Tinjauan
Kritis: Pendidikan Indonesia, Riwayatmu
Kini. (Suara Mahasiswa edisi 26 th. 2010, p 15-21)
Kekacauan
pendidikan Indonesia, menurut Dr. Willy Toisuta, disebabkan tidak adanya platform pendidikan nasional. Melihat
realita yang berkembang sejak awal kemerdekaan menunjukkan bahwa pergantian
menteri, berarti pergantian sistem pendidikan. Asumsi Fuad Abdillah, pakar
filsafat pendidikan, tentang manusia cerdas adalah manusia yang mampu
menyeimbangkan komponen intellectual
Quontient (IQ), Emotional Quontient
(EQ), dan Spiritual Quontient (SQ)
menurut penulis tidak akan berhasil tanpa adanya Self Quontient (kecerdasan diri). Prof. Komaruddin Hidayat, rektor
Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam sebuah kolom
di harian Kompas – saya lupa tanggalnya – menerangkan bahwa manusia Indonesia
dewasa ini lebih “agresif” meningkatkan kemampuan IQ, EQ, dan SQ daripada
meningkatkan pemahaman terhadap diri
mereka sendiri (self interest).
Hakikat Pendidikan
Prof.
H.A.R Tilaar mengatakan “Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ditakdirkan
untuk memperoleh pendidikan.” Pendidikan dalam garis dasar bukanlah pengikatan,
tapi pembebasan manusia sebagai makhluk yang bebas dan berakal-budi. Pendidikan
bukanlah khasanah yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan tertentu. Kesadaran
manusia terekam dari proses – menemukan – ke-mausiaan-nya. Proses ini terjadi
dalam habitus kemanusiaan[1]
yang melibatkan alam sekitar, keluarga, budaya sekitar, sampai pada tatanan
kenegaraan.
Pendidikan
manusia sebagai makhluk yang bebas, menurut Prof. H.A.R Tilaar, mecakup tiga
tahapan. Masa kanak-kanak tujuan pendidikan ditentukan oleh orang tua (what the family wants). Memasuki tingkat
remaja pendidikan ditentukan oleh anggota masyarakat tempat tinggalnya (what the society wants). Terkhir adalah
masa kedewasaan pendidikan yang ditentukan oleh pribadi itu sendiri (what she or he wants).
Ketetapan
tujuan pendidikan dalam suatu negara bisa ditafsirkan sebagai hasil mufakat
(kesepakatan bersama). Mufakat merupakan keputusan yang wajib dipatuhi semua
anggota masyrakat suatu negara. Paradigma yang berkembang di masyarakat
Indonesaia adalah “kekauan” terhadap dogma pendidikan yang dimulai sejak era Ki
Hadjar Dewantara. Masyrakat lebih legawa dengan “membekukan” dogma daripada
membiarkan dogma tersebut bergerak dinamis untuk penyempurnaan, bukan
pembatasan.
Bersambung...
Mang Oejank Indro @ 2010
[1] Richard
Harker cs (ed.), (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Pengantar Komprehensif kepada
Pemikiran Pierre Bordieu (terjemahan, 2005).
No comments:
Post a Comment