Monday, August 30, 2010

Tridharma Perguruan Tinggi Vs Tut Wuri Handayani

Mang Oejank Indro

Dalam esei kali ini, penulis sengaja ingin membedah, mengkaji, dan mengkodifikasikan essensi tridharma perguruan tinggi (PT) dan pembelajaran. Namun, esei ini didasarkan pada sudut pandang penulis selama “hidup” dalam lingkungan akademik perguruan tinggi. Sekitar bulan November – saya lupa tangalnya – tahun lalu, penulis mendapatkan kesempatan memberikan wacana tentang PT di Sekolah Tinggi Teknik Qomaruddin Gresik (STTQ Gresik). Kebetulan tema yang penulis sampaikan tidak jauh berbeda dengan tugas yang disodorkan panitia PSA-MABIM FIB UI 2010 kali ini.
Perguruan tinggi, menurut KH. A. Sounhadji, M.A, Ph. D, adalah sebagai pusat intelektual dan pusat kebudayaan. Kerr. C, 1982 dalam “The use of University” memaparkan bahwa terjadi transformasi – perguruan tinggi – yang semula sebagai masyarakat master dan mahasiswa sehingga dinamakan universitas modern. Yaitu PT yang secara sadar berorientasi kepada penciptaan pengetahuan baru, yang mendorong tumbuhnya penelitian-penelitian kreatif dan bermanfaat. Pada tahun yang sama. Thellin, 1982, mengartikan PT adalah pusat pengembangan disiplin ilmu melalui program pasca sarjana, pelaksanaan seminar-seminar ilmiah, penelitian dan pengembangan, konsorium dan penerbitan jurnal-jurnal professional. Perguruan tinggi sebagai saga organisasi, suatu pemahaman kolektif terhadap aktifitas-aktifitas yang unik, didasarkan atas sejarah, norma-norma, tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di dalam dan diluar negeri. Pendapat terakhir dikemukakan oleh Clark, 1986. Dari beberapa definisi tentang perguruan tinggi diatas, essensi tridharma perguruan tinggi – dengan tiga butir poin – di Indonesia sudah mewakili beberapa definisi diatas. Apa sebenarnya tridharma perguruan tinggi?
Tridharma Perguruan Tinggi
Dekade awal di abad-21, essensi tridharma PT, menurut penulis, masih mendapat tempat yang teduh di dalam “gerbong-gerbong” PT di Indonesia. Pemerintah sebagai lokomotif – dengan M. Nuh sebagai masinisnya – terbukti stabil melintasi rel pendidikan nasional. Selanjutnya rangkaian “gerbong” PT akan memasukli stasiun intelektualitas global. Lalu bagaimana essensi tridharma PT mampu menjadi “amunisi” menghadapi gempuran percaturan intelektualitas global? Siapkah SDM hasil “cetakan” PT nasional melakukan action? PT dan komponennya – termasuk mahasiswa, dosen, ilmuan, dan pemerintah – adalah jawabannya. Generasi muda bangsa adalah essensi objektif dari tridharma PT.
Dimulia dari tujuan pendidikan berdasarkan PP No. 60 tahun 1999 tentang PT pasal 1. Tujuan pendidikan yang pertama adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Kedua, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian serta mengupayahkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Tridharma perguruan tinggi (PT) memiliki tiga mata rantai. Pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Menurut Perkins, 1986, menjelaskan bahwa tridharma PT mengacu pada tiga aspek pendidikan – yang cenderung memasuki wilayah pendidikan dan pengajaran. Tiga aspek tersebut adalah aquicition (penggalian), transmission (pemindahan), dan application (penerapan). Ketiganya akan memiliki ketergantungan dan keterkaitan yang melengkapi.
Membicarakan tridharma PT, penulis lebih senang memosikan diri sebagai pelaku kebudayaan pendidikan – bukan berarti harus menjadi budayawan. PT sebagai multiversitas memang menjadi warehouse pendidikan yang didalamnya hidup masyarakat akademisi dan non akademisi. Di dalamnya bisa kita temukan mahasiswa, ilmuan, professional, non-akademis dan administrator. Selain itu, di dalam warehouse pendidikan juga berisikan corak dan “belang” kegiatan akademis. Dimulai dari pengajaran, memajukan pengetahuan, mengembangkan metode penelitian, memperluas kesadaran berbangsa, pengabdian kepada masyarakat. Mungkin masyarakat akademik dan non-akademik dewasa ini, dengan kegiatan di atas, belum semuanya bersinergi dengan baik. Prof. H. A. R. Tilaar menyodorkan “manifesto pendidikan nasional” untuk kembali melahirkan asas Tut Wuri Handayani. Dr. Willy Toisuta mengatakan bahwa kekacauan manajemen pendidikan nasional dewasa ini disebabkan pemerintah yang tidak mempunyai platform pendidikan nasional. Hal ini bisa jadi karena minimnya kesinambungan – juga evaluasi – dari kebijakan-kebijakan yang ada. Pejabat baru berarti kebijakan yang baru.


