Saturday, December 8, 2012

Identitas Sosial Pustakawan dan Presepsi Sosial Perpustakaan: Sebuah Analisa Korelatif


Persoalan profesi pustakwan di Indonesia memang sangat beragam. Keberagaman ini dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Profesi pustakan sendiri di Indonesia sudah berumur. Peringatan 60 tahun Departemen Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, pada 26 Oktober yang lalu merupakan eksistensi profesi pustakwan Indonesia. Sayangnya, keberadaan pustakawan masih memiliki permasalahan klasik seputar ‘identitas’ dan ‘persepsi’ dari kalangan pustakawan sendiri dan masyarakat luas.
Saat ini, pendidikan pustakawan sudah memperoleh tempat di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Meskipun demikian, peningkatan kuailitas pustakwan terus mendapatkan tantangan dari berbagai aspek, diantaranya aspek keilmuan perpustakaan dan informasi itu sendiri, aspek teknologi yang tidak pernah berhenti berkembang, dan aspek pengembangan ilmuan di bidang perpustakaan dan informasi di Indonesia. Sebuah peesan  yang dilontarkan Bill Whitson, mantan Presiden California Academic & Research Libraries, tentunya masih menjadi ‘hantu’ bagi pustakwan Indonesia saat ini. Whitson mengatakan dalam pesan tersebut seperti berikut; “Do we have a future? In nutshell “no”. Of course, it depends on who ‘we’ are, and how fa a head the future is. Pernyataan tersebut hingga saat ini masih menjadi bahan renungan bagi pustakawan dunia, terutama di Indonesia.
Mengawali pembahasan dalam konteks identitas atau ‘jati diri’ pustakwan, Penulis mendapati sebuah contoh kasus yang terjadi pada sebuah SMA. Kisah ini berawal dari pengangkatan pustakwan muda yang dahulunya berprofesi sebagai tenaga tata usaha (TU) pada sekolah tersebut. Dengan gaji Rp. 75.000,- per bulan, ia diangkat pada Januari 2012. Dewan sekolah kemudian memberikan peningkatan gaji menjadi Rp. 350.000,- pada tahun ajaran berikutnya. Tidak berselang lama setelah pustakwan tersebut menjadi pengurus perpustakaan, ia memulai serangkaian kegiatan dan pembenahan fasilitas perpustakaan. Ia juga berniat mengambil kuliah eksternal jarak jauh melalui Universitas Terbuka pada bidang perpustakaan.
Sekitar enam bulan setelah ia menjabat sebagai pustakawan, wajah perpustakaan tersebut berubah menjadi perpustakaan sesungguhnya. Data bibliografi, katalog, administrasi perpustakaan, hingga pendataan anggota perpustakaan sudah baik. Hal baik tersebut merupakan pencapaian yang baru bagi sekolah tersebut. Namun, perkembangan tersebut tidak memberikan dorongan dan perhatian yang baik bagi dewan guru sekolah tersebut. Artinya, perhatian dan dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh dewan guru tersebut.
Pada kasus pustakawan di atas, ditinjau dari sudut pandang psikologi, terdapat korelasi antara identitas pustakawan dan persepsi sosial dari kalangan dewan guru. Secara tidak langsung, identitas yang diberikan dewan guru kepada pustakwan – yang awalnya TU – bernuanasa sterotip dengan persepsi bahwa pustakawan ‘hanya pembantu’ dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut. Persepsi ini juga didukung oleh pengalaman masa lalu, sikap, dan minat dewan guru terhadap perpustakaan itu sendiri. Sampai disini kita dapat memberikan garis lurus hubungan antara identitas pustakawan dan persepsi perpustakaan oleh dewan guru pada sekolah tersebut. Tulisan ini membahas analisa korelatif terjadinya persepsi dewan guru dan identitas pustakawan yang difahami oleh dewan guru yang bersangkutan. Studi kecil ini dilakukan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Jannifer Cram.

