Tuesday, February 22, 2011

Meratas Kehidupan Sang "Kiai" Teater Sekolah Gresik

-->
Rambutnya kok Gondrong!
Bulan Oktober 2006, sore hari di bawah pohon asam besar yang terpatri di depan kantor Yayasan Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik, sejumlah orang sibuk merentangkan tangan sambari tergesa-gesa membentuk lingkaran. Tiupan angin yang menyelinap masuk dari balik gedung SMA Assa’adah – yang mirip huruf L – menggoyangkan lebat rambut seorang pria canggung, agak gemuk di perut – buncit lebih tepatnya. Hanya ada beberapa gelintir orang yang antusias “meringkuk” menikmati lantunan instruksi dari pemuda yang ke-tua-an ini. Sambil menyilangkan kaki seperti orang berdzikir, beberapa orang melirik ke tempat saya melakukan aksi pengawasan. Daya tarik apa yang membuat saya segera bergabung kala itu? Entahlah.
Dari pergumulan singkat itulah, segelintir teman baru, ilmu baru, dan lingkungan baru menjadi menu utama konsumsi ke-duniawi-an saya selanjutnya. Sejak awal, saya berpikir pria dengan rambut mencapai 60 cm ini bukan orang biasa. Pria kelahiran Gresik 19 Oktober 1973 ini menyihir kotak pemikiran saya. Pertemuan di bulan pertama saya setelah pindah sekolah dari SMA Unggulan Darus Sholah Jember pimpinan Gus Yus – KH Yusuf Muahammad, wafat dalam kecelakaan pesawat di Solo tahun 2004 – ternyata berlanjut sampai detik ini. Pengaruhnya untuk pribadi insan teater sekolah Gresik memang terbentuk dari pecahan pemikiran pria lulusan Universitas Negeri Jember ini. Sosok kalem, bebas, luwes, mengingatkan saya pada Mahatma Gandhi.
Sebuah pertemuan – saya lebih suka pertemanan – dengan “Si Gondrong” empat tahun silam mungkin bukan sebuah kebetulan. Menurut saya, “tidak ada suatu kebetulan dalam kehidupan.” Liburan pertama di semester pertama saya “menguyah bangku” kuliah di Universitas Indonesia, sebuah kelompok kesenian sekolah yang saya bangun bersama sahabat-sahabat pecinta seni-tradisi – dengan darah, pikiran, material, dan waktu – melaksanakan diklat untuk anggota baru. Seketika saya terlecit untuk “merampas” pria gondrong – sekarang sudah tidak – untuk menjadi “korban” tugas yang diberikan panitia UI SDP. Memang tidak ada suatu kebetulan dalam kehidupan. Saya tidak memandang apa yang sudah di raih oleh “Si Gondrong” ini, tapi apa yang ia cita-citakan – seperti kata Kahlil Gibran, “Untuk memahami hati dan pikiran seseorang, jangan melihat apa yang telah ia raih, tapi lihatlah apa yang ia cita-citakan.” Oleh karena itu, menurut saya, pria ini adalah sosok pemimpin yang benar-benar memimpin.
Nama lengkap pria ini adalah Muhammad Dzunnuroini, masyarakat seni-tradisi kota pudak, Gresik, lebih akrab dengan panggilan Cak Ro’in. Ia adalah anak ke 5 dari 5 bersaudara hasil produktifitas pasangan K Ghufron Hasyim dan Hj. Suhla. Masa kanak-kanak beliau habiskan di TK ABA (Aisyiyah) Sidayu, lalu mengorek ilmu di SD Sidomulyo II Sidayu untuk memnperoleh ijazah SD. Setelah menerima ijazah SD, ia segera kabur ke SMP N 1 Sidayu, dan kemudian menamatkan SMA di SMA N 1 Sidayu. Entah apa yang mengendap dalam otak kirinya sehingga ingin menekuni dan berperang dalam dunia teater. Menurutnya, kehidupan tidaklah jauh berbeda dengan drama, dimana Allah SWT sebagai sutradara, alam semesta sebagai latarnya, dan mahkluk hidup – manusia, hewan, tumbuhan, dan alam – sebagai tokoh-tokoh didalamnya. Ketika saya bertanya, “Lalu, dari mana kita mengetahui skenario dari sandiwara yang kita mainkan itu?” Dengan senyum semut beliau menjawab, “Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas.” Atas dasar itulah, saya tertantang menekuni bidang kesenian-tradisi-pendidikan sebagai wilayah tutur gumulung raga di kehidupan yang singkat ini. Dan semua itu tidak terlepas dari “virus” yang dikembangbiakkan Cak Ro’in.

