Saturday, December 8, 2012

Identitas Sosial Pustakawan dan Presepsi Sosial Perpustakaan: Sebuah Analisa Korelatif


Persoalan profesi pustakwan di Indonesia memang sangat beragam. Keberagaman ini dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Profesi pustakan sendiri di Indonesia sudah berumur. Peringatan 60 tahun Departemen Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, pada 26 Oktober yang lalu merupakan eksistensi profesi pustakwan Indonesia. Sayangnya, keberadaan pustakawan masih memiliki permasalahan klasik seputar ‘identitas’ dan ‘persepsi’ dari kalangan pustakawan sendiri dan masyarakat luas.
Saat ini, pendidikan pustakawan sudah memperoleh tempat di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Meskipun demikian, peningkatan kuailitas pustakwan terus mendapatkan tantangan dari berbagai aspek, diantaranya aspek keilmuan perpustakaan dan informasi itu sendiri, aspek teknologi yang tidak pernah berhenti berkembang, dan aspek pengembangan ilmuan di bidang perpustakaan dan informasi di Indonesia. Sebuah peesan  yang dilontarkan Bill Whitson, mantan Presiden California Academic & Research Libraries, tentunya masih menjadi ‘hantu’ bagi pustakwan Indonesia saat ini. Whitson mengatakan dalam pesan tersebut seperti berikut; “Do we have a future? In nutshell “no”. Of course, it depends on who ‘we’ are, and how fa a head the future is. Pernyataan tersebut hingga saat ini masih menjadi bahan renungan bagi pustakawan dunia, terutama di Indonesia.
Mengawali pembahasan dalam konteks identitas atau ‘jati diri’ pustakwan, Penulis mendapati sebuah contoh kasus yang terjadi pada sebuah SMA. Kisah ini berawal dari pengangkatan pustakwan muda yang dahulunya berprofesi sebagai tenaga tata usaha (TU) pada sekolah tersebut. Dengan gaji Rp. 75.000,- per bulan, ia diangkat pada Januari 2012. Dewan sekolah kemudian memberikan peningkatan gaji menjadi Rp. 350.000,- pada tahun ajaran berikutnya. Tidak berselang lama setelah pustakwan tersebut menjadi pengurus perpustakaan, ia memulai serangkaian kegiatan dan pembenahan fasilitas perpustakaan. Ia juga berniat mengambil kuliah eksternal jarak jauh melalui Universitas Terbuka pada bidang perpustakaan.
Sekitar enam bulan setelah ia menjabat sebagai pustakawan, wajah perpustakaan tersebut berubah menjadi perpustakaan sesungguhnya. Data bibliografi, katalog, administrasi perpustakaan, hingga pendataan anggota perpustakaan sudah baik. Hal baik tersebut merupakan pencapaian yang baru bagi sekolah tersebut. Namun, perkembangan tersebut tidak memberikan dorongan dan perhatian yang baik bagi dewan guru sekolah tersebut. Artinya, perhatian dan dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh dewan guru tersebut.
Pada kasus pustakawan di atas, ditinjau dari sudut pandang psikologi, terdapat korelasi antara identitas pustakawan dan persepsi sosial dari kalangan dewan guru. Secara tidak langsung, identitas yang diberikan dewan guru kepada pustakwan – yang awalnya TU – bernuanasa sterotip dengan persepsi bahwa pustakawan ‘hanya pembantu’ dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut. Persepsi ini juga didukung oleh pengalaman masa lalu, sikap, dan minat dewan guru terhadap perpustakaan itu sendiri. Sampai disini kita dapat memberikan garis lurus hubungan antara identitas pustakawan dan persepsi perpustakaan oleh dewan guru pada sekolah tersebut. Tulisan ini membahas analisa korelatif terjadinya persepsi dewan guru dan identitas pustakawan yang difahami oleh dewan guru yang bersangkutan. Studi kecil ini dilakukan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Jannifer Cram.

Seputar Identitas Sosial dan Persepsi Sosial
Identitas sosial, menurut Vaugan dan Hoog (2002) , dalam Sarwono (2009), proses seseorang dalam mendefinisikan dirinya berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok sosial atau atribut yang dimiliki bersama oleh kelompok. Representasi seseorang dalam mendefinisikan dirinya, menurut Brewer dan Gardiner, dalam Sarwono (2009), terbagi menjadi tiga bentuk dasar, yaitu:
1.      Individual Self, yaitu diri yang didefinisikan berdasarkan trait pribadi yang membedakan dengan orang lain. Seperti, “Saya adalah mahasiswa yang berideologi santun dan berkarakter pemimpin”
2.      Relational Self, hubungan diri dengan orang lain berdasarkan intrapersonalitas.
3.      Collective Self, yaitu pendefinisian diri berdasarkan keanggotaan dan kelompok sosial dimana ia menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Lebih jauh seputar pemahaman tentang identitas sosial, akan lebih mudah jika mengkaitkan dengan self verification processes (SVP). Konsep ini dikembangkan oleh Swann (1990), SVP memberikan dorongan seseorang terhadap orang lain untuk memberikan pengakuan (validate) dan membenarkan konsep dirinya meskipun hal tersebut bersifat negatif. Contoh dalam kasus ini adalah keinginan pengakuan profesi pustakawan itu sebagai profesi yang ‘memalukan, tidak berguna, dan sederhana’.
Studi yang pernah dilakukan Swann  dan Ely tahun 1984 menunjukkan bahwa kecendrungan perasaan dan bayangan seseorang (pesepsi) dapat berubah dan diubah. (Shawn and Swann, 1994:1013).  Studi ini merupakan bentuk kajian yang sesuai yang diterapkan untuk mengubah persepsi sosial terhadap sebuah institusi, dalam hal ini perpustakaan.
Identitas sosial terbangun dari konsep diri dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Huitt menyatakan bahwa terdapat dua hal utama yang saling berkaitan terhadap diri, yaitu konsep diri dan harga diri. Konsep diri mengacu kepada bagaimana diri kita berpikir tentang diri itu sendiri. Konsep diri biasanya mengacu pada pendapat umum yang dimiliki. Sedangkan konsep harga diri sebenarnya mengacu pada ukuran tertentu dari konsep diri kita sendiri. Sehingga tidak bisa disangkal bahwa umumnya orang akan mengidamkan harga diri yang positif. Hal ini memnuculkan istilah above average effect, yaiut kecendrungan orang untuk menilai dirinya di atas rata-rata pada berbagai aspek diri yang dianggap positif secara sosial (Baron, Bryne, Bransombe 2006, dalam Sarwono 2009).
Sejalan dengan identitas sosial, persepsi sosial memiliki bidang kajian yang berhubungan dengan orang lain. Persepsi sosial sebagai bidang kajian, adalah studi terhadap bagaiamana orang membentuk kesan dan membuat penyimpulan tentang orang lain. (Sarwono, 2010: 47). Hal ini selaras dengan komponen konsep diri yang membangun persepsi kelompok terhadap diri kita, yaitu fisik, akademis, sosial, dan kerohanian. Komponen fisik dapat dilihat dari kondisi nyata, jenis kelamin, tinggi badan, sandang, dan sebagainya. Komponen akademis mencerminkan dua tingkat kepandaian, yaitu kepandaian secara umum, dan tingkat kemampuan pada disiplin ilmu tertentu. Komponen sosial terlihat dari pola pergaulan dan bermasyarakat. Komponen kerohanian menyangkut pada kehidupan beragama (spiritual) dan kerohaniawan individu.
Kembali pada konsep diri dan harga diri, keduanya ditopang sepenuhnya oleh dua pilar pokok; pertama, self-efficacy (keyakinan diri), yaitu keyakinan seseorang atas kemampuannya untuk berhasil. Kedua, self-respect (kehormatan diri), adalah perasaan pantas dan berguna.

