Tuesday, November 29, 2011

Postmodernisme


Istilah postmodernisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz, pada tahun 1917, untuk menggambarkan nihilisme budaya barat abad ke-20. Istilah ini pertama kali muncul pada bidang seni dan kemudian juga arsitektur, ketika perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis dihancurkan dengan dinamit dan dimulailah pengembangan karya-karya arsitektur yang berwajah baru. Keyakinan fundamental/fondasional menjadi syarat utama untuk membenarkan pengetahuan yang dibangun di atasnya. Keyakinan-keyakinan tidak bersifat sirkuler, namun harus sampai pada satu titik aksiomatis, yang tidak membutuhkan pembenaran apapun. Jelas rasiolah yang mampu mengerjakannya dengan teliti, rasio adalah pusat.
Kebenaran (truth) adalah persesuaian antara sesuatu dengan fondasinya dan sekaligus persesuaian antara akal dan kenyataan yang dicermati, antara subjek yang mengamati dan objek yang teramati. Fondasionalisme/fundamentalisme menyimpan sebuah kepastian bahwa dasar mutlak tersebut tidak terikat pada ruang dan waktu hidup manusia. Ia harus a-historis agar tetap mampu menjadi fondasi ilmu dan segi-segi hidup lainnya. Kebenaran adalah absolut dan mengabaikan dialog yang jujur dengan wacana historis dan sosial.

Thursday, November 24, 2011

ISLAM

Indahnya Menjadi Hidup
Seyogya Pendar Atas Luas Putih
Lintasi Arah Bersembah Ke Atas
Alam Terbawa Beriring Arwah
Menyudutkan Iman, Mendengar Tuhan

MENAKAR AGAMA TUHAN, MENIMBANG FILSAFAT PERENNIAL


MENAKAR AGAMA TUHAN, MENIMBANG FILSAFAT PERENNIAL
Tinjauan Logis Pluralisme Agama

Oleh, Iswanda Fauzan S, 1006696951
Abstrak
Setiap manusia memiliki keyakinan dan konsep berbeda terhadap Tuhan. Karenanya manusia memiliki agama yang beragam. Keberagaman agama tidak sertamerta membawa perdamaian dan keadilan di dalam kehidupan manusia itu sendiri. Pluralisme agama yang dikemukakan John Hick memiliki konsekuensi logis terhadap pemahaman akan agama itu sendiri. Dengan melihat pluralisme agama dari perspektif filsata perennial, manusia akan terdorong dalam dimensi Transcendent Unity Of Religions (kesamaan transenden agama-agama) yang akan membawa manusia kedalam sebuah titik penemuan pergeseran paradigma dari yang dulu terbatas pada “idealitas” ke arah “historisitas”, dari yang hanya berkisar pada “doktrin” ke arah entitas “sosiologis”, dari diskursus “essensi” ke arah “eksistensi” yang transendental. Konsepsi pluiralisme agama (persamaan agama/semua agama sama) seharusnya tidak persepsikan dengan pluralitas agama (keanekaraman agama). Supaya tujuan perdamaian dan keadilan dapat tercapai ditengah-tengah kehidupan total seluruh umat manusia, yang sejatinya hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.

Kata kunci: pluralisme agama, filsafat perennial, agama.

