Thursday, December 29, 2011

Karl Marx: Sosialisme dan Komunisme


Oleh, Mang Oejank Indro

Pendahuluan
Istilah sosialisme selalu identik dengan sosok Karl Marx. Padahal pemikiran tentang sosialisme terlampau jauh berkembang sejak abad ke V – sebelum Marx mulai memikirkan recolusi proletariat. Pemikiran Marx sendiri tentang sosialisme sebenarnya sudah termaktub dalam beberapa karya dan budaya Yunani kuno – meskipun terbatas pada objek dari sosialisme itu sendiri. sosialisme untuk semua digagas oleh Jambulos dan Euhemeros. Jambulos mendeskripsikan sebuah ‘negara matahari’ dimana segala-galanya – termasuk para isteri – dimiliki bersama.
Kata ‘sosialisme’ sendiri mucul di Prancis sekitar tahun 1830, begitu juga ‘komunisme’. Kedua kata ini pada awalnya memiliki makna yang selaras, namun ‘komunisme’ segera dipakai oleh golongan sosialis radikal, yang menuntut penghapusan total hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan komunis itu dari kebaikan pemerintah, melainkan semata-mata dari perjuangan kaum terhisap sendiri (Frans. 2003:14). Sosialisme pada abad pertengahan memiliki motif-motif yang erat dengan nilai-nilai religius tertentu, yaitu Kristen. Terutama dalam pertimbanhan tentang penyambutan Kerajaan Allah, orang harus bebas dari keterikatan.

Sunday, December 4, 2011

SAJAK UNTUK JULIA


Oleh, Oejank Indro

Tunggu sebentar, aku hanya ingin mengingatkanmu. Sebenarnya, sudah lama aku ingin melambaikan tangan dari anjungan kecil ini. Tapi, lagi-lagi karena hal yang sangat kecil itu, semuanya urung kulakukan.
“Semua ini salahmu.” Ia mulai menatapku. Nada bicaranya sangat tinggi, rok merah mudanya terurai lembut ke tanah. Sebuah tas jinjing yang semula ia pegangi, sekarang ia letakkan pelan di dekat simpuhannya. “Selalu saja itu, seenaknya kau bermain-main dengan perasaanku. Apa kau kira aku ini kambing? Ha!!!”
Aku memalingkan pandanganku ke seberang sungai. Sedikitpun berusaha memaki diri sendiri di ujung anjungan kecil.
“Ini, kau lupa?” Teriaknya sambil mngangkat sehelai selendang hijau tua. Selendang itu bergelayutan terkena hembusan angin sore. “Ini, kau masih ingat, bukan? Jawab!!!!” Teriaknya lagi. Kali ini ia menjatuhkan selendang  dan menyodorkan kotak kecil dari kayu akasia. Tentu saja aku terperanjat. Tapi aku tidak sedikitpun berpaling.
Ia menjatuhkan diri. Menangis.
Aku selalu datang. Aku juga masih ingat semua itu. Tidak mudah kulupakan.
“Lalu?” Kepalanya mendongak. wajahnya sudah merah dan berlumuran air mata. Aku berbalik dan menatapnya heran. “Kau sudah mengerti sejak dahulu. Egomu yang membatasi ketulusanmu. Semua ini bukan semata salahku.” Kataku pelan.
“Tidak. Kau memang bajingan.” Ia memberontak. “Ini semua salahmu. Kau salah. Kau yang kalah.” Ia mulai mengumpat. Nadanya semakin lama semakin tinggi. Aku langsung memeluknya. Benar-benar memeluknya dengan sangat erat. Air matanya mulai membasahi pundakku. Sulit baginya memang. Tangisnya tulus.
Sejujurnya saat itu ia seperti Rapunzel ketika rambut ajaibnya ia relakan untuk dipotong. Aku membelainya. Aku tahu ia sangat tertekan waktu itu. “Maafkan aku. Sebaiknya segera kau pergi. Aku tidak mengusirmu. Tapi, mempersilahkanmu.” Aku berbisik kepadanya. Ia masih terisak-isak dalam pelukanku. Pelukannya semakin erat dan membuatku gusar.
“Sudah. Kau bisa Julia. Aku tahu ini pasti sulit, tapi jangan kau buat lebih sulit.” Aku berusaha merayunya. “Selamat jalan Julia.” Kataku singkat. Kulepaskan pelukannya pelan-pelan dan menjauh perlahan. Julia tertunduk, lalu tersipu di ujung anjungan. Sejak saat itu, aku tidak mendengar kabar Julia.
**
Bangun dini hari, menghangatkan diri dengan secangkir kopi, dan menikmati sejuk pemandangan berlatar sungai. Meskipun kadang-kadang kabut memutihkan hijau dan rindang pepohonan diseberang sungai. Malam tadi aku tidak pulas tertidur. Gelisah. Asal kau tahu, saat ini masih tercecer lembar-lembar kertas tulisan tanganku. Setidaknya ada beberapa lembar yang sudah aku rampungkan. Sisanya menjubal di dalam tong sampah, berserakan di atas ranjang, dan terinjak-injak di dasar lantai.
Selepas Julia pergi, aku rajin menulis sajak-sajak kecil pada lembaran kertas, dengan tanganku sendiri. Biasanya aku menulis ketika sang surya akan terlelap. Tempat favoritku adalah di mejak kecil yang berdiri tepat di jendela kamar. Jendela itu menghadap langsung ke arah barat, dari situ Aku dengan jelas melihat sungai yang berkelok. Indah.
Entah sudah berapa judul puisi, berapa sajak, dan bait yang sudah kutulis. Aku tidak begitu peduli berapa jumlahnya. “Aku sudah hafal semua sajak yang aku tulis.” Begitulah jawabanku ketika beberapa orang penghuni komplek mempertanyakan jumlah sajak-sajakku. Aku dan mereka, tetangga kamarku dan segelintir orang merasa dirinya manusia, sudah tidak mengerti lagi apa arti keluarga. Kami sudah terlalu memahami makna keluarga. Rasa kekeluargaan kami tidak hanya berdasarkan ikatan darah. Tidak seperti manusia di luar sana. Lantang berteriak, “Kami adalah saudara, kami adalah keluarga, satu bangsa, satu bahasa….” Tapi mereka lupa. Lupa makna keluarga.
Ada lagi. Ini cerita dari penghuni kamar sebelah. Namanya Seno, ia keturunan Jawa dan beraga Islam. Pernah ia sedang merenung di anjungan sungai saat malam bulan purnama. “Kenapa bulan tak selalu bulat setiap malam?” Aku masih berjalan mendekat ketika ia menanyakan hal itu. “Dan kenapa matahari selalu bulat setiap hari?” Tanyanya lagi.
“Sudah menjadi kehendak Tuhan.” Jawabku. Lalu aku duduk di dekatnya. Ia mengambil batu kecil dan melemparnya ke tengah sungai. “Kenapa bulan tidak pernah protes kepada Tuhan?” Seno kembali bertanya. “Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Aku hanya percaya, Tuhan memiliki maksud dibalik itu semua.” Kataku pelan.
“Kau terlalu bodoh.” Sanggah Seno. Ia berdiri dan memandangi purnama. “Hei bulan, kau senang? Apa kau tidak bosan dengan hanya memantulkan cahaya matahari? Kata orang cahayamu itu indah, cahayamu itu menyejukkan. Bukankah kau hanya memantulkan cahanya matahari? Kau tidak malu?”
Seno kembali duduk dan menatapku. “Kau benar, seno.” Ujarku. Seno tersenyum. Ia kembali melihat purnama. “Hei bulan, kau tidak perlu malu. Kau adalah temanku, keluargaku. Kau selalu mengingatkanku. Karena aku masih tinggal di bumi.”
“Maksudmu?” Tanyaku. Seno segera menatapku. Matanya menjuling dan posisi duduknya berubah. “Waktuku, waktuku, dan waktu mereka tidak sebanyak orang-orang di luar sana.” Katanya dengan santai. Aku mengambil nafas dalam-dalam. “Iya, aku mengerti. Kita akan berjumpa lagi dengan Tuhan kita. Tidak lama lagi.”
Seno menundukkan kepalanya. Badannya terlihat melemah. “Aku, kau, dan mereka…” ia memandangi komplek. “Ibarat bulan yang memantulkan cahaya dari Tuhan. Cahaya itu tidak selalu indah bukan? Biarlah, cahaya kita tidak indah untuk kita, tapi pantulan cahaya kita akan indah untuk orang-orang di luar sana.” Lanjutnya.
“Bersyukurlah. Tuhan memberikan kita jalan hidup yang spesial.” Kataku sambari menepuk pundaknya.
Ia kembali bercerita lagi. Kali ini tentang saudara seagamanya. “Kata bapakku, semua umat Islam itu saudara. Ibarat tembok yang kokoh.” Katanya.
“Iya, kamu benar.” Tukasku singkat.
“Kau tahu? Berapa banyak jumlah orang yang mengaku Islam di Indonesia? Apakah mereka masih saling menyapa ketika di dalam kereta? Apakah mereka masih mengucapkan salam ketika bertegur sapa? Lalu, kenapa mereka mudah mengkafirkan saudara mereka sendiri? Lalu, kenapa mereka tidak pernah mau memanusiakan saudara mereka sendiri?” Ia mengangkat tangannya. Menunjuk ke langit malam yang berhias purnama dan bintang-bintang.
Aku diam saja. Tidak ada keinginan untuk menjawab pertanyaan Seno. Ya, sedikitpun tidak. Karena aku sendiri selalu merasa jauh dari saudaraku yang seiman. Mungkin kalian juga pernah merasakan hal yang sama. Tapi, kalian beruntung masih bebas memilih saudara kalian sendiri. sedangkan Aku, Seno, dan sekelompok kecil manusia disini, tidak seberuntung kalian yang diluar sana.
“Aku harus kembali ke kamar.” Kataku. “Baik, buatkan sajak untukku!” Ujar Seno. Ia membalikkan badannya ke sungai. Aku melenggang ramah menuju kamarku. “Hei, titip salam untuk Julia.” Imbuhnya. Aku tersenyum kecil. Seolah-olah Julia masih mau membaca surat-surat dan sajak-sajak rumpangku.
Aku merebahkan diri di atas kamar tidur kecil berbalut sprai putih. Dan kubiarkan malam berlalu seperti biasa. Untuk bangun di kala pagi buta, dan merajut kembali benang-benang kehidupan yang terurai acak dalam sebuah librium kehdiupan yang singkat.