Analisa
Sesuai dengan kasus yang terjadi pada pustakawan di atas. Analisa yang dapat dilakukan mencakup beberapa aspek seputar konsep diri dan beberapa tentang persepsi sosial terhadap perpustakaan. Ketika dihadapkan pada sebuah pekerjaan/profesi, maka pustakwan tersebut menerima meskipun belum memiliki pengetahuan yang cukup seputar perpustakaan. Secara sadar, ia merasa dirinya memiliki masalah terhadap ‘identitas sosial baru’ yang ia terima, yaitu ‘pustakwan’. Permasalahan yang dihadapi ketika ia beralih profesi adalah mencari identitas sosial melalui opini/pendapat umum melalui self verification processes. Setelah merasa dirinya sebagai ‘pustakawan’, maka dengan sendirinya ia melalui Collective Self, yaitu pendefinisian diri berdasarkan keanggotaan dan kelompok sosial dimana ia menjadi bagian dari kelompok tersebut. Sejak awal, pustakwan memiliki konsep diri yang ‘bergelora’, baik self-efficacy (keyakinan diri) maupun self-respect (kehormatan diri). Hal ini ia buktikan dengan kecermelangan kinerja terhadap perpustakaan, meskipun belum memiliki modal pengetahuan yang cukup sebagai seorang pustakawan.
Apa yang dirasakan oleh pustakawan tersebut dengan pencapaian yang ia laukakan merupakan hal yang patut mendapatkan penghargaan. Namun, paradigma yang berkembang sejak dahulu tentang perpustakaan dan pustakawan menjadi ‘tembok’ bagi orang lain untuk mengapresiasi hasil kerja pustakawan tersebut. Hal ini juga berlaku ketika si pustakwan memberikan laporan dan membenahi perpustakaan. Pada tahapan ini, terjadi konflik antara persepsi pustakawan dan persepsi dewan guru tentang perpustakaan. Namun tidak menutup kemungkinan, persepsi tersebut akan merembet pada pustakawan. Dalam kasus ini, setidaknya terdapat tiga bahasan yang menjadi fokus analisa, yaitu steriotip, permasalahan citra, dan keterbatasan diri. (Cram, 1997)
a.       Stereotip Pustakawan
Pada kasus ini pustakawan menerima konsekuensi atas steriotip terhadap pustakwan sebelumnya, dan dengan sadar, dewan guru mempertahankan steriotip tersebut, padahal jelas-jelas individu tersebut tidak sama. Salah satu hal yang menjadi nilai positif pustawakan pada kasus ini adalah, ia menganggap semua steriotip sebagai gurauan dan ‘itu bukan saya’. Namun, ia juga merasa terganggu dengan generalisasi atas steriotip tersebut.
b.      Permasalahan Citra (harga diri)
Citra di sini lebih terhadap harga diri, kasus tersebut mengkiaskan bagaimana pustakawan baru tersebut kuekuh mempertahankan harga diri sebagai pustakawan. Namun, ia sendiri sebenarnya tidak begitu dihargai oleh dewan guru.

c.       Keterbatasan Diri
Jelas bahwa pustakwan tersebut belum memiliki kompetensi sebagai seorang pustakawan yang profesional. Hal ini menyebabkan ia sulit untuk mengubah persepsi sosial terhadap perpustakaan, dan juga terhadap dirinya sebagai pustakawan.

Kesimpulan
Berdasarkan contoh kasus tersebut. Memang terdapat kaitan erat antara identitas pustakwan dan persepsi sosial terhadap perpustakaan. Persepsi yang berkembang sejak lama tentunya membuat pustakawan dan perpustakaan memiliki ‘steriotip’ tersendiri. Namun, pada kasus tersebut, pustakwan memiliki self-efficacy (keyakinan diri) maupun self-respect (kehormatan diri). Hal ini menyebabkan ia sedikit ‘terbebas’ dari steriotip negatif tentang perpustakaan dan pustakawan. Namun, hanya menunggu waktu bagi pustakawan untuk mampu bertahan dengan self-efficacy (keyakinan diri) maupun self-respect (kehormatan diri). Apakah ia akan menerima dan membiarkan persepsi tersebut berkembang, atau ia mengalah dan keluar dari status ‘pustakawan’.