Pendahuluan
Melihat kenyataan sejarah, tantangan yang selalu dihadapi agama-agama sejak dahulu hingga kini dan mendatang antara lain adalah bagaimana merumuskan langkah konstruktif yang bersifat operasional untuk mendamaikan berbagai eksoterisme (keagamaan) yang ada dan cenderung mendatangkan pertikaian antar manusia dengan mengatasnamakan kebenaran Tuhan. ‘Truth claim’ senantiasa mewarnai perjumpaan dengan keimanan yang “lain” (M. Amin Abdullah, 1999: 50). Muncul enclave-enclave komunitas teologi yang cenderung bersifat eksklusif, emosional, dan kaku. Sikap eksklusif inilah yang oleh Ian G. Barbour disebut-sebut sebagai ingridient yang paling dominan dalam pembentukan dogmatism dan fanaticism (Ian G. Barbour, 1980: 239).
Guna merumuskan alternatif solusi yang konstruktif dan dialogis-humanis dalam perjumpaan antar sesama kaum beriman, diperlukan adanya ‘shifting paradigm’ (pergeseran pemikiran) dalam melihat peran dan makna agama serta sikap dewasa terhadap klaim-klaim kebenaran absolut. Dalam filsafat, pergeseran ini diarahkan dengan tujuan; pertama, menambah wawasan keluasan dan keluasan intelektual; kedua, menumbuhkan sikap toleransi terhadap berbagai pendapat dan keyakinan hidup; dan ketiga, membebaskan sikap eksklusif dan dogmatis yang menyatu dalam keyakinan hidup. Tawaran akan kehidupan teosentris, kehidupan yang berpusat pada Tuhan, sejatinya merupakan penolakan terhadap berbagai egoisme kemanusiaan, termasuk egoisme relegius baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif, seperti dalam bentuk rasisme, nasionalisme, sektarianisme, atau seksisme (feminisme maupun maskulinisme).
Kenyataan juga memerlihatkan bahwa agama merupakan suatu sistem yang total. Menurut Koentjaraningrat dengan mengutip pendapat Emile Durkheim dalam karyanya yang terkenal Les Formes Elementaires de la vie Religieuse (1912), menyatakan bahwa ada empat unsur pokok dalam agama, yaitu emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara, dan komunitas keagamaan.[1] Emosi keagamaan menyebabkan manusia menjadi religius. Sistem kepercayaan mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan serta tentang wujud dari alam gaib. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib. Dan, kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan dan melakukan sistem upacara-upacara religius.
Adanya pluralitas agama sebagai fakta sosiologis, nyatanya tidak berhenti begitu saja. Bagi para pemeluknya, semua jerih payahnya pada akhirnya akan tiba pada satu tujuan atau titik temu yang sama, yaitu menuju Tuhan Yang Maha Esa. Proses menuju Yang Maha Esa ini atau perjalanan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa ini merupakan sebuah upaya pendakian spiritual. Menurut Bhagavan Das (1966), hal itu disebut sebagai The Road of Life. Pluralitas agama memang suatu fakta sebagai jalan yang beragama bagi manusia untuk menuju yang Esa (Satu).
Istilah “pluralisme agama‟ terbilang baru. Seratus tahun yang lalu tidak ada seorang pun menyebut atau menulis tentangnya. Yang kita temukan adalah istilah convivencia (bahasa Spanyol untuk co-existence atau hidup bersama dengan rukun damai), toleration atau tolerance (dari bahasa Latin tolero, tolerare yang artinya membawa, memanggul, menanggung, menahan (to carry, bear, endure, sustain; to support, keep up, maintain).[2] Meskipun tidak jelas siapakah yang pertama kali menelurkan istilah pluralisme agama, paham ini dikembangkan oleh sejumlah pemikir Kristen mutakhir, yaitu Raimundo Panikkar3 (seorang pastor Katholik kelahiran Sepanyol yang ayahnya beragama Hindu), Wilfred Cantwell Smith4 (pengasas dan mantan pengarah Institute of Islamic Studies di McGill University Canada), Fritjhof Schuon5 (mantan Kristen yang pergi mengembara keluar masuk pelbagai macam agama) dan John Hick6 (profesor teologi di Claremont Graduate School California USA).
Plularitas Agama dan Pluralisme Beragama
Pertama-tama mesti kita terangkan lagi perbedaan antara “pluralitas” dan “pluralism” agama. Pluralitas agama adalah fakta wujudnya kepelbagaian dan perbedaan agama-agama di dunia ini. Sebagai fakta, pluralitas merupakan ketentuan Tuhan alias Sunnatullah, dan karenanya mustahil dihapuskan. Adapun pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, sikap dan pendirian yang dipunyai seseorang terhadap realiti kepelbagaian dan fakta perbedaan tersebut. Ini pengertian umumnya. Secara khusus, pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, keyakinan bahawa agama-agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda itu mempunyai kesamaan dari segi ontologi, soteriologi, dan epistemologi. Seperti dikemukakan Peter Byrne, profesor di King‟s College London UK, pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga tesis. Pertama, semua tradisi agama-agama besar dunia adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya, setiap agama mesti senantiasa terbuka untuk dikritik dan ditinjau kembali.
