Sunday, October 31, 2010

Oki Setiana Dewi : Mahasiswa Adalah Pembangun Bangsa

-->
Dua hari sebelum wawancara dengan Oki Setiana Dewi, saya melanyangkan sms singkat kepadanya. “Maaf, kak Oki, saya Oejank dari media magang SUMA UI. Bisa ketemu untuk wawancara..?” seperti itu kira-kira sms saya.
Jum’at (29/10/10) siang, saya dan rekan saya, Dimas, akhirnya berkesempatan untuk ngobrol ngalor-ngidul dengan Oki seputar mahasiswa dan Triharma perguruan tinggi.

Wednesday, October 20, 2010

Meluruskan Paradigma Pendidikan: Fungsi Mencerdaskan Bangsa

-->
Tinjauan Kritis: Pendidikan Indonesia, Riwayatmu Kini. (Suara Mahasiswa edisi 26 th. 2010, p 15-21)

 Setelah membaca dan memahami tulisan yang berjudul “Pendidikan Indonesia, Riwayatmu Kini” pada majalah Suara Mahasiswa (SUMA) UI edisi 26/XVII/2010. Sebenarnya penulis tidak terpuaskan dengan ending (bagian akhir) berita. Dua bentuk krisis pendidikan, yang dipaparkan seorang sosiolog pendidikan, Paulus Wirutomo, merupakan krisis yang sudah menjadi public secret (rahasia umum) di tengah-tengah masyarakat dua dekade terakhir. Sudut pandang narasumber – menurut kajian penulis pribadi – masih menitikberatkan pada pemerintah dan lembaga pendidikan.

Zunia & Yenia

 
-->       Terik matahari menyengat lapisan sial bumi hingga menerobos masuk ke lapisan sima. Disudut kota Gresik dengan selimut asap dan polusi yang semakin menebal, dua gadis remaja berjalan pelan, lemas. Fatamorgana berair-air terbiaskan di sepanjag jalanan menuju gubuk kecil di sebelah sungai yang berhias sampah dan limbah industri. Hari ini memang panas, memang Gresik selalu panas.
Gubuk tua itu semakin jelas terlihat, kedua remaja putri ini semakin dekat dengan rumahnya. Rumah peninggalan mendiang ayah mereka yang meninggal dua tahun silam. Di dalam gubuk tua itu seorang perempuan rentah terlihat serius membuat gorengan. Disampingnya terdapat kompor, wajan, dan alat penggorengan lainnya.
“Assalamu’alaikum…!” Yenia mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam..” sahut perempuan rentah dari dalam gubuk tua tersebut.
Yenia segera berlari mencari sang ibu, Halimah, dan mencium tangannya seperti biasa. Sedang kakaknya, Zunia, masih terlihat sibuk membereskan sepatu miliknya. Zunia kemudian merangsek masuk, meletakkan tas sekolah dan mencium tangan ibunya.
Halimah menjadi single parent sejak suaminya meninggal akibat kecelakaan di tempat kerja. Dia harus berjuang sendirian melawan kerasnya belantara kehidupan dan menyekolahkan kedua putrinya.
Saat ini Zunia sedang mempersiapkan diri mengikuti ujian nasional, yang akan dilaksanakan seminggu lagi. Sedangkan Yenia masih duduk di kelas satu SMA. Mereka menempuh pendidikan di SMA yang sama.

*
            Malam ini suasana sangat  hening, nyanyian belalang tak terdengar. Kemericik air sungai yang keruh dan penuh dengan sampah menambah hening dan dinginnya malam ini. Sepoi angin lembut menghantam tubuh Yenia yang sedang bergulat dengan pekerjaan rumah dari gurunya. Besok adalah giliran Yenia mempresentasikan hasil karya tulisnya. “Aduh….besok aku bisa nggak yo?” Ujar Yenia.
“Kalau kamu yakin dan berusaha dengan keras yo pasti bisa..” Halimah menggerutu dengan nada sedikit halus. “Masa kalah sama mbakmu?” tambahnya.
            “Tapi angel e Bu!”  Sahut Yenia.
            Disaat Yenia sedang sibuk dengan pekerjaan rumahnya, Zunia sedang asyik melihat-lihat brosur dan katalog berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta. Zunia sangat ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Matanya tak ingin melwatkan sekecil informasi yang tertera di brosur dan katalog di depannya. Tangannya membalik-balikkan brosur dan katalog itu seraya berkata “ Bu, aku ingin kulyah di Malang.” Halimah yang bersandar di dekat pintu depan rumah hanya mendesah, dahinya mengrenyit. “Ibu kepingin kamu kulyah, nak..tapi…!!”
            “Tapi apa bu..?” Zunia memotong.
            “Ibu nggak bisa janji, tapi ibu akan berusaha..”
            “Aku juga akan berusaha bu!”
            Dari teras rumah Yenia berteriak dengan nada sedikit bercanda. “Kak, lek kulyah gak usah pacaran yo…!!” Zunia dan ibunya tertawa. “Wis ndang seleaikan PRmu!” Halimah berkata dengan melempar tatapan gemes pada Yenia.
            Malam itu pun berlalu dengan segala kesunyian – desiran jangkrik dan belalang yang terdengar – menyelimuti mereka dalam tidur.