Bersambung…


Tuesday, November 29, 2011

Postmodernisme


Istilah postmodernisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz, pada tahun 1917, untuk menggambarkan nihilisme budaya barat abad ke-20. Istilah ini pertama kali muncul pada bidang seni dan kemudian juga arsitektur, ketika perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis dihancurkan dengan dinamit dan dimulailah pengembangan karya-karya arsitektur yang berwajah baru. Keyakinan fundamental/fondasional menjadi syarat utama untuk membenarkan pengetahuan yang dibangun di atasnya. Keyakinan-keyakinan tidak bersifat sirkuler, namun harus sampai pada satu titik aksiomatis, yang tidak membutuhkan pembenaran apapun. Jelas rasiolah yang mampu mengerjakannya dengan teliti, rasio adalah pusat.
Kebenaran (truth) adalah persesuaian antara sesuatu dengan fondasinya dan sekaligus persesuaian antara akal dan kenyataan yang dicermati, antara subjek yang mengamati dan objek yang teramati. Fondasionalisme/fundamentalisme menyimpan sebuah kepastian bahwa dasar mutlak tersebut tidak terikat pada ruang dan waktu hidup manusia. Ia harus a-historis agar tetap mampu menjadi fondasi ilmu dan segi-segi hidup lainnya. Kebenaran adalah absolut dan mengabaikan dialog yang jujur dengan wacana historis dan sosial.

Thursday, November 24, 2011

ISLAM

Indahnya Menjadi Hidup
Seyogya Pendar Atas Luas Putih
Lintasi Arah Bersembah Ke Atas
Alam Terbawa Beriring Arwah
Menyudutkan Iman, Mendengar Tuhan

MENAKAR AGAMA TUHAN, MENIMBANG FILSAFAT PERENNIAL


MENAKAR AGAMA TUHAN, MENIMBANG FILSAFAT PERENNIAL
Tinjauan Logis Pluralisme Agama

Oleh, Iswanda Fauzan S, 1006696951
Abstrak
Setiap manusia memiliki keyakinan dan konsep berbeda terhadap Tuhan. Karenanya manusia memiliki agama yang beragam. Keberagaman agama tidak sertamerta membawa perdamaian dan keadilan di dalam kehidupan manusia itu sendiri. Pluralisme agama yang dikemukakan John Hick memiliki konsekuensi logis terhadap pemahaman akan agama itu sendiri. Dengan melihat pluralisme agama dari perspektif filsata perennial, manusia akan terdorong dalam dimensi Transcendent Unity Of Religions (kesamaan transenden agama-agama) yang akan membawa manusia kedalam sebuah titik penemuan pergeseran paradigma dari yang dulu terbatas pada “idealitas” ke arah “historisitas”, dari yang hanya berkisar pada “doktrin” ke arah entitas “sosiologis”, dari diskursus “essensi” ke arah “eksistensi” yang transendental. Konsepsi pluiralisme agama (persamaan agama/semua agama sama) seharusnya tidak persepsikan dengan pluralitas agama (keanekaraman agama). Supaya tujuan perdamaian dan keadilan dapat tercapai ditengah-tengah kehidupan total seluruh umat manusia, yang sejatinya hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.

Kata kunci: pluralisme agama, filsafat perennial, agama.