Gresik Utara atau Gresik Selatan?
Secangkir kopi dan beberapa bungkus rokok tergeletak ramah di tengah-tengah empat pasang mata. Kerumunan orang sudah mulai beranjak meninggalkan alun-alun kota Gresik. Diparkiran sebalah selatan beberapa pemuda-pemudi sedang bercengkeramah. Mesra. Malam itu cukup melelahkan untuk Cak Ro’in. Sedari sengenge melayang di senja pagi, ia sudah berkeliaran ke sekolah-sekolah tempat ia mengalirkan ilmu nyeni-nya kepada murid-muridnya. Sebuah topik menarik digelontorkan penyair dan penulis buku asal Gresik, Mardi Luhung malam itu. Siapa yang mau menafikkan puisi-puisi Pak Luhung? Banyak dari luapan kejeniusannya menyusun kata melengkapi kolom-kolom koran nasional – biasanya Kompas, Jawa Pos, dan beberapa majalah. Obrolan mereka mengalir deras. Waktu pun bukan batasan lagi. Mereka membahas tentang sekelumit permasalahan kecerdasan nyeni di kalangan pelajar. Bukan hanya membahas, mereka juga mencari solusi untuk permasalahan itu. Dialog seniman memang jauh lebih kompeten daripada dialog politikus.
Kopi dicangkir kecil mendingin dengan cepat. Udara malam itu sama, cepat mendingin, dan mendinginkan suasana. Banyak varian dan nalar kemanusiaan yang terekam dari hasil dialog kedua seniman Gresik tersebut. Benak saya penuh dengan “cacian” kehidupan malam itu. Cak Ro’in boleh jadi penggiat seni yang tidak tertangkap kamera pemerintah kala itu. Namun, ia adalah – menurut saya – gerilyawan kesenian yang layak dinobatkan sebagai seorang pahlawan.
Gresik yang memiliki 114 sekolah tingkat SLTA ditambah 34 SMK adalah ladang garapan bagi Cak Ro’in untuk mendengungkan kesenian secara utuh. Dalam perjalanannya, Cak Ro’in sempat mengalami kendala dan kemudahan dalam merintis karirnya di bidang kesenian teater. Sejak tahun 1998 ia memegang kekuasaan atas kelompok teater Cepak asal SMA N 1 Gresik yang bermarkas di Jl. Arief Rahman Hakim No. 1 Gresik. Dalam perjalanan karirnya menjadi tutor teater, menjalarkan minat ke-teater-an kepada siswa adalah hal yang cukup rumit. Berada dalam lingkungan pesantren yang islami merupakan benteng kuat inklusifisasi kesenian teater di Gresik. Identitas kota santri harus dipertahankan, disisi lain, ekslusifisme dalam berkesenian harus segera diarahkan ke “kiblat” yang benar-benar nGgresik!
Karakter kepemimpinan yang dimiliki seorang seniman memang lebih inklusif daripada pemimpin partai politik, organisasi masa, dan agama. Karakter Cak Ro’in memang sulit dicerna. Njelimet. Bahkan setelah bertahun-tahun saya bergaul dengannya. Sungguhpun perjalanan hidup dan aktifitas berkeseniannya telah membentuk karakter yang nyenii pula. Sebelum saya mohon restu untuk menulis tentangnya, ketika sebuah formulir yang saya layangkan lewat surat elektronik mendarat di laptop barunya, sekitar pukul 23.45 WIB tanggal 5 Februari 2011, dengan cara yang khas, ia menelpon saya dan menyayangkan kenapa harus ia yang ditulis? Sebenarnya saya sudah beberapa kali menelurkan karya dengan bingkai seseorang tokoh. Namun, manusia ini yang harus saya semaikan.
Dalam hal pemahanman dan pandangan, Cak Ro’in kadang membingungkan – atau saya yang kurang faham. Dewan Kesenian Gresik (DKG) yang bertugas dan berwenang atas kearifan lokal (local wisdom) beruntun tidak menyuguhkan aksi menawan. Alih-alih mengembangkan dan melestarikan, sang pemegang kekuasaan malah dengan enteng menjual warisan nenek moyang yang mengalami proses ber-abad-abad. Ironis. Belum sampai disitu, DKG menciptakan kemelut dan pakewuh yang mengakibatkan ada kesenjangan politis antara seniman-seniman muda Gresik. Disanalah keuletan dan ke-nekat-an Cak Ro’in dipertontonkan. Kegelisahan dan keharuan – serta kecintaan – kepada kesenian Gresik mulai bergejolak. Ia mulai dari siswa, bukan maha-siswa. Setidaknya yang dilakukan Cak Ro’in sesuai dengan apa yang dilontarkan Ismail Marzuki yang saya temui di TV One bulan Septermber 2010. Ismail Marzuki mengatakan, “Mengembangkan sastra paling mudah adalah melalui sekolah-sekolah.”