-- 0 --
Daftar Pustaka
Cram, Jannifer. 1997. Self love and joy and satisfaction ini librarianship. Australian Public Libraries and Information Services. http://www.alia.org.au/jcram/self_love.html
Hogg, M. A., & Williams, K. D. (2000). From I to we: Social identity and the collective self. Group Dynamics: Theory, Research, and Practice, 4(1), 81-97. doi: http://dx.doi.org/10.1037/1089-2699.4.1.81
Jan, E. S., & Peter, J. B. (2000). Identity theory and social identity theory. Social Psychology Quarterly, 63(3), 224-237. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/212780126?accountid=17242
McNulty, S. E., & Swann, W. B. (1994). Identity negotiation in roommate relationships: The self as architect and consequence of social reality. Journal of Personality and Social Psychology, 67(6), 1012-1023. doi: http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.67.6.1012
Sarwono, W. Sarlito, Meinarno, Eko, A. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humaniora.

Monday, October 8, 2012

Seniman itu Tiang Dunia


Oleh, Oejank Indro

Mendengar kata seniman, sering terlintas bahwa orang tersebut adalah penghasil poduk kesenian. Seni yang bagaimana? Hal itu yang sulit untuk dijawab. Membicarakan seniman dalam perspektif filosofis bukanlah hal mudah. Karena hal ini mendekati secara langsung ruang pribadi seniman, dan seniman itu beranekaragam dan jumlahnya sangat banyak. Disadari atau tidak, dunia memang penuh dengan seniman. Seorang anak berusia sepuluh tahun mampu melukis mawar, lalu lukisan itu memberikan kenikmatan bagi orang yang melihat, dan seketika itu orang menganggap karya itu hasil dari seorang seniman. Apa benar demikian? Jika benar, bukankah seorang perancang pakaian, arsitek, pendongeng, politikus, hingga tukang cat keliling, memiliki keahlian berkesenian. Dalam artian menghasilkan produk seni dengan nilai estetik tertentu – dengan penikmat estetika masing-masing. Sampai disini, apakah seniman itu yang ada dalam benak Anda?

Secara sadar dan tidak sadar, setiap hari kita selalu berinteraksi dengan hasil aktifitas berseni. Mulai dari sikat gigi, bak mandi, piring, lemari, kunci, sampai pada hubungan suami isteri. Nah, bisakah kita mengatakan itu semua adalah hasil seorang seniman? Atau hanya produk komersil dengan beberapa inovasi yang bertujuan meningkatkan keuntungan individu dan kelompok tertentu saja? Jika demikian, apa bedanya seniman dan bisnisman?

Dasar pembeda antara seniman dan bukan seniman dalam pandangan Sujiwotejo, adalah pandangan seniman itu sendiri. Seorang dapat berpikir berbeda dengan masyarakatnya. Artinya, jika masyarakat memandang bahwa lukisan Lucien Freud – berjudul Nu Couche De Dos – itu vulgar dan tidak indah, lantas seniman juga berpandangan sama, mengapa lukisan tersebut memiliki nilai jual yang tinggi? Kenyataannya, seniman tersebut tidak memperkaya apa-apa.

Kekhawatiran dunia seni terhadap nilai-nilai etis sebuah penghadiran karya seni sering diperbincangkan. Disini posisi seorang seniman terhadap karya seninya dilempar ke masyarakat untuk dinilai dari berbagai sudut pandang. Misalnya, ketika kasus kelaparan dan kekeringan masih banyak di sebuah daerah, lalu seorang seniman menampilkan aksi dengan media puluhan telur dan berliter air bersih, keindahan yang dihasilkan tentu bertolak dengan realistas sosial – yang dekat dari seniman itu sendiri. Kasus lain ketika seorang penari melakukan aksi berbahaya dan mati saat beraksi, apakah ini bisa dikatakan etis? Jika hanya untuk menyakiti diri sendiri, prioritas etis atau estetis yang menjadi unsur apresiasi oleh masyarakat?

Jadi, seniman dalam artian khusus memiliki caranya sendiri dalam berkesenian – tentu saja ‘seni’ yang dihadirkannya berdampak pada tatanan sosial masyarakat. Seperti kisah yang dihidupkan Franco Rabelais melalui tokoh Gargantua dan Panteugral yang memberikan motivasi besar masyarakat Prancis waktu itu untuk bangkit. Atau tokoh Punakawan yang membekas dan menyalurkan nilai-nilai sosial hingga saat ini di Indonesia. Seniman itu, dalam artian luas, bisa dikatakan penyeimbang dan pengatur irama kehidupan manusia – yang selalu rindu akan keindahan – dalam bermasyarakat. 

Ngomong Filsafat (4)


Oleh, Oejank Indro

-( 1 )-
Soekarno

Konsep awal pemikiran Sukarno berdasar pada Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme. Sukarno memang tokoh terkemuka yang seba unik. Manyur Suryanegera, seorang sejarawan dari Universitas Padjajaran Bandung mencatat, Bung Karnolah satu-satunya presiden di dunia yang minta jenazahnya diselimuti bendera Muhammadiyah, bukan Sang Saka Merah Putih, betapapun nasionalisnya dia sepanjang hidup. Tapi dari sukarno pula lahir pemikiran kontroversial yang berhasrat menyatukan nasionalisme, agama dan komunisme. Bila berpidato tentang nasionalisme, Bung Karno berperan jadi Bapak Bangsa. Bila berpidato tentang Islam, Bung Karno laksana pemimpin muslim. Bila berpidato tentang komunisme, Bung Karno adalah marxis sejati. Nampaknya apapun akan ia katakana untuk sebuah Indonesia yang besar dan disegani.
Seputar Marhaenisme
Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti - sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja - kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti. Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepakterjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik. Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul "Dibawah Bendera Revolusi", Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas. Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasanpenjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.