Pendahuluan
Melihat kenyataan sejarah, tantangan yang selalu dihadapi agama-agama sejak dahulu hingga kini dan mendatang antara lain adalah bagaimana merumuskan langkah konstruktif yang bersifat operasional untuk mendamaikan berbagai eksoterisme (keagamaan) yang ada dan cenderung mendatangkan pertikaian antar manusia dengan mengatasnamakan kebenaran Tuhan. ‘Truth claim’ senantiasa mewarnai perjumpaan dengan keimanan yang “lain” (M. Amin Abdullah, 1999: 50). Muncul enclave-enclave komunitas teologi yang cenderung bersifat eksklusif, emosional, dan kaku. Sikap eksklusif inilah yang oleh Ian G. Barbour disebut-sebut sebagai ingridient yang paling dominan dalam pembentukan dogmatism dan fanaticism (Ian G. Barbour, 1980: 239).
Guna merumuskan alternatif solusi yang konstruktif dan dialogis-humanis dalam perjumpaan antar sesama kaum beriman, diperlukan adanya ‘shifting paradigm’ (pergeseran pemikiran) dalam melihat peran dan makna agama serta sikap dewasa terhadap klaim-klaim kebenaran absolut. Dalam filsafat, pergeseran ini diarahkan dengan tujuan; pertama, menambah wawasan keluasan dan keluasan intelektual; kedua, menumbuhkan sikap toleransi terhadap berbagai pendapat dan keyakinan hidup; dan ketiga, membebaskan sikap eksklusif dan dogmatis yang menyatu dalam keyakinan hidup. Tawaran akan kehidupan teosentris, kehidupan yang berpusat pada Tuhan, sejatinya merupakan penolakan terhadap berbagai egoisme kemanusiaan, termasuk egoisme relegius baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif, seperti dalam bentuk rasisme, nasionalisme, sektarianisme, atau seksisme (feminisme maupun maskulinisme).
Kenyataan juga memerlihatkan bahwa agama merupakan suatu sistem yang total. Menurut Koentjaraningrat dengan mengutip pendapat Emile Durkheim dalam karyanya yang terkenal Les Formes Elementaires de la vie Religieuse (1912), menyatakan bahwa ada empat unsur pokok dalam agama, yaitu emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara, dan komunitas keagamaan.[1] Emosi keagamaan menyebabkan manusia menjadi religius. Sistem kepercayaan mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan serta tentang wujud dari alam gaib. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib. Dan, kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan dan melakukan sistem upacara-upacara religius.
Adanya pluralitas agama sebagai fakta sosiologis, nyatanya tidak berhenti begitu saja. Bagi para pemeluknya, semua jerih payahnya pada akhirnya akan tiba pada satu tujuan atau titik temu yang sama, yaitu menuju Tuhan Yang Maha Esa. Proses menuju Yang Maha Esa ini atau perjalanan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa ini merupakan sebuah upaya pendakian spiritual. Menurut Bhagavan Das (1966), hal itu disebut sebagai The Road of Life. Pluralitas agama memang suatu fakta sebagai jalan yang beragama bagi manusia untuk menuju yang Esa (Satu).
Istilah “pluralisme agama‟ terbilang baru. Seratus tahun yang lalu tidak ada seorang pun menyebut atau menulis tentangnya. Yang kita temukan adalah istilah convivencia (bahasa Spanyol untuk co-existence atau hidup bersama dengan rukun damai), toleration atau tolerance (dari bahasa Latin tolero, tolerare yang artinya membawa, memanggul, menanggung, menahan (to carry, bear, endure, sustain; to support, keep up, maintain).[2] Meskipun tidak jelas siapakah yang pertama kali menelurkan istilah pluralisme agama, paham ini dikembangkan oleh sejumlah pemikir Kristen mutakhir, yaitu Raimundo Panikkar3 (seorang pastor Katholik kelahiran Sepanyol yang ayahnya beragama Hindu), Wilfred Cantwell Smith4 (pengasas dan mantan pengarah Institute of Islamic Studies di McGill University Canada), Fritjhof Schuon5 (mantan Kristen yang pergi mengembara keluar masuk pelbagai macam agama) dan John Hick6 (profesor teologi di Claremont Graduate School California USA).
Plularitas Agama dan Pluralisme Beragama
Pertama-tama mesti kita terangkan lagi perbedaan antara “pluralitas” dan “pluralism” agama. Pluralitas agama adalah fakta wujudnya kepelbagaian dan perbedaan agama-agama di dunia ini. Sebagai fakta, pluralitas merupakan ketentuan Tuhan alias Sunnatullah, dan karenanya mustahil dihapuskan. Adapun pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, sikap dan pendirian yang dipunyai seseorang terhadap realiti kepelbagaian dan fakta perbedaan tersebut. Ini pengertian umumnya. Secara khusus, pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, keyakinan bahawa agama-agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda itu mempunyai kesamaan dari segi ontologi, soteriologi, dan epistemologi. Seperti dikemukakan Peter Byrne, profesor di King‟s College London UK, pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga tesis. Pertama, semua tradisi agama-agama besar dunia adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya, setiap agama mesti senantiasa terbuka untuk dikritik dan ditinjau kembali.
Sebagai paham baru, pluralisme agama ditawarkan menjadi alternatif kepada exclusivism dan inclusivism–dua pandangan yang konon tidak sesuai lagi untuk masyarakat modern sekarang ini. Adalah John Hick yang dengan gamblang menerangkan tiga macam paradigma (cara berpikir) dalam memandang dan menyikapi status agama lain.[3] Paradigma eksklusivisme mengajarkan bahawa keselamatan akhirat hanya akan diberikan kepada pengikut agama tertentu saja. Bagi orang Nasrani, Jesus Kristus diyakini sebagai jalan paling absah, unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan, atas dalil Yohanes 14:6: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tak seorang pun dapat sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Paradigma ini tampak pada sikap Gereja Katholik Roma yang selama berabad-abad menempatkan dirinya sebagai pusat keselamatan dengan semboyan masyhur: extra ecclesiam nulla salus. Walhasil, Gereja Katholik Roma bersikap tertutup dan berpandangan negatif terhadap agama-agama lain. Paradigma ini juga terdapat di kalangan Gereja Protestan. Karl Barth dalam bukunya Church Dogmatics menegaskan bahawa hanya ada satu agama yang benar yaitu agama Kristen karena Tuhan menghendakiNya demikian. Penganut agama lain akan binasa di neraka. Sikap inilah yang dikatakan membentuk mentalitas tentara salib dan golongan fundamentalis, sehingga umat Islam dilihat sebagai musuh yang perlu ditaklukkan dengan jalan mengkristenkan mereka.
Paradigma inklusivisme mengatakan bahawa keselamatan Allah berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain dengan tetap mengakui keunikan Jesus Kristus. Bahawa ampunan dan kasih sayang Tuhan merangkul seluruh umat manusia dengan berkat kematian Jesus, terlepas apakah yang bersangkutan memeluk agama Kristen ataupun agama lain. Inklusifisme menolak segala bentuk konfrontasi antar agama lain dengan Kristen. Malah sebaliknya, inklusivisme berusaha memadukan dua pengakuan teologis: adanya keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah dalam JesusKristus. Paradigma inilah yang dianut oleh Gereja Katholik Romase sudah Konsili Vatikan II yang konon menandai perubahan dan keterbukaan baru terhadap agama-agama lain. Peranan dan sumbangsih Karl Rahner, pakar teologi dari Jerman, dalam hal ini diketahui cukup besar. Dialah yang mencetuskan istilah “Kristen tanpa nama” (anonymous Christian). Tetapi menurut Hick, paradigma ini menimbulkan beberapa implikasi pelik. Apakah ianya berarti doktrin “tiada keselamatan di luar gereja” itu telah dibatalkan? Kalau jawabannya “tidak”, maka istilah “Kristen tanpa nama” tersebut omong kosong belaka (empty gesture). Sebaliknya, kalau jawabannya adalah “ya”, maka program Kristenisasi yang digarap oleh para misionaris itu sia-sia belaka. Ada pula yang mengkritik konsep anonymous Christian itu sebagai penghalang terhadap dialog yang jujur dan seimbang, atau malah justru membawa kepada jalan buntu bagi semua agama. Konsep ini masih terperangkap dalam imperialisme teologis yang menekankan normativitas Jesus Kristus bagi agama-agama lain dan tetap memandang agama-agama lain lebih rendah dari agama Kristen, sehingga kalaupun ada dialog seperti dianjurkan Gereja Katholik pasca Konsili Vatikan II, maka yang terjadi adalah „dialog antara gajah dan tikus‟ –meminjam istilah Paul F. Knitter.
Jadi tidak mengherankan apabila John Hick lantas lebih mengedepankan ‘pluralisme’ sebagai alternatif. Paradigma ini merupakan kelanjutan dari paradigma inklusivisme yang dianggap masih plin-plan itu. “Kalau kita berpendapat bahawa keselamatan atau pembebasan itu juga berlaku dalam tradisi agama-agama besar –selain Kristen, bukankah kita semestinya terus terang mengatakan bahawa ada banyak jalan keselamatan bagi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan?” Menurut Hick, pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahawa perubahan hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju keterpusatan pada sang Realitas tunggal (yaitu Tuhan) terjadi di dalam semua agama dalam pelbagai bentuk dan cara. Paradigma ini dianggap jauh lebih baik untuk dijadikan asas dialog antara agama yang digagas oleh Gereja Vatikan. Sudah barang tentu dalam hal ini John Hick tidak sendirian. Selain tokoh-tokoh yang namanya sudah kita sebut di atas, Paul F. Knitter juga aktif menyuarakan paham ini. Menurutnya, pluralisme berangkat dari keinginan melahirkan dialog yang jujur dan terbuka sehingga seluruh pemeluk agama dapat bekerja-sama memperbaiki kehidupan dan menanggulangi penderitaan manusia di muka bumi ini. Dalihnya, terdapat suatu “kesamaan yang kasar” (rough parity) pada semua agama, kata Knitter. Agama-agama selain Kristen mungkin juga sama baik dan pentingnya untuk membawa pengikut masing-masing kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersama Tuhan.[4]
Pluralisme yang tidak dapat hanya dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita beranekaragam. Pluralisme juga tidak boleh dipahami hanya sekadar sebagai negative good, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Pluralisme, khususnya pluralisme agama harus dipahami sebagai suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.