Seputar Identitas Sosial dan Persepsi Sosial
Identitas sosial, menurut Vaugan dan Hoog (2002) , dalam Sarwono (2009), proses seseorang dalam mendefinisikan dirinya berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok sosial atau atribut yang dimiliki bersama oleh kelompok. Representasi seseorang dalam mendefinisikan dirinya, menurut Brewer dan Gardiner, dalam Sarwono (2009), terbagi menjadi tiga bentuk dasar, yaitu:
1.      Individual Self, yaitu diri yang didefinisikan berdasarkan trait pribadi yang membedakan dengan orang lain. Seperti, “Saya adalah mahasiswa yang berideologi santun dan berkarakter pemimpin”
2.      Relational Self, hubungan diri dengan orang lain berdasarkan intrapersonalitas.
3.      Collective Self, yaitu pendefinisian diri berdasarkan keanggotaan dan kelompok sosial dimana ia menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Lebih jauh seputar pemahaman tentang identitas sosial, akan lebih mudah jika mengkaitkan dengan self verification processes (SVP). Konsep ini dikembangkan oleh Swann (1990), SVP memberikan dorongan seseorang terhadap orang lain untuk memberikan pengakuan (validate) dan membenarkan konsep dirinya meskipun hal tersebut bersifat negatif. Contoh dalam kasus ini adalah keinginan pengakuan profesi pustakawan itu sebagai profesi yang ‘memalukan, tidak berguna, dan sederhana’.
Studi yang pernah dilakukan Swann  dan Ely tahun 1984 menunjukkan bahwa kecendrungan perasaan dan bayangan seseorang (pesepsi) dapat berubah dan diubah. (Shawn and Swann, 1994:1013).  Studi ini merupakan bentuk kajian yang sesuai yang diterapkan untuk mengubah persepsi sosial terhadap sebuah institusi, dalam hal ini perpustakaan.
Identitas sosial terbangun dari konsep diri dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Huitt menyatakan bahwa terdapat dua hal utama yang saling berkaitan terhadap diri, yaitu konsep diri dan harga diri. Konsep diri mengacu kepada bagaimana diri kita berpikir tentang diri itu sendiri. Konsep diri biasanya mengacu pada pendapat umum yang dimiliki. Sedangkan konsep harga diri sebenarnya mengacu pada ukuran tertentu dari konsep diri kita sendiri. Sehingga tidak bisa disangkal bahwa umumnya orang akan mengidamkan harga diri yang positif. Hal ini memnuculkan istilah above average effect, yaiut kecendrungan orang untuk menilai dirinya di atas rata-rata pada berbagai aspek diri yang dianggap positif secara sosial (Baron, Bryne, Bransombe 2006, dalam Sarwono 2009).
Sejalan dengan identitas sosial, persepsi sosial memiliki bidang kajian yang berhubungan dengan orang lain. Persepsi sosial sebagai bidang kajian, adalah studi terhadap bagaiamana orang membentuk kesan dan membuat penyimpulan tentang orang lain. (Sarwono, 2010: 47). Hal ini selaras dengan komponen konsep diri yang membangun persepsi kelompok terhadap diri kita, yaitu fisik, akademis, sosial, dan kerohanian. Komponen fisik dapat dilihat dari kondisi nyata, jenis kelamin, tinggi badan, sandang, dan sebagainya. Komponen akademis mencerminkan dua tingkat kepandaian, yaitu kepandaian secara umum, dan tingkat kemampuan pada disiplin ilmu tertentu. Komponen sosial terlihat dari pola pergaulan dan bermasyarakat. Komponen kerohanian menyangkut pada kehidupan beragama (spiritual) dan kerohaniawan individu.
Kembali pada konsep diri dan harga diri, keduanya ditopang sepenuhnya oleh dua pilar pokok; pertama, self-efficacy (keyakinan diri), yaitu keyakinan seseorang atas kemampuannya untuk berhasil. Kedua, self-respect (kehormatan diri), adalah perasaan pantas dan berguna.

