Bulan Oktober 2006, sore
hari di bawah pohon asam besar yang terpatri di depan kantor Yayasan Pondok
Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik, sejumlah orang sibuk merentangkan
tangan sambari tergesa-gesa membentuk lingkaran. Tiupan angin yang menyelinap
masuk dari balik gedung SMA Assa’adah – yang mirip huruf L – menggoyangkan
lebat rambut seorang pria canggung, agak gemuk di perut – buncit lebih
tepatnya. Hanya ada beberapa gelintir orang yang antusias “meringkuk” menikmati
lantunan instruksi dari pemuda yang ke-tua-an ini. Sambil menyilangkan kaki
seperti orang berdzikir, beberapa orang melirik ke tempat saya melakukan aksi
pengawasan. Daya tarik apa yang membuat saya segera bergabung kala itu?
Entahlah.
Dari pergumulan singkat
itulah, segelintir teman baru, ilmu baru, dan lingkungan baru menjadi menu
utama konsumsi ke-duniawi-an saya selanjutnya. Sejak awal, saya berpikir pria
dengan rambut mencapai 60 cm ini bukan orang biasa. Pria kelahiran Gresik 19
Oktober 1973 ini menyihir kotak pemikiran saya. Pertemuan di bulan pertama saya
setelah pindah sekolah dari SMA Unggulan Darus Sholah Jember pimpinan Gus Yus –
KH Yusuf Muahammad, wafat dalam kecelakaan pesawat di Solo tahun 2004 –
ternyata berlanjut sampai detik ini. Pengaruhnya untuk pribadi insan teater
sekolah Gresik memang terbentuk dari pecahan pemikiran pria lulusan Universitas
Negeri Jember ini. Sosok kalem, bebas, luwes, mengingatkan saya pada Mahatma
Gandhi.
Sebuah pertemuan – saya
lebih suka pertemanan – dengan “Si Gondrong” empat tahun silam mungkin bukan
sebuah kebetulan. Menurut saya, “tidak ada suatu kebetulan dalam kehidupan.”
Liburan pertama di semester pertama saya “menguyah bangku” kuliah di
Universitas Indonesia, sebuah kelompok kesenian sekolah yang saya bangun
bersama sahabat-sahabat pecinta seni-tradisi – dengan darah, pikiran, material,
dan waktu – melaksanakan diklat untuk anggota baru. Seketika saya terlecit
untuk “merampas” pria gondrong – sekarang sudah tidak – untuk menjadi “korban”
tugas yang diberikan panitia UI SDP. Memang tidak ada suatu kebetulan dalam
kehidupan. Saya tidak memandang apa yang sudah di raih oleh “Si Gondrong” ini,
tapi apa yang ia cita-citakan – seperti kata Kahlil Gibran, “Untuk memahami
hati dan pikiran seseorang, jangan melihat apa yang telah ia raih, tapi
lihatlah apa yang ia cita-citakan.” Oleh karena itu, menurut saya, pria ini
adalah sosok pemimpin yang benar-benar memimpin.
Nama lengkap pria ini adalah
Muhammad Dzunnuroini, masyarakat seni-tradisi kota pudak, Gresik, lebih akrab
dengan panggilan Cak Ro’in. Ia adalah anak ke 5 dari 5 bersaudara hasil
produktifitas pasangan K Ghufron Hasyim dan Hj. Suhla. Masa kanak-kanak beliau
habiskan di TK ABA (Aisyiyah) Sidayu, lalu mengorek ilmu di SD Sidomulyo II
Sidayu untuk memnperoleh ijazah SD. Setelah menerima ijazah SD, ia segera kabur
ke SMP N 1 Sidayu, dan kemudian menamatkan SMA di SMA N 1 Sidayu. Entah apa
yang mengendap dalam otak kirinya sehingga ingin menekuni dan berperang dalam
dunia teater. Menurutnya, kehidupan tidaklah jauh berbeda dengan drama, dimana
Allah SWT sebagai sutradara, alam semesta sebagai latarnya, dan mahkluk hidup –
manusia, hewan, tumbuhan, dan alam – sebagai tokoh-tokoh didalamnya. Ketika
saya bertanya, “Lalu, dari mana kita mengetahui skenario dari sandiwara yang
kita mainkan itu?” Dengan senyum semut beliau menjawab, “Al-Qur’an, Hadis,
Ijma’ dan Qiyas.” Atas dasar itulah, saya tertantang menekuni bidang
kesenian-tradisi-pendidikan sebagai wilayah tutur
gumulung raga di kehidupan yang singkat ini. Dan semua itu tidak terlepas
dari “virus” yang dikembangbiakkan Cak Ro’in.
Gresik Utara atau Gresik Selatan?