Sebagai paham baru, pluralisme agama ditawarkan menjadi alternatif kepada exclusivism dan inclusivism–dua pandangan yang konon tidak sesuai lagi untuk masyarakat modern sekarang ini. Adalah John Hick yang dengan gamblang menerangkan tiga macam paradigma (cara berpikir) dalam memandang dan menyikapi status agama lain.[3] Paradigma eksklusivisme mengajarkan bahawa keselamatan akhirat hanya akan diberikan kepada pengikut agama tertentu saja. Bagi orang Nasrani, Jesus Kristus diyakini sebagai jalan paling absah, unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan, atas dalil Yohanes 14:6: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tak seorang pun dapat sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Paradigma ini tampak pada sikap Gereja Katholik Roma yang selama berabad-abad menempatkan dirinya sebagai pusat keselamatan dengan semboyan masyhur: extra ecclesiam nulla salus. Walhasil, Gereja Katholik Roma bersikap tertutup dan berpandangan negatif terhadap agama-agama lain. Paradigma ini juga terdapat di kalangan Gereja Protestan. Karl Barth dalam bukunya Church Dogmatics menegaskan bahawa hanya ada satu agama yang benar yaitu agama Kristen karena Tuhan menghendakiNya demikian. Penganut agama lain akan binasa di neraka. Sikap inilah yang dikatakan membentuk mentalitas tentara salib dan golongan fundamentalis, sehingga umat Islam dilihat sebagai musuh yang perlu ditaklukkan dengan jalan mengkristenkan mereka.
Paradigma inklusivisme mengatakan bahawa keselamatan Allah berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain dengan tetap mengakui keunikan Jesus Kristus. Bahawa ampunan dan kasih sayang Tuhan merangkul seluruh umat manusia dengan berkat kematian Jesus, terlepas apakah yang bersangkutan memeluk agama Kristen ataupun agama lain. Inklusifisme menolak segala bentuk konfrontasi antar agama lain dengan Kristen. Malah sebaliknya, inklusivisme berusaha memadukan dua pengakuan teologis: adanya keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah dalam JesusKristus. Paradigma inilah yang dianut oleh Gereja Katholik Romase sudah Konsili Vatikan II yang konon menandai perubahan dan keterbukaan baru terhadap agama-agama lain. Peranan dan sumbangsih Karl Rahner, pakar teologi dari Jerman, dalam hal ini diketahui cukup besar. Dialah yang mencetuskan istilah “Kristen tanpa nama” (anonymous Christian). Tetapi menurut Hick, paradigma ini menimbulkan beberapa implikasi pelik. Apakah ianya berarti doktrin “tiada keselamatan di luar gereja” itu telah dibatalkan? Kalau jawabannya “tidak”, maka istilah “Kristen tanpa nama” tersebut omong kosong belaka (empty gesture). Sebaliknya, kalau jawabannya adalah “ya”, maka program Kristenisasi yang digarap oleh para misionaris itu sia-sia belaka. Ada pula yang mengkritik konsep anonymous Christian itu sebagai penghalang terhadap dialog yang jujur dan seimbang, atau malah justru membawa kepada jalan buntu bagi semua agama. Konsep ini masih terperangkap dalam imperialisme teologis yang menekankan normativitas Jesus Kristus bagi agama-agama lain dan tetap memandang agama-agama lain lebih rendah dari agama Kristen, sehingga kalaupun ada dialog seperti dianjurkan Gereja Katholik pasca Konsili Vatikan II, maka yang terjadi adalah „dialog antara gajah dan tikus‟ –meminjam istilah Paul F. Knitter.
Jadi tidak mengherankan apabila John Hick lantas lebih mengedepankan ‘pluralisme’ sebagai alternatif. Paradigma ini merupakan kelanjutan dari paradigma inklusivisme yang dianggap masih plin-plan itu. “Kalau kita berpendapat bahawa keselamatan atau pembebasan itu juga berlaku dalam tradisi agama-agama besar –selain Kristen, bukankah kita semestinya terus terang mengatakan bahawa ada banyak jalan keselamatan bagi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan?” Menurut Hick, pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahawa perubahan hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju keterpusatan pada sang Realitas tunggal (yaitu Tuhan) terjadi di dalam semua agama dalam pelbagai bentuk dan cara. Paradigma ini dianggap jauh lebih baik untuk dijadikan asas dialog antara agama yang digagas oleh Gereja Vatikan. Sudah barang tentu dalam hal ini John Hick tidak sendirian. Selain tokoh-tokoh yang namanya sudah kita sebut di atas, Paul F. Knitter juga aktif menyuarakan paham ini. Menurutnya, pluralisme berangkat dari keinginan melahirkan dialog yang jujur dan terbuka sehingga seluruh pemeluk agama dapat bekerja-sama memperbaiki kehidupan dan menanggulangi penderitaan manusia di muka bumi ini. Dalihnya, terdapat suatu “kesamaan yang kasar” (rough parity) pada semua agama, kata Knitter. Agama-agama selain Kristen mungkin juga sama baik dan pentingnya untuk membawa pengikut masing-masing kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersama Tuhan.[4]
Pluralisme yang tidak dapat hanya dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita beranekaragam. Pluralisme juga tidak boleh dipahami hanya sekadar sebagai negative good, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Pluralisme, khususnya pluralisme agama harus dipahami sebagai suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.

