Oleh, Mang Oejank Indro
PADA suatu pagi, Gus Dur duduk di kursi depan kendaraan yang
dinaikinya. Suara dari kaset terdengar memenuhi kabin kendaraan, mengalunkan
bermacam shalawat yang didendangkan anak-anak dengan dipimpin seorang dewasa.
Berbagai shalawat didendangkan, termasuk shalawat/pujian semasa menunggu
datangyan imam di masjid/musala. Dibawakan versi lengkap dari pujian “Illahi
Lastu” yang biasanya hanya diperdengarkan dua baris/bait bahasa Arab saja.
Kira-kira dua jam berkendara dari tempat tinggal Gus Dur di jalan Paso ke Hotel
Marriott guna melakukan doa bersama dengan sejumlah kiai dan para agamawan
lain. Dalam mendengarkan kaset shalawat dan pujian, Gus Dur lagi-lagi dihadapkan
kepada sebuah gambaran tentang masyarakat kita dewasa ini, yaitu antara dendang
tradisional tapi menggunakan alat-alat sound system yang sangat canggih. Yang dimaksudkan
Gus Dur adalah penggunaan teknologi canggih berarti tekonologi modern oleh
pergelaran tradisional. Ini adalah kenyataan di depan mata yang tidak dapat
diingkari walaupun jarang dipikirkan. Ternyata tidak seperti yang para peneliti
dan pemerhati sering kemukakan mengenai adanya pertentangan teknologi modern
dengan budaya tradisional.
Dalam kenyataan, walaupun teknologi modern dalam banyak hal
memaksakan sikap dengan meninggalkan hal-hal tradisional, dalam beberapa aspek
kehidupan justru yang tradisional itu diperkuat oleh yang modern. Jadi dalam
hal ini terdapat hubungan simetris, tidak seperti apa yang dikemukakan oleh
Daniel Leaner dari Universitas Harvard dalam bukunya yang berjudul “The Passing
of the Tradisional Society” (Memudarnya Masyarakat Tradisional). Bukankah yang
terjadi di beberapa tempat justru sebaliknya? Justru proses bertemunya
teknologi modern dan budaya tradisional menghasilkan “penyimpangan” berupa
penggunaan teknologi modern itu sendiri guna kepentingan memperkuat
tradisionalisme. Kaset yang Gus Dur dengarkan dalam kendaraan tersebut adalah
bukti konkret yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun. Ini adalah sebuah wajah
dari sekian banyak bentuk penguatan tradisi, seperti dicontohkan oleh pengeras
suara di masjid-masjid dan musala kita, yang masih mengumandangkan Tarhim,
ayat-ayat suci dan Adzan minimal lima kali sehari. Memang rumah-rumah di
sekitarnya lalu turun harganya, tetapi itu tidak menghalangi terjadinya
penggunaan teknologi modern untuk penguatan tradisionalisme, di samping memang
tradisionalisme dalam berbagai bidang mengalami modifikasi oleh teknologi modern.
*****
Hal ini sebenarnya terjadi juga dalam “masyarakat modern” yang berteknologi maju. Di Eropa Barat, misalnya, beberapa negara mengalami kebangkitan kembali pihak Kristen Demokrat dalam politik. Apakah artinya ini? Jawabannya adalah bahwa nilai-nilai ke-Kristenan yang sangat tradisional yang mengacu kepada moralitas bangsa, akhirnya menjadi pembeda dengan partai-partai Demokrat lain di berbagai negara. “Kebangkitan kembali” kaum Nasrani ini tentu saja diakibatkan oleh porak-porandanya tatanan yang dibangun baik oleh “keangkaramurkaan” ambisi politik pribadi seperti dibawakan oleh Adolf Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia serta Josef Stalin di Uni Soviet, serta sekularisme yang menjauhkan agama di beberapa negara. Di Amerika Serikat sendiri kehidupan politik sedikit banyak terpengaruh oleh semakin menguatnya kesadaran beragama, minimal dalam bentuk munculnya kelompok Baptisme Selatan (Southern Baptist Convention). Dan ini juga terlihat dalam terpilihnya beberapa orang Presiden Amerika Serikat dan sepertiga jumlah anggota Kongres (Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat), yang merupakan anggota Gereja Mormon. Bertambahnya “peranan agama” atau kebangkitan moralitas konvensional dalam kehidupan politik negara Paman Sam itu, tentunya berhadapan dengan sikap yang meremehkan kesadaran beragama.
Sikap menolak keabsahan aborsi/pengguguran kandungan (right
to live), adalah pencerminan moralitas konvensional ini. Ini tentu saja
berkebalikan dengan kecenderungan lain, seperti keabsahan perkawinan antara
kaum homosex 様esbi
dan gay・yang terjadi di beberapa negara
lain. Dalam kasus seperti itu, lembaga-lembaga keagamaan seperti gereja
menampilkan pengunaan “alat-alat modern” untuk menampilkan sesuatu dari hal
yang tradisional. Jelas dari uraian di atas baik dalam masyarakat “Timur”
maupun “Barat” telah terjadi sebuah proses dahsyat berupa pertarungan budaya,
minimal dalam kehidupan moralitas, yang melibatkan penggunaan alat-alat
komunikasi dan organisasi modern dan canggih, untuk menangkis
ketakutan-ketakutan tradisional yang menilai jika hal itu dibiarkan saja tanpa
pelawanan maka moralitas kehidupan bangsa akan merosot.
*****
Jadi tidak mengherankan jika teknologi modern itu digunakan dalam “pertempuran budaya” di sementara masyarakat. Tidak mengherankan juga jika tradisionalisme semacam itu juga muncul dalam “kesadaran beragama” yang menampilkan upaya untuk “kembali ke masa silam”, dan terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini Sebetulnya hal itu telah terjadi ketika ada imbauan dari orang-orang seperti Moch. Yamin ataupun Sanusi Pane untuk “kembali kepada kejayaan bangsa di masa lampau.” Mereka bukannya “orang kolot” yang mengingkari teknologi modern, melainkan mereka justru menggunakannya untuk memperkuat tradisionalisme yang mereka miliki. Hakikat inilah yang harus ditangkap dari sikap mereka itu.
No comments:
Post a Comment