*

            Sebulan telah berlalu. Zunia mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi (SNMPTN). Universitas Negeri Malang (UM) menjadi pilihan utamanya. Dia berencana mengambil jurusan Pendidikan Matematika. Memang matematika adalah kegemarannya. Selama di SMA, nilai matapelajaran ini bisa di katakan perfect. Namun untuk masuk PTN tidak bisa hanya mengandalkan satu mata pelajaran saja – karena ada enam matapelajaran yang di ujikan. Apalagi di universitas yang memiliki reputasi seperti UM.
            Tiga hari lagi pengumuman kelulusan ujian nasional SMA. Perasaan harap-harap cemas menghantui setiap peserta ujian. Mereka lulus atau mengulang?. Zunia berharap masuk ke 10 besar daftar peraih nilai UNAS se-Kabupaten. Karena jika dia mampu bercokol di sepuluh besar, kemungkinan untuk masuk ke PTN favorit akan lebih mudah.
            Sore hari sebelum pulang sekolah, Zunia berencana untuk berkumpul bersama teman-temannya di sekolah – Yenia sudah meninggalkan sekolah dua jam yang lalu. Zunia dan teman-temannya berkerumun di bawah rindang pohon jambu yang tepat berdiri di depan kelas Zunia. Sepertinya mereka sedang asik membicarakan program beasiswa dari Departemen Agama.
“Eh, awakmu nggak ikut beasiswa dari Depag ta rek?” Tanya Mami.
“Itu kan buat yang rangkingnya masuk 3 besar selama lima semester!” Sahut Mpok Diah.
Yo coba wae dulu, siapa tahu masuk. Seleksinya kan nggak cuma sekali tok!Zun, awakmu dapet kan?”
Iyo, tapi kira bisa nggak yo?” Zunia berkata pelan. Dahinya mengerenyit.
Lagakmu, Mosok Juara Kelas nggak bisa?” Celoteh Arin yang sedang sibuk memainkan telepon Nokia terbarunya.
“Heh, Ojo ngejek…!” Zunia menggerutu.
Yo wis lah, ayo dilakoni wae..!!” Sahut Mami.

            Dari arah selatan sekolah terdengar kumandang adzan ashar. Zunia dan teman-temannya bergegas meninggalkan sekolah. Hari ini sangat melehkan. Besok Zunia harus menyelesaikan persyaratan administrasi untuk beasiswa Depag. Beberapa berkas persyaratan harus di rampungkan hari itu juga. Sebelum melenggang pulang ke rumah, Zunia dan Mami harus mondar-mandir menyelesaikan berkas-berkas yang belum rampung.
            Matahari mulai mnejauh dan tenggelam di ujung barat bumi. Langkah kaki Zunia terlihat letih, tenaganya sepertinya sudah habis. Raut wajah yang ceria sudah mulai runtuh. Seperti daun pohon jati yang berjatuhan di musim kemarau.
Apes tenan dino iki rek!Kapan yo uripku wenak, dadi wong sugeh, iso berangkatno Ibu nang Mekkah!” Zunia menyumpah. Ransel berisi buku dan perlengkapan sholat seolah menambah beban dan fikirannya yang sedang kacau minggu-minggu ini.
            Tikungan terakhir telah dia lewati. Rumah mungil yang kurang proporsional semakin terlihat. “Baru pulang Zun?” Tegur seorang tetangga, Bu Ruqayah.
“Ya, Bu!Banyak urusan. Itu sepeda motor siapa bu?” Tanya Zunia sambil menunjuk sepeda motor Mio yang terparkir di depan rumanya.
“Sebaiknya kamu cepet pulang nduk…!”
            Zunia berjalan tergopoh-gopoh. Membelah sunyi malam itu. Fikirannya memutar memori tentang ketakutan dan kegelapan. Tak sempat melepas sepatu. Dia menuju ke sebuah kamar berpintu sehelai kain hijau tua. Matanya terbelalak, jantungnya bedeguk kencang, sekkujur tubuhnya gemetar. Dilihatnya seorang ibu yang belasan tahun mecurahkan milyaran tetes kasih dan sayang terkapar tidak berdaya, tubuhnya dingin, matanya terpejam, nafasnya terengah-engah, terserang stroke. Yenia tersedu, tangannya dengan erat memegang tangan kiri ibunya. Zunia terpaku, hanya berdiri dengan baluran air mata dengan seragam sekolah yang lusuh. Seketika itu perasaan yang menakutkan mengitari dimensi bawah sadarnya. Zunia masuk dalam sebuah kegalauan, pingsan.
           
****

            Dini hari sebelum subuh, embun mulai menjalar dan membentuk bintik-bintik air di dedaunan. Ayam-ayam belum terdengar saling berkokok. Bulan pun masih terlihat gagah di langit Gresik saat itu. Fajar pertama mulai terlihat. Yenia masih pulas di kursi sebelah kanan tubuh tua rentah di atas tempat tidur. Kepalanya bersandar di tempat tidur. Kedua tangannya masih menggenggam tangan ibunya. Wajahnya sangat lusuh. Di ruang depan Zunia masih tergolek lemas. Seragam sekolahnya masih melekat di tubuhnya. Jilab putihnya tergeletak di meja bambu beserta segelas air putih dan obat sakit kepala.
            Suasana sangat hening dan sepi pagi itu. Sebentar lagi adzan subuh akan meretas kedalam kesunyian. Pak Ampong, salah seorang tetangga semalaman tidur di teras rumah ibu Halimah terjaga dari tidur pendeknya. Kumandang adzan sudah berlalu. Dia membangunkan Yenia.
“Yen..Yen..Sudah subuh, ndang sholat disek..!” Tutur Pak Ampong.
Mata Yenia perlahan terbuka. Meliuk-liukkan tubuh, menguap sesekali.
Yo, Pak. Matursuwon.”
Mbakmu ora ditangeni ta?”
“Biar kulo sing nangeni, Pak. Bapak ke masjid dulu, jama’ah.”
Yo wis, sabar yo nduk.” Pak Ampong bergegas menuju ke masjid untuk shalat subuh berjamaah.