Tut Wuri Handayani
Pedagogik libertarian yang “diracik" Prof. H.A.R Tilaar merupakan prinsip yang “fitrah” dari asas pendidikan kita, Tut Wuri Handayani. Sehingga posisi pendidik sebagai pembimbing – yang selalu didepan – akan bergeser menjadi pendorong dari belakang, yaitu Tut Wuri Handayani itu sendiri.
Pendidikan tinggi yang digerakkan mahasiswa, menurut pandangan oppositional pedagogy tulisan Gregory Jay dan Gerald Graft, A Critique of Critical Pedagogy – yang saya kutip dari buku Prof. H.A.R Tilaar – menyatakan bahwa pendidikan tinggi mengusung harapan yang besar untuk menghasilkan manusia-manusia – maksudnya mahasiswa – Indonesia yang dapat berdiri sendiri, yang tidak dapat dihanyutkan tanpa arah oleh arus globalisasi atau kepentingan-kepentingan korporasi internasional.
Sudah saatnya mahasiswa Indonesia “ngaji” Tut Wuri Handayani serta memosisikan pendidikan didalam tradisi, tanpa harus berpandangan tradisional. Salah satu dari prinsip inside out yang ditawarkan Prof. H.A.R Tilaar mungkin wajib ditanamkan dalam jiwa mahasiswa Indonesia sekarang juga, yaitu proses belajar yang dialogis dengan menggunakan prinsip Tut Wuri Handayani yang mencakup tiga wilayah garapan; life sciences, natural sciences & technoloy, dan information sciences. Ketiga “lahan” garapan tersebut akan subur jika generasi mudanya mampu mengelola dengan baik. Namun “lahan” garapan tersebut akan puso apabila generasi penerusnya tidak mampu mengolah dengan baik. Dengan demikian, hardcore mahasiswa Indonesia yang Indonesia akan lahir.
Bahan Rujukan :
Tilaar, “Manifesto Pendidikan Nasional.” Dalam Artikel Untuk Negeri. Tabloid Prospek 2010. Surabaya: Global-Indo Media.
Riki, 2006. “Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah”, Portal Berita Perpustakaan UPI.
Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Fauzan S, Iswanda, 2009. “Modul Pengenalan Perguruan Tinggi.” Gresik:STTQ Gresik Perss.

Hardcore Mahasiswa yang Indonesia

Mahasiswa menyandang predikat sebagai Agent of Change, Agent of Control, dan Iron Stock. Peranan mahasiswa dalam mengawal Indonesia yang demokratis memang tidak terbantahkan. Sebagai pewaris bangsa dan negara, mahasiswa selalu menjadi yang terdepan dalam hal berkoar-koar menentang kebijakan pemerintah yang dianggap nyeleweng.
Sejak peristiwa reformasi 1998, sebaiknya kita merenungkan kembali asas pendidikan nasional yang tercantum dalam logo Departemen Pendidikan Nasional, yaitu “Tut Wuri Handayani.” Tentu semoyan tersebut mempunyai relevansi dalam nyawa pendidikan Indonesia. Menurut Prof. H.A.R Tilaar, Tut Wuri Handayani merupakan prinsip dari pedagogik libertarian, yaitu menggugah kesadaran mahasiswa untuk dapat memilih dan bertanggung jawab terhadap perkembangan pribadi maupun dalam mewujudkan tujuan bersama dari kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Sebagai remaja – juga mahasiswa, saya merasakan sendiri dentuman akibat dari lahirnya Aufklärung (pencerahan) – biasa diterjemahkan sebagai enlightenment project (proyek pencerahan) – di Benua Amerika sejak abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19. Aufklärung mencetak manusia dengan “bumbu” yang modern.

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...