Analisa
Sesuai dengan kasus yang terjadi pada pustakawan di atas. Analisa yang dapat dilakukan mencakup beberapa aspek seputar konsep diri dan beberapa tentang persepsi sosial terhadap perpustakaan. Ketika dihadapkan pada sebuah pekerjaan/profesi, maka pustakwan tersebut menerima meskipun belum memiliki pengetahuan yang cukup seputar perpustakaan. Secara sadar, ia merasa dirinya memiliki masalah terhadap ‘identitas sosial baru’ yang ia terima, yaitu ‘pustakwan’. Permasalahan yang dihadapi ketika ia beralih profesi adalah mencari identitas sosial melalui opini/pendapat umum melalui self verification processes. Setelah merasa dirinya sebagai ‘pustakawan’, maka dengan sendirinya ia melalui Collective Self, yaitu pendefinisian diri berdasarkan keanggotaan dan kelompok sosial dimana ia menjadi bagian dari kelompok tersebut. Sejak awal, pustakwan memiliki konsep diri yang ‘bergelora’, baik self-efficacy (keyakinan diri) maupun self-respect (kehormatan diri). Hal ini ia buktikan dengan kecermelangan kinerja terhadap perpustakaan, meskipun belum memiliki modal pengetahuan yang cukup sebagai seorang pustakawan.
Apa yang dirasakan oleh pustakawan tersebut dengan pencapaian yang ia laukakan merupakan hal yang patut mendapatkan penghargaan. Namun, paradigma yang berkembang sejak dahulu tentang perpustakaan dan pustakawan menjadi ‘tembok’ bagi orang lain untuk mengapresiasi hasil kerja pustakawan tersebut. Hal ini juga berlaku ketika si pustakwan memberikan laporan dan membenahi perpustakaan. Pada tahapan ini, terjadi konflik antara persepsi pustakawan dan persepsi dewan guru tentang perpustakaan. Namun tidak menutup kemungkinan, persepsi tersebut akan merembet pada pustakawan. Dalam kasus ini, setidaknya terdapat tiga bahasan yang menjadi fokus analisa, yaitu steriotip, permasalahan citra, dan keterbatasan diri. (Cram, 1997)
a.       Stereotip Pustakawan
Pada kasus ini pustakawan menerima konsekuensi atas steriotip terhadap pustakwan sebelumnya, dan dengan sadar, dewan guru mempertahankan steriotip tersebut, padahal jelas-jelas individu tersebut tidak sama. Salah satu hal yang menjadi nilai positif pustawakan pada kasus ini adalah, ia menganggap semua steriotip sebagai gurauan dan ‘itu bukan saya’. Namun, ia juga merasa terganggu dengan generalisasi atas steriotip tersebut.
b.      Permasalahan Citra (harga diri)
Citra di sini lebih terhadap harga diri, kasus tersebut mengkiaskan bagaimana pustakawan baru tersebut kuekuh mempertahankan harga diri sebagai pustakawan. Namun, ia sendiri sebenarnya tidak begitu dihargai oleh dewan guru.

c.       Keterbatasan Diri
Jelas bahwa pustakwan tersebut belum memiliki kompetensi sebagai seorang pustakawan yang profesional. Hal ini menyebabkan ia sulit untuk mengubah persepsi sosial terhadap perpustakaan, dan juga terhadap dirinya sebagai pustakawan.

Kesimpulan
Berdasarkan contoh kasus tersebut. Memang terdapat kaitan erat antara identitas pustakwan dan persepsi sosial terhadap perpustakaan. Persepsi yang berkembang sejak lama tentunya membuat pustakawan dan perpustakaan memiliki ‘steriotip’ tersendiri. Namun, pada kasus tersebut, pustakwan memiliki self-efficacy (keyakinan diri) maupun self-respect (kehormatan diri). Hal ini menyebabkan ia sedikit ‘terbebas’ dari steriotip negatif tentang perpustakaan dan pustakawan. Namun, hanya menunggu waktu bagi pustakawan untuk mampu bertahan dengan self-efficacy (keyakinan diri) maupun self-respect (kehormatan diri). Apakah ia akan menerima dan membiarkan persepsi tersebut berkembang, atau ia mengalah dan keluar dari status ‘pustakawan’.


-- 0 --
Daftar Pustaka
Cram, Jannifer. 1997. Self love and joy and satisfaction ini librarianship. Australian Public Libraries and Information Services. http://www.alia.org.au/jcram/self_love.html
Hogg, M. A., & Williams, K. D. (2000). From I to we: Social identity and the collective self. Group Dynamics: Theory, Research, and Practice, 4(1), 81-97. doi: http://dx.doi.org/10.1037/1089-2699.4.1.81
Jan, E. S., & Peter, J. B. (2000). Identity theory and social identity theory. Social Psychology Quarterly, 63(3), 224-237. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/212780126?accountid=17242
McNulty, S. E., & Swann, W. B. (1994). Identity negotiation in roommate relationships: The self as architect and consequence of social reality. Journal of Personality and Social Psychology, 67(6), 1012-1023. doi: http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.67.6.1012
Sarwono, W. Sarlito, Meinarno, Eko, A. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humaniora.

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...