Oleh,
Mang
Oejank Indro
Kerumunan
orang berbondong-bondong melihat jadwal keberangkatan kereta di stasiun pasar
Senin, seorang petugas berusaha menjawab pertanyaan beberapa orang yang
terlihat sedang menunggu sesuatu. Ruangan disebelah kanan pintu keluar telah
dipenuhi beberapa orang yang sesekali melihat jam dinding yang tergantung di
atas pintu masuk. Mungkin mereka pengguna jasa kereta api, atau sedang menunggu
kerabat, sahabat, kekasih, dan istri atau suami mereka.
Sudah
setengah jam aku berdiam dan hanya memandangi lalu lalang manusia. Sesekali
terdengar suara dari balik speaker mendengungkan kabar kedatangan dan
keberangkatan mereka.
“Ah..,
Lama juga keretanya, lali paling
masinise”. Gumamku dalam hati. Selang beberapa menit, speaker yang tergantung di atas plafon atap stasiun memberikan informasi
kedatangan KA Gumarang kelas bisnis jurusan pasar Senen – pasar Turi.
*
Segera
kuangkat kedua ranselku, ku sematkan di dada dan punggungku, tangan kananku
segera menenteng koper kecil dan segera menacari tempat duduk di dalam kereta.
Tidak banyak penumpang waktu itu, masih banyak tempat duduk yang kosong.
“sepertinya aku bisa lebih santai
dan menikmati perjalanan ini”. Kataku dalam hati.
“Turun
mana mas?” seorang di sebelahku bertanya.
“Turun Pasar Turi, bapak?”
“Sama, saya juga turun pasar Turi”.
Seorang petugas stasiun meniup
peluit, tanda kereta akan berangkat. Minuman dan cemilan ku tata dengan rapi di
meja kecil yang menempel dinding
gerbong. Sebungkus roti, sebotol air mineral menjadi bekal perjalananku kali
ini.
Roda kereta mulai berjalan di atas
bantalan rel yang kuat, asap lokomotif mulai mengepul, perlahan dan cepat
kereta yang aku tumpangi bergerak meninggalkan stasiun pasar Senin Jakarta menuju ke stasiun
pasar Turi Surabaya.
Limabelas menit telah berlalu.
Kumandang adzan maghrib terdengar menelusuri kedua lubang telingaku. Bapak yang
duduk tepat disebelahku menghilang entah kemana. Tidak lama setelah melewati
stasiun pertama, petugas restorasi menjajakan cemilan dan minuman dari gerbong
satu ke gerbong lainnya. “Air…air, kopi..kopi, nasi..nasi” pekiknya. Aku hanya
membuka tangan dengan sopan, berniat tidak membeli dagangannya.
Petugas restorasi itu sepertinya
harus kembali dengan tangan hampa, hanya dua penumpang yang membeli
dagangannya. “Pemeriksaan karcis..” teriak seorang pria dewasa dengan seragam
dan kumis yang rapi. Segera aku mengambil karcis yang ku beli dengan harga
Rp.160.000,00. Pria tersebut memeriksa dengan seksama tanggal dan tujuan yang
tercetak di karcis itu. Sepertinya dia adalah petugas kereta api yang jujur dan
baik hati. Di sebelah kiri dadanya tersemat sebuah nama. “Harianto.” Ya…itu
adalah namanya, pak Har panggilan akrabnya. Beliau sudah 15 tahun
menggantungkan hidupnya di dunia perkeretaapian. Waktu yang cukup lama.
*
Gelap dan dingin, hanya secerca
lampu penerang jalan dan sorot kendaraan yang sesekali mengilat di retinaku.
Suasana di dalam kereta tidak terlalu sunyi, masih banyak penumpang lain sedang
bercengkeramah dengan sengitnya. Aku mencoba menghibur diri dengan membaca
novel Sejuta Hati untuk Gus Dur karya Damien Damatra. Aku sangat mencintai Gus
Dur. Apapun tentang Gus Dur selalu istimewa untuk ku ketahui. Ditemani
secangkir kopi, mataku mulai meraba susunan kalimat yang terangkai dengan lugas
dan sedap. Damien Dematra memang penulis yang hebat. Cara beliau merajut dan
meracik kalimat-kalimat dengan kiasan kata yang unik membuatku terkagum-kagum.
Kilatan cahaya lampu jalanan semakin
jarang terlihat. Sepertinya aku sudah jauh meninggalkan ibu kota ,
Jakarta . Sejenak
aku memeriksa telepon genggam yang aku selipkan di saku kanan celanaku. Sudah
pukul 21:00 WIB. Sudah dua jam aku menikmati novel Damien Dematra. Sekali lagi
petugas restorasi menjajakan dagangannya. Dia berjalan melewati beberapa orang
yang terlihat tidur pulas di lantai. Ada
juga yang menyilangkan kaki dan
kepalanya.
“Pak, restorasinya di gerbong
berapa?” Tanyaku.
“Setelah gerbong delapan.” Jawab
petugas itu dengan mata yang kurang sedap.
“Ada kopinya pak?”
“Ada , mas kesana saja.” Ucap petugas itu
seraya merapikan gelas di nampan yang dipanggulnya. Nadanya agak miring.
Mungkin gaji yang ia terima tidak sebanding dengan pengeluarannya di rumah.
Malam ini semi final UEFA Champions
Legue akan dihelat. Pertadingan First Leg
yang mempertemukan juara bertahan FC Barcelona
dari Spanyol melawan Internationale
dari Italia tersebut akan di tayangkan secara langsung RCTI. Aku sudah
mempunyai planning untuk menyaksikan
pertandingan tersebut.
*
Pandanganku mulai kabur. Kereta meluncur
semakin kencang. Jari-jariku mencoba meraih botol air minum di bawah kursi.
Seorang pria dengan barang bawaannya yang super, dengan gerakan tak berdosa
mengambil tempat di sebelahku. “Maaf pak, disini ada orangnya.” Kataku sambari
menunjuk ke kursi.
“Nggak apa-apa, orangnya kemana?” Tanya
beliau dengan nada sinis.
“Itu,
sedang tidur.” Jariku menunjuk seorang pria yang tidur pulas di lantai.
“Orangnya
sudah tidur, biarin.” Sahutnya.
Telingaku
menangkap suara petugas kereta api. “Karcis…karcis..” sapaya sedikit
menggertak. Kali ini bukan pak Harianto yang bertugas memeriksa karcis. Segera
aku siapkan karcisku. Selang beberapa detik, petugas kereta api itu telah
berdiri di depanku. “Ini pak.” Sapaku sambari menunjukkan karcis. Petugas itu
diam, memperhatikan karcis sejenak, dan menyerahkan kembali karcis padaku.
Seorang
yang duduk disampingku terlihat mengorek-ngorek isi tas kecilnya. Entah apa
yang dicarinya. Petugas kereta api mulai gundah. “Pak, boleh lihat karcisnya?”
Tanya petugas. “Sebentar.” Jawabnya singkat.
Mimik
petugas kereta terlihat semakin gelisah. “Pak, karcisnya mana?” tanyanya.
“Ini
pak.” Jawab penumpang tersebut dengan menyerahkan kertas kecil.
“Lho…opo iki?” Ujar petugas sedikit geram.
Bagaimana tidak, kertas kecil tersebut adalah struk belanja – mungkin dari
minimarket sekitar. Mata di sekitar mulai mengalihkan pendangan kucing pada
penumpang tersebut. Ditangannya uang Rp.20.000,00 sudah dilipatnya dengan rapi.
Kemudian dia menyalami petugas kereta, saling bertukar pandang dengan bahasa
mata mereka, dan semuanya selesai. Lenyap. Satu penumpang ilegal telah
dilegalkan.
Ransel kecil yang berisi buku-buku
dan barang berharga lainnya segera ku ambil. Ku langkahkan kakiku menjauh dari
tempat duduk semula, menuju restorasi di gerbong delapan. Rasanya akan
melelahkan berjalan dari gerbong satu ke gerbong delapan. Tapi demam bola sudah
menusuk sampai ubun-ubun. Sejenak aku mengawasi kanan dan kiriku. Lusinan tubuh
manusia memenuhi gerbong pertama, gerbong yang aku tempati. Di gerbong kedua,
suasana sangat hening. Banyak bangku kosong yang “dicuri” penumpang lainnya
untuk tidur. Padahal di gerbong pertama banyak penumpang yang berguling-guling
dilantai. Ironis. Hal yang berbeda aku temui di gerbong ketiga, keempat, dan
seterusnya. Sampai akhirnya aku sudah sampai di gerbong delapan, restorasi.
***
Musik
dangdut koplo mengentak dari dua buah pengeras suara rakitan. Satu tergeletak
di lantai, tertindih TV, DVD, dan Amplifer, satunya lagi menempel angkuh pada
dinding gerbong. Cukup ramai di sini. Tidak hanya penumpang yang berniat makan
atau sekadar ngopi, tapi penumpang
yang memaksakan diri, atau menjubelkan diri, untuk memperoleh tempat duduk yang
nyaman. Dipojok gerbong seorang ibu muda merangkul anaknya yang masih balita.
Suaminya berdiri dengan kaku disebelahnya. Lorong menuju gerbong “Exekutif class” pun terisi oleh lusinan manusia. Tempat istirahat petugas kereta
juga tak luput dari ‘keganasan’ penumpang. “Benar-benar gila.” Tukasku dalam
hati.
“Mas,
Kopi!” Tegur seorang pria agak tua dari bilik dapur resorasi. “Ok. Terimakasih,
pak.” Jawabku singkat. Kini perhatianku tertuju pada tiga orang pria paruh baya
– sebenarnya yang ditengah sudah agak tua. Topik yang mereka gelontorkan adalah
politik, pemerintah. “Memang banyak kesalahan. Begini lho pak, dulu itu, pas saya
masih muda, Presiden itu dihargai betul.” Ujar seorang yang agak tua tadi. Ia terlihat
seperti tokoh Ki Manda Raka dalam kisah Tewasnya
Marta Laya. “Untuk apa kita hormati, beliau juga tidak menghormati kita?”
Ujar seorang yang berada disamping kanannya.
“Jaman
sudah banyak berubah, Mas, Pak! Waktu kecil, uang saku saya Rp. 50 pun sudah cukup untuk hidup satu bulan. Sekarang,
anak saya, Rp. 800.000, agaknya kembang-kempis.” Sahut seorang lelaki paruhbaya
disamping kirinya.
“Iya,
betul sekali itu.” Seorang tua tadi menimpali. Ketiga orang tersebut
mengreyitkan dahi, sejenak mengela nafas. Kondisi yang mereka hadapi sekarang
layaknya sidang kemerdekaan.
Aku
hanya mendengarkan dengan cukup terantuk-antuk. Sesekali aku menyeruput kopi
dalam gelas jumbo diatas meja. Kick off
babak pertama segera dimulai. Dan beberapa mata disekitar mulai memusatkan pada
layar televisi berukuran 14inch tersebut, tidak terkecuali aku. Sudah lewat 40
menit pertama, mataku mulai berkunang. Ternyata televisi mungil itu mulai
memalingkan sinyal. Semut-semut digital mengerubung dan mengacaukan gambar. ‘Waduh,
gawat pak e..!” Teriak seorang bapak
bertopi dari belakang, lalu suara tertawa merintih pelan dari beberapa mulut
orang-orang disekitarku. Petugas kereta yang mengaku bernama Sobirin, berusaha
mengendalikan sinyal. Memegangi antena reot dengan kabel yang tergulung rapi. “Jangkrik, mayak..!” Ia tampak kesal, rautmukannya hampir mirip tokoh Pak Ogah
dalam cerita Si unyil.
Kereta
berhenti. Gemuruh pedagang melejit dari luar gerbong. Aku diam saja. Masih tetap
diam didepan segelas kopi yang sudah tinggal separuh. “Semarang….Semarang…Semarang..!”
Teriakan banyak orang dari luar gerbong. Aku meyakini mereka adalah pedagang
asongan, makanan, hingga tukang angkut barang. Tinggal beberapa jam lagi, dan
aku kembali ke asal. Back to nature. Aku
benar-benar merasa lega. Ujian masuk Universitas Indonesia sudah aku kacaukan
dengan hanya menjawab 70% dari seluruh total soal yang diujikan. “Wis ben!” Aku seolah berteriak dalam
hati. Bagaimana tidak, keputusanku untuk meninggalkan pekerjaan di perusahaan
asing dengan penghasilan 3 kali lipat UMR (upah minimum regional) Kabupaten
Gresik aku tinggal percuma, dengan perasaan tidak bersalah terhadap keluarga. Ya..
keluarga yang menggantungkan asa dari seorang anak pertama dengan dua orang
adik perempuan. Ah, aku bersikap terbuka. Aku merasa yakin akan dieterima,
kalau tidak, bahaya! Alasanku meninggalkan pekerjaan adalah, “Mendapat
rekomendasi beasiswa penuh dari pemerintah.” Dan itu aku utarakan bukan hanya
kepada atasanku. Tapi kepada semua orang yang menanyakan alasanku meninggalkan
pekerjaan itu. Aku berbohong? Ya. Memang berbohong. Tapi taukah kau, aku
mengatakan demikian karena merasa nyaman dengan kata-kata itu.
Kereta
melaju. Perlahan dan cepat. Ingin rasanya aku mulai tidur singkatku. Supaya
esok aku tidak nggeliyeng ketika tiba
di rumah, agar bisa segera meneguk kopi Gresik yang selalu memanjakan kepala. Ini
kali kedua aku menunggang kereta. Dan mungkin menjadi yang terakhir. Tidak
mungkin seorang yang berasal dari desa dan lulusan dari SMA swasta mampu
melenggang dengan mudah ke universitas terbaik di bumi nusantara? Tidak. Tapi itulah
mimpiku.
Sedikit
cerita, ketika aku memasuki ruagan ujian, aku merasa seperti kebakaran, maaf,
jembut (rambut kelamin). Aku mendapati peserta sainganku bukan berlabel Suroboyo-an. Mungkin mereka tidak lebih
pandai mengenakan sarung daripada keponakanku yang masih kelas dua SD. Hahaha..
Aku siapkan segala keperluan, alat tulis; pensil 2B, pengahpus, bulpoin, sudah!
Hanya itu. Pertamakali nama, nomor ujian, dan kolom-kolom identitas. Sudah terisi.
Disinilah keajaibannya. Aku terlepas dari diriku. Jika anda mengenal Dejavu,
yaitu mengalami kejadian yang sepertinya sudah pernah terjadi, itulah aku saat
itu. Tapi berbeda, aku dapat melihat diriku yang sedang mengerjakan soal ujian.
Seperti mimpi. Benar-benar mimpi. Aku seolah melayang diatas diriku. Benar-benar
aneh. Dan aku baru tersadar ketika hendak mengendarai motor Yamaha Mio, motor
kakak yang dipinjamkannya untukku. Subhanallah.
Pagi
menyingsing dari balik rimbun pohon dan semak. Sudah di Lamonagan. Dan sebentar
lagi Surabaya. Dari Surabaya, aku turun di stasiun Pasar Turi, lalu
mendamparkan diri di terminal Sawilangun, masih di wilayah Surabaya. Dan menunggangi
bus Armada Sakti untuk sampai di gapura Desa Gunung Sari. Perjalanan yang tidak
singkat. Inilah duniaku. Dan aku memang hidup di duniamu. Karena dunia kita
masih sama. Entah kapan dunia kita akan berbeda. Wallahua’lam!
***
Aku
baru menyelesaikan prosesi mandi. Dering telepon berbunyi dari balik televisi
14inch hasil jerih payah Bapakku. “Halo, Assalamu’alaikum, Ono opo cak?” Aku angkat telepon dan mengerti itu adalah kakakku,
di Depok. Ia segera menanyakan nomor ujian SIMAK UI (Seleksi Masuk UI) kepadaku.
Suasana hening. “Lulus, awakmu lulus,
keterima.” Katanya dengan nada yang biasa-biasa saja. “Ooo.. ok!” Jawabku juga
dengan nada yang biasa-biasa saja. Karena bukan euphoria ketika aku diterima di
UI yang harus aku rayakan, setidaknya, tapi bagaimana membayar biaya kuliah
disana?
Allah
memiliki kejutan lain. Dan kejutannya sangat indah. Memang Allah indah. Aku
mengurusi pemberkasan, proses daftar ulang, dan lain sebagainya. Setelah itu,
muncul sebuah notifikasi di akun pendaftaran SIMAK UI, Dikti memberikanku
beasiswa penuh. Beasiswa BIDIK MISI, taukah anda kepanjangan BIDIK MISI?
(Beasiswa Pendidikan untuk Mahasiswa Berprestasi), tapi ada tambahan
dibelakangnya, untuk keluarga miskin. Jadi, karena saya termasuk golongan
miskin, tidak susah-sudah harus miskin untuk mendapat pendidikan. “Miskinlah
dulu, baru anda akan gampang mengurus beasiswa!” mungkin itu pesan pemerintah. Hahahaha.
Alhamdulillah!
Semalam
di Gerbong Gumarang! Aku mengenal masa depan. Meskipun ketika berkunjung ke
SMA-ku, beberapa guru merasa tidak yakin. Aku tetap bersama mereka. Doa dan
ilmu mereka selama SMA, itulah bekalku. Semalam di Gerbong Gumarang! Perjalanan
yang sulit aku lupakan. Mengapa? Karena malam itulah, aku terakhir kali
menikmati Gerbong Gumarang, karena sekarang cukup dengan Gerbong Kertajaya! Hahahaha
Depok, Juni 2010
Mang Oejank Indro
No comments:
Post a Comment