruh dan jorok.”
“Koyok raimu ndak aja Dun..!”
“Kalau aku masih demen sholat. Lha kamu, perintah sholat wajib lima waktu, sing dilakoni cuma telu.” Ujar Samidun seraya menjitak kepalaku. “Oooo, asu!”
Hampir setiap malam, aku dan Samidun tidak pernah meninggalkan rutinitas ngopi. Meskipun kopi racikan sendiri. Rasanya tidak kalah dengan starbuck coffe yang mahal itu. Samidun bukan orang bodoh, setidaknya itu yang aku tahu. Setiap Sabtu dan Minggu ia habiskan hanya untuk menukar ilmunya demi rupiah. Hasilnya, ia bisa mengisi perutnya dengan segumpal nasi dan pernak-pernik makanan lainnya. Urusan air minum cukup isi ulang. “Wo, Minggu depan aku pinjem kemeja sama celana ya. Buat ngajar.” Seperti biasa, Samidun selalu mengandalkan pakaianku dalam setiap jam terbangnya mengajar. Sudah berulang kali aku merelakan beberapa baju dan celanaku untuknya. Tetapi jawabannya selalu sama. “Sebentar lagi aku beli kok.” Hasilnya, selama setahun, ia tak kunjung membeli baju, apalagi celana. Dasar Samidun.
Sebenarnya, menurutku, banyak Samidun-Samidun lain di sini, di kampusku. Kampus berbintang nomor satu di negeriku. Tapi, Samidun yang satu ini berbeda. Ia mengejar beasiswa untuk keluarga. Urusan makan dan minum sudah ia dapatkan dari menjual ilmu di tempat-tempat kursus, dan kolom-kolomnya di koran nasional. Memang berat bagi Samidun, ia harus menjadi ‘ayah’ bagi ketiga adiknya, dan sekolah untuk masa depannya. Dalam benakku sangat yakin, kualitas dasar kemanusiaan yang dimiliki Samidun akan sangat high qualified. Sayang sekali jika hanya karena orang-orang yang memainkan hak orang lain, Samidun harus melihat adik-adik dan ibunya menggeliat dalam persakitan ekonomi. Dan Samidun sendiri terganggu perjalanan akademiknya. Pas awal menerima beasiswa, kata Samidun, ia dijejali berkas pernyataan yang bermaterai. Di berkas itu ada poin-poin hak dan kewajiban antara penerima dan pemberi beasiswa. Sayangnya, sampai saat ini penerima lebih diposisikan sebagai ‘isteri kedua’ daripada pemberi. Agamaku saat ini, mengajarkan bahwa hak tetaplah hak, dan pemberi beasiswa itu tidak berhak merampas hak penerima. Awalnya bilang A, ujung-ujungnya dilempar ke Z. Tentunya dibumbuhi alibi dan alsan yang rasional juga. Tetap saja alasan. Di kampusku, hak seorang mahasiswa kadang-kadang juga di buat mainan. Seperti hak Samidun. Dasar Samidun (siang malam rindu dana turun).


Slametan Politik: Strategi dan Tradisi Mengubur Korupsi


Oleh, Mang Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com

Pada sebuah jurnal yang berjudul “Slametan: Solidaritas dan Ritualisme Orang Jawa” yang ditulis oleh Thomas Schweizer[1], slametan digambarkan sebagai sebuah sarana untuk membangun solidaritas sosial dan mengungkapkan rasa syukur di tengah orientasi keagamaan yang berbeda. Selain dua hal tersebut, slametan juga mereflesksikan betapa besarnya pengaruh tradisi-tradisi bangsawan (priyayi) Jawa dan lingkup masyarakat yang lebih besar. Jadi, secara tidak langsung slametan menyiratkan “kekuatan luar” suatu masyarakat – baik ekonomi, politik, dan simbolik.
Sebagai suatu kawasan dengan identitas sejarah yang indigenous, yaitu kota pelabuhan yang berorietasi pada perdagangan antar kerjaan-kerajaan pedalaman dengan corak agraris, masyarakat Jawa memiliki gaya hidup dan pemelukan agama yang berbeda – Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Gaya hidup dan orientasi yang beragam ini kemudian secara gradual menyebar ke pedalaman oleh pedagang, tuan tanah, dan tokoh-tokoh agama.

Tuesday, May 3, 2011

Aisyah Namaku

-->
oleh Mang Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com
 
Namaku Aisyah, masih gadis atau perawan. Usiaku sekarang 18 tahun. Bapakku seorang Kiyai, pemangku pondok pesantren Al-Harun. Menulis sudah menjadi kegemaranku. Membaca apalagi. Setiap keluar rumah aku mengenakan jilbab. Tidak lebar, tidak memakai kaus kaki juga. Bajuku tidak terlalu ketat, tidak pula ngelombyor. Mengenakan celana pun tidak riskan. Kegemaranku berkelahi. Karate olah raga favoritku. Tak peduli aku anak pemuka agama atau bukan. Bapak dan Ibuku tidak melarang. Mereka memberi kebebasan kepadaku untuk menjadi diriku. “Tuhan tidak pernah melarang manusia masuk neraka.” Itulah kalimat yang sering aku lontarkan kepada orang-orang yang sempit pikiran dan hatinya. Tapi aku bukan manusia penggila surga, meskipun aku selalu merindukan tempat itu.
Disekolah, aku selalu dimudahkan oleh pengajar, guru-guruku. Mungkin aku anak seorang ulama’. Ah, tetap saja aku tidak suka diistimewakan. Anak kiyai juga banyak yang berandal dan bajingan. Mungkin aku termasuk golongan bajingan itu suatu hari nanti. Aku tidak sangsi dengan kitab kuning, Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, Akidah al-Awam, sitiran karya Imam Syafi’i, Yusuf Qardhawi yang diusianya ke-10 sudah hafal Al-Qur’an, sampai karya Emile Dermenghem, juga pemikiran Guibert de Nogent dan Comte Boulainvilliers. Urusan selera musik, aku juga tidak risih menikmati Ode to Joy karya Ludwig van Beethoven, La Mer ciptaan Claude Achile Debussy, hingga The Magic Flute karya Wolfgang Amadeus Mozart. Bagiku semuanya adalah kuasa Allah SWT. Toh, mereka yang muslim maupun non-muslim tetap dirahmati Allah.

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...