Abdurrahman Wahid, presiden
ke-empat Republik Indonesia ini memang memiliki daya tarik dan kecermelangan –
juga kejeniusan – diatas rata-rata. Resensi ini berkutat tentang buku karya
Greg Barton yang berjudul”Gus Dur: The
Authorized Biography of Abdurrahman
Wahid” terbitan LKiS tahun 2002. Buku yang diterjemahkan oleh Lie
Hua ini membredel sosok Gus Dur dari proses yang berbeda disbanding penulisan
buku tentang Gus Dur lainnya. Selain pendekatan dengan membaca litaratur
seputar Gus Dur dan melakukan penelitian, Greg sengaja menfokuskan penulisan
biografi ini pada keterangan subjeknya sendiri, yaitu Gus Dur. Greg Barton
memang mendapatkan momen yang pas dalam penulisan biografi Gus Dur – yang
sebenarnya adalah sebuah penelitian tentang pengaruh liberalisme Islam dan
sumbangannya pada perkembangan masyarakat sipil dan demokrasi.
Ke-nyelenehan Gus Dur memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Kiai dan
pembesar NU (Nahdhatul Ulama) itu. Dalam hal intelektual dan keilmuan, tak
dapat dipungkiri beliau adalah orang super cerdas dan memiliki ingatan yang
tajam. Buku boigrafi yang memiliki lima
pokok bahasan dan dua belas sub-pokok bahsan ini menfokuskan perjalanan Gus Dur
dalam kerangka politik. Dalam pokok bahasan awak, Greg membeberkan konstuksi
pemikiran Gus Dur dari sejak kecil sampai ketika Gus Dur berkelana ke dataran
Eropa. Pada pertengahan buku, sajian yang dihidangkan Greg adalah konsepsi
Islam, tradisi, dan modernisasi dalam pemikiran Gus Dur. Tidak lupa Greg juga
menerangkan secara gamblang proses Gus Dur mengawal Reformasi 1998, ketika
menjadi presiden, dan pasca menjadi RI-1 di tahun 2001.
*****
Dalam pandangan masyarakat
Indonesia dan dunia, Gus Dur merupakan figur yang unik, cerdas, dan – pasti –
lucu. Kapsitas