            Yenia mengamati sang ibu sejenak. Air matanya menetes – membasahi pipinya. Tangan kanannya yang halus membelai wajah ibunya. Jari-jarinya mulai menari di keriput wajah sang ibu. Tak ingin berlama-lama dengan suasana itu, Yenia beranjak dari kursi yang telah semalaman menjadi tempat tidurnya.  Dia beranjak ke ruang depan. Tempat sang kakak, Zunia, tergeletak belum sadarkan diri. mungkin Zunia tertidur pulas setelah jatuh pingsan? Bisa jadi. Zunia kemarin memang disibukkan dengan lusinan urusan – beasiswa untuk kulyah – yang harus diselesaikan hari itu juga.
Mbak… mbak, Bangun. Sudah subuh.” Yenia berusaha membangunkan. “Badan Mbak panas. Panas banget.” Mimik Yenia mulai khawatir. Dia bergegas mengambil handuk dan mendidihkan air.
“Yen..Yenia..awakmu dimana?” Zunia berteriak merintih.
“Aku di dapur mbak, masak air.” Sahut Yenia.
            Beberapa menit kemudian Yenia berjalan ke ruang tengah. Kedua tangannya menenteng bak berisi air hangat dan handuk. Dia berniat meletakkannya di kening sang kakak. Zunia sudah meninggalkan ruang tengah. Dia tersipu di kamar tidur ibunya. Air atanya mulai turun. Diciumnya kedua tangan ibunya. Yenia bersandar – dengan bak berisi air hangat dan handuk di tangannya – di pintu kamar. Terharu. Dia berjalan mendekati kakanya. “Ibu kemaren terjatuh di belakang rumah, saat mengangkat jemuran ikan asin.” Ucap Yenia
“Kenapa harus ibu yang angkat jemuran? Biasanya kamu kan?” Zunia menggerutu dengan nada tinggi.
“Aku sudah berusaha nahan ibu, mbak.!Tapi..”
“Tapi opo?bilang aja awakmu males. Emang gak iso di jagakno!Sekarang lihat..Ibu sakit. Gara-gara kotrek iki..!!” Zunia menyela dengan berapi-api. Yenia hanya diam. Memang dia tidak salah. Waktu itu dia sedang menyapu halaman depan rumah.
Wis nduk..wis.. Ojo tukaran wae. Ora apik. Ibu gak apa-apa.” Halimah tersadar dan berusaha melerai mereka. Yenia segera mendekati Halimah. “Adikmu nggak salah, Ibu sing maksa. Eh, malah jatuh. Untung ono Pak Ampong, ibu langsung digendong ke kamar. Waktu adikmu mijet – mijet tangan ibu, ibu wis ora eling mane. Pas melek kok anake ibu sing ayu-ayu iki malah tukaran.”
“Sepurane bu, Yenia mbalelo. Ora iso jogo ibu.” Yenia meminta maaf kepada ibunya.
“Zunia juga bu. Maaf yo bu.”
“Sudah ibu maafin. Kalian yo harus saling minta maaf.” Halimah melirik kedua anaknya. Tak lama kemudian mereka memeluk sang ibu yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Kesedihan mulai memudar. Dan mereka melaksanakan sholat subuh berjama’ah di kamar Halimah, didamping tempat tidurnya.