Cak Ro’in berada dalam track issue yang – sangat – benar. Perkembangan kepribadian, menurut Cak Ro’in sangat mudah dibentuk melalui sastra. Pemahaman “sastra” memang sering disalahartikan. Sastra sering dianggap sebuah karya tulis belaka. Padahal sejak saat lahir, manusia selalu terikat sastra dalam bentuk narasi, narasi kehidupan. Dalam hal ini, Cak Ro’in melihat kesemrawutan pendidikan ke-sastra-an dalam lingkungan akademis di Gresik. Atas dasar inilah, kekuatan teater sekolah mulai dibangun, bersama-sama rekan seniman sejawat lainnya. Sekitar pertengahan tahun 2007, ada semacam kesenjangan antara seniman senior Gresik dalam tubuh Dewan Kesenian Gresik (DKG). Ketika mulai meruncing permasalahan, kesatuan dan persaudaraan mulai terkotak-kotak. Muncul dua kubu yang sedikit bersebrangan. Antara Gresik utara dan Gresik Selatan.
Setelah melebur dalam proses yang sangat panjang. Keberadaan teater seokolah mulai terancam karena “perselingkuhan” seniornya. Dalam berbagai keaadaan. Aktifitas ber-teater semakin menurun. Akhirnya, ke-istiqomahan Cak Ro’in dan kawan-kawan mampu menembus permasalahan dan kecarut-marutan pengembangan teater di Gresik. Suatu hal yang menjadikan Cak Ro’in selalu menjadi pemengang kunci perkembangan teater sekolah di Gresik adalah kearifan dan sikap kerendahan hati yang kuat. Banyak dari kawan-kawan pelaku dan pecinta seni teater sekolah memberikan pandangan yang sama. Memang ia harus di hargai dan harus menempati klasmen teratas penghargaan di Gresik. Atas jasa dan keberanian Cak Ro’in meratas hutan belantara ke-teater-an di Gresik.
Berikut saya akan kutip-kan untuk Anda sebuah tulisan beliau yang sungguh memperkaya khazanah pemahaman kita tentang kehidupan, kesenian, dan kebudayaan.
Planning hidup ke depan dalam menggembangkan diri berdedikasi di bidang seni dan budaya, sebagai proyeksi akan ide dan gagasan yang bukan hanya berhenti dalam lisan dan obrolan semata. Perlu dilakukan langkah-langkah dalam menggapai cita-cita. pertama akan mendirikan pesantren budaya, sebagai wahana, tempat tumbuh dan berkembangnya generasi bangsa yang berwawasan dan berprilaku regius serta berbudaya dalam mengemban hidup sebagai khalifatullah. Sehingga terciptanya karya, cipta dan karsa yang beretika dan berestetika.
Pesantren dan Sanggar Budaya bukan hanya berproses dalam seni semata, yang mana kebebasan berkreasi perlu penyeimbang berupa tunjuk ajar dan pekerti yang berbudi luhur dalam mencapai teguhnya iman untuk menuju insan yang bermartabat. Pesantren Budaya ini nantinya akan memiliki banyak program yang berisi tentang keagaamaan seperti pengkajian al-Qur’an dan kreativitas kesenian yang islami, khususnya di bidang Teater, juga mengusung seni musik yang robbani dan membina kecerdikan peserta didik di bidang seni rupa, kaligrafi, lukis, musik yang tidak terlepas dari etika. Di samping itu akan mengadakan pengkajian budaya islam (antropologi dan sosiologi islam) setiap minggunya.
Kedua mendirikan Sekolah Seni yang bernuansa lokal dan mampu mengimbangi arus globalisasi yang menggeser moral generasi bangsa. Sehingga pendidikan seni merupakan salah satu tonggak untuk memperkokoh mental generasi bangsa yang berbudaya dan memiliki kearifan dalam kehidupan. Sekolah ini yang akan memprioritaskan pada seni pertunjukan teater, sastra, musik, tata busana dan kerajinan. Pendidikan seni bukan semata-mata formalisasi kesenian melainkan pemantapan akan kesenian yang lebih dihargai baik secara tradisi maupun modern. Sehingga pendidikan kesenian mampu mengarahkan dan membina siswanya dalam berproses kreatif mengedepankan moral dan keindahan. Bahkan seni, khususnya teater tidak dipandang sebelah mata oleh kalayak umum, melainkan perihal yang sepatutnya ada dalam kehidupan.
Gresik, 12 Februari, 2011

3 comments:

Regy Verdinand said...

peran dan keterlibatan pribadi-pribadi yang bersinggungan langsung dengan ybs, semenjak kelahiran kesenimanan ybs, juga paradigma yang menjadi latar samping serta berbagai aspek yang menjadi main problem perlu disimak dengan objektif dalam pengulasannya. teks tanpa konteks di luar konten, akan menjadi terlampau liar. perlu kerja keras memang.

martosjoe said...

sopo lgi klo ndhak anak2 muda yg ngurus...hmmmm.yaaaah,itulah endonesa,dulur.

guscuprit said...

tak kurang akan banyak anak muda yang pernah mengenyam pendidikan di Gresik mengakui eksistensi beliau...

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...