Gubuk tua itu semakin jelas terlihat, kedua remaja putri ini semakin dekat dengan rumahnya. Rumah peninggalan mendiang ayah mereka yang meninggal dua tahun silam. Di dalam gubuk tua itu seorang perempuan rentah terlihat serius membuat gorengan. Disampingnya terdapat kompor, wajan, dan alat penggorengan lainnya.
“Assalamu’alaikum…!” Yenia mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam..” sahut perempuan rentah dari dalam gubuk tua tersebut.
Yenia segera berlari mencari sang ibu, Halimah, dan mencium tangannya seperti biasa. Sedang kakaknya, Zunia, masih terlihat sibuk membereskan sepatu miliknya. Zunia kemudian merangsek masuk, meletakkan tas sekolah dan mencium tangan ibunya.
Halimah menjadi single parent sejak suaminya meninggal akibat kecelakaan di tempat kerja. Dia harus berjuang sendirian melawan kerasnya belantara kehidupan dan menyekolahkan kedua putrinya.
Saat ini Zunia sedang mempersiapkan diri mengikuti ujian nasional, yang akan dilaksanakan seminggu lagi. Sedangkan Yenia masih duduk di kelas satu SMA. Mereka menempuh pendidikan di SMA yang sama.
*
Malam ini suasana sangat hening, nyanyian belalang tak terdengar. Kemericik air sungai yang keruh dan penuh dengan sampah menambah hening dan dinginnya malam ini. Sepoi angin lembut menghantam tubuh Yenia yang sedang bergulat dengan pekerjaan rumah dari gurunya. Besok adalah giliran Yenia mempresentasikan hasil karya tulisnya. “Aduh….besok aku bisa nggak yo?” Ujar Yenia.
“Kalau kamu yakin dan berusaha dengan keras yo pasti bisa..” Halimah menggerutu dengan nada sedikit halus. “Masa kalah sama mbakmu?” tambahnya.
“Tapi angel e Bu!” Sahut Yenia.
Disaat Yenia sedang sibuk dengan pekerjaan rumahnya, Zunia sedang asyik melihat-lihat brosur dan katalog berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta. Zunia sangat ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Matanya tak ingin melwatkan sekecil informasi yang tertera di brosur dan katalog di depannya. Tangannya membalik-balikkan brosur dan katalog itu seraya berkata “ Bu, aku ingin kulyah di Malang .” Halimah yang bersandar di dekat pintu depan rumah hanya mendesah, dahinya mengrenyit. “Ibu kepingin kamu kulyah, nak..tapi…!!”
“Tapi apa bu..?” Zunia memotong.
“Ibu nggak bisa janji, tapi ibu akan berusaha..”
“Aku juga akan berusaha bu!”
Dari teras rumah Yenia berteriak dengan nada sedikit bercanda. “Kak, lek kulyah gak usah pacaran yo…!!” Zunia dan ibunya tertawa. “Wis ndang seleaikan PRmu!” Halimah berkata dengan melempar tatapan gemes pada Yenia.
Malam itu pun berlalu dengan segala kesunyian – desiran jangkrik dan belalang yang terdengar – menyelimuti mereka dalam tidur.
*
Sebulan telah berlalu. Zunia mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi (SNMPTN). Universitas Negeri Malang (UM) menjadi pilihan utamanya. Dia berencana mengambil jurusan Pendidikan Matematika. Memang matematika adalah kegemarannya. Selama di SMA, nilai matapelajaran ini bisa di katakan perfect. Namun untuk masuk PTN tidak bisa hanya mengandalkan satu mata pelajaran saja – karena ada enam matapelajaran yang di ujikan. Apalagi di universitas yang memiliki reputasi seperti UM.
Tiga hari lagi pengumuman kelulusan ujian nasional SMA. Perasaan harap-harap cemas menghantui setiap peserta ujian. Mereka lulus atau mengulang?. Zunia berharap masuk ke 10 besar daftar peraih nilai UNAS se-Kabupaten. Karena jika dia mampu bercokol di sepuluh besar, kemungkinan untuk masuk ke PTN favorit akan lebih mudah.
Sore hari sebelum pulang sekolah, Zunia berencana untuk berkumpul bersama teman-temannya di sekolah – Yenia sudah meninggalkan sekolah dua jam yang lalu. Zunia dan teman-temannya berkerumun di bawah rindang pohon jambu yang tepat berdiri di depan kelas Zunia. Sepertinya mereka sedang asik membicarakan program beasiswa dari Departemen Agama.