****

            Terik matahari pagi ini terhalang mendung. Tanaman di halaman rumah masih dihiasi butiran-butiran embun. Berbeda dengan kemarin. Cuaca hari ini cukup bersahabat. Di dapur Yenia sibuk mengolah bahan yang ada untuk sarapan. Dia memang pandai memasak. Di ruang tengah Zunia terlihat serius mempersiapkan berkas untuk mengikuti seleksi beasiswa Departemen Agama (Depag). Hari ini adalah tes tahap kedua. Tes kali ini adalah tes potensi akademik. Peserta harus mengerjakan soal-soal dan dilanjutkan dengan wawancara. Zunia sadar bahwa ini tidak mudah. Apalagi semalaman dia hanya tertidur – pingsan.
            Mendung semakin pekat. Zunia bersiap berangkat ke sekolah. Sepatu dan seragam sekolah sudah melekat rapi di tubuh moleknya. Diraihnya ransel kusut berwarna abu-abu tua yang penuh dengan buku-buku pelajaran. Dia harus berjalan 1,5 km untuk sampai di sekolah. Disaku baju sekolahnya terselip uang Rp.5.000,00. Keinginan dan kemauan kuat yang tertanam dalam dirinya membuatnya tidak mudah putus asa – meskipun ia sering meneteskan air mata.
            Gerbang sekolah yang berwarnan hijau tua menyambut Zunia yang kalut. Dua orang satpam sekolah menyapanya genit, seperti biasa. Ruang kelas XII IPA 2 menjadi tujuan pertamanya. Kelas yang berada tepat di bawah tangga sekolah kelas perempuan. Beberapa peserta seleksi sudah datang lebih awal. Zunia segera bergabung dengan mereka. Buku dan soal-soal mulai dipelajarinya satu persatu. Beberapa detik kemudian terdengar suara dari pengeras sekolah. “Peserta seleksi harap memasuki ruangan. Ujian akan segera dimulai.” Belum sempat Zunia mempelajari satu halaman pelajaran biolgi, dia harus memasuki kelas. 210 menit kedepan adalah waktu yang berat baginya. Kesempatan mendapatkan beasiswa Depag tidak datang dua kali.
            Butiran hujan mulai turun. Peserta seleksi mulai bersiap-siap mengerjakan soal. Zunia yang duduk di bangku kedua dari kanan depan mulai memanjatkan doa dan sholawat. Petugas seleksi mulai membagikan soal. Seleksi kali ini dibagi menjadi dua sesi, kemampuan umum dan kemampuan IPA. Seperti seleksi pada umumnya memang. Zunia memulai dengan basmalah. Dijarinya terselip pensil 2B, penghapus dan pengaris tertata rapi di atas bangku sebelah kanan. Dahinya mengerenyit. Sesekali dia memainkan pensilnya. Serius. Dia terlihat santai. Sepertinya semua soal bisa di selesaikan dengan mudah. Matanya mulai melirik ke jam dinding di atas papan tulis. “Alhamdulillah, wis selesai.” Ujarnya pelan. “Waktu kurang 15 menit.” Seoarnag petugas ujian mengingatkan. Zunia memeriksa kembali lembar jawabannya. Mengoreksi kembali torehan pensilnya di lembar jawaban.
            Hanya 30 menit waktu istirahat sebelum beranjak ke sesi kedua, pengetahuan IPA. Kemampuan Zunia di bidang IPA memang tidak diragukan lagi. Dalam hati kecilnya dia yakin akan dengan mudah melahap soal-soal nanti. Keyakinan ini begitu menggebu-gebu. Waktu untuk istirahat pun dia habiskan di kantin sekolah. Menyantap jajanan kesukaanya. Dia tidak suka sarapan. Padahal ginjal kanannya bermasalah. Semenjak kepergian ayahnya, pola makan Zunia mulai ngawur. Sifat keras kepalanya selalu mengungguli perasaan dan logikanya.
            Langit Gresik tak kunjung cerah. 7 menit lagi sesi kedua dimulai. Peserta seleksi mulai memasuki ruangan, begitu juga dengan Zunia. Sekarang perut mungilnya sudah terisi. Semangatnya berapi-api. Bell tanda dimulainya seleksi sesi kedua berdentang. Dua orang petugas ujian memasuki ruangan. Lembar jawaban dan soal dibagikan. Suasana tiba-tiba hening. Tidak seperti sesi pertama. Gemericik hujan mendramatisir suasana. Zunia mulai mengerjakan soal. Pelajaran biologi ia kerjakan terlebih dahulu. Gemuruh petir mulai bersahutan. Memecah konsentrasi peserta seleksi. Tempat duduk Zunia tepat si sebelah jendela – berhadapan dengan parkir kendaraan – dengan pandangan bebas. Sambaran kilat membuatnya miris. Konsentrasinya mulai pudar. Pikirannya kembali memutar kejadian-kejadian mengerikan. Kematian sang ayah dan peristiwa kemarin malam. Matanya mulai berkunang-kunang, pandangannya kabur, tangan dan kakinya gemetar, wajahnya pucat berkeringat.
            Sudah 70 menit sejak petugas ujian membagikan soal. Hanya 15 soal – hanya pelajaran biologi – yang mampu dia jawab. Matanya mulai berair, pipi lembutnya mulai basah. Isak tangis mulai terdengar lirih. Pandangan mata peserta lain perlahan tertuju kepadanya. Waktu tidak bisa berhenti dan tak akan berhenti. 10 menit sebelum ujian selesai. Zunia masih terperangkap dalam halusinasi kegelapannya sendiri. Tubuhnya mulai dingin. Perlahan matanya mulai gelap. “Zunia…, sudah selesai?” Tanya seorang petugas ujian. Zunia belum bisa mengendalikan pikirannya, kaget. “Sudah, Bu.” Jawabnya setngah sadar. “Silahkan keluar, semoga berhasil dan sukses.” Seorang petugas mengakhiri ujian sesi kedua. Semua peserta bergegas keluar kelas. Zunia tercengang heran. Dia bingung sendiri.bukankah dia sedang asik mengerjakan soal-soal biologi? Bukankah seharusnya dia dibangku kedua kanan depan kelas?. Zunia belum bisa mengingat apa yang sudah terjadi. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil.
“Zun, kamu nggak apa-apa kan?” Tanya mami sambari mendekati Zunia.
Ora ngerti Mi, Aku bingung.” Jawab Zunia. Mereka berjalan menuju bangku dekat pohon jambu. Mami membersihkan rembesan air hujan dengan sapu tangannya. Mpok Diah berlari menghampiri mereka. “Yo opo rek, awakmu sukses ta?” Sapanya dengan senyumannya khas. Mereka bertiga sudah lama bersahabat. Sejak kelas X, mereka selalu saling berebut mendapatkan gelar bintang pelajar. Mami yang paling sering menyabet gelar itu.
“Zun, awakmu kok nggak semangat gitu, keno opo?” Tanya Mpok Diah.
Iyo, koyok wong linglung.” Mami menambahkan.
“Aku gak ngerti Mi, Mpok. Rasane aku kudu semaput. Aku kayaknya nggak lulus rek.” Zunia menjawab lemas.
Ojo ngomong ngono. Ditunggu aja besok pengumumannya. Nanti gak lulus tenan lho.” Ujar Mami yang sibuk memainkan HP CDMA miliknya.
Iyo Zhun, Positive thinking wae!Aku tak tuku jajan sek yo.” Tambah Mpok Diah, dia kemudian berjalan menjauhi mereka, menuju kantin yang berdiri di sebelah selatan gedung Yayasan.
“Aku tadi cuma ngerjain 15 soal kemampuan IPA Mi, aku nggak sadar. Bingung banget.” Mata Zunia mulai berkaca.
“Lho, kok bisa? Kamu kan jago di pelajaran IPA. Ada masalah dirumah?”
“Ibuku terserang stroke.”
Opo? Stroke! Awakmu nggak guyonan kan?”
Gawe opo aku guyon!”
“Sabar Zun, sabar. Sing kuat.” Mami merangkul sahabatnya. Kepala Zunia bersandar dipundaknya. Tangan kanannya menepuk lembut punggung Zunia. Air matanya pun tak kuasa ditahan. Jatuh ke pipi tembem-nya.

            Mendung di langit Gresik menjauh. Hilang. Sayup-sayup angin menerpa tubuh tiga orang remaja perempuan. Mereka adalah Zunia, Mami, dan Mpok Diah. Siang ini Mpok Diah dan Mami berencana nyambangi ibu Zunia. Mereka berjalan kaki. Sepeda motor Mami dititipkan di sekolah. Jalanan ke rumah Zunia cukup becek, basah – setiap kali musim hujan – dan sunyi. Tidak banyak rumah penduduk di kanan dan kiri jalan. Pohon kapuk, mangga, dan jati adalah pembatas jalan yang diberikan oleh alam.




