"Saya hanya orang Indonesia biasa,
yang belajar
dan bekerja dengan cara Indonesia,
untuk
Indonesia.” Mang Oejank Indro
Berkelakar Sejenak
Penggalan kalimat diatas
adalah sebuah identitas tentang seorang remaja 19 tahun yang sekarang sedang
berselancar menuai ilmu di Universitas Indonesia, Iswanda Fauzan Satibi – yang
sebenarnya penulis sendiri. Sebuah kesalahan jika saya menorehkan beberapa
kalimat dalam tulisan ini tentang kearifan, dan kebaikan. Masih terlalu dini, atau
mungkin terlalu keriput. Hanya ruh diluar tubuh saya yang mampu membeberkan
semua tentang saya. Jadi, tema esai yang di usung panitia UISDP kali ini –
menurut hemat saya – sangat “kurang ajar.” Namun, sebagai peserta, saya hanya
mencoba membalikkan pembiaran kesalahan menjadi benar-benar kesalahan, dengan
tujuan mereka – maksudnya panitia UISDP – tahu siapa saya dan apa saya
sebenarnya.
Islamku, Islam Anda, Islam Kita
Agaknya sub judul ini
terkesan mengecoh kita pada buku karangan KH. Abdurrahman Wahid, yang terkenal
dengan panggilan Gus Dur. Memang saya ABG (Anak Buah Gus Dur). Tokoh unik satu
inilah yang menyuburkan keinginan saya untuk “menjadi Indonesia” di Indonesia. Selain
Gus Dur, kelambu pemikiran saya terseret juga ke dalam kendi pemikiran KH.
Mustofa Bisri, yang akrab dipanggil Gus Mus, Emha Ainun Najib, almarhum Cak Nur
Kholis Majid, Soekarno, Hatta, dan terakhir – pastinya bukan Pak Beye – M.
Natsir. Mereka adalah manusia-manusia
yang benar-benar Indonesia, karena itu saya banyak menaruh cinta pada mereka.
Kembali ke Islam. Islam
bukan hanya milik saya, tapi saya harus memilikinya. Semua orang islam adalah saudara
saya, tapi semua manusia adalah keluarga saya. Indonesia bukan islam, tapi
islam ada di Indonesia. oleh karena itu, saya memiliki quote “Saya bukan orang islam yang tinggal di Indonesia, tapi orang
Indonesia yang beragama islam.” Mudah-mudahan anda tidak menafsirkan hanya
dengan otak kiri, Karena hal itu akan mengurung anda dalam kerangkeng pemikiran
yang eksklusif-ketat. Terlebih lagi memberikan gelar kepada saya sebagai orang
islam radikal. Islam saya sama dengan anda, islam anda – mudah-mudahan – sama
dengan islam saya.
Saya, Bukan Kita, Kami Untuk Mereka!
Sejak mengikuti program
UISDP, saya merasa menemukan pecahan-pecahan ke-Indonesia-an yang pernah subur
di benak saya. Tidak mudah “menjadi Indonesia” di Indonesia. Menurut saya lebih
mudah “menjadi Indonesia” di luar Indonesia. Saya sewaktu kecil belajar dengan
cara yang benar-benar Indonesia – tepatnya pada usia empat tahun. Setelah
beranjak ke Madrasah Ibtida’iah – setingkat sekolah dasar (SD), saya mulai
disuapi hal-hal yang bukan dari Indonesia. Kegalauan bercampur ketidakpercayaan
membumbung dalam plafon nuraniku. Betapa tidak, hal ini baru saya sadari ketika
saya sudah bergaul dengan, maaf, bibir dan payu dara perempuan. Naif. Memang
sangat naif. Seorang Indonesia “digagahi” identitas non-Indonesia oleh
bengisnya Orde Baru. Dua kata yang sudah saya siapkan untuk funding father Orde Baru, sekali lagi
maaf, Fuck U!
Karakter yang paling
menonjol dari saya adalah mblurut, lewer, dan guapleki (susah diatur, pelupa, dan lucu-kasar dalam tutur kata).
Saya hidup dilingkungan yang – bisa dibilang lumayan – keras. Bapak saya
menekankan, menjadi manusia bukan karena kemampuan hidup, tapi kemauan berkehidupan.
Terinspirasi oleh hal diatas, saya kemudian dengan tegas berkoar-koar dengan
motto, “Menikmati hidup dan berkehidupan seperti orang hidup.”
Saya gemar mengunyah
buku-buku agama, filsafat ilmu, dan sejarah. Meskipun terkesan “nakal,” saya
lebih senang menggunakan faham subaltern dengan bumbu metamorfosia – saya
pelesetkan dari majas metafora – dalam kajian dan gaya kehidupan, tulisan, dan
pemikiran saya. Bagi saya mudah berfantasi bersama dengan orang kaya-bejat,
daripada orang miskin-mlarat. Karena saya, bukan kita orang mlarat ataupun
konglomerat, tapi kami, adalah manusia yang hidup di suatu negara, Indonesia.
semangat itulah yang menghantarkan saya untuk segera kembali ke habitat
ke-melarat-an secepatkan.
Kok, Mang Oejank Indro?
Bapak Arief Munandar boleh
punya burung elang dan pipit dirumahnya. Bagi saya, memiliki sebuah pena dan
selembar kertas usang, sudah cukup mengangkat ke-Indonesia-an saya di bumi
Indonesia. Berawal dari kecintaan seputar dunia kuli tinta, nama unik yang menjadi
ciri khas saya mulai berdendang. “Mang Oejank Indro…!” Sebuah gelar penggiat
kebangasaan dan kesenian ketika itu mulai menjadi mesin bagi saya untuk melaju
meneratas keindahan Indonesia. Banyak orang saling beragumen tentang nama
“baru” ini. Apa relevansinya Bung? Seperti itulah yang sering mendecit di
telinga saya. Oejank Indro, nama ini sering saya pakai dalam beberapa tulisan –
baik artikel, puisi, cerpen – saya selama tiga tahun terakhir. Alasan utama
kenapa kok Oejank Indro adalah. Pertama,hanya Indonesia yang memiliki
nama Ujang – Oejank, menggunakan EYD jadul untuk menghargai sejarah. Kedua, Indro, merupakan penalaran dari
Indonesia dan merupakan nama desa tempat saya dikembang biakkan.
Paragraf terakhir ini,
sengaja saya tulis hanya untuk memberikan penghargaan kepada orang tua, guru,
dan buku yang sudah membakar identitas saya sebagai manusia di bumi Indonesia. Inilah
saya, fahami saya dengan gaya tulisan saya, niscaya anda mampu mengenal siapa saya.
Sekarang saya hanya sekedar mahasiswa di universitas ternama, yang sedang
berusaha menjadi sarjana dengan beasiswa, dan hanya mampu “bercanda” melihat
realita. Sampai jumpa, Indonesiaku.
No comments:
Post a Comment