Bagian I : Kisah Kampungku
Jemariku mulai merayap. Mengalir bulir-bulir tinta
dari pena berwarna hijau yang sudah mulai usang. Disebelahku tergeletak
beberapa buku pelajaran sekolah. Aku hanya remaja yang menapaki jejak masa
depan dengan pendidikan. Berupaya dengan gembira tanpa lelah mengunyah
pengetahuan. Bercita mencari kehidupan yang indah setelah menikah.
Berfantasi sejenak. Aku sedang membayangkan beberapa
sahabatku yang sedang menikmati masa muda mereka. Setidaknya hal itu tidak
sering aku lakukan. Mereka adalah Asep Abdurrahman, Gito Iskandar, dan M.
Rokhim. Sudah lama kehidupanku diwarnai oleh ketiga orang ini. Semenjak duduk
di bangku taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas (SMA) kami selalu
bersama.
Sudah hampir tiga belas tahun aku dan mereka
menyandang predikat sahabat. Banyak hal yang pernah kami lewati bersama. Asep Abdurrhman adalah seorang remaja yang
lahir dari sepasang manusia yang bekerja sebagai tukang jahit keliling.
Terkadang banyak baju dan beberapa celana dijahitnya. Kemampuan Asep dalam hal
menjahit memang tidak diragukan lagi. Sejak usia 9 tahun ia sudah akrab dengan
jarum dan benang. Bahkan kemampuan menjahitnya lebih baik dari sang ayah,
Trisno.
Berbeda dengan Asep, Gito adalah putra tunggal yang dibesarkan
oleh ayah semata wayangnya. Ya, ibunya meninggal ketika berjibaku
melahirkannya. Rumah Gito hanya berjarak 10 meter dari rumahku. Kata bapak, aku
dan Gito sering bertengkar waktu kecil. Sejak kecil Gito sering dititipkan
ayahnya dirumahku. Ayah Gito adalah tukang sapu jalan Tol Manyar-Surabaya, dan
sudah bekerja selama 20 tahun. Meskipun usianya sudah senja, ayah Gito tetap
bugar dan suka menggoda janda kampung sebelah.
Sahabatku yang lain adalah Rokhim, atau akrab
dipanggil Ochim, ia anak seorang pemulung kelas kakap. Orang tua Rokhim
merupakan pemulung tertua di kampung ini. Mereka sudah menghabiskan 40 tahun
hidup mereka sebagai pemulung. Ochim memiliki adik perempuan yang cantik.
Namanya Khomsah, paggilan kerennya Ocha. Seperti kebanyakan gadis desa yang
lain, Ocha sudah di inden oleh anak
juragan beras kaya desa sebelah. Padahal aku sebernya menaruh hati kepadanya
****
Malam ini aku, Gito, Asep, dan Ochim berencana melihat
pertunjukan wayang kulit di balai desa. kali ini dalangnya adalah dalang nomor
wahid di kecamatan Bungah. Asep memakai sarung dan peci hitam agak kumal, aku
tahu kalau sarung dan peci itu belum kering. "Sep, awakmu gak suker t cok gawe sarung karo peci model ngunu iku?"
Tegur Gito.
"Biasa wae
tel, g usom jaim-jaim jaman milenium"
"Eh, Chim, Katok
mu bolong yo dus? nyungkan-nyungkani wae,
cok!" Gerutuku.
“Hahahaha. Ora opo-opo, supaya gampang kalau
pipis.” Jawab Ochim.Bersambung....
No comments:
Post a Comment