“Eh, awakmu nggak ikut beasiswa dari Depag ta rek?” Tanya Mami.
“Itu kan buat yang rangkingnya masuk 3 besar selama lima semester!” Sahut Mpok Diah.
“Yo coba wae dulu, siapa tahu masuk. Seleksinya kan nggak cuma sekali tok!Zun, awakmu dapet kan ?”
“Iyo, tapi kira bisa nggak yo?” Zunia berkata pelan. Dahinya mengerenyit.
“Lagakmu, Mosok Juara Kelas nggak bisa?” Celoteh Arin yang sedang sibuk memainkan telepon Nokia terbarunya.
“Heh, Ojo ngejek…!” Zunia menggerutu.
“Yo wis lah, ayo dilakoni wae..!!” Sahut Mami.
Dari arah selatan sekolah terdengar kumandang adzan ashar. Zunia dan teman-temannya bergegas meninggalkan sekolah. Hari ini sangat melehkan. Besok Zunia harus menyelesaikan persyaratan administrasi untuk beasiswa Depag. Beberapa berkas persyaratan harus di rampungkan hari itu juga. Sebelum melenggang pulang ke rumah, Zunia dan Mami harus mondar-mandir menyelesaikan berkas-berkas yang belum rampung.
Matahari mulai mnejauh dan tenggelam di ujung barat bumi. Langkah kaki Zunia terlihat letih, tenaganya sepertinya sudah habis. Raut wajah yang ceria sudah mulai runtuh. Seperti daun pohon jati yang berjatuhan di musim kemarau.
“Apes tenan dino iki rek!Kapan yo uripku wenak, dadi wong sugeh, iso berangkatno Ibu nang Mekkah!” Zunia menyumpah. Ransel berisi buku dan perlengkapan sholat seolah menambah beban dan fikirannya yang sedang kacau minggu-minggu ini.
Tikungan terakhir telah dia lewati. Rumah mungil yang kurang proporsional semakin terlihat. “Baru pulang Zun?” Tegur seorang tetangga, Bu Ruqayah.
“Ya, Bu!Banyak urusan. Itu sepeda motor siapa bu?” Tanya Zunia sambil menunjuk sepeda motor Mio yang terparkir di depan rumanya.
“Sebaiknya kamu cepet pulang nduk…!”
Zunia berjalan tergopoh-gopoh. Membelah sunyi malam itu. Fikirannya memutar memori tentang ketakutan dan kegelapan. Tak sempat melepas sepatu. Dia menuju ke sebuah kamar berpintu sehelai kain hijau tua. Matanya terbelalak, jantungnya bedeguk kencang, sekkujur tubuhnya gemetar. Dilihatnya seorang ibu yang belasan tahun mecurahkan milyaran tetes kasih dan sayang terkapar tidak berdaya, tubuhnya dingin, matanya terpejam, nafasnya terengah-engah, terserang stroke. Yenia tersedu, tangannya dengan erat memegang tangan kiri ibunya. Zunia terpaku, hanya berdiri dengan baluran air mata dengan seragam sekolah yang lusuh. Seketika itu perasaan yang menakutkan mengitari dimensi bawah sadarnya. Zunia masuk dalam sebuah kegalauan, pingsan.
****
Dini hari sebelum subuh, embun mulai menjalar dan membentuk bintik-bintik air di dedaunan. Ayam-ayam belum terdengar saling berkokok. Bulan pun masih terlihat gagah di langit Gresik saat itu. Fajar pertama mulai terlihat. Yenia masih pulas di kursi sebelah kanan tubuh tua rentah di atas tempat tidur. Kepalanya bersandar di tempat tidur. Kedua tangannya masih menggenggam tangan ibunya. Wajahnya sangat lusuh. Di ruang depan Zunia masih tergolek lemas. Seragam sekolahnya masih melekat di tubuhnya. Jilab putihnya tergeletak di meja bambu beserta segelas air putih dan obat sakit kepala.
Suasana sangat hening dan sepi pagi itu. Sebentar lagi adzan subuh akan meretas kedalam kesunyian. Pak Ampong, salah seorang tetangga semalaman tidur di teras rumah ibu Halimah terjaga dari tidur pendeknya. Kumandang adzan sudah berlalu. Dia membangunkan Yenia.