Pluralisme Agama dalam Filsafat Perennial
Filsafat perennial sangat concern terhadap penunaian tugas-tugas keagamaan di atas. Perspektif yang dikembangkannya mencitakan kedamaian dan keharmonisan dalam lingkup persaudaraan, kesetaraan, kebebasan dan kebersamaan yang dibangun di atas kaki keadilan, keterbukaan dan demokrasi. Setiap pemeluk agama bukan saja dituntut mengakui keberadaan, hak agama dan praktek keagamaan lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagment of diversities within the bonds of civility). Hak azasi manusia sejatinya menjadi elemen pemersatu (the uniting element) antar sesama (Nurcholish Madjid, 1998: xxi-iii).
Berdasarkan latar belakang di atas, dan melihat kenyataan empiris bahwa bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman (pluralitas) suku, bahasa, budaya, dan agama, sangatlah penting kiranya untuk menelaah lebih mendalam konsep pluralisme. Elan vital agama yang senantiasa mengajarkan kebaikan dan keharmonisan antar sesama manusia diharapkan dapat ditemukan wacana dan solusi konstruktif dalam membangun kerangka teologi kerukunan hidup antar umat beragama. Kajian perennial yang mengajarkan kepemilikan “kebenaran bersama” mendukung tercapainya tujuan dimaksud. Melalui kajian ini diharapkan dapat diformulasikan sebuah perjumpaan antar dan intern umat beragama yang lebih humanistik-universal, etis-dialogis dan egaliter, memiliki kepentingan yang sama dalam mewujudkan keutuhan dan kehidupan yang lestari.
Agar pelaksanaannya mampu membawa implikasi positif diperlukan dua komitmen penting; pertama, adanya sikap toleransi; suatu sifat atau sikap menenggang pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya yang berbeda dengan pendiriannya sendiri, dan kedua pluralisme, yang bisa dilacak dalam Frithjof Schuon, seorang tokoh filsafat perennial dan genius terbesar metafisika tradisional. Bagi Schuon, hidup ini ada tingkatannya. Dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah, yang berada pada tingkat tertinggi, terdapat titik temu berbagai agama, sedang pada tingkat dibawahnya semua agama itu saling bereda. Pluralisme yang tidak dapat hanya dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita beranekaragam. Pluralisme juga tidak boleh dipahami hanya sekadar sebagai negative good, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Pluralisme, khususnya pluralisme agama harus dipahami sebagai suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Agama dituntut mampu menampilkan citranya yang inklusif, tidak ekstrem, lapang, tetap mempertimbangkan nilai-nilai spiritual lokal, dan humanis. Agama haruslah tampil (atau ditampilkan) dengan “wajah” terbuka terhadap “realitas” yang ada di luar dirinya. Ia juga dituntut untuk mampu membawa penganutnya bersikap adil terhadap agamanya sendiri, menghargai dan apresiatif terhadap keimanan orang lain (Wilfred Cantwell Smith,1981: 71) Dengannya pemenuhan kebutuhan hidup, kepentingan dan kecenderungan hidup masyarakat harus dibimbing secara dialogis, humanis dan inklusif dalam nilai-nilai etik-moralitas yang sejatinya merupakan “milik” setiap agama. Secara kongkret, agama masa depan yang menjadi harapan adalah (a) agama yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme. Suatu kesadaran spiritual yang ditopang oleh ilmu pengetahuan alam agar bisa memberikan peta kosmologi yang benar sehingga seseorang tahu di mana dan ke arah mana kereta ruang dan waktu yang sedang ditumpanginya bergerak; (b) agama masa depan ingin tidak dipisahkan dari agama-agama tradisional; bahwa juga (c) akan muncul keberagamaan eklektik dan sikap beragama yang lebih humanistik-universal (Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, 1995: 116-118).