***

-( 2 )-
Sjahrir

Bagi Sjahrir politik rupanya bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas instrumental atau Zweckrationalitaet yang diajarkan Max Weber. Bagi Sjahrir politik lebih dari pragmatisme simplistis, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga rasionalitas nilainilai atau Wertrationalitaet dalam pengertian Max Weber. Karena itulah politik lebih dari sekedar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Kalau politik dalam pengertian Sjahrir bukan semua yang disebut di atas, apa gerangan politik menurut pandangan dia? Menurut tafsiran saya, kutipan dari Friedrich Schiller tersebut adalah sebagian jawabannya. Kalau penggal sajak Schiller itu boleh kita parafrasekan, maka politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen --- politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri.
Konsepsi politik seperti itu kedengarannya terlalu halus kalau diperhadapkan dengan Realpolitik baik pada tingkat nasional mau pun pada tingkat internasional. Akan tetapi di balik kehalusan tersebut tegak sebuah keberanian yang kokoh karena tanpa komplikasi, suatu kesahajaan yang menakutkan karena tanpa pretensi. Khusus untuk para politisi muda konsepsi seperti itu membantu mengingatkan bahwa dalam politik ada suatu keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu mudah dipahami oleh banyak orang, karena mengandaikan pengertian tentang beberapa asumsi yang filosofis sifatnya.
Mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang serba nekad. Tetapi Sjahrir memperingatkan bahwa dalam politik hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. Pada titik inilah dapat kita pahami kecemasannya tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan, yang penuh tenaga dan determinasi tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan. Setelah Jepang menyerah kalah Sjahrir mencatat dengan prihatin bahwa para pemuda terjebak di antara sikap nekad di satu pihak dan keragu-raguan di pihak lainnya. Semboyan “Merdeka atau Mati” ternyata dapat menjadi perangkap kejiwaan. Karena, selagi menyaksikan kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para pemuda itu terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Ini semua terjadi karena, menurut Sjahrir, selama Jepang berkuasa di Indonesia, para pemuda kita hanya dilatih untuk berbaris dan berkelahi, tetapi tak pernah dilatih untuk memimpin.

***

-( 3 )-
Filsafat Arab

Perkembangan filsafat Arab bisa dikatakan beriringan dengan penyebaran agama Islam. Oleh karena itu, mempelajari filsafat Arab cenderung memilki korelasi dengan mempelajari Islam. Hal ini disebabkan serapan filsafat Arab sendiri merupakan dari filsafat Yunani kuno yang dimasuki unsur agama Islam. Tidak jarang kita temukan beberapa buku filsafat Islam yang didalamnya memuat pemikiran Yunani.
Salah satu tokoh yang berpengaruh adalah Al Farabi (870-950). Ia memaknai filsafat tidak berbeda dengan tujuan agama, yakni mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil tertentu dan ditujukan kepada golongan tertentu. Sedangkan agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), kiasan-gambaran, dan bersifat universal. Filsafat dalam posisi demikian menjadi a second-level science, ia mempelajari semua objek dan bidang dan dipelajari oleh filsafat menurut sebab-sebab yang mendasar (per ultimas causas), yang merupakan objek formal filsafatnya. Tidak heran jika pemikiran ini dalam pandangan filsafat Arab, filsafat dan orang yang mempelajarinya – dianggap – radikal dan bebas.
Berbeda dengan lingkup filsafa Barat, filsafat Arab – dalam hal ini filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan filsuf agung seperti, Ibn Sina, Ibn Khaldun, Imam Ghazali, dan Imam Hanafi, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini. Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Dan ia menulisnya sedeikian lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita misalnya memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora, analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk matematika, ia menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti tentang langit, meteorologi, kejadian dan khancuran yang menandai semua benda fisik, tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi, farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai puncaknya ia menulis tentang metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan hubungan mereka dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika.
Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran, ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan tidak ada, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini terjadi, menurut hemat penulis, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.

Daftar Rujukan:
Agus Budi P. 2009. Sjahrir dan Sejarah Pemikiran. http://agusbudipurwanto.files.wordpress.com/2010/08/21-sjahrir-dan-sejarah-pemikiran1.pdf. (diakses 23 Desember 2011).
Charris Zubair, A. 1997. Ahmad Adzah Basyir: Sosok Pakar Di Bidang Filsafat (Hukum) Islam. dalam seminar Kajian Tokoh “Pemikiran KH. Ahmad Azhar Basyir dalam Perspektif Filsafat.” IAIN Sunan Kalli Jaga, Yogjakarta. http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/ahmad_azhar_basyir.pdf (diakses 23 Desember 2011).
Indriyanto. 2007. Pertentangan Politik Soekarno-Hatta dalam Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional dan Diskusi di UNDIP Semarang, 15 Maret 2007. http://eprints.undip.ac.id/1075/1/Indriyanto.pdf (diakses 23 Desember 2011).
Mulyadi Kartanegara. 2006. Masa Depan Filsafat Islam. http://images.ishacovic.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/R1OuXAoKCqM. (diakses 23 Desember 2011).
Oka Aditya. 2007. Bung Karno: Berlayar di Tengah Tiga Gelombang. http://okaaditya.files.wordpress.com/2009/02/makalah-bung-karno.pdf (diakses 23 Desember 2011).