“Yen..Yen..Sudah subuh, ndang sholat disek..!” Tutur Pak Ampong.
Mata Yenia perlahan terbuka. Meliuk-liukkan tubuh, menguap sesekali.
“Yo, Pak. Matursuwon.”
“Mbakmu ora ditangeni ta?”
“Biar kulo sing nangeni, Pak. Bapak ke masjid dulu, jama’ah.”
“Yo wis , sabar yo nduk.” Pak Ampong bergegas menuju ke masjid untuk shalat subuh berjamaah.
Yenia mengamati sang ibu sejenak. Air matanya menetes – membasahi pipinya. Tangan kanannya yang halus membelai wajah ibunya. Jari-jarinya mulai menari di keriput wajah sang ibu. Tak ingin berlama-lama dengan suasana itu, Yenia beranjak dari kursi yang telah semalaman menjadi tempat tidurnya. Dia beranjak ke ruang depan. Tempat sang kakak, Zunia, tergeletak belum sadarkan diri. mungkin Zunia tertidur pulas setelah jatuh pingsan? Bisa jadi. Zunia kemarin memang disibukkan dengan lusinan urusan – beasiswa untuk kulyah – yang harus diselesaikan hari itu juga.
“Mbak… mbak, Bangun. Sudah subuh.” Yenia berusaha membangunkan. “Badan Mbak panas. Panas banget.” Mimik Yenia mulai khawatir. Dia bergegas mengambil handuk dan mendidihkan air.
“Yen..Yenia..awakmu dimana?” Zunia berteriak merintih.
“Aku di dapur mbak, masak air.” Sahut Yenia.
Beberapa menit kemudian Yenia berjalan ke ruang tengah. Kedua tangannya menenteng bak berisi air hangat dan handuk. Dia berniat meletakkannya di kening sang kakak. Zunia sudah meninggalkan ruang tengah. Dia tersipu di kamar tidur ibunya. Air atanya mulai turun. Diciumnya kedua tangan ibunya. Yenia bersandar – dengan bak berisi air hangat dan handuk di tangannya – di pintu kamar. Terharu. Dia berjalan mendekati kakanya. “Ibu kemaren terjatuh di belakang rumah, saat mengangkat jemuran ikan asin.” Ucap Yenia
“Kenapa harus ibu yang angkat jemuran? Biasanya kamu kan ?” Zunia menggerutu dengan nada tinggi.
“Aku sudah berusaha nahan ibu, mbak.!Tapi..”
“Tapi opo?bilang aja awakmu males. Emang gak iso di jagakno!Sekarang lihat..Ibu sakit. Gara-gara kotrek iki..!!” Zunia menyela dengan berapi-api. Yenia hanya diam. Memang dia tidak salah. Waktu itu dia sedang menyapu halaman depan rumah.
“Wis nduk..wis .. Ojo tukaran wae. Ora apik. Ibu gak apa-apa.” Halimah tersadar dan berusaha melerai mereka. Yenia segera mendekati Halimah. “Adikmu nggak salah, Ibu sing maksa. Eh, malah jatuh. Untung ono Pak Ampong, ibu langsung digendong ke kamar. Waktu adikmu mijet – mijet tangan ibu, ibu wis ora eling mane. Pas melek kok anake ibu sing ayu-ayu iki malah tukaran.”
“Sepurane bu, Yenia mbalelo. Ora iso jogo ibu.” Yenia meminta maaf kepada ibunya.
“Zunia juga bu. Maaf yo bu.”
“Sudah ibu maafin. Kalian yo harus saling minta maaf.” Halimah melirik kedua anaknya. Tak lama kemudian mereka memeluk sang ibu yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Kesedihan mulai memudar. Dan mereka melaksanakan sholat subuh berjama’ah di kamar Halimah, didamping tempat tidurnya.
****
Terik matahari pagi ini terhalang mendung. Tanaman di halaman rumah masih dihiasi butiran-butiran embun. Berbeda dengan kemarin. Cuaca hari ini cukup bersahabat. Di dapur Yenia sibuk mengolah bahan yang ada untuk sarapan. Dia memang pandai memasak. Di ruang tengah Zunia terlihat serius mempersiapkan berkas untuk mengikuti seleksi beasiswa Departemen Agama (Depag). Hari ini adalah tes tahap kedua. Tes kali ini adalah tes potensi akademik. Peserta harus mengerjakan soal-soal dan dilanjutkan dengan wawancara. Zunia sadar bahwa ini tidak mudah. Apalagi semalaman dia hanya tertidur – pingsan.