Filsafat perennial (perennial philosophy) mengungkapkan bahwa The Road of Life itu membawa “tradisi” yang biasa dilihat dari dua arah. Yakni, dari sisi ketuhanan adalah narasi tentang “asal usul”. Dan, dari sudut manusiawi adalah “jalan” kembali kepada Tuhan, kepada “yang asal”. Jadi, meskipun secara esoterik, agama itu bersifat plural (pluralisme agama), namun secara esoterik semuanya akan bermuara kepada satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa. Upaya menuju ke satu Tuhan ini, menurut Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, dapat ditempuh lewat pendekatan filsafat perennial.
Pendekatan filsafat perennial ini diharapkan tidak hanya berhenti pada ditemukannya yang Edos (Class J. Bleeker), Sensus Numinous (Rudolf Otto), Transcendental Focus (Ninian Smart), Essence of Religion (Mircea Eliade), atau Ultimate Reality (Joachim Wach), melainkan diajak lebih jauh lagi. Yaitu, mengalami sendiri pengalaman keberagamaan berupaya penyatuan diri dengan Tuhan yang dihubungkan oleh pengetahuan sejati dan gelora cinta. Penggolongan antara pengetahuan sejati tentang yang Absolut ini bukan saja berhasil menemukan titik temu (konvergensi) agama-agama, melainkan juga akan membentangkan berbagai kemungkinan “jalan”, “tangga” “kapal” sebagai jalan untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang kini telah hilang akibat suatu cara dan pandangan hidup modern yang sekularistik.
Pluralisme merupakan tantangan bagi agama-agama. Dari sinilah arti penting pencaharian titik temu (konvergensi) agama-agama. Ada beberapa pertimbangan sebagai kerangka acuan akan arti pentingnya pencarian konvergensi agama-agama. Pertama, secara praktis pluralisme agama belum sepenuhnya dipahami umat beragama, sehingga yang tampil ke permukaan justru sikap eksklusifisme beragama, yang merasa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama-agama lain dituduh sesat, maka wajib dikikis atau pemeluknya ditobatkan, karena baik agama maupun pemeluknya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Di sinilah akar konflik dimulai. Pluralimse agama memang belum sepenuhnya menjamin kerukunan hidup beragama. Kedua, di tengah-tengah pluralisme agama ini, hanyalah pemeluk agama tertentu (yang bersikap eksklusif) justru masih cenderung memonopoli kebenaran agama (claim of truth) dan laham keselamatan (claim of salvation). Pahadal secara sosiologis, claim of truth dan claim of salvation itu, selain membuat berbagai konflik sosial politik, juga membawa berbagai macam perang antar agama.
Pluralitas agama sebagai fakta sosiologis, yang pada akhirnya mencerminkan beragam jalan menuju yang Satu, merupakan permasalahan tentang yang relatif dan yang absolut. Pada dasarnya pemahaman manusia terhadap agamanya adalah realatif, namun semua ini pada hakikatnya demi yang Absolut. Sedangkan yang Absolut, yang Satu terungkap melalui jalan-jalan yang sifatnya relatif. Misalnya, fakta adanya pluralitas agama dan diversitas pemahaman agama. Menurut Paul F. Knitter (1985), pada dasarnya semua agama adalah relatif. Yang maknanya adalah terbatas, parsial, dan tidak lengkap. Karenanya, menganggap bahwa semua agama secara instrinsik lebih dari yang lain. Sekarang menurut para ahli agama, dirasakan sebagai sebuah sikap yang agak salah, ofensif, dan merupakan pandangan yang sempit. Klaim seperti itu “wajib” dihindari dan jika perlu dikikis oleh umat beragama dengan diiringi penghargaan cakrawala yang luas dan paham keagamaan yang inklusif, egaliter, dan demokratis. Sehingga, semakin disadari bahwa semua agama pada dasarnya Relatively Absolute (Sayyed Nasser) atau sebaliknya Absolutely absolutive.