Ngomong Filsafat (3)

Oleh, Oejank Indro

-( 1 )-
Multikulturalisme

Multikulturalisme, di dalamnya mengandung dua kata yang bermakna kompleks, yaitu ‘multi’ yang berarti plural, dan ‘kulturalisme’ yang berisi pengertian tentang budaya. Plural memiliki berbagai jenis pengertian karena mempunyai implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Sedangkan budaya merupakan hasil dari interaksi manusia yang berlangsung selama manusia hidup di suatu tempat – baik dalam komunitas, kelompok, ataupun masyarakat. Multikulturalisme juga memiliki kaitan erat degan epistemologi. Namun, disini epistemologi multikulturalisme berbeda dengan epistemologi pada filsafat – sebagai asal usul ilmu pengetahuan – dan filsafat sosiologi – yang bertitik pada kehidupan sosial.
Sebagai seorang manusia yang tinggal dan lahir di negara multikultur, penulis memosisikan diri tidak hanya terbatas pada keanekaraman etnis di dalam negeri. Lebih lanjut, multikulturalisme sejatinya tidak membatasi ‘teritori’ variabel pada sebuah negara semata. Di Indonesia, menurut penulis, seringkali multikulturalisme dikecilkan dalam pemaknaan sebagai keanekaraman budaya secara lokal – yang meliputi suku, etnis, dan budaya itu sendiri. Akibatnya, pemaknaan seputar multikulturalisme cenderung dikaitkan dengan budaya ‘tetangga sebelah’.
Terbentuknya pola pikir yang demikian dominan di tengah masyarakat Indonesia, agaknya mengerdilkan luasan makna multikulturalisme yang ditawarkan Charles Taylor dan John Rawls. Bahkan pemikiran tokoh pluralis yang jenaka seperti Gus Dur pun belum mampu diserap oleh masyarakat luas. Dalam hemat penulis, multikulturalisme mendapatkan tempat ‘kecil’ di Indonesia. Berbeda dengan pemahaman filsafat multikultur yang berkembang di belahan Eropa.
Multikulturalisme tidak selamanya memiliki ‘posisi’ baik dalam kehidupan. Salah satu bahaya yang tersimpan dalam paham ini adalah lahir dan berkembangnya paham fanatisme budaya. Apabila paham fanatisme ini dibiarkan tetap berkembang, maka seluruh kebudayaan akan mempertentangkan budaya satu dan lainnya – biasanya berujung pada konflik lintas budaya. Namun, jika digarap dengan baik dan dirawat dengan baik, kultur yang beranekaragam tersebut akan menjadi kekuatan besar bagi suatu bangsa. Gandhi mampu menularkan ajarannya ke seluruh India dan penjuru dunia juga tidak terlepas karena ia memanfaatkan budaya sebagai kekuatan utamanya.

***

-( 2 )-
Filsafat China : Konfusius

Pada buku yang berjudul Konhucu: Penata Kebudayaan Langit, Raymond Dawson menuliskan inti pemikiran konfusius terpadu dalam sebuah sistem sosial, etika, dan intelektual. Ketika unsur tersebut memang menjadi bahan wajib bagi Konfusius dalam menyebarkan ajarannya. Konfusius sendiri menitik beratkan ajarannya pada ranah pendidikan. Hal ini dapat diketahui dari sebuah Kitab Analect/Bunga Rampai 7.2, “secara diam-diam kukumpulkan ilmu pengetahuan. Aku belajar dan tidak pernah bosan. Aku mengajar orang lain dan tidak pernah jemu – karena hal-hal seperti ini muncul secara alami pada diriku.” (Dowson. 1999:14).
Nilai sosial, etika/moral, dan intelektual yang diusung Konfusius hampir mirip dengan apa yang diajarkan Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarso sing tulodho, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Dalam hemat penulis, kedua tokoh ini berhasil membangun citra manusia sejati melalui pendidikan.
Konfusius lahir ditengah-tengah anarki sosial dan intelektual. Menurut konfusius, kekacauan dan anarki bukanlah hakikat masyarakat dan peradaban. Ajarannya adalah untuk memlihara pranata sosial dan kultural, serta kembali kepada li (tata karma/etiket/budi pekerti). Terdapat beberapa versi tentang ajaran Konfusius. Ada yang menyebutkan terdapat lima pokok ajaran dan ada pula yang mengatakan enam pokok ajaran. Ke enam ajaran tersebut adalah li (tata karma/etiket/budi pekerti), Tao (jalan/cara), Jen (perikemanusiaan), Chun Tzu (manusia bijak), Cheng Ming (penyesuaian nama), Hsiao (bakti anak). Dari keenam ajaran tersebut, inti ajaran Konfisius adalah Tao, jalan sebagai prinsip utama dari kenyataan. Dengan kehidupan yang baik, manusia menjadikan Tao itu luhur dan mulia.
Karena lahir pada kondisi yang kacau dan menekankan pada ranah pendidikan, ajaran Konfusius, menurut penulis, terlalu ‘elegan’ dan seolah ‘terbelenggu’ dalam satu fenomena, pendidikan. Hal inilah yang menjadi awal terpecahnya ajaran ini ketika diteruskan oleh Mensius dan Xun Zi. Menxius seorang yang idealis sedangkan Xun Zi seorang realis – karena ia eksponen ajaran Konfusius dan pengkritik Mensius. Xun sendiri berpandangan bahwa kodrat manusia itu pada dasarnya jelek. Dia menempatkan fungsi dan hak istimewa negara di tempat amat tinggi, seperti yang dilakukan kaum Legalis, sehingga Xun tidak begitu dihormati di kalangan penganut Konfusianis.
Secara garis besar, filsafat China sejak zaman klasik (600-200 SM) – meliputi Konfusianisme, Taoisme, Mohisme, Legalisme, Ying Yang – melalui zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 SM – 1000 M), Neo-Konfusianisme (1000 – 1900), dan zaman modern (1900-sekarang), filsafat China memiliki tiga tema besar, yang menurut penulis, sebagai pokok pandangan filsafat China. Pertama, harmoni, antara manusia dan sesame, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga, menjauhkan extrimisme dan mengagungkan perdamaian bersama.
Kedua, toleransi, terbukanya sikap menghargai budaya dan pikiran. Hal ini terwujud dari sikap pluriformitas budaya China – contohnya adalah dalam hal berdagang dan berguru. Ketiga, kemanusiaan, filsafat China memusatkan perhatian pada manusia. Karenanya, manusia mengejar kebahagiaan di dunia dengan mengembangkan diri dalam interaksi dengan alam dan sesama.