Pluralisme Agama dalam Filsafat Perennial
Filsafat perennial sangat concern terhadap penunaian tugas-tugas keagamaan di atas. Perspektif yang dikembangkannya mencitakan kedamaian dan keharmonisan dalam lingkup persaudaraan, kesetaraan, kebebasan dan kebersamaan yang dibangun di atas kaki keadilan, keterbukaan dan demokrasi. Setiap pemeluk agama bukan saja dituntut mengakui keberadaan, hak agama dan praktek keagamaan lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagment of diversities within the bonds of civility). Hak azasi manusia sejatinya menjadi elemen pemersatu (the uniting element) antar sesama (Nurcholish Madjid, 1998: xxi-iii).
Berdasarkan latar belakang di atas, dan melihat kenyataan empiris bahwa bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman (pluralitas) suku, bahasa, budaya, dan agama, sangatlah penting kiranya untuk menelaah lebih mendalam konsep pluralisme. Elan vital agama yang senantiasa mengajarkan kebaikan dan keharmonisan antar sesama manusia diharapkan dapat ditemukan wacana dan solusi konstruktif dalam membangun kerangka teologi kerukunan hidup antar umat beragama. Kajian perennial yang mengajarkan kepemilikan “kebenaran bersama” mendukung tercapainya tujuan dimaksud. Melalui kajian ini diharapkan dapat diformulasikan sebuah perjumpaan antar dan intern umat beragama yang lebih humanistik-universal, etis-dialogis dan egaliter, memiliki kepentingan yang sama dalam mewujudkan keutuhan dan kehidupan yang lestari.
Agar pelaksanaannya mampu membawa implikasi positif diperlukan dua komitmen penting; pertama, adanya sikap toleransi; suatu sifat atau sikap menenggang pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya yang berbeda dengan pendiriannya sendiri, dan kedua pluralisme, yang bisa dilacak dalam Frithjof Schuon, seorang tokoh filsafat perennial dan genius terbesar metafisika tradisional. Bagi Schuon, hidup ini ada tingkatannya. Dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah, yang berada pada tingkat tertinggi, terdapat titik temu berbagai agama, sedang pada tingkat dibawahnya semua agama itu saling bereda. Pluralisme yang tidak dapat hanya dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita beranekaragam. Pluralisme juga tidak boleh dipahami hanya sekadar sebagai negative good, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Pluralisme, khususnya pluralisme agama harus dipahami sebagai suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Agama dituntut mampu menampilkan citranya yang inklusif, tidak ekstrem, lapang, tetap mempertimbangkan nilai-nilai spiritual lokal, dan humanis. Agama haruslah tampil (atau ditampilkan) dengan “wajah” terbuka terhadap “realitas” yang ada di luar dirinya. Ia juga dituntut untuk mampu membawa penganutnya bersikap adil terhadap agamanya sendiri, menghargai dan apresiatif terhadap keimanan orang lain (Wilfred Cantwell Smith,1981: 71) Dengannya pemenuhan kebutuhan hidup, kepentingan dan kecenderungan hidup masyarakat harus dibimbing secara dialogis, humanis dan inklusif dalam nilai-nilai etik-moralitas yang sejatinya merupakan “milik” setiap agama. Secara kongkret, agama masa depan yang menjadi harapan adalah (a) agama yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme. Suatu kesadaran spiritual yang ditopang oleh ilmu pengetahuan alam agar bisa memberikan peta kosmologi yang benar sehingga seseorang tahu di mana dan ke arah mana kereta ruang dan waktu yang sedang ditumpanginya bergerak; (b) agama masa depan ingin tidak dipisahkan dari agama-agama tradisional; bahwa juga (c) akan muncul keberagamaan eklektik dan sikap beragama yang lebih humanistik-universal (Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, 1995: 116-118).
Filsafat perennial (perennial philosophy) mengungkapkan bahwa The Road of Life itu membawa “tradisi” yang biasa dilihat dari dua arah. Yakni, dari sisi ketuhanan adalah narasi tentang “asal usul”. Dan, dari sudut manusiawi adalah “jalan” kembali kepada Tuhan, kepada “yang asal”. Jadi, meskipun secara esoterik, agama itu bersifat plural (pluralisme agama), namun secara esoterik semuanya akan bermuara kepada satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa. Upaya menuju ke satu Tuhan ini, menurut Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, dapat ditempuh lewat pendekatan filsafat perennial.
Pendekatan filsafat perennial ini diharapkan tidak hanya berhenti pada ditemukannya yang Edos (Class J. Bleeker), Sensus Numinous (Rudolf Otto), Transcendental Focus (Ninian Smart), Essence of Religion (Mircea Eliade), atau Ultimate Reality (Joachim Wach), melainkan diajak lebih jauh lagi. Yaitu, mengalami sendiri pengalaman keberagamaan berupaya penyatuan diri dengan Tuhan yang dihubungkan oleh pengetahuan sejati dan gelora cinta. Penggolongan antara pengetahuan sejati tentang yang Absolut ini bukan saja berhasil menemukan titik temu (konvergensi) agama-agama, melainkan juga akan membentangkan berbagai kemungkinan “jalan”, “tangga” “kapal” sebagai jalan untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang kini telah hilang akibat suatu cara dan pandangan hidup modern yang sekularistik.
Pluralisme merupakan tantangan bagi agama-agama. Dari sinilah arti penting pencaharian titik temu (konvergensi) agama-agama. Ada beberapa pertimbangan sebagai kerangka acuan akan arti pentingnya pencarian konvergensi agama-agama. Pertama, secara praktis pluralisme agama belum sepenuhnya dipahami umat beragama, sehingga yang tampil ke permukaan justru sikap eksklusifisme beragama, yang merasa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama-agama lain dituduh sesat, maka wajib dikikis atau pemeluknya ditobatkan, karena baik agama maupun pemeluknya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Di sinilah akar konflik dimulai. Pluralimse agama memang belum sepenuhnya menjamin kerukunan hidup beragama. Kedua, di tengah-tengah pluralisme agama ini, hanyalah pemeluk agama tertentu (yang bersikap eksklusif) justru masih cenderung memonopoli kebenaran agama (claim of truth) dan laham keselamatan (claim of salvation). Pahadal secara sosiologis, claim of truth dan claim of salvation itu, selain membuat berbagai konflik sosial politik, juga membawa berbagai macam perang antar agama.
Pluralitas agama sebagai fakta sosiologis, yang pada akhirnya mencerminkan beragam jalan menuju yang Satu, merupakan permasalahan tentang yang relatif dan yang absolut. Pada dasarnya pemahaman manusia terhadap agamanya adalah realatif, namun semua ini pada hakikatnya demi yang Absolut. Sedangkan yang Absolut, yang Satu terungkap melalui jalan-jalan yang sifatnya relatif. Misalnya, fakta adanya pluralitas agama dan diversitas pemahaman agama. Menurut Paul F. Knitter (1985), pada dasarnya semua agama adalah relatif. Yang maknanya adalah terbatas, parsial, dan tidak lengkap. Karenanya, menganggap bahwa semua agama secara instrinsik lebih dari yang lain. Sekarang menurut para ahli agama, dirasakan sebagai sebuah sikap yang agak salah, ofensif, dan merupakan pandangan yang sempit. Klaim seperti itu “wajib” dihindari dan jika perlu dikikis oleh umat beragama dengan diiringi penghargaan cakrawala yang luas dan paham keagamaan yang inklusif, egaliter, dan demokratis. Sehingga, semakin disadari bahwa semua agama pada dasarnya Relatively Absolute (Sayyed Nasser) atau sebaliknya Absolutely absolutive.