Transcendent Unity Of Religions
Pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamatan merupakan kerangka dasar menuju dialog. Pengalaman ini penting untuk memperkaya pengalaman antar iman, sebagai pintu masuk ke dalam kompleksitas dialog teologis sekaligus langkah awal mengenali agama-agama secara terbuka. Pluralisme sebagai sikap sadar dan terbuka bagi yang lain menghendaki setiap pemeluk agama bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dan kedamaian. Kebenaran suatu agama tidak hanya diukur sebatas upacara keagamaan yang sifatnya lahiriah, tetapi melampaui setiap bentuk dan manifestasi lahiriah tersebut menuju kepada yang transendental. . Berpijak dari alur pikir yang bersifat pluralis dan keterbukaan antar umat beragama di harapkan dapat meredam potensi-potensi konflik dan kekerasan yang bisa muncul dari sesama kaum beriman. Dengan sikap pluralis ini setiap insan digerakkan untuk mengembangkan pemahaman diri terhadap tradisi (agama), terbuka terhadap beragam konsep kehadiran, makna dan persepsi terhadap “the real” dalam jiwa manusia (John Hick, 1987: 333). Melalui term “membuka” bagi yang lain dan prinsip “pertemanan” sejati, segenap kaum beriman diajak untuk berani berdiri atas sikap “menolak” setiap jenis kekebalan terhadap argumen, pembenaran sepihak dari dogma tertentu, struktur ideologi maupun dominasi sosial tertentu. Setiap agama diajak untuk mau memeriksa kembali pendiriannya masing-masing. Sebuah penekanan tentang pentingnya pengembangan komitmen kepada budaya baru yang “lebih” manusiawi, yang menjadi “arah-arah pasti” (irrevocable directives) yang dapat membimbing umat manusia menuju satu kemanusiaan, satu peradaban dan satu masa depan.
Melalui diskursus (secara distingsif) antara esoterisme dan eksoterisme, pembicaraan mengenai pluralisme agama begitu intens disuarakan oleh kaum perennialis; wacana sikap peduli tanpa label agama, pemberdayaan nilai-nilai keadilan, kebersamaan, pencapaian keutuhan ciptaan, hidup yang lestari dan tanggung jawab antar sesama manusia di dalam kereta dan ruang waktu yang sama. Misi keagamaan haruslah dijalin dalam suasana yang dialogis, ramah dan inklusif, dapat menyentuh persoalan-persoalan kemanusiaan, kerohanian dan spiritualitas, bukan mengedepankan simbolisme agama.
Usaha untuk memberi “titik temu” agama-agama, kiranya perlu dibingkai dalam format ketuhanan yang Maha Esa. Semua itu berasal dari satu Tuhan, maka pada tingkat transenden, kata Frithjof Schoun, semua agama akan mencapai titik temu. Atau, bagi Huston Smith (1973) bahwa landasan esoterik agama-agama itu sama. Sementara dalam perspektif filsafat perennial, kesamaan itu diistilahkan dengan transcendent unity of religions (kesamaan transenden agama-agama). Jadi, pada tingkat the common vision (Huston Smith) atau pada tingkat transcendent (kaum perennialis) semua agama mempunyai kesatuan. Kalau tidak, malah kesamaan gagasan dasar.
Dalam konteks pluralitas agama, penerimaan adanya the common vision ini berarti menghubungkan kembali the many dalam hal ini realitas eksoteris agama-agama, kepada asalnya The One, Tuhan, yang diberi berbagai macam nama oleh para pemeluk berbagai agama sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kesadaran sosial dan spiritual manusia. Sehingga, kesan empiris tentang adanya agama-agama yang plural itu tidak hanya berhenti sebagai fenomena faktual saja. Akan tetapi, kemudian dilanjutkan bahwa ada satu Realitas yang menjadi pengikat yang sama dari agama-agama tersebut, yang dalam bahasa simbolis bolehlah kita sebut dengan “agama itu”.
Agama yang satu berbeda dengan agama yang lain, tetapi kebenaran lain pun tak boleh disangkal bahwa di antara agama-agama itu terdapat persamaan yang seringkali menakjubkan. Kita sering begitu tercengkeram dalam bentuk-bentuk lahir keagamaan yang kita pertahankan mati-matian seolah-olah merupakan benteng terakhir. Padahal, itu sebenarnya merupakan juga produk salah satu generasi pendahulu kita. Dengan menyadari bahwa pluralitas agama pada akhirnya akan mengantar kepada titik temu agama, asal tidak terpaku pada bentuk lahiriah agama yang eksoteris, namun memandangnya sebagai yang esoteris, sehingga mampu menyadari tentang segi-segi agama yang sifatnya relatif, namun mengandung yang Absolut. Maka, si situlah akan terdapat dinamika kehidupan beragama, yang berpuncak kepada kerukunan hidup beragama.
Kehidupan beragama yang dinamis merupakan faktor dasar yang bersifat menentukan bagi terwujudnya stabilitas nasional, persatuan dan kerukunan, perdamaian dan ketenangan hidup, kehidupan beragama yang dinamis dengan terciptanya kerukunan umat beragama tentu saja membawa manfaat yang sangat besar. Untuk umat beragama terwujudnya kerukunan umat beragama mempunyai manfaat, minimal terjaminnya serta dihormatinya iman dan identitas mereka oleh pihak lain, dan maksimal adalah terbukanya peluang untuk membuktikan keagungan agama mereka masing-masing dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Usaha manusia menemukan agama atau cara memeluk agama dan cara menghayatinya haruslah tidak membuatnya lumpuh secara kerohanian, namun mengembangkan lebih jauh nilai kemanusiaannya sendiri, membuat mekar potensi spesifeknya sebagai manusia. Beragama tidak boleh membelenggu jiwa dan rohani yang bersangkutan, akan tetapi beragama mesti membebaskannya dari subjektivitas yang mengelilingi hidupnya. Dalam menapaki jalan menuju Tuhan, diperlukan sikap keterbukaan dengan semangat mencari kebenaran. Sikap demikian harus dilakukan secara tulus dan murni (hanifiyyah samhah), dalam istilah Norcholish Madjid, yang menjanjikan kebahagiaan sejati dan tidak bersifat palliative serta tidak bersikap sektarian.
Melalui alur pikir pluralisme, filsafat perennial menawarkan sebuah ajakan kepada agama-agama untuk berpindah “diri” dari “truth-claim” dan “fanaticism” ke arah pemusatan pada “Yang Suci”. Abul Kalam Azad menyebut “Al Din Wahid wa Al Syar’at Mukhtalifat; No difference in Din difference only in Sharia; Agama tetap satu dan Syariah berbeda-beda”. Tuhan tetap sama, dalam keadaan apapun petunjuk-petunjuk yang disampaikan kepada manusia dengan cara yang sama. Pesan yang disampaikan hanyalah bahwa kita harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik sesuai dengan tingkatan iman kita. Inilah yang ditawarkan agama kepada umat manusia disepanjang zaman dan dalam segala keadaan; inilah yang dimaksudkan dengan agama.