-->
-->

Tuesday, October 19, 2010

Paragraf Untuk Yenia (Part-I)

-->    Melihat ke depan, perasaan hambar memayungi deras nafsu kasih dan sayangku. Seringkali aku terlihat tegar dan gagah membusungkan dada, tak pelak banyak mata seolah bersorak tak curiga. Sepertinya bukan aku yang mereka agungkan. Sementara satu dari banyak kaum Hawa mulai menggelitik setiap urat dan sendi yang terpasang di ragaku. Saat ini aku bukan siapa-siapa, rahasia Allah SWT memang selalu indah dan akan tetap indah. Satu dari rahasia-Nya untukku adalah Yenia.
Rasanya baru kemarin ibuku mengalirkan air susunya ke dalam kerongkonganku. Ternyata hampir 20 tahun sudah berlalu, dan aku masih sebuah parasit di tubuh dua orang yang mulai ku lihat rapuh.
 Berpaling dari segelas susu hangat, dengan suara petikan gitar, dan mulai halusinasiku merangkak perlahan kembali ke perempuan yang mendekati titik kesempurnaan bagiku. Tinggal menunggu sebuah keajaiban, aku sejenak berdiskusi dengan Allah SWT, meyakinkan hati dan menimang-nimang gayuh “Ar-Rahmah dan Mawaddah” ku untuk permpuan ini.
 Lama detik dan menit sudah aku habiskan dengan-Nya. Separuh malam ternyata sudah terbuang. Pekik kalbu mengintai dari belakang, mendekap perlahan, sepertinya banyak malaikat yang menemaniku malam ini. Haus dan hangat cahaya seorang ‘Hawa’ ini selalu diputar berulangkali, bak film kartun yang diminati anak-anak. Tanpa gundah-gusar, aku nikmati saja permainan ini bersama malaikat-malaikat cinta-Nya. Sengaja atau tidak, sihir atau mukjizat, bagiku perempuan ini pasti dan benar istimewa.
 Hanya dengan mataku menikmati lesung pipi dan garis matanya, butuh lebih dari dua cangkir kopi, dua bungkus rokok, dua pensil hitam dan 3 buku tulis untuk merangkai kalimat-kalimat dan sajak-sajak keindahan serta kehidupanku. Terlalu sering antologi kehidupanku beriringan bersama senyum dan halus suaranya, dengan nada-nada centil yang khas. Dengan yakin nuraniku menempatkan Yenia di peringkat teratas klasmen sementara liga asmaraku. Selalu batinku menganalogikan butiran dan percikan kamoflase jernihnya cinta, dengan oase-oase kesejukan, mungkin belum sampai fase antiklimaks. Namun, sirinenya telah jelas terdengar ke penjuru dunia.

Mang Oejank Indro

Monday, October 18, 2010

Berdagang Birahi : Pubersitas Agama, Tradisi, dan Budaya

 Agama adalah way of live manusia secara universal. Mustahil setiap agama tidak mengatur tindak-tanduk kebutuhan manusia, terutama seks. Islam menjelaskan dengan Al Qur’an dan Sabda Rosulullah SAW, Kristen dengan Al Kitab, dan kitab Manu bagi agama Buhda/Hindu.[1] Tradisi dan budaya ketimuran manusia Indonesia juga menjadi “corong” perkembangan khazanah seks manusianya. Selain itu, Multikulturalisme yang “megah” di tanah Indonesia juga menyiratkan banyak tafsiran tentang seks yang Indonesiana.  Dinamika manusia Indonesia di atas tentu tidak sekongyong-konyong[2] membentuk suatu social group. Dalam ranah ini, peran “pubersitas” agama, tradisi, budaya turut andil dan menjalankan fungsinya di dalam pembentukan kelompok sosial masyrakat. Bagaimana agama, tradisi, dan budaya merekonstruksi dan memengaruhi (influencing) seksualitas manusia Indonesia?
Manusia sebagai mahkluk sosial selamanya akan “dipenjarakan” dalam tiga dimensi kelompok seksualitas yang berbeda[3]. Pertama, kelompok yang berlebih-lebihan, yaitu kelompok yang mendewakan seks. Msyarakat dunia mengenal dengan “sindiran” masyarakat free sex. Kelompok ini berpandangan bahwa seks sangat bebas – tanpa batasan etika dan keagamaan – dengan orientasi seks sebatas kepuasan semata. Kedua, kelompok yang teledor, kelompok yang “menajiskan” seks – meskipun mereka tidak terlepas dari kebutuhan seksual – dan menganggap seks lebih kotor dari buang air. Pandangan mereka tentang seks hanya terpaku pada dogma agama secara subtantif-ekslusif, sehingga “ngelantur” dari realitas dan tuntunan keagamaan (syari’at). Ketiga, kelompok garis tengah, adalah kelompok yang memahami seks dengan kesadaran fundamental terhadap agama secara utuh – terutama agama Islam dan Kristen. Kelompok ini membredel kajian keagamaan, tradisi, dan budaya secara jernih dan rasional.
Agama, tradisi, dan budaya memiliki kaitan erat dalam pembentukan struktur kognisi masyrakat. Seks sebagai kebutuhan dasar manusiawi terlalu gamblang jika dijelaskan dengan pendekatan psikologis-biologis. Kajian dari angle agama, tradisi, dan budaya Indonesia merupakan “ritme” baru dalam menengahi problematika “perdagangan birahi” yang meroket setiap saat. Ketiga kelompok masyrakat di atas adalah hasil “pubersitas” agama, tradisi, dan budaya yang benar-benar Indonesia. Adalah tugas manusia itu sendiri dalam hal menentukan the way of life mereka untuk menghindari dampak fisik, perilaku dan kejiwaan, sosial, ekonomi, dan tentunya dampak keagamaan.
Mang Oejank Indro @2010

Daftar rujukan :
Asror, Mustaghfiri. 1983. Emansipasi Wanita: Dalam Syari’at Islam. Semarang : CV. Toha Putra.
Jusuf, Ahmad. 2006. Bahaya Seks Bebas pada Remaja: Tinjauan Aspek Medis dan Islam. Dalam makalah yang disajikan pada penyuluhan bagi siswa-siswi SMA Diponegoro Rawamangun Jakarta, Kamis 28  Desember 2006
Tolani, Tofan, 2004. Cinta, Seks dan Problematikanya, Jakrta: Restu Agung.
Umar, Abu, B. 2006. Sutra Ungu, Solo : Rumah Dzikir.