Mendung semakin pekat. Zunia bersiap berangkat ke sekolah. Sepatu dan seragam sekolah sudah melekat rapi di tubuh moleknya. Diraihnya ransel kusut berwarna abu-abu tua yang penuh dengan buku-buku pelajaran. Dia harus berjalan 1,5 km untuk sampai di sekolah. Disaku baju sekolahnya terselip uang Rp.5.000,00. Keinginan dan kemauan kuat yang tertanam dalam dirinya membuatnya tidak mudah putus asa – meskipun ia sering meneteskan air mata.
Gerbang sekolah yang berwarnan hijau tua menyambut Zunia yang kalut. Dua orang satpam sekolah menyapanya genit, seperti biasa. Ruang kelas XII IPA 2 menjadi tujuan pertamanya. Kelas yang berada tepat di bawah tangga sekolah kelas perempuan. Beberapa peserta seleksi sudah datang lebih awal. Zunia segera bergabung dengan mereka. Buku dan soal-soal mulai dipelajarinya satu persatu. Beberapa detik kemudian terdengar suara dari pengeras sekolah. “Peserta seleksi harap memasuki ruangan. Ujian akan segera dimulai.” Belum sempat Zunia mempelajari satu halaman pelajaran biolgi, dia harus memasuki kelas. 210 menit kedepan adalah waktu yang berat baginya. Kesempatan mendapatkan beasiswa Depag tidak datang dua kali.
Butiran hujan mulai turun. Peserta seleksi mulai bersiap-siap mengerjakan soal. Zunia yang duduk di bangku kedua dari kanan depan mulai memanjatkan doa dan sholawat. Petugas seleksi mulai membagikan soal. Seleksi kali ini dibagi menjadi dua sesi, kemampuan umum dan kemampuan IPA. Seperti seleksi pada umumnya memang. Zunia memulai dengan basmalah. Dijarinya terselip pensil 2B, penghapus dan pengaris tertata rapi di atas bangku sebelah kanan. Dahinya mengerenyit. Sesekali dia memainkan pensilnya. Serius. Dia terlihat santai. Sepertinya semua soal bisa di selesaikan dengan mudah. Matanya mulai melirik ke jam dinding di atas papan tulis. “Alhamdulillah, wis selesai.” Ujarnya pelan. “Waktu kurang 15 menit.” Seoarnag petugas ujian mengingatkan. Zunia memeriksa kembali lembar jawabannya. Mengoreksi kembali torehan pensilnya di lembar jawaban.
Hanya 30 menit waktu istirahat sebelum beranjak ke sesi kedua, pengetahuan IPA. Kemampuan Zunia di bidang IPA memang tidak diragukan lagi. Dalam hati kecilnya dia yakin akan dengan mudah melahap soal-soal nanti. Keyakinan ini begitu menggebu-gebu. Waktu untuk istirahat pun dia habiskan di kantin sekolah. Menyantap jajanan kesukaanya. Dia tidak suka sarapan. Padahal ginjal kanannya bermasalah. Semenjak kepergian ayahnya, pola makan Zunia mulai ngawur. Sifat keras kepalanya selalu mengungguli perasaan dan logikanya.
Langit Gresik tak kunjung cerah. 7 menit lagi sesi kedua dimulai. Peserta seleksi mulai memasuki ruangan, begitu juga dengan Zunia. Sekarang perut mungilnya sudah terisi. Semangatnya berapi-api. Bell tanda dimulainya seleksi sesi kedua berdentang. Dua orang petugas ujian memasuki ruangan. Lembar jawaban dan soal dibagikan. Suasana tiba-tiba hening. Tidak seperti sesi pertama. Gemericik hujan mendramatisir suasana. Zunia mulai mengerjakan soal. Pelajaran biologi ia kerjakan terlebih dahulu. Gemuruh petir mulai bersahutan. Memecah konsentrasi peserta seleksi. Tempat duduk Zunia tepat si sebelah jendela – berhadapan dengan parkir kendaraan – dengan pandangan bebas. Sambaran kilat membuatnya miris. Konsentrasinya mulai pudar. Pikirannya kembali memutar kejadian-kejadian mengerikan. Kematian sang ayah dan peristiwa kemarin malam. Matanya mulai berkunang-kunang, pandangannya kabur, tangan dan kakinya gemetar, wajahnya pucat berkeringat.
Sudah 70 menit sejak petugas ujian membagikan soal. Hanya 15 soal – hanya pelajaran biologi – yang mampu dia jawab. Matanya mulai berair, pipi lembutnya mulai basah. Isak tangis mulai terdengar lirih. Pandangan mata peserta lain perlahan tertuju kepadanya. Waktu tidak bisa berhenti dan tak akan berhenti. 10 menit sebelum ujian selesai. Zunia masih terperangkap dalam halusinasi kegelapannya sendiri. Tubuhnya mulai dingin. Perlahan matanya mulai gelap. “Zunia…, sudah selesai?” Tanya seorang petugas ujian. Zunia belum bisa mengendalikan pikirannya, kaget. “Sudah, Bu.” Jawabnya setngah sadar. “Silahkan keluar, semoga berhasil dan sukses.” Seorang petugas mengakhiri ujian sesi kedua. Semua peserta bergegas keluar kelas. Zunia tercengang heran. Dia bingung sendiri.bukankah dia sedang asik mengerjakan soal-soal biologi? Bukankah seharusnya dia dibangku kedua kanan depan kelas?. Zunia belum bisa mengingat apa yang sudah terjadi. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil.
“Zun, kamu nggak apa-apa kan ?” Tanya mami sambari mendekati Zunia.
“Ora ngerti Mi, Aku bingung.” Jawab Zunia. Mereka berjalan menuju bangku dekat pohon jambu. Mami membersihkan rembesan air hujan dengan sapu tangannya. Mpok Diah berlari menghampiri mereka. “Yo opo rek, awakmu sukses ta?” Sapanya dengan senyumannya khas. Mereka bertiga sudah lama bersahabat. Sejak kelas X, mereka selalu saling berebut mendapatkan gelar bintang pelajar. Mami yang paling sering menyabet gelar itu.
“Zun, awakmu kok nggak semangat gitu, keno opo?” Tanya Mpok Diah.
“Iyo, koyok wong linglung.” Mami menambahkan.
“Aku gak ngerti Mi, Mpok. Rasane aku kudu semaput. Aku kayaknya nggak lulus rek.” Zunia menjawab lemas.
“Ojo ngomong ngono. Ditunggu aja besok pengumumannya. Nanti gak lulus tenan lho.” Ujar Mami yang sibuk memainkan HP CDMA miliknya.
“Iyo Zhun, Positive thinking wae!Aku tak tuku jajan sek yo.” Tambah Mpok Diah, dia kemudian berjalan menjauhi mereka, menuju kantin yang berdiri di sebelah selatan gedung Yayasan.
“Aku tadi cuma ngerjain 15 soal kemampuan IPA Mi, aku nggak sadar. Bingung banget.” Mata Zunia mulai berkaca.
“Lho, kok bisa? Kamu kan jago di pelajaran IPA. Ada masalah dirumah?”
“Ibuku terserang stroke.”
“Opo? Stroke! Awakmu nggak guyonan kan ?”
“Gawe opo aku guyon!”
“Sabar Zun, sabar. Sing kuat.” Mami merangkul sahabatnya. Kepala Zunia bersandar dipundaknya. Tangan kanannya menepuk lembut punggung Zunia. Air matanya pun tak kuasa ditahan. Jatuh ke pipi tembem-nya.
Mendung di langit Gresik menjauh. Hilang. Sayup-sayup angin menerpa tubuh tiga orang remaja perempuan. Mereka adalah Zunia, Mami, dan Mpok Diah. Siang ini Mpok Diah dan Mami berencana nyambangi ibu Zunia. Mereka berjalan kaki. Sepeda motor Mami dititipkan di sekolah. Jalanan ke rumah Zunia cukup becek, basah – setiap kali musim hujan – dan sunyi. Tidak banyak rumah penduduk di kanan dan kiri jalan. Pohon kapuk, mangga, dan jati adalah pembatas jalan yang diberikan oleh alam.
No comments:
Post a Comment