Transcendent Unity Of Religions
Pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamatan merupakan kerangka dasar menuju dialog. Pengalaman ini penting untuk memperkaya pengalaman antar iman, sebagai pintu masuk ke dalam kompleksitas dialog teologis sekaligus langkah awal mengenali agama-agama secara terbuka. Pluralisme sebagai sikap sadar dan terbuka bagi yang lain menghendaki setiap pemeluk agama bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dan kedamaian. Kebenaran suatu agama tidak hanya diukur sebatas upacara keagamaan yang sifatnya lahiriah, tetapi melampaui setiap bentuk dan manifestasi lahiriah tersebut menuju kepada yang transendental. . Berpijak dari alur pikir yang bersifat pluralis dan keterbukaan antar umat beragama di harapkan dapat meredam potensi-potensi konflik dan kekerasan yang bisa muncul dari sesama kaum beriman. Dengan sikap pluralis ini setiap insan digerakkan untuk mengembangkan pemahaman diri terhadap tradisi (agama), terbuka terhadap beragam konsep kehadiran, makna dan persepsi terhadap “the real” dalam jiwa manusia (John Hick, 1987: 333). Melalui term “membuka” bagi yang lain dan prinsip “pertemanan” sejati, segenap kaum beriman diajak untuk berani berdiri atas sikap “menolak” setiap jenis kekebalan terhadap argumen, pembenaran sepihak dari dogma tertentu, struktur ideologi maupun dominasi sosial tertentu. Setiap agama diajak untuk mau memeriksa kembali pendiriannya masing-masing. Sebuah penekanan tentang pentingnya pengembangan komitmen kepada budaya baru yang “lebih” manusiawi, yang menjadi “arah-arah pasti” (irrevocable directives) yang dapat membimbing umat manusia menuju satu kemanusiaan, satu peradaban dan satu masa depan.
Melalui diskursus (secara distingsif) antara esoterisme dan eksoterisme, pembicaraan mengenai pluralisme agama begitu intens disuarakan oleh kaum perennialis; wacana sikap peduli tanpa label agama, pemberdayaan nilai-nilai keadilan, kebersamaan, pencapaian keutuhan ciptaan, hidup yang lestari dan tanggung jawab antar sesama manusia di dalam kereta dan ruang waktu yang sama. Misi keagamaan haruslah dijalin dalam suasana yang dialogis, ramah dan inklusif, dapat menyentuh persoalan-persoalan kemanusiaan, kerohanian dan spiritualitas, bukan mengedepankan simbolisme agama.
Usaha untuk memberi “titik temu” agama-agama, kiranya perlu dibingkai dalam format ketuhanan yang Maha Esa. Semua itu berasal dari satu Tuhan, maka pada tingkat transenden, kata Frithjof Schoun, semua agama akan mencapai titik temu. Atau, bagi Huston Smith (1973) bahwa landasan esoterik agama-agama itu sama. Sementara dalam perspektif filsafat perennial, kesamaan itu diistilahkan dengan transcendent unity of religions (kesamaan transenden agama-agama). Jadi, pada tingkat the common vision (Huston Smith) atau pada tingkat transcendent (kaum perennialis) semua agama mempunyai kesatuan. Kalau tidak, malah kesamaan gagasan dasar.
Dalam konteks pluralitas agama, penerimaan adanya the common vision ini berarti menghubungkan kembali the many dalam hal ini realitas eksoteris agama-agama, kepada asalnya The One, Tuhan, yang diberi berbagai macam nama oleh para pemeluk berbagai agama sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kesadaran sosial dan spiritual manusia. Sehingga, kesan empiris tentang adanya agama-agama yang plural itu tidak hanya berhenti sebagai fenomena faktual saja. Akan tetapi, kemudian dilanjutkan bahwa ada satu Realitas yang menjadi pengikat yang sama dari agama-agama tersebut, yang dalam bahasa simbolis bolehlah kita sebut dengan “agama itu”.
Agama yang satu berbeda dengan agama yang lain, tetapi kebenaran lain pun tak boleh disangkal bahwa di antara agama-agama itu terdapat persamaan yang seringkali menakjubkan. Kita sering begitu tercengkeram dalam bentuk-bentuk lahir keagamaan yang kita pertahankan mati-matian seolah-olah merupakan benteng terakhir. Padahal, itu sebenarnya merupakan juga produk salah satu generasi pendahulu kita. Dengan menyadari bahwa pluralitas agama pada akhirnya akan mengantar kepada titik temu agama, asal tidak terpaku pada bentuk lahiriah agama yang eksoteris, namun memandangnya sebagai yang esoteris, sehingga mampu menyadari tentang segi-segi agama yang sifatnya relatif, namun mengandung yang Absolut. Maka, si situlah akan terdapat dinamika kehidupan beragama, yang berpuncak kepada kerukunan hidup beragama.
Kehidupan beragama yang dinamis merupakan faktor dasar yang bersifat menentukan bagi terwujudnya stabilitas nasional, persatuan dan kerukunan, perdamaian dan ketenangan hidup, kehidupan beragama yang dinamis dengan terciptanya kerukunan umat beragama tentu saja membawa manfaat yang sangat besar. Untuk umat beragama terwujudnya kerukunan umat beragama mempunyai manfaat, minimal terjaminnya serta dihormatinya iman dan identitas mereka oleh pihak lain, dan maksimal adalah terbukanya peluang untuk membuktikan keagungan agama mereka masing-masing dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Usaha manusia menemukan agama atau cara memeluk agama dan cara menghayatinya haruslah tidak membuatnya lumpuh secara kerohanian, namun mengembangkan lebih jauh nilai kemanusiaannya sendiri, membuat mekar potensi spesifeknya sebagai manusia. Beragama tidak boleh membelenggu jiwa dan rohani yang bersangkutan, akan tetapi beragama mesti membebaskannya dari subjektivitas yang mengelilingi hidupnya. Dalam menapaki jalan menuju Tuhan, diperlukan sikap keterbukaan dengan semangat mencari kebenaran. Sikap demikian harus dilakukan secara tulus dan murni (hanifiyyah samhah), dalam istilah Norcholish Madjid, yang menjanjikan kebahagiaan sejati dan tidak bersifat palliative serta tidak bersikap sektarian.
Melalui alur pikir pluralisme, filsafat perennial menawarkan sebuah ajakan kepada agama-agama untuk berpindah “diri” dari “truth-claim” dan “fanaticism” ke arah pemusatan pada “Yang Suci”. Abul Kalam Azad menyebut “Al Din Wahid wa Al Syar’at Mukhtalifat; No difference in Din difference only in Sharia; Agama tetap satu dan Syariah berbeda-beda”. Tuhan tetap sama, dalam keadaan apapun petunjuk-petunjuk yang disampaikan kepada manusia dengan cara yang sama. Pesan yang disampaikan hanyalah bahwa kita harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik sesuai dengan tingkatan iman kita. Inilah yang ditawarkan agama kepada umat manusia disepanjang zaman dan dalam segala keadaan; inilah yang dimaksudkan dengan agama.