[1] A. Mustaghfiri : 1983
[2] Mendadak, tiba-tiba.
[3] Abu Umar : 2006

Tuesday, October 5, 2010

Menyoal Identitas Kultural Wong Gresik

 
-->
Di usianya yang ke-523 tahun, Gresik sedang berhadapan dengan model ekonomi kapitalistik yang merasuki struktur kognisi masyarakatnya. Akibatnya, muncul fenomena – fenomena seputar motif komersial yang menjadi variabel – yang dominan – dalam berekspresi, tradisi yang dihardik hanya sebatas komoditi, dan hilangnya ekspresi kesenian yang inheren dengan konteks sosial. Keadaan ini memaksa Wong Gesik untuk melepas ‘jilbab’ kesucian – dengan corak islami – yang semula diekspresikan atas dasar motivasi tradisi atau spiritual dengan motivasi baru, yaitu motivasi komersial. 

Tradisi dan budaya Gresik yang dalam makna ‘original-nya’ dihelat dan disajikan berdasarkan waktu, tempat, dan suasana tertentu, sekarang mulai ‘tunduk’ pada pesanan pasar. Orientasi kesenian, tradisi, dan budaya yang lekat dengan nilai dan norma yang otentik mulai bergeser. Wong Gresik yang familiar dengan tradisi Cangkruk’an sekarang perlahan menjadi ‘budak’ lokomotif industrialisasi – yang tidak pernah berhenti melintasi rell kapitalisme.

Yang menjadi pertanyaan dari fenomena diatas adalah – meminjam istilah Agus M. S – bagaimanakah prosesnya sehingga kapitalisasi tradisi dan budaya menjadi suatu fenomena yang masif. Dan bahkan telah dilegitimasi oleh kebijakan pemerintah daerah demi kepentingan pragmatis-ekonomi? Mampukah Wong Gresik mempertahankan pondasi otentisitas tradisi mereka dalam gempuran ekspansi kapitalisme industri? Dari gejolak tersebut, bisa dipastikan pengaruh kapitalisme industri akan merubah cara pandang individu terhadap eksistensi tradisi lokal Wong Gresik. Dan proses itu sudah dimulai sejak lama. 

Kehadiran industrialisasi melahirkan problematika dan implikasi yang sangat kompleks. Wong Gresik mulai menjadi ‘lakon’ – kapitalisme – yang diorganisir secara efisien mirip sebuah mesin. Mereka cenderung rasional dalam menganalisa lingkungan dan permasalahan yang dihadapinya. Kecenderungan tersebut – disadari atau tidak – telah melonggarkan pertalian Wong Gresik dengan tradisi – termasuk budaya dan kesenian – dan perubahan stratifikasi sosial secara progresif. Perubahan stratifikasi sosial tersebut bisa kita koreksi pada tatanan sosial berdasarkan peranan dan keberhasilan dalam berkarir, bukan dari golongan darah atau ningrat lagi. 

Fenomena lain yang timbul akibat kapitalisme industri adalah ambruknya otensitas Wong Gresik. Derasnya arus modernisasi dan kapitalisme industri merupakan ‘aktor’ nomor wahid atas lahirnya fenomena tersebut. Kota Pudak ini sekarang tidak hanha harus ‘bertarung’ dengan masalah lingkungan yang mengenaskan. Gresik mulai kehilangan idenitas sebagai kota santri – mungkin akan lebih cocok dengan sebutan kota kapitalis-industrialis. Pemilukada yang digadang-gadang akan diulang pertengahan Agustus 2010 mendatang adalah buki perubahan sistematis struktur kognisi Wong Gresik yang baru.  

Keberadaan ‘duo’ lembaga pemerintahan dengan ‘senandung’ birokrasi kebudayaan dan pariwisata sering melihat tradisi Wong Gresik – meminjam istilah Agus MS lagi – sebagai produk, bukan sebagai produksi. Sehingga ‘kapal’ tradisi yang berlayar tidak mampu berkembang. Apalagi gagasan untuk menciptakan suasana inspiratif. Yang tertanam di benak ‘mereka’ sepenuhnya adalah kepentingan eksploitasi, ekonomis, dan hegemoni – belaka. Identitas Wong Gresik sedang ditelanjangi Wong Gresik sendiri. Mau dibawa kemana identitas kultural Wong Gresik asli?


Mang Oejank Indro
(Iswanda F. S.)
Arek Gresik Asli
Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia

Tridharma Perguruan Tinggi Vs Tut Wuri Handayani

-->
Mang Oejank Indro

            Dalam esei kali ini, penulis sengaja ingin membedah, mengkaji, dan mengkodifikasikan essensi tridharma perguruan tinggi (PT) dan pembelajaran. Namun, esei ini didasarkan pada sudut pandang penulis selama “hidup” dalam lingkungan akademik perguruan tinggi. Sekitar bulan November – saya lupa tangalnya – tahun lalu, penulis mendapatkan kesempatan memberikan wacana tentang PT di Sekolah Tinggi Teknik Qomaruddin Gresik (STTQ Gresik). Kebetulan tema yang penulis sampaikan tidak jauh berbeda dengan tugas yang disodorkan panitia PSA-MABIM FIB UI 2010 kali ini.
            Perguruan tinggi, menurut KH. A. Sounhadji, M.A, Ph. D, adalah sebagai pusat intelektual dan pusat kebudayaan. Kerr. C, 1982 dalam “The use of University” memaparkan bahwa terjadi transformasi – perguruan tinggi – yang semula sebagai masyarakat master dan mahasiswa sehingga dinamakan universitas modern. Yaitu PT yang secara sadar berorientasi kepada penciptaan pengetahuan baru, yang mendorong tumbuhnya penelitian-penelitian kreatif dan bermanfaat. Pada tahun yang sama. Thellin, 1982, mengartikan PT adalah pusat pengembangan disiplin ilmu melalui program pasca sarjana, pelaksanaan seminar-seminar ilmiah, penelitian dan pengembangan, konsorium dan penerbitan jurnal-jurnal professional. Perguruan tinggi sebagai saga organisasi, suatu pemahaman kolektif terhadap aktifitas-aktifitas yang unik, didasarkan atas sejarah, norma-norma, tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di dalam dan diluar negeri. Pendapat terakhir dikemukakan oleh Clark, 1986. Dari beberapa definisi tentang perguruan tinggi diatas, essensi tridharma perguruan tinggi – dengan tiga butir poin – di Indonesia sudah mewakili beberapa definisi diatas. Apa sebenarnya tridharma perguruan tinggi?