Secangkir kopi dan beberapa
bungkus rokok tergeletak ramah di tengah-tengah empat pasang mata. Kerumunan
orang sudah mulai beranjak meninggalkan alun-alun kota Gresik. Diparkiran
sebalah selatan beberapa pemuda-pemudi sedang bercengkeramah. Mesra. Malam itu
cukup melelahkan untuk Cak Ro’in. Sedari sengenge
melayang di senja pagi, ia sudah berkeliaran ke sekolah-sekolah tempat ia
mengalirkan ilmu nyeni-nya kepada
murid-muridnya. Sebuah topik menarik digelontorkan penyair dan penulis buku
asal Gresik, Mardi Luhung malam itu. Siapa yang mau menafikkan puisi-puisi Pak
Luhung? Banyak dari luapan kejeniusannya menyusun kata melengkapi kolom-kolom
koran nasional – biasanya Kompas, Jawa Pos, dan beberapa majalah. Obrolan
mereka mengalir deras. Waktu pun
bukan batasan lagi. Mereka membahas tentang sekelumit permasalahan kecerdasan nyeni di kalangan pelajar. Bukan hanya
membahas, mereka juga mencari solusi untuk permasalahan itu. Dialog seniman
memang jauh lebih kompeten daripada dialog politikus.
Kopi dicangkir kecil
mendingin dengan cepat. Udara malam itu sama, cepat mendingin, dan mendinginkan
suasana. Banyak varian dan nalar kemanusiaan yang terekam dari hasil dialog
kedua seniman Gresik tersebut. Benak saya penuh dengan “cacian” kehidupan malam
itu. Cak Ro’in boleh jadi penggiat seni yang tidak tertangkap kamera pemerintah
kala itu. Namun, ia adalah – menurut saya – gerilyawan kesenian yang layak
dinobatkan sebagai seorang pahlawan.
Gresik yang memiliki 114
sekolah tingkat SLTA ditambah 34 SMK adalah ladang garapan bagi Cak Ro’in untuk
mendengungkan kesenian secara utuh. Dalam perjalanannya, Cak Ro’in sempat
mengalami kendala dan kemudahan dalam merintis karirnya di bidang kesenian
teater. Sejak tahun 1998 ia memegang kekuasaan atas kelompok teater Cepak asal
SMA N 1 Gresik yang bermarkas di Jl. Arief Rahman Hakim No. 1 Gresik. Dalam
perjalanan karirnya menjadi tutor teater, menjalarkan minat ke-teater-an kepada
siswa adalah hal yang cukup rumit. Berada dalam lingkungan pesantren yang
islami merupakan benteng kuat inklusifisasi kesenian teater di Gresik.
Identitas kota santri harus dipertahankan, disisi lain, ekslusifisme dalam
berkesenian harus segera diarahkan ke “kiblat” yang benar-benar nGgresik!
Karakter kepemimpinan yang
dimiliki seorang seniman memang lebih inklusif daripada pemimpin partai politik,
organisasi masa, dan agama. Karakter Cak Ro’in memang sulit dicerna. Njelimet. Bahkan setelah bertahun-tahun
saya bergaul dengannya. Sungguhpun perjalanan hidup dan aktifitas
berkeseniannya telah membentuk karakter yang nyenii pula. Sebelum saya mohon restu untuk menulis tentangnya,
ketika sebuah formulir yang saya layangkan lewat surat elektronik mendarat di
laptop barunya, sekitar pukul 23.45 WIB tanggal 5 Februari 2011, dengan cara
yang khas, ia menelpon saya dan menyayangkan kenapa harus ia yang ditulis?
Sebenarnya saya sudah beberapa kali menelurkan karya dengan bingkai seseorang
tokoh. Namun, manusia ini yang harus saya semaikan.
Dalam hal pemahanman dan
pandangan, Cak Ro’in kadang membingungkan – atau saya yang kurang faham. Dewan
Kesenian Gresik (DKG) yang bertugas dan berwenang atas kearifan lokal (local wisdom) beruntun tidak menyuguhkan
aksi menawan. Alih-alih mengembangkan dan melestarikan, sang pemegang kekuasaan
malah dengan enteng menjual warisan nenek moyang yang mengalami proses
ber-abad-abad. Ironis. Belum sampai disitu, DKG menciptakan kemelut dan pakewuh yang mengakibatkan ada
kesenjangan politis antara seniman-seniman muda Gresik. Disanalah keuletan dan
ke-nekat-an Cak Ro’in dipertontonkan. Kegelisahan dan keharuan – serta
kecintaan – kepada kesenian Gresik mulai bergejolak. Ia mulai dari siswa, bukan
maha-siswa. Setidaknya yang dilakukan Cak Ro’in sesuai dengan apa yang
dilontarkan Ismail Marzuki yang saya temui di TV One bulan Septermber 2010.
Ismail Marzuki mengatakan, “Mengembangkan sastra paling mudah adalah melalui
sekolah-sekolah.”
Cak Ro’in berada dalam track issue yang – sangat – benar.