Simpulan
Tuhan, dalam keadaan apapun petunjuk-petunjuk yang disampaikan-Nya kepada manusia dengan cara yang sama. Pesan yang disampaikan hanyalah bahwa kita harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik sesuai dengan tingkatan iman kita. Kekuatan agama yang dibangun atas prinsip kasih sayang, kedamaian, kearifan dan kesalehan akan afflicable dalam mengkomunikasikan ajaran-ajarannya. Kebenaran yang dikandung agama, bukan lagi atas nama pribadi namun merupakan hak masyarakat (public religion). Kesadaran ini hendaknya memberikan perhatian penuh kepada keluhuran misi yang diemban agama mengajak manusia menapaki jalan kebaikan dan keselamatan, kedamaian dan keharmonisan dalam lingkup persaudaraan, kesetaraan, kebebasan dan kebersamaan; menciptakan rasa kemanusiaan yang manusiawi dan keadilan yang merata.
Dengan demikian, pluralisme agama tidak hanya berhegemoni sebagai sebuah ‘dogma’ keaagamaan. Takaran tentang agama Tuhan telah dilalui manusia sejak keberadaannya di bumi Tuhan. Setiap agama benar menurut masing-masing pemeluknya. Oleh karena itu, pluralisme agama merupakan alternatif lanjutan dari sikap inklusif terhadap subyek agama itu sendiri, yakni manusia. Jadi, setiap agama mengakui adanya Pluralitas Agama (keberagaman agama), namun setiap agama tidak mungkin mengakui Pluralisme Agama (persamaan agama/semua agama sama).





[1] Koentjaraningrat, Kebudyaaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1978), hlm. 136-137.  
[2] Lihat misalnya John Locke, A Letter Concerning Toleration (London, 1689; aslinya dalam bahasa Latin berjudul Epistola de Tolerantia) dan Voltaire, Traité sur la tolerance (Paris, 1763). Menurut kamus Oxford English Dictionary, “tolerance is the ability or willingness to tolerate the existence of opinions or behaviourthat one dislikes or disagrees with; the capacity to endure continued subjection to something such as a drug or environmental conditions without adverse reaction.”
[3] Lihat “A Philosophy of Religious Pluralism,” dalam John Hick, Problems of Religious Pluralism (London: Macmillan, 1985), 31-38; asalnya dimuat dalam The World’s Religious Traditions: Essays in Honour of Wilfred Cantwell Smith, ed. Frank Whaling (Edinburgh: T. & T. Clark, 1984).Namun tipologi ini, katanya, pertama kali dilontarkan oleh Alan Race, Christians and Religious Pluralism (London: SCM Press, 1983).
[4] Lihat uraian lengkapnya dalam John Hick dan Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 42-45.

Tuesday, November 22, 2011

Kangen Tuhan (3)

menahan diri sering bergelayut
membui hasrat menjingga suri
antarkan baikku dalam perangaimu
asingkan kemelut berawan pekat perih
       
         sudahkah kau ingat
         belum?
         terpaksakah kau sujud
         benar?

    jangan berdiri dan mendominasi
    terjengah selagi rindu meninggi
    menghela nafas sesak lagi
    kangen blaian indah dalam sunyi

menjerit. memaki-maki diri tanpa peduli air mata membanjiri.
sedangkan lebar dada dikuasai bejat petingaii tari-tarian setan duniawi
 
    penggal deru keji dan benci
    hei... siapakah tentara tak bermoral
    hunus pedang! tumpahkan darah merah
    aku memasalahkan iman. bukan perang.

semoga selamanya perang itu mengerikan
semoga selamanya iman tertinggikan

Kangen Tuhan (1)

aku terkadang bersemayam
memandangi hujan yang reda kemudian
menangisi pelangi yang pergi membuyar

aku terkadang menahan
meneliti jerih dan payah bertuan
selagi aku ingin. itu yang termuatkan

aku memang meninggi senyam

terbalik dungu dalam kawanan

hampir saja tak kurasakan beban

terimakasih Tuhan!
Tuhan, sampai jumpa, lagi!

_____
Oejank Indro
Jakarta, 25 Oktober 2011

Saturday, October 15, 2011

Sokrates: Dari Budi Hingga Daimonion


Crito,aku berhutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa membayarnya kembali.” Kata Sokrates. “Utang itu akan dibayar.” Jawab Crito, “Adakah pesan yang lain?” Suasana berubah hening. Sokrates dengan tenang berkata, “Tidak ada.” Tidak berselang lama, datang seorang pelayan penjara mengangkatkan kain yang menutupi Sokrates. Matanya terbuka dengan tiada bercahaya lagi. Crito menutupkan mulutnya dan matanya.
Paragraf di atas adalah potongan antiklimaks dari kisah hidup seorang pelopor filsafat klasik di Yunani, Sokrates. Lahir dari rahim seorang bidan yang bersuamikan pengerajin patung, Sokrates hidup ketika ajaran Sofisme sedang berjaya di Atena. Sokrates lahir pada tahun 470 SM dan meninggal pada 399 SM. Masa muda Sokrates dihabiskan dengan membantu bapaknya sebagai pematung, sebelum akhirnya memutar haluan. Dari membentuk batu menjadi patung, ia membentuk watak manusia. Ia merupakan filsof dengan coraknya sendiri. Hidupnya adalah filosofinya. Sokrates tidak pernah menulis ajaran, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Tujuan filosofi Sokrates adalah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya.

