Wednesday, February 9, 2011

Panggil Saja, Mang Oejank Indro!

-->
"Saya hanya orang Indonesia biasa,
 yang belajar dan bekerja dengan cara Indonesia,
 untuk Indonesia.”  Mang Oejank Indro

Berkelakar Sejenak
Penggalan kalimat diatas adalah sebuah identitas tentang seorang remaja 19 tahun yang sekarang sedang berselancar menuai ilmu di Universitas Indonesia, Iswanda Fauzan Satibi – yang sebenarnya penulis sendiri. Sebuah kesalahan jika saya menorehkan beberapa kalimat dalam tulisan ini tentang kearifan, dan kebaikan. Masih terlalu dini, atau mungkin terlalu keriput. Hanya ruh diluar tubuh saya yang mampu membeberkan semua tentang saya. Jadi, tema esai yang di usung panitia UISDP kali ini – menurut hemat saya – sangat “kurang ajar.” Namun, sebagai peserta, saya hanya mencoba membalikkan pembiaran kesalahan menjadi benar-benar kesalahan, dengan tujuan mereka – maksudnya panitia UISDP – tahu siapa saya dan apa saya sebenarnya.

Islamku, Islam Anda, Islam Kita
Agaknya sub judul ini terkesan mengecoh kita pada buku karangan KH. Abdurrahman Wahid, yang terkenal dengan panggilan Gus Dur. Memang saya ABG (Anak Buah Gus Dur). Tokoh unik satu inilah yang menyuburkan keinginan saya untuk “menjadi Indonesia” di Indonesia. Selain Gus Dur, kelambu pemikiran saya terseret juga ke dalam kendi pemikiran KH. Mustofa Bisri, yang akrab dipanggil Gus Mus, Emha Ainun Najib, almarhum Cak Nur Kholis Majid, Soekarno, Hatta, dan terakhir – pastinya bukan Pak Beye – M. Natsir.  Mereka adalah manusia-manusia yang benar-benar Indonesia, karena itu saya banyak menaruh cinta pada mereka.
Kembali ke Islam. Islam bukan hanya milik saya, tapi saya harus memilikinya. Semua orang islam adalah saudara saya, tapi semua manusia adalah keluarga saya. Indonesia bukan islam, tapi islam ada di Indonesia. oleh karena itu, saya memiliki quote “Saya bukan orang islam yang tinggal di Indonesia, tapi orang Indonesia yang beragama islam.” Mudah-mudahan anda tidak menafsirkan hanya dengan otak kiri, Karena hal itu akan mengurung anda dalam kerangkeng pemikiran yang eksklusif-ketat. Terlebih lagi memberikan gelar kepada saya sebagai orang islam radikal. Islam saya sama dengan anda, islam anda – mudah-mudahan – sama dengan islam saya.

Saya, Bukan Kita, Kami Untuk Mereka!
Sejak mengikuti program UISDP, saya merasa menemukan pecahan-pecahan ke-Indonesia-an yang pernah subur di benak saya. Tidak mudah “menjadi Indonesia” di Indonesia. Menurut saya lebih mudah “menjadi Indonesia” di luar Indonesia. Saya sewaktu kecil belajar dengan cara yang benar-benar Indonesia – tepatnya pada usia empat tahun. Setelah beranjak ke Madrasah Ibtida’iah – setingkat sekolah dasar (SD), saya mulai disuapi hal-hal yang bukan dari Indonesia. Kegalauan bercampur ketidakpercayaan membumbung dalam plafon nuraniku. Betapa tidak, hal ini baru saya sadari ketika saya sudah bergaul dengan, maaf, bibir dan payu dara perempuan. Naif. Memang sangat naif. Seorang Indonesia “digagahi” identitas non-Indonesia oleh bengisnya Orde Baru. Dua kata yang sudah saya siapkan untuk funding father Orde Baru, sekali lagi maaf, Fuck U!
Karakter yang paling menonjol dari saya adalah mblurut, lewer, dan guapleki (susah diatur, pelupa, dan lucu-kasar dalam tutur kata). Saya hidup dilingkungan yang – bisa dibilang lumayan – keras. Bapak saya menekankan, menjadi manusia bukan karena kemampuan hidup, tapi kemauan berkehidupan. Terinspirasi oleh hal diatas, saya kemudian dengan tegas berkoar-koar dengan motto, “Menikmati hidup dan berkehidupan seperti orang hidup.”
Saya gemar mengunyah buku-buku agama, filsafat ilmu, dan sejarah. Meskipun terkesan “nakal,” saya lebih senang menggunakan faham subaltern dengan bumbu metamorfosia – saya pelesetkan dari majas metafora – dalam kajian dan gaya kehidupan, tulisan, dan pemikiran saya. Bagi saya mudah berfantasi bersama dengan orang kaya-bejat, daripada orang miskin-mlarat. Karena saya, bukan kita orang mlarat ataupun konglomerat, tapi kami, adalah manusia yang hidup di suatu negara, Indonesia. semangat itulah yang menghantarkan saya untuk segera kembali ke habitat ke-melarat-an secepatkan.

Kok, Mang Oejank Indro?
Bapak Arief Munandar boleh punya burung elang dan pipit dirumahnya. Bagi saya, memiliki sebuah pena dan selembar kertas usang, sudah cukup mengangkat ke-Indonesia-an saya di bumi Indonesia. Berawal dari kecintaan seputar dunia kuli tinta, nama unik yang menjadi ciri khas saya mulai berdendang. “Mang Oejank Indro…!” Sebuah gelar penggiat kebangasaan dan kesenian ketika itu mulai menjadi mesin bagi saya untuk melaju meneratas keindahan Indonesia. Banyak orang saling beragumen tentang nama “baru” ini. Apa relevansinya Bung? Seperti itulah yang sering mendecit di telinga saya. Oejank Indro, nama ini sering saya pakai dalam beberapa tulisan – baik artikel, puisi, cerpen – saya selama tiga tahun terakhir. Alasan utama kenapa kok Oejank Indro adalah. Pertama,hanya Indonesia yang memiliki nama Ujang – Oejank, menggunakan EYD jadul untuk menghargai sejarah. Kedua, Indro, merupakan penalaran dari Indonesia dan merupakan nama desa tempat saya dikembang biakkan.
Paragraf terakhir ini, sengaja saya tulis hanya untuk memberikan penghargaan kepada orang tua, guru, dan buku yang sudah membakar identitas saya sebagai manusia di bumi Indonesia. Inilah saya, fahami saya dengan gaya tulisan saya, niscaya anda mampu mengenal siapa saya. Sekarang saya hanya sekedar mahasiswa di universitas ternama, yang sedang berusaha menjadi sarjana dengan beasiswa, dan hanya mampu “bercanda” melihat realita. Sampai jumpa, Indonesiaku.

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...