 ***

-( 3 )-
Filsafat Jepang

Hal yang menjadi salah satu ciri orang Jepang dalam berfikir adalah membenarkan apa adanya dunia ini. Maksudnya, bagi orang Jepang dunia fenomena (dunia gejala) yang eksis dalam berbagai ragam gejala, dipandang sebagai sesuatu yang mutlak apa adanya. Bahkan mereka cenderung menolak cara berpikir yang memandang, bahwa sesuatu yang mutlak tersebut berada di tempat yang jauh atau terpisah dari dunia gejala. Dengan demikian, salah satu ciri dalam cara berpikir orang Jepang menampakkan tidak adanya sesuatu yangdisembunyikan dari manusia. Dunia fenomena bagi orang Jepang, adalah mutlak dunia apa adanya, sehingga segala apa yang ada di dunia nyata, seperti: pohon, rumput, sungai, gunung, bunga, dan lain-lainnya dipandang sebagai perwujudan dari Bussho (sifat Budha).
Selain Bussho, Jepang juga menjunjung tinggai berberapa falsafah hidup sebagai filosofi, yaitu: semnagat Bushido, disiplin samurai, budaya keisan, prinsip kai-zen, dan prinsip keiretsu-zaibatsu. Semua nilai tersebut, menurut hemat penulis, merupakan pondasi dasar Jepang selepas kekalahan di Perang Dunia II. Hanya dalam kurun empat puluh tahun Jepang mampu bangkit dan menjadi negara Asia yang memiliki perekonomian kuat dan berpengaruh di dunia.
Secara jelas, filsafat Jepang tidak bertolak belakang dengan filsafat China. Terdapat beberapa ajaran – agama Buddha – yang memang kental dengan kehidupa orang Jepang. Hal ini dapat kita lihat dari Genseshugi (paham keduniawian), Ajio (cinta kasih), dan pengakuan mereka terhdap tabiat manusia yang alami. Kesadaran inilah, menurut penulis, yang menguatkan orang Jepang meskipun hidup dalam ‘goncangan’ bumi berintensitas tinggi.
Melalui film The Last Samurai, masyarakat dunia juga disuguhi – dan di ajarkan – semangat Bushido-Samurai yang identik dengan kedisiplinan, kehormatan, pantang menyerah, dan menghargai sesama manusia. Namun, semangat ini tidak hanya memiliki dampak positif semata. Kehormatan yang menjadi salah satu sifat utama seorang Samuari juga tersalurkan ke dalam kehidupan masyarakat Jepang secara eksklusif. Akibatnya, angka bunuh diri di Jepang sangat tinggi di bandingkan negara-negara lain di Asia. Hal ini dikarenakan keyakinan dan keteguhan menjaga kehormatan keluarganya.



 -( 4 )-
Tan Malaka

Sejarah mencatat banyak seputar perjalanan dan pemikiran sosok Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tulisan pertamanya yang berjudul Parlemen atau Soviet merupakan titik awal kemunculan karya beliau yang lainnya – antara lain Naar De Republic Indonesia (Menuju Republik Indonesia) tahun 1925 dan Madilog pada tahun 1943. Memahami Tan Malaka, menurut penulis, berarti memahami karya tulis beliau. Sebelum Indonesia merdeka, esensi pemikiran Tan Malaka terpusat pada tujuan bagaimana memerdekakan bangsanya sekaligus seluruh tatanan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Jauh hari sebelum Sukarno menulis Indonesia Menggugat tahun 1932 dan Kearah Indonesia Merdeka Hatta tahun 1930, karya Tan Malaka Naar De Republic Indonesia sebagai sebuah konsepsi menuju Indonesia merdeka diterbitkan pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925 – semasa pembuangannya.

Sebagai seorang pemimpin partai komunis, Tan Malaka seringkali berseberangan pemikiran dengan tokoh komunis lainnya. Terbukti ketika Kongres Koomunis Internasional (Komintem) IV pada tahun 1922, Tan Malaka dengan tegas menolak pandangan Komintern untuk memusuhi Pan Islamisme. Selain itu, Tan Malaka juga menolak pemberontakan PKI terhadap Belanda pada tahun 1926 yang mengakibatkan 13.000 pejuang politik ditangkap dan dihukum. Kejadian ini juga berakibat pada larangan Belanda terhadap aktivitas PKI.
Jika melihat sejarah dan masa lalu Tan Malaka yang berdarah minang, didukung dengan lingkungan yang agamis, tidak menutup kemungkinan hal ini menjadi dasar pemikirannya. Meskipun titik balik perkembangan pemikirannya berawal dari masa studinya di Rijkweekschool di kota Haarlem. Pengaruh sebuah media radikal Belanda Hel Volk memicunya untuk mengetahui lebih dalam tentang Revolusi Bolsyhevik Oktober 1917. Kejadian ini membuatnya menempatkan dirinya sebagai seorang Bolsyhevik.

Nah, berbekal pengetahuan yang ia dapat dari pengalaman hidup di Belanda itulah, Tan Malaka menasbihkan dirinya sebagai seorang yang harus melakukan perubahan untuk negaranya. Bahkan ketika kembali ke Indonesia, ia meninggalkan kemewahan yang ditawarkan Belanda dan memilih hidup sebagai Bolsyhevik, mendirikan sekolah, dibuang dan dikejar-kejar polisi Belanda hingga ke berbagai negara, mengikuti konferensi Komunis Internasional IV, bertemu Dr. Sun Yat Sen, menhadiri Konferensi Buruh Angkutan Pasifik tahun 1924, dan akhirnya menetap di Rawajati, di dekat pabrik sepatu Kalibata Clilitan Jakarta. Delapan bulan dari 15 Juli 1942 sampai dengan 30 Maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, beliau menulis Madilog.
Daftar rujukan:

_______
Daftar Rujukan:
Alie, Marzuki. 2010. Pemahaman Multikulturalisme untuk Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. dalam Bahan Pembicara Untuk Dialog Kebangsaan pada acara Dies Natalis Universitas Negeri Surabaya. http://www.marzukialie.com/upload/arsip/123_UNSurabaya.pdf (diakses tanggal 15 Desember 2011).
Anwar, Siti D. 2004. Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Buddhisme. dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora. Vol. 8/3. Hal. 1120-125. Depok: Universitas Indonesia.
Darini, Ririn. 2006. Pendidikan Dalam Pemikiran Konfusius. http://eprints.uny.ac.id/2998/5/PENDIDIKAN_DALAM_PEMIKIRAN_KONFUSIUS.pdf (diakses tanggal 15 Desember 2011).
Dawson, Raymond. 1990. Konghucu: Penata Budaya Kerajaan Langit. Jakarta: Temprint.
Hanum, Farida. 2005. Multikulturalisme Dan Pendidikan. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/multikulturalisme-dan-pendidikan.pdf  (diakses tanggal 15 Desember 2011).
Nurhayati. 2009. Jadikan Nilai-Nilai Bangsa Sebagai Pembangkit Semangat Kerja. http://lib.ugm.ac.id/data/pubdata/pusta/nurhayati.pdf  (diakses tanggal 15 Desember 2011).
Syaifuddin, A. Fedyani.2006. Membbumikan Multikulturalisme Di Indoensia dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI. Vol. II. No. 1. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.

Ngomong Filsafat (2)


Oleh, Oejank Indro
-( 1 )-
Sosialisme

Istilah ‘sosialisme’ selalu identik dengan Karl Marx. Padahal cita-cita sosialisme sudah dicetuskan jauh sebelum Marx mulai memikirkan revolusi proletariat. Euhemeros dan Jambulos (sekitar abad ke-5 SM) mendeskripsikan sebuah ‘negara matahari’ dimana segala-galanya – termasuk para isteri – dimiliki bersama. Hal ini kemudian menjadi dasar cerita ilmiah yang di utarakan Marx dan Engels. Jika kita mengacu pada terminology ‘sosialisme’, kata ‘sosialisme’ muncul di Prancis pada tahun 1830, begitu juga istilah ‘komunisme’. Pada awalnya dua kata tersebut memiliki penafsiran yang sama, tetapi komunisme menjelma sebagai paham radikal dari sosialisme – menuntut penghapusan total hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan komunis itu bukan dari kebaikan pemerintah, melainkan semata-mata dari perjuangan kaum terhisap sendiri (Frans. 2003:20).
Tradisi pemikiran tentang sosialisme sendiri bisa dikatakan cukup panjang dan identik dengan kaum buruh. Berbeda dengan konsep konservatif dan liberal, konsep pemikiran sosialisme ini bertumpu pada kesadaran dan kebersamaan. Herman Dunker mengatakan bahwa sejarah sosialisme dimulai bersamaan dengan sejararah umat manusia – meskipun sebagian filsuf berpendapat faham ini dicetuskan di Prancis dan Inggris. Namun, perkembangan paham ini mendapat tempat di Jerman. Pernyataan tentang prinsip-prinsip dari kaum sosialis internasional adalah , “Tidak ada sosialisme tanpa kebebasan. Sosialisme hanya bisa direalisasikan  lewat demokrasi, dan demokrasi hanya bisa terampungkan oleh sosialisme.” Dari prinsip dasar tersebut – dan pemahaman tentang ‘kebebasan’, sosialisme yang demokratis secara jelas membedakan dirinya dengan rezim-rezim totaliter, terutama dari apa yang dinamakan dengan demokrasi-demokrasi rakyat dari blok timur.
Bentuk-bentuk paham sosialisme merupakan cerminan dari tokoh dan manusia yang terlibat saat itu – utopis, marxis, fabianis, dan sebagainya. Dalam pandangan penulis, memahami sosialisme tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan terbatas pada pertimbangan-pertimbangan moral semata. Dengan kata lain, menyederhanakan pendangan bahwa sosialisme itu baik dan kapitalisme itu jahat – berdasarkan orientasi prinsip dasar manusia dan syarat-syarat objektif hokum-hukum ditengah-tengah mereka.

***
-( 2 )-
Fundamentalisme

Memahami antara ‘fundamentalisme’ dan ‘radikalisme’ merupakan hal yang tidak mudah . Kedua istilah tersebut memiliki prinsip dasar yang – seolah-olah – sama, yaitu sama-sama ingin memperjuangkan apa yang ia yakini secara radikal dan menolak paham-paham lainnya yang bertentangan. Agaknya istilah ‘fundamentalisme’ di Indonesia dapat diidentikkan dengan terorisme. Aksi teror bisa jadi merupakan ‘ekspresi’ dari golongan fundamentalis yang membenarkan aksi kekerasan atas nama agama. Paham ini memang tidak dapat dijauhkan dari kepercayaan dan ke-Tuhan-an. Tidak jarang aktivitas penganut paham ini menimbulkan keresahan terhadap golongan lainnya – liberalis, sosialis, dan kapitalis.
Perkembangan paham fundamentalis sejatinya beriringan dengan perkembangan agama-agama itu sendiri. Beberapa faktor dapat memicu ‘pembenaran’ kekerasan dan tindakan anarkis atas nama agama. Pertama, adalah karena fungsi agama sebagai ideologi. Dalam fungsi ini agama kemudian menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni sejauh mana tatanan sosial di anggap sebagai representasi religius, yang dikehendaki Tuhan. Lebih jauh fungsi perekat ini, disisi lain juga bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutamamenyangkut masalah ketidak adilan dan kesenjangan yang selalu menjadi topik yang panas dan acapkali melahirkan tindak kekerasan.
Kedua, adalah fungsi agama yang juga sebagai faktor identitas. Agama secara spesifik dapat di identikkan kepemilikannya pada manusia atau kelompok manusia tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos dan sebagainya. Hal ini lebih mengkristal lagi bila dikaitkan dengan identitas lainnya seperti seksual (jenis kelamin), etnis (kesukuan), bangsa dan sebagainya. Pertentangan etis, kelompok, bangsa dan sebagainya sangat mungkin melahirkan kekerasan dan di sini agama sangat mungkin untuk turut diikutsertakan juga.
Ketiga, fungsi agama sebagai legitimasi etis hubungan antar manusia. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme ini bukan sakralisasi hubungan antar manusia, tetapi suatu hubungan antar manusia yang mendapat dukungan dan legitimasi dari agama.
Mengenai peran agama, sebenarnya terdapat 2 konsep penting yang dimiliki setiap agama yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan manusia lain yakni; (a) fanatisme dan, (b) toleransi. Kedua hal ini harus dipraktekkan manusia dalam pola yang seimbang. Sebab ketidakseimbangan diantara keduanya akan melahirkan problem tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat agama tertentu bisa menjebak mereka ke dalam pengaburan makna ajaran agama meraka, selain bahwa eksistensi agama mereka juga akan melemah karena dalam situasi ini orang terkadang tidak lagi bangga dengan agama yang mereka peluk.
Agama bisa saja akhirnya hanya menjadi sekedar ritual; karena agama yang bersangkutan sama derajat dan kebenarannya dengan agama lainnya yang ada. Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Inilah juga yang terkadang menjadi biang lahirnya konflik dan kekerasan atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan melahirkan truth claim (klaim kebenaran) yang bersifat eksklusif. Selanjutnya, eksklusivisme akan memandang penganut agama lain sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika ia menjadi mayoritas. Dalam kondisi mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung melakukan cara-cara pemaksaan dan kekerasan atas nama agama kepada kelompok lainnya.