Tridharma Perguruan Tinggi
            Dekade awal di abad-21, essensi tridharma PT, menurut penulis, masih mendapat tempat yang teduh di dalam “gerbong-gerbong” PT di Indonesia. Pemerintah sebagai lokomotif – dengan M. Nuh sebagai masinisnya – terbukti stabil melintasi rel pendidikan nasional. Selanjutnya rangkaian “gerbong” PT akan memasukli stasiun intelektualitas global. Lalu bagaimana essensi tridharma PT mampu menjadi “amunisi” menghadapi gempuran percaturan intelektualitas global? Siapkah SDM hasil “cetakan” PT nasional melakukan action? PT dan komponennya – termasuk mahasiswa, dosen, ilmuan, dan pemerintah – adalah jawabannya. Generasi muda bangsa adalah essensi objektif dari tridharma PT.
            Dimulia dari tujuan pendidikan berdasarkan PP No. 60 tahun 1999 tentang PT pasal 1. Tujuan pendidikan yang pertama adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Kedua, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian serta mengupayahkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
            Tridharma perguruan tinggi (PT) memiliki tiga mata rantai. Pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Menurut Perkins, 1986, menjelaskan bahwa tridharma PT mengacu pada tiga aspek pendidikan – yang cenderung memasuki wilayah pendidikan dan pengajaran. Tiga aspek tersebut adalah aquicition (penggalian), transmission (pemindahan), dan application (penerapan). Ketiganya akan memiliki ketergantungan dan keterkaitan yang melengkapi.
Membicarakan tridharma PT, penulis lebih senang memosikan diri sebagai pelaku kebudayaan pendidikan – bukan berarti harus menjadi budayawan. PT sebagai multiversitas memang menjadi warehouse pendidikan yang didalamnya hidup masyarakat akademisi dan non akademisi. Di dalamnya bisa kita temukan mahasiswa, ilmuan, professional, non-akademis dan administrator. Selain itu, di dalam warehouse pendidikan juga berisikan corak dan “belang” kegiatan akademis. Dimulai dari pengajaran, memajukan pengetahuan, mengembangkan metode penelitian, memperluas kesadaran berbangsa, pengabdian kepada masyarakat. Mungkin masyarakat akademik dan non-akademik dewasa ini, dengan kegiatan di atas, belum semuanya bersinergi dengan baik. Prof. H. A. R. Tilaar menyodorkan “manifesto pendidikan nasional” untuk kembali melahirkan asas Tut Wuri Handayani. Dr. Willy Toisuta mengatakan bahwa kekacauan manajemen pendidikan nasional dewasa ini disebabkan pemerintah yang tidak mempunyai platform pendidikan nasional. Hal ini bisa jadi karena minimnya kesinambungan – juga evaluasi – dari kebijakan-kebijakan yang ada. Pejabat baru berarti kebijakan yang baru.



Tut Wuri Handayani
Pedagogik libertarian yang “diracik" Prof. H.A.R Tilaar merupakan prinsip yang “fitrah” dari asas pendidikan kita, Tut Wuri Handayani. Sehingga posisi pendidik sebagai pembimbing – yang selalu didepan – akan bergeser menjadi pendorong dari belakang, yaitu Tut Wuri Handayani itu sendiri.
Pendidikan tinggi yang digerakkan mahasiswa, menurut pandangan oppositional pedagogy tulisan Gregory Jay dan Gerald Graft, A Critique of Critical Pedagogy – yang saya kutip dari buku Prof. H.A.R Tilaar – menyatakan bahwa pendidikan tinggi mengusung harapan yang besar untuk menghasilkan manusia-manusia – maksudnya mahasiswa – Indonesia yang dapat berdiri sendiri, yang tidak dapat dihanyutkan tanpa arah oleh arus globalisasi atau kepentingan-kepentingan korporasi internasional.
Sudah saatnya mahasiswa Indonesia “ngaji” Tut Wuri Handayani serta memosisikan pendidikan didalam tradisi, tanpa harus berpandangan tradisional. Salah satu dari prinsip inside out yang ditawarkan Prof. H.A.R Tilaar mungkin wajib ditanamkan dalam jiwa mahasiswa Indonesia sekarang juga, yaitu proses belajar yang dialogis dengan menggunakan prinsip Tut Wuri Handayani yang mencakup tiga wilayah garapan; life sciences, natural sciences & technoloy, dan information sciences. Ketiga “lahan” garapan tersebut akan subur jika generasi mudanya mampu mengelola dengan baik. Namun “lahan” garapan tersebut akan puso apabila generasi penerusnya tidak mampu mengolah dengan baik. Dengan demikian, hardcore mahasiswa Indonesia yang Indonesia akan lahir.

Bahan Rujukan :
Tilaar, “Manifesto Pendidikan Nasional.” Dalam Artikel Untuk Negeri. Tabloid Prospek 2010. Surabaya: Global-Indo Media.
Riki, 2006. “Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah”, Portal Berita Perpustakaan UPI.
Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Fauzan S, Iswanda, 2009. “Modul Pengenalan Perguruan Tinggi.” Gresik:STTQ Gresik Perss.