Thursday, September 8, 2011

Bulan Pesisir Pantura

Bulan Pesisir Pantura
Mang Oejank Indro


Sekarang aku mencari keadilan. Tidak ada laki-laki yang sekeji itu selain dirimu. Bukan karena aku lahir di pedesaan kumuh yang berair payau, berbau amis, dan penuh sesak dengan kubangan lumpur menjijikkan. Kau ingat, ketika tubuhku kau nikmati dengan bengis birahimu? Aku memaki-maki diriku sendiri disudut kamar kita. Tidak sekalipun kau menatapku, apalagi membelaiku dengan jari-jari tanganmu yang kasar. Tidak lagi. Tidak seperti dulu. Sebelum rahimku berhenti menyediakan benih seorang bayi. Iya! Aku mandul. Aku mandul. Aku tidak bisa memberi keturunan untukmu. Keturunan yang berhulu dari spermamu. Dan menjadi darah dagingmu.
Aku tidak akan menyalahkan Lindu, juga Teti. Mereka tidak mandul. Mereka gadis subur yang bisa memberi keturunan untukmu. Kau akan bahagia dengan mereka. Aku lebih senang dimadu dengan Teti, ia perempuan baik-baik. Aku yakin itu. Ayahnya memang berandalan, tapi ibunya tidak berandal. Aku yakin, kita bisa rukun. Asalkan kau bisa berlaku adil. Memang sangat berat untukku. Tapi aku masih isterimu. Perintahmu adalah jalanku ke surgaNya.

Saturday, August 20, 2011

Dongeng Surgaku


Dongeng Surgaku



pagiku redup
berulang redup
tangisku silau
menggulung ufuk


                pagiku cerah
                membara jingga
                tertawa gembira
                menjala aura

kau, bukan
               
                iya, aku

aku matikan lampu
aku hirup asap bakau
sandarkan bahuku
aahh..

                kini waktu membantuku
                menari dan menjelajah. tak ada haru
Manja!
                kau pikir tidak jenuh?
                aku melempar malu. tak ada haru

parasmu itu
luapkan titik benalu
tusukku tanpa porsi dulu
                manja..!
kenali murkamu
kau..!
Iya, aku
Tuturku menjubal kala fajar
Redupkan harum. Kau tidur
Tidak, bukan!
Bayangmu sesalkan sinar
Matikan tanah yang subur
Emm.. Iya, aku!
Tapi,..
Kau berang dengan mereka
Mencari kambing tak berbulu
Mengadu bak kancil merah
Dan, menangis dipojok pintu
Kau, kau tahu?
Flamboyan mengharu sejuk
Mengusir garis-garis pantai sejuk
Pikirmu aku segan terbujuk?

Tak luput.
Tubuhmu indah, memang indah
Senyummu merekah, mengaliri buih-buih mesra
Kadang berguru pun tak cukup
Gombal
Kucrut
Hey..!
Tanpamu, Aku..
Curut

Merebahlah, tunduk
Kau sudah banyak kuguyur
Tubuhmu itu suci ketika..
Lahir?
Kau mujur dan kau..kau..kau..!
Rumahku bertingkat
Jubahku berhias emas
Lihat..! kini aku waras
Kau.. cobalah lirikkan matamu
Lepas..!!
Merebahlah, tunduk.
Patahkan kakimu
Letakkan keningmu, tunduk!
Seandainya..
Diam..!!
Wajahmu tak berpaling
Biarkan..! Tunjukkan!
Aku… Aku..!
Guraumu bukan untukku
Wajahku tak sadar diduniamu
Suaraku mengringi nadimu
Mataku melebur, terbang, berkejaran di nafasmu
Kau! Hidup di duniaku
Tak pernah kau hadir!
Candamu itu, sampah!
Hanya senangmu, itu mauku.
Diam..!!
Sepihak kau suruh aku diam
Guratan dahimu saja, huh..
Aku terkesan.  Jancuk!
Merebahlah, tunduk
Ceritamu tak lebih busuk dari Fir’aun
Kejimu, huh! Pelajaranku.

Merasa sesal dalam-dalam. Terpikat jarah. Kau tak jera.
Kau menyamun ruang putih. Aku melamun dalam sepetak ladang gelap.
Kau berapi-api membawa perisai besi. Menghunus pedang bertulis “BUI”
Dan, kau menghela nafas. Mengusap dahi dengan air yang kau sebut “SUCI”
Aku tahu
Tanganku bergetar menapak tanah yang bernisan
Dadaku terkoyak setelah sekilas meratapi
Sifatmu
Iya, aku!
Kau mendosakan kebaikanku
Kau menghitamkan padang yang kuputihkan
Kau turunkan kedinginan yang panas
Kala manusia-manusia itu naza’
Ha ha ha ha ha
Iya, aku
Kau hanya ingin sujud kepada Adam
Adam yang aku bius dengan kelembutan
Kelembutan yang terpisah dari rusuk kirinya

Merebahlah, tunduk!
Surgaku bukan surgamu
Nerakaku itu surgamu
Kilatan cahaya dan harum yang tak kukenal itu.
Disanalah tempatku.
Matamu tak mampu lagi menahan jampiku
Kau hanya menyiksa batinmu di duniamu
Hanya untuk dunia mereka yang tabu
Mengatasnamakan surga ditelapak kaki ibu

Akulah ibumu.
Bukan, dia ibuku.
Ibuku tidak bertaring dan berbulu.
Ibuku membelai indah malam-malamku.
Kenapa kau diam?
Ingat saat kau menjambak rambutnya yang memutih?
Ingat saat lenganmu menyambar pipinya yang keriput?
Ingat saat kau terbahak mendengar namanya terlacur?
Ingatlah itu, kau senang bukan? Siapa ibumu sekarang?
Akulah ibumu.
Merebahlah, tunduk!
Ibuku itu,
Ketika aku merengek tidak memperoleh permen.
Aku masih menerima kecupan dikening kecilku, tanpa dia lesuh.
Mengelus bekas lukaku. Dan, tak peduli jika terluka karenaku.

Ibuku itu,
Ketika malam bersujud dengan do’a yang berkejaran.
Hanya untuk menghilangkan dosa terkesil disekujur tubuhku.
Sekalipun aku berkeras untuk tetap membela temanku.

Ibuku itu,
Orang yang tidak punya malu.
Hanya untuk menyuapiku sepiring nasi dan seteguk air putih.
Dan, menabur sekeping koin dalam saku celanaku.

Ibuku itu,
Manusia yang menyiangi sekujur tubuhku tanpa letih.
Ketika urat nadinya mengecil dan hampir mati.
Terlebih ketika kening dan kakinya mulai melepuh.

Ibuku itu,
Ketika aku dewasa.
Sedikitpun tidak memanja untuk mengharap budi.
Ia rela melihatku berdiri dari tempat tidurnya. Meneteskan air mata kasih.
Lalu pergi tidur dengan tiga lembar kain putih yang terikat rapi.


________
Depok, 20 Agustus 2011
Mang Oejank Indro

Tuesday, August 16, 2011

Indonesia Terbalik (1)


Oleh, Mang Oejank Indro
"Ini adalah artikel yang akan terbit secara berkala. Dalam artikel ini, Penulis akan memberikan sedikit gambaran Indonesia kita yang unik dan besar!"