Perkembangan kepribadian, menurut Cak Ro’in sangat mudah dibentuk melalui
sastra. Pemahaman “sastra” memang sering disalahartikan. Sastra sering dianggap
sebuah karya tulis belaka. Padahal sejak saat lahir, manusia selalu terikat
sastra dalam bentuk narasi, narasi kehidupan. Dalam hal ini, Cak Ro’in melihat
kesemrawutan pendidikan ke-sastra-an dalam lingkungan akademis di Gresik. Atas
dasar inilah, kekuatan teater sekolah mulai dibangun, bersama-sama rekan
seniman sejawat lainnya. Sekitar pertengahan tahun 2007, ada semacam kesenjangan
antara seniman senior Gresik dalam tubuh Dewan Kesenian Gresik (DKG). Ketika
mulai meruncing permasalahan, kesatuan dan persaudaraan mulai terkotak-kotak.
Muncul dua kubu yang sedikit bersebrangan. Antara Gresik utara dan Gresik
Selatan.
Setelah melebur dalam proses
yang sangat panjang. Keberadaan teater seokolah mulai terancam karena
“perselingkuhan” seniornya. Dalam berbagai keaadaan. Aktifitas ber-teater
semakin menurun. Akhirnya, ke-istiqomahan Cak Ro’in dan kawan-kawan mampu
menembus permasalahan dan kecarut-marutan pengembangan teater di Gresik. Suatu
hal yang menjadikan Cak Ro’in selalu menjadi pemengang kunci perkembangan
teater sekolah di Gresik adalah kearifan dan sikap kerendahan hati yang kuat.
Banyak dari kawan-kawan pelaku dan pecinta seni teater sekolah memberikan
pandangan yang sama. Memang ia harus di hargai dan harus menempati klasmen
teratas penghargaan di Gresik. Atas jasa dan keberanian Cak Ro’in meratas hutan
belantara ke-teater-an di Gresik.
Berikut saya akan kutip-kan
untuk Anda sebuah tulisan beliau yang sungguh memperkaya khazanah pemahaman
kita tentang kehidupan, kesenian, dan kebudayaan.
“Planning
hidup ke depan dalam menggembangkan diri berdedikasi di bidang seni dan budaya,
sebagai proyeksi akan ide dan gagasan yang bukan hanya berhenti dalam lisan dan
obrolan semata. Perlu dilakukan langkah-langkah dalam menggapai cita-cita.
pertama akan mendirikan pesantren budaya, sebagai wahana, tempat tumbuh dan
berkembangnya generasi bangsa yang berwawasan dan berprilaku regius serta
berbudaya dalam mengemban hidup sebagai khalifatullah. Sehingga terciptanya
karya, cipta dan karsa yang beretika dan berestetika.
Pesantren dan Sanggar
Budaya bukan hanya berproses dalam seni semata, yang mana kebebasan berkreasi
perlu penyeimbang berupa tunjuk ajar dan pekerti yang berbudi luhur dalam
mencapai teguhnya iman untuk menuju insan yang bermartabat. Pesantren Budaya
ini nantinya akan memiliki banyak program yang berisi tentang keagaamaan
seperti pengkajian al-Qur’an dan kreativitas kesenian yang islami, khususnya di
bidang Teater, juga mengusung seni musik yang robbani dan membina kecerdikan
peserta didik di bidang seni rupa, kaligrafi, lukis, musik yang tidak terlepas
dari etika. Di samping itu akan mengadakan pengkajian budaya islam (antropologi
dan sosiologi islam) setiap minggunya.
Kedua mendirikan
Sekolah Seni yang bernuansa lokal dan mampu mengimbangi arus globalisasi yang
menggeser moral generasi bangsa. Sehingga pendidikan seni merupakan salah satu
tonggak untuk memperkokoh mental generasi bangsa yang berbudaya dan memiliki
kearifan dalam kehidupan. Sekolah ini yang akan memprioritaskan pada seni
pertunjukan teater, sastra, musik, tata busana dan kerajinan. Pendidikan seni
bukan semata-mata formalisasi kesenian melainkan pemantapan akan kesenian yang
lebih dihargai baik secara tradisi maupun modern. Sehingga pendidikan kesenian
mampu mengarahkan dan membina siswanya dalam berproses kreatif mengedepankan
moral dan keindahan. Bahkan seni, khususnya teater tidak dipandang sebelah mata
oleh kalayak umum, melainkan perihal yang sepatutnya ada dalam kehidupan.”
Gresik, 12 Februari,
2011
3 comments:
peran dan keterlibatan pribadi-pribadi yang bersinggungan langsung dengan ybs, semenjak kelahiran kesenimanan ybs, juga paradigma yang menjadi latar samping serta berbagai aspek yang menjadi main problem perlu disimak dengan objektif dalam pengulasannya. teks tanpa konteks di luar konten, akan menjadi terlampau liar. perlu kerja keras memang.
sopo lgi klo ndhak anak2 muda yg ngurus...hmmmm.yaaaah,itulah endonesa,dulur.
tak kurang akan banyak anak muda yang pernah mengenyam pendidikan di Gresik mengakui eksistensi beliau...
Post a Comment