***

-( 3 )-
Feminisme

Dalam pemahaman penulis, feminisme merupakan pemikiran yang sia-sia. Kenapa? Karena tokoh feminis sendiri tidak mengetahui parameter ‘adil’ dan ‘sama’ sebagai dasar mereka menuntut persamaan gender. Bahkan dalam kilas balik sejarah, tokoh seperti Lady Mary Wortley  Montagu dan Marquis de Condorcet belum bisa menjawab pertanyaan tersebut. Mereka berpandangan bahwa perempuan itu seringkali dirugikan dan menjadi ‘manusia kedua’ di muka bumi. Sayangnya, jika dihadapkan pada persoalan dasar tentang kebutuhan wanita, pengikut paham feminisme ini terdiam dan tidak mau mengakui bahwa mereka berbeda – dan memang harus dibedakan.
Dari berbgai sumber yang diolah penulis, penulis menemukan bahwa ada beragam mazhab feminisme dengan latar belakang dan perspektif berbeda. Hal ini menarik, karena feminis mulai menyadari kelemahan dasar paham ini. Namun, hal ini berdampak pada lahirnya bub-aliran di tubuh femisme itu sendiri. seperti feminisme radikal, feminisme liberal, dan feminis sosialis. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki pendekatan dan strategi dalam melegitimasi ketidakadilan gender. Keadan inilah yang menjadikan feminisme merupakan sebuah paradigma ‘open source’, responsif, dan non-dogmatis.

***

-( 4 )-
R. A. Kartini

RA. Kartini umumnya disebut-sebut sebagai salah seorang di antara tokohtokoh terkemuka wanita feminis dari zamannya, dan ia memang tokoh feminis dari masa awal yang paling terkenal. Kartini (1879-1904) adalah anak kedua (wanita) dari Bupati Jepara, sebuah daerah di pantai utara Jawa. Ayahnya seorang yang berpikiran maju, karenanya mengizinkan anak-anak wanitanya mengikuti pendidikan sekolah dasar bersama-sama dengan kakak-kakak mereka. Suatu hal seluruh bangsa bumiputera untuk bangun dan memasuki “jaman baru”. Oleh karena itu tidak mengherankan jika hari lahirnya, 21 April, selalu dirayakan oleh organisasi-organisasi wanita dewasa ini. Adanya kaum wanita di sekolah-sekolah, universitas-universitas, atau angkatan bersenjata, biasanya disebut-sebut sebagai bukti tentang taraf emansipasi yang telah dicapai oleh wanita Indonesia. Pada tahun 1964 Kartini dinyatakan sebagai “Pahlawan Nasional”. Dalam kenyataannya kepahlawanan Kartini tersebut juga diakui oleh bangsa-bangsa lain
Secara nyata, perjuangan Kartini merupakan perjuangan yang halus dan berbudi luhur. Penentangan yang ia lakukan terbungkus dengan rapi di dalam surat-surat dan prestasinya pada masa penjajahan belanda. Karena status darah biru-nya, Kartini dengan mudah mendapatkan akses untuk melakukan ‘diplomasi kecil’ kepada penjajah dan perlahan menempuh jalan kemanusiaan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan Indonesia.
  
 ___________
Daftar Rujukan:

Akhyar. 2008. Fundamentalisme Dalam Agama Islam Dan Kristen. http://www.uinsuska.info/ushuluddin/attachments/073_Akhyar%20Artikel%20Fundamentalisme%20Agama.pdf diakses 10 Desember 2011.

Fuad, Nur Ahmad. 2011. Interrelasi Fundamentalisme Dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer: Survei Pendahuluan. http://blog.sunan-ampel.ac.id/nurfuad/files/2011/04/interelasi-ideologi-gerakan-islam-kontemporer.pdf. diakses 10 Desember 2011.

Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal.14-20.
Suharto, Edi. 2007. Teori Femnis Dan Pekerjaan Sosial. http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/YogyaFEMINISMESocialWork.pdf  diakses 9 Desember 2011.
Suraji. 2006. Kesetaraan Gender Di Indonesia Ditinjau Dari Teori-Konsep Dan Pendekatan Sosiologi Hukum.  http://pa-wonogirikab.go.id/static/file/Makalah_Suraji.pdf diakses 10 Desember 2011.


RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...