Politik Bisnis Media

-->
DARI manakah asal bisnis media lahir? Karena apakah, bisnis media dinilai buruk? Jika pers adalah cermin masyarakat, apakah hanya pers yang bertanggungjawab? Beberapa pertanyaan itu kini menjadi wacana hangat di masyarakat.
Dengan judul yang seram, Budhiana misalnya menulis "The End of Journalism?" (Pikiran Rakyat, 21/7/02). Isinya menyertakan sejumlah fakta bahwa media sudah kelewatan menggerecoki masyarakat. Berita-beritanya kerap bikin mual. Teknologi informasi (internet) malah menjerumuskan masyarakat. Tiap orang jadi bebas kirim berita tanpa asas jurnalisme.
Beruntung, Budhiana--yang juga wartawan dan akan sekolah S2 di Ilmu Komunikasi, masih menyimpan harap. Ia masih menulis, 'mudah-mudah tidak', pada pertanyaan 'apakah ini berarti akhir dari jurnalisme?'
Pendapat itu seperti menyambung pandangan lain yang diungkap pengamat pers. Leo Batubara (Kompas, 20/7/02), tokoh SPS (Serikat Penerbit Suratkabar), juga menyorot hal yang sama. Dengan bahasan yang beda, ia menyoal bisnis media. Ia menolak tudingan kolusi modal bermain di arena media (dalam kaitan RUU Penyiaran). Sebab, pertumbuhan pers Indonesia masih minim. Perlu ada suntikan modal, lewat 'kepemilikan silang media' atau konvergensi. Industri koran yang senen-kemis jumlah tirasnya, mewah harganya, akan terbantu.
Akan halnya nanti akan muncul kepemilikan media yang cuma itu-itu saja orangnya, adalah hal lain. Sebab, 'kelompok-kelompok profesional seperti Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Majalah Tempo, Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka dan Bali Post akan menjadi lokomotif pertumbuh pers dengan bersinergi dalam konvergensi media (cetak tebal dari penulis) .... merekalah yang memiliki knowledge journalists dan staf bisnis yang profesional'.

Sunday, October 3, 2010

Reformasi: Implikasi dan Konfusionisme Pancasila

-->
Judul : “Pancasila Kembali”
Pengarang : A. Mustofa Bisri
Data Publikasi : Koridor Renungan A. Mustofa Bisri, Jakrta: PT. Kompas Media Nusantara, II:77, 2010, xii+248
Ambruknya kerajaan otoriter Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan titik balik “nafas” Pancasila. Bukan sekadar ideologi dan dasar negara semata. Lebih jauh, Pancasila adalah citra bangsa dan negara. Seandainya sejak kelahiran Pancasila sudah dikeloni[1] dengan penalaran dan studi mendalam terhadap kelima sila – seperti nilai religius, nilai moral, nilai kebangsaan, nilai keadilan, dan nilai kebersamaan dan toleransi – secara apa adanya dalam masyarkat; penulis meyakini isu tentang kredibilitas ke-Pancasila-an tidak akan “diperkosa” di rezim reformasi saat ini. Realita yang bisa kita simak dengan panca indera adalah kondisi ketuhanan negeri kita yang seperti tanpa Tuhan atau “kebanyakan tuhan.” Negeri yang mengaku berkemanusiaan yang adil dan beradab sekarang antipati tentang prikemanusiaan. Persatuan Indonesia lebih tenar sebagai “banyolan” semata. Rakyat bingung mencari perwakilan mereka. Keadilan sosial yang bagi beberapa orang saja.[2] Selentingan pertanyaan dari beberapa orang, “Masih hidupkah kau, Pancasila?”
Pancasila merupaka padanan konsep Konfusionisme yang dikembangkan Prof. Tu Wei Ming untuk pengembangan pendidikan moral di Singapura. Konsep Konfusionisme juga dikenal di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong. Pancasila, menurut Prof. H.A.R Tilaar, merupakan suatu doktrin yang terbuka karena Pancasila merupakan suatu way of life. Di sinilah terdapat kesamaan prespektif keterbukaan Pancasila dan Konfusionisme. Prof. H.A.R Tilaar menegaskan bahwa pancasila dapat menerima nilai-nilai Konfusionis yang – mungkin – mempunyai nilai universal yang dapat di adopsi oleh masyarakat kita, masyarakat Pancasila.
Reformasi sebagai gerbang menuju demokrasi Indonesia secara tidak langsung “membunuh” Pancasila. Beberapa pengamat mengatakan bahwa demokrasi-lah yang melunturkan “harga” pancasila ditengah peradaban bangsa Indonesia. Zaman orde baru, berdialog dan berdiskusi tentang pancasila adalah hal yang “najis.” Gus Mus – panggilan akrab A. Mustofa Bisri – menjelas-kembangkan pengertian pancasila harus berdasarkan sila-sila di dalamnya. Bahkan Pancasila harus menjadi pembahasan rutin mengenai ideologi-ideologi lain yang, meminjam istilah Gus Mus, “mengepung” Pancasila. Dengan demikian, “pemerkosaan” terhadap Pancasila tidak digilir oleh pemegang kekuasaan. Selain itu, pemahanan konsep Konfusionisme sebagai pendamping Pancasila harus segera “dikawinkan” sebagai salah satu alternatif “penyembuhan” bangsa dari pandemi dasar-dasar kenegaraan dan ideologi.
Mang Oejank Indro @ 2010
Daftar rujukan :
Bisri. A. Mustofa, 2010. Koridor Renungan A. Mustofa Bisri, Jakrta: PT. Kompas Media Nusantara.
Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Program Dasar Pendidikan Tinggi UI. 2010. Modul MPK Terintegrasi. Jakarta: Badan Penerbit FK Universitas Indonesia.

[1] Di damping atau di kawal.
[2] A. Mustofa Bisri, 2010: 80

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...