Rahasiamu, Indonesiaku
Menulis tentang Indonesia memang menyenangkan. Ditengah hiruk pikuk kehadiran pesta olahraga terbesar se-Asia Tenggara , SEA Games 26, yang dicanangkan dihelat tanggal 11-22 November 2011. Keajaiban yang terukir indah dalam bentangan pulau sepanjang sekitar 5.000 kilometer, yang diantaranya 3.000 pulau layak huni, inilah Indonesiaku. Sejarah banyak mencatat kejayaan kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di Nusantara yang memiliki kharisma dan kekuasaan yang menakjubkan. Sebut saja, Sriwijaya yang mengendalikan perdagangan dunia pada abad pertengahan, ketika barat sedang mengalami abad kegelapan. Majapahit yang berhasil menaklukkan banyak wilayah nusantara dan berkuasa hingga daratan Semenanjung Malaya, dan banyak masih banyak lagi.
Fakta sejarah terlalu banyak bercerita tentang Indonesia, Prof, Arisyo Santos dalam bukunya Atlantis:The Lost Continent Finally Found, secara tegas menerangkan bahwa Indonesia –lah Atlantis. Ibu dari seluruh peradaban dunia, sebuah peradaban yang dituangkan secara misterius dan fantastis oleh Mbahnya filsuf dunia, Plato. Secara geografis, Indonesia menempati posisi yang ‘aman’ dan ‘nyaman’. Tidak heran Koes Plus mendendangkan lagu “Kolam Susu” sebagai perumpamaan kekayaan yang dimiliki Indonesia. Daratan kita menempati urutan ke enam sebagai yang terluas, dengan bentangan daratan sekitar dua juta mil persegi. Terselip diantara dua benua, Asia dan Australia. Mengambang diantara dua samudera, Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia. Indonesia masih sebagai Negara dengan sumberdaya alam terbesar ketiga dunia, dibelakang Amerika Serikat dan Rusia. Faktanya, satu dari empat ban mobil Amerika terbuat dari karet Indonesia.
Di wilayah Indonesia yang sedemikian luas itu, matahari pun tidak cukup hanya sekali terbit. Matahari harus terbit sebanyak tiga kali. Hal ini mengakibatkan pembagian waktu menjadi tiga bagian. WIB untuk Indonesia bagian barat, WITA, di bagian tengah, dan WIT, untuk bagian Timur. Luas daratan Inggris Raya, Romania, dan Yunani jika digabungkan menjadi satu, tidak lebih besar dari luas pulau Sumatra dan sekitarnya, sekitar 473.605,9 km2.  Luas wilayah Perancis, 547.026 km2 ternyata lebih kecil daripada Kalimantan Indonesia, 59.424.53 km2. Denmark yang luas wilayahnya 43.069 km2 tidak lebih besar dari Provinsi Jawa Barat, 44.170 km2. Bahkan luas wilayah DI Yogyakarta, 3.142 km2, lebih besar dari gabungan antara Vatikan, Monako, dan Luksemburg. Memang bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar.(Oi)

Sunday, August 14, 2011

SEMALAM DI GERBONG GUMARANG


Oleh,
Mang Oejank Indro

Kerumunan orang berbondong-bondong melihat jadwal keberangkatan kereta di stasiun pasar Senin, seorang petugas berusaha menjawab pertanyaan beberapa orang yang terlihat sedang menunggu sesuatu. Ruangan disebelah kanan pintu keluar telah dipenuhi beberapa orang yang sesekali melihat jam dinding yang tergantung di atas pintu masuk. Mungkin mereka pengguna jasa kereta api, atau sedang menunggu kerabat, sahabat, kekasih, dan istri atau suami mereka.
Sudah setengah jam aku berdiam dan hanya memandangi lalu lalang manusia. Sesekali terdengar suara dari balik speaker mendengungkan kabar kedatangan dan keberangkatan mereka.
            “Ah.., Lama juga keretanya, lali paling masinise”. Gumamku dalam hati. Selang beberapa menit, speaker yang tergantung di atas plafon atap stasiun memberikan informasi kedatangan KA Gumarang kelas bisnis jurusan pasar Senen – pasar Turi.

Saturday, August 13, 2011

Islam, Budaya dan Teknologi-nya Gus Dur


Oleh, Mang Oejank Indro

PADA suatu pagi, Gus Dur duduk di kursi depan kendaraan yang dinaikinya. Suara dari kaset terdengar memenuhi kabin kendaraan, mengalunkan bermacam shalawat yang didendangkan anak-anak dengan dipimpin seorang dewasa. Berbagai shalawat didendangkan, termasuk shalawat/pujian semasa menunggu datangyan imam di masjid/musala. Dibawakan versi lengkap dari pujian “Illahi Lastu” yang biasanya hanya diperdengarkan dua baris/bait bahasa Arab saja. Kira-kira dua jam berkendara dari tempat tinggal Gus Dur di jalan Paso ke Hotel Marriott guna melakukan doa bersama dengan sejumlah kiai dan para agamawan lain. Dalam mendengarkan kaset shalawat dan pujian, Gus Dur lagi-lagi dihadapkan kepada sebuah gambaran tentang masyarakat kita dewasa ini, yaitu antara dendang tradisional tapi menggunakan alat-alat sound system yang sangat canggih. Yang dimaksudkan Gus Dur adalah penggunaan teknologi canggih berarti tekonologi modern oleh pergelaran tradisional. Ini adalah kenyataan di depan mata yang tidak dapat diingkari walaupun jarang dipikirkan. Ternyata tidak seperti yang para peneliti dan pemerhati sering kemukakan mengenai adanya pertentangan teknologi modern dengan budaya tradisional.

Friday, August 12, 2011

HINDARI SEX-APPEAL DAN NAFSU EXHIBISIONISME


Oleh,
Mang Oejank Indro


Pada era modern saat ini banyak bermunculan media-media yang menghantarkan remaja kedalam aspek-aspek demonstratif dan agresif. Bahkan dapat dikatakan hampir pada semua kegiatan kehidupan kita sehari-hari. Pertemuan di sekolah, kampus, tempat olahraga, dalam kendaraan, pengajian dan sebagainya. Apabila kita kurang hati-hati dan tidak mempunyai kendali diri yang berupa aturan moral, maka lingkungan akan menyeret kita kedalam suatu ruang perversi. Dan yang sering menjadi menjadi wahana eksplorasinya adalah kalangan remaja, hal ini sangat berbahaya karena mereka sedang dalam keadaan jiwa yang tidak tetap, suatu pribadi yang belum memiliki kematangan bentuk dan masih muda menerima pengaruh dari luar. Apalagi pengaruh-pengaruh yang datangnya sengat menyolok dan dengan disengaja, selain itu, organ seksualitas yang mulai matang sebagai alat pemenuhan kebutuhan koitus yang mulai membara yang mana pada konsdisi inilah kebutuhan tersebut membutuhkan sambutan dari luar.

Sex-appeal adalah daya tarik yang kuat yang dapat membangkitkan seseorang pada nafsu-nafsu seksual atau birahi terhadap jenis lain. Sedangkan nafsu exhibisionisme mempunyai pengertian suatu keinginan yang kuat untuk memperlihatkan kepada orang lain karena sifat jasmaniah yang dimiliki oleh seseorang, terutama dipergunakan dalam hal-hal yang bersangkut paut dengan masalah seksualitas. Karena sifatnya yang dating secara tiba-tiba dan dapat melemahkan kepribadian, seseorang akan terdorong untuk berbuat sesuatu yang sifatnya erotis-seksual.

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...