Judul : “Pancasila Kembali”
Pengarang : A. Mustofa Bisri
Data Publikasi : Koridor Renungan A. Mustofa Bisri, Jakrta: PT. Kompas Media Nusantara, II:77, 2010, xii+248
Ambruknya kerajaan otoriter Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan titik balik “nafas” Pancasila. Bukan sekadar ideologi dan dasar negara semata. Lebih jauh, Pancasila adalah citra bangsa dan negara. Seandainya sejak kelahiran Pancasila sudah dikeloni[1] dengan penalaran dan studi mendalam terhadap kelima sila – seperti nilai religius, nilai moral, nilai kebangsaan, nilai keadilan, dan nilai kebersamaan dan toleransi – secara apa adanya dalam masyarkat; penulis meyakini isu tentang kredibilitas ke-Pancasila-an tidak akan “diperkosa” di rezim reformasi saat ini. Realita yang bisa kita simak dengan panca indera adalah kondisi ketuhanan negeri kita yang seperti tanpa Tuhan atau “kebanyakan tuhan.” Negeri yang mengaku berkemanusiaan yang adil dan beradab sekarang antipati tentang prikemanusiaan. Persatuan Indonesia lebih tenar sebagai “banyolan” semata. Rakyat bingung mencari perwakilan mereka. Keadilan sosial yang bagi beberapa orang saja.[2] Selentingan pertanyaan dari beberapa orang, “Masih hidupkah kau, Pancasila?”
Pancasila merupaka padanan konsep Konfusionisme yang dikembangkan Prof. Tu Wei Ming untuk pengembangan pendidikan moral di Singapura. Konsep Konfusionisme juga dikenal di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong. Pancasila, menurut Prof. H.A.R Tilaar, merupakan suatu doktrin yang terbuka karena Pancasila merupakan suatu way of life. Di sinilah terdapat kesamaan prespektif keterbukaan Pancasila dan Konfusionisme. Prof. H.A.R Tilaar menegaskan bahwa pancasila dapat menerima nilai-nilai Konfusionis yang – mungkin – mempunyai nilai universal yang dapat di adopsi oleh masyarakat kita, masyarakat Pancasila.
Reformasi sebagai gerbang menuju demokrasi Indonesia secara tidak langsung “membunuh” Pancasila. Beberapa pengamat mengatakan bahwa demokrasi-lah yang melunturkan “harga” pancasila ditengah peradaban bangsa Indonesia. Zaman orde baru, berdialog dan berdiskusi tentang pancasila adalah hal yang “najis.” Gus Mus – panggilan akrab A. Mustofa Bisri – menjelas-kembangkan pengertian pancasila harus berdasarkan sila-sila di dalamnya. Bahkan Pancasila harus menjadi pembahasan rutin mengenai ideologi-ideologi lain yang, meminjam istilah Gus Mus, “mengepung” Pancasila. Dengan demikian, “pemerkosaan” terhadap Pancasila tidak digilir oleh pemegang kekuasaan. Selain itu, pemahanan konsep Konfusionisme sebagai pendamping Pancasila harus segera “dikawinkan” sebagai salah satu alternatif “penyembuhan” bangsa dari pandemi dasar-dasar kenegaraan dan ideologi.
Daftar rujukan :
Bisri. A. Mustofa, 2010. Koridor Renungan A. Mustofa Bisri, Jakrta: PT. Kompas Media Nusantara.
Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Program Dasar Pendidikan Tinggi UI. 2010. Modul MPK Terintegrasi. Jakarta: Badan Penerbit FK Universitas Indonesia.
No comments:
Post a Comment