Simpulan
Tuhan, dalam keadaan apapun petunjuk-petunjuk yang disampaikan-Nya kepada manusia dengan cara yang sama. Pesan yang disampaikan hanyalah bahwa kita harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik sesuai dengan tingkatan iman kita. Kekuatan agama yang dibangun atas prinsip kasih sayang, kedamaian, kearifan dan kesalehan akan afflicable dalam mengkomunikasikan ajaran-ajarannya. Kebenaran yang dikandung agama, bukan lagi atas nama pribadi namun merupakan hak masyarakat (public religion). Kesadaran ini hendaknya memberikan perhatian penuh kepada keluhuran misi yang diemban agama mengajak manusia menapaki jalan kebaikan dan keselamatan, kedamaian dan keharmonisan dalam lingkup persaudaraan, kesetaraan, kebebasan dan kebersamaan; menciptakan rasa kemanusiaan yang manusiawi dan keadilan yang merata.
Dengan demikian, pluralisme agama tidak hanya berhegemoni sebagai sebuah ‘dogma’ keaagamaan. Takaran tentang agama Tuhan telah dilalui manusia sejak keberadaannya di bumi Tuhan. Setiap agama benar menurut masing-masing pemeluknya. Oleh karena itu, pluralisme agama merupakan alternatif lanjutan dari sikap inklusif terhadap subyek agama itu sendiri, yakni manusia. Jadi, setiap agama mengakui adanya Pluralitas Agama (keberagaman agama), namun setiap agama tidak mungkin mengakui Pluralisme Agama (persamaan agama/semua agama sama).





[1] Koentjaraningrat, Kebudyaaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1978), hlm. 136-137.  
[2] Lihat misalnya John Locke, A Letter Concerning Toleration (London, 1689; aslinya dalam bahasa Latin berjudul Epistola de Tolerantia) dan Voltaire, Traité sur la tolerance (Paris, 1763). Menurut kamus Oxford English Dictionary, “tolerance is the ability or willingness to tolerate the existence of opinions or behaviourthat one dislikes or disagrees with; the capacity to endure continued subjection to something such as a drug or environmental conditions without adverse reaction.”
[3] Lihat “A Philosophy of Religious Pluralism,” dalam John Hick, Problems of Religious Pluralism (London: Macmillan, 1985), 31-38; asalnya dimuat dalam The World’s Religious Traditions: Essays in Honour of Wilfred Cantwell Smith, ed. Frank Whaling (Edinburgh: T. & T. Clark, 1984).Namun tipologi ini, katanya, pertama kali dilontarkan oleh Alan Race, Christians and Religious Pluralism (London: SCM Press, 1983).
[4] Lihat uraian lengkapnya dalam John Hick dan Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 42-45.

Tuesday, November 22, 2011

Kangen Tuhan (3)

menahan diri sering bergelayut
membui hasrat menjingga suri
antarkan baikku dalam perangaimu
asingkan kemelut berawan pekat perih
       
         sudahkah kau ingat
         belum?
         terpaksakah kau sujud
         benar?

    jangan berdiri dan mendominasi
    terjengah selagi rindu meninggi
    menghela nafas sesak lagi
    kangen blaian indah dalam sunyi

menjerit. memaki-maki diri tanpa peduli air mata membanjiri.
sedangkan lebar dada dikuasai bejat petingaii tari-tarian setan duniawi
 
    penggal deru keji dan benci
    hei... siapakah tentara tak bermoral
    hunus pedang! tumpahkan darah merah
    aku memasalahkan iman. bukan perang.

semoga selamanya perang itu mengerikan
semoga selamanya iman tertinggikan

Kangen Tuhan (1)

aku terkadang bersemayam
memandangi hujan yang reda kemudian
menangisi pelangi yang pergi membuyar

aku terkadang menahan
meneliti jerih dan payah bertuan
selagi aku ingin. itu yang termuatkan

aku memang meninggi senyam

terbalik dungu dalam kawanan

hampir saja tak kurasakan beban

terimakasih Tuhan!
Tuhan, sampai jumpa, lagi!

_____
Oejank Indro
Jakarta, 25 Oktober 2011

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...