Sunday, February 27, 2011

HUKUM KATUP : Kemampuan Memimpin Menentukan Tingkat Keefektivan Seseorang


 Sering kali saya buka konferensi kepemimpinan saya dengan menjelaskan Hukum Katup ini karena membantu orang memahami nilai kepemimpinan. Jika Anda dapat menguasai hukum ini, akan Anda lihat dampak kepemimpinan yang luar biasa pada setiap aspek kehidupan. Maka inilah dia: Kemampuan memimpin adalah katup yang menentukan tingkat keefektivan seseorang. Semakin rendah kemampuan seseorang utnuk memimpin, semakin sedikit katup yang terbuka bagi potensialnya. Semakin tinggi kepemimpinannya, semakin besar keefektivannya. Untuk memberikan contoh, jika kepemimpinan Anda bernilai 8, maka keefektivan Anda takkan pernah lebih besar dari pada 7. Jika kepemimpinan Anda hanya bernilai 4, maka kefektivan Anda takkan pernah lebih dari 3. Kemampuan Anda memimpin – entah baik atau buruk – selalu menentukan keefektivan Anda serta potensi dampak organisasi Anda.

Tuesday, February 22, 2011

Garuda Siswa

-->
Bagian I : Kisah Kampungku

Jemariku mulai merayap. Mengalir bulir-bulir tinta dari pena berwarna hijau yang sudah mulai usang. Disebelahku tergeletak beberapa buku pelajaran sekolah. Aku hanya remaja yang menapaki jejak masa depan dengan pendidikan. Berupaya dengan gembira tanpa lelah mengunyah pengetahuan. Bercita mencari kehidupan yang indah setelah menikah.
Berfantasi sejenak. Aku sedang membayangkan beberapa sahabatku yang sedang menikmati masa muda mereka. Setidaknya hal itu tidak sering aku lakukan. Mereka adalah Asep Abdurrahman, Gito Iskandar, dan M. Rokhim. Sudah lama kehidupanku diwarnai oleh ketiga orang ini. Semenjak duduk di bangku taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas (SMA) kami selalu bersama.
Sudah hampir tiga belas tahun aku dan mereka menyandang predikat sahabat. Banyak hal yang pernah kami lewati bersama.  Asep Abdurrhman adalah seorang remaja yang lahir dari sepasang manusia yang bekerja sebagai tukang jahit keliling. Terkadang banyak baju dan beberapa celana dijahitnya. Kemampuan Asep dalam hal menjahit memang tidak diragukan lagi. Sejak usia 9 tahun ia sudah akrab dengan jarum dan benang. Bahkan kemampuan menjahitnya lebih baik dari sang ayah, Trisno.
Berbeda dengan Asep, Gito adalah putra tunggal yang dibesarkan oleh ayah semata wayangnya. Ya, ibunya meninggal ketika berjibaku melahirkannya. Rumah Gito hanya berjarak 10 meter dari rumahku. Kata bapak, aku dan Gito sering bertengkar waktu kecil. Sejak kecil Gito sering dititipkan ayahnya dirumahku. Ayah Gito adalah tukang sapu jalan Tol Manyar-Surabaya, dan sudah bekerja selama 20 tahun. Meskipun usianya sudah senja, ayah Gito tetap bugar dan suka menggoda janda kampung sebelah.
Sahabatku yang lain adalah Rokhim, atau akrab dipanggil Ochim, ia anak seorang pemulung kelas kakap. Orang tua Rokhim merupakan pemulung tertua di kampung ini. Mereka sudah menghabiskan 40 tahun hidup mereka sebagai pemulung. Ochim memiliki adik perempuan yang cantik. Namanya Khomsah, paggilan kerennya Ocha. Seperti kebanyakan gadis desa yang lain, Ocha sudah di inden oleh anak juragan beras kaya desa sebelah. Padahal aku sebernya menaruh hati kepadanya

****

Malam ini aku, Gito, Asep, dan Ochim berencana melihat pertunjukan wayang kulit di balai desa. kali ini dalangnya adalah dalang nomor wahid di kecamatan Bungah. Asep memakai sarung dan peci hitam agak kumal, aku tahu kalau sarung dan peci itu belum kering. "Sep, awakmu gak suker t cok gawe sarung karo peci model ngunu iku?" Tegur Gito.
"Biasa wae tel, g usom jaim-jaim jaman milenium"
"Eh, Chim, Katok mu bolong yo dus? nyungkan-nyungkani wae, cok!" Gerutuku.
“Hahahaha. Ora opo-opo, supaya gampang kalau pipis.” Jawab Ochim.

Bersambung....

Meratas Kehidupan Sang "Kiai" Teater Sekolah Gresik

-->
Rambutnya kok Gondrong!
Bulan Oktober 2006, sore hari di bawah pohon asam besar yang terpatri di depan kantor Yayasan Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik, sejumlah orang sibuk merentangkan tangan sambari tergesa-gesa membentuk lingkaran. Tiupan angin yang menyelinap masuk dari balik gedung SMA Assa’adah – yang mirip huruf L – menggoyangkan lebat rambut seorang pria canggung, agak gemuk di perut – buncit lebih tepatnya. Hanya ada beberapa gelintir orang yang antusias “meringkuk” menikmati lantunan instruksi dari pemuda yang ke-tua-an ini. Sambil menyilangkan kaki seperti orang berdzikir, beberapa orang melirik ke tempat saya melakukan aksi pengawasan. Daya tarik apa yang membuat saya segera bergabung kala itu? Entahlah.
Dari pergumulan singkat itulah, segelintir teman baru, ilmu baru, dan lingkungan baru menjadi menu utama konsumsi ke-duniawi-an saya selanjutnya. Sejak awal, saya berpikir pria dengan rambut mencapai 60 cm ini bukan orang biasa. Pria kelahiran Gresik 19 Oktober 1973 ini menyihir kotak pemikiran saya. Pertemuan di bulan pertama saya setelah pindah sekolah dari SMA Unggulan Darus Sholah Jember pimpinan Gus Yus – KH Yusuf Muahammad, wafat dalam kecelakaan pesawat di Solo tahun 2004 – ternyata berlanjut sampai detik ini. Pengaruhnya untuk pribadi insan teater sekolah Gresik memang terbentuk dari pecahan pemikiran pria lulusan Universitas Negeri Jember ini. Sosok kalem, bebas, luwes, mengingatkan saya pada Mahatma Gandhi.

Wednesday, February 9, 2011

Menapaki Jejak Sang Guru Bangsa

-->
Abdurrahman Wahid, presiden ke-empat Republik Indonesia ini memang memiliki daya tarik dan kecermelangan – juga kejeniusan – diatas rata-rata. Resensi ini berkutat tentang buku karya Greg Barton yang berjudul”Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman  Wahid” terbitan LKiS tahun 2002. Buku yang diterjemahkan oleh Lie Hua ini membredel sosok Gus Dur dari proses yang berbeda disbanding penulisan buku tentang Gus Dur lainnya. Selain pendekatan dengan membaca litaratur seputar Gus Dur dan melakukan penelitian, Greg sengaja menfokuskan penulisan biografi ini pada keterangan subjeknya sendiri, yaitu Gus Dur. Greg Barton memang mendapatkan momen yang pas dalam penulisan biografi Gus Dur – yang sebenarnya adalah sebuah penelitian tentang pengaruh liberalisme Islam dan sumbangannya pada perkembangan masyarakat sipil dan demokrasi.
Ke-nyelenehan Gus Dur memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Kiai dan pembesar NU (Nahdhatul Ulama) itu. Dalam hal intelektual dan keilmuan, tak dapat dipungkiri beliau adalah orang super cerdas dan memiliki ingatan yang tajam. Buku boigrafi yang  memiliki lima pokok bahasan dan dua belas sub-pokok bahsan ini menfokuskan perjalanan Gus Dur dalam kerangka politik. Dalam pokok bahasan awak, Greg membeberkan konstuksi pemikiran Gus Dur dari sejak kecil sampai ketika Gus Dur berkelana ke dataran Eropa. Pada pertengahan buku, sajian yang dihidangkan Greg adalah konsepsi Islam, tradisi, dan modernisasi dalam pemikiran Gus Dur. Tidak lupa Greg juga menerangkan secara gamblang proses Gus Dur mengawal Reformasi 1998, ketika menjadi presiden, dan pasca menjadi RI-1 di tahun 2001.

Panggil Saja, Mang Oejank Indro!

-->
"Saya hanya orang Indonesia biasa,
 yang belajar dan bekerja dengan cara Indonesia,
 untuk Indonesia.”  Mang Oejank Indro

Berkelakar Sejenak
Penggalan kalimat diatas adalah sebuah identitas tentang seorang remaja 19 tahun yang sekarang sedang berselancar menuai ilmu di Universitas Indonesia, Iswanda Fauzan Satibi – yang sebenarnya penulis sendiri. Sebuah kesalahan jika saya menorehkan beberapa kalimat dalam tulisan ini tentang kearifan, dan kebaikan. Masih terlalu dini, atau mungkin terlalu keriput. Hanya ruh diluar tubuh saya yang mampu membeberkan semua tentang saya. Jadi, tema esai yang di usung panitia UISDP kali ini – menurut hemat saya – sangat “kurang ajar.” Namun, sebagai peserta, saya hanya mencoba membalikkan pembiaran kesalahan menjadi benar-benar kesalahan, dengan tujuan mereka – maksudnya panitia UISDP – tahu siapa saya dan apa saya sebenarnya.

Islamku, Islam Anda, Islam Kita
Agaknya sub judul ini terkesan mengecoh kita pada buku karangan KH. Abdurrahman Wahid, yang terkenal dengan panggilan Gus Dur. Memang saya ABG (Anak Buah Gus Dur). Tokoh unik satu inilah yang menyuburkan keinginan saya untuk “menjadi Indonesia” di Indonesia. Selain Gus Dur, kelambu pemikiran saya terseret juga ke dalam kendi pemikiran KH. Mustofa Bisri, yang akrab dipanggil Gus Mus, Emha Ainun Najib, almarhum Cak Nur Kholis Majid, Soekarno, Hatta, dan terakhir – pastinya bukan Pak Beye – M. Natsir.  Mereka adalah manusia-manusia yang benar-benar Indonesia, karena itu saya banyak menaruh cinta pada mereka.

Narasi untuk Sang Pemilik Jalan Ke Surga dan Panglima Keluarga

-->
Sebuah karangan singkat ini tidak akan cukup untuk menuangkan sebuah ikatan saya – seorang anak pertama – kepada kedua orang tua saya. Hampir selama sembilan belas tahun ditambah tujuh bulan – karena saya lahir preamatur, saya mulai menikmati kerumunan kasih sayang dan jeratan cinta sang panglima dan ratu keluarga.
Harus dimulai darimana? Pertanyaan itu yang semilir mengintai di otak kananku ketika berusaha menguntai beberapa kalimat tentang dua orang ini. Pernyataan paling mudah adalah mereka lebih murah dari apapun di muka bumi, bahkan udara pun tidak lebih murah dari mereka. Ke-murahan mereka untuk sabar, tulus, jujur, sakit, lelah, dan banyak hal lainnya menjadi “barang” yang tidak perlu kita pikirkan untuk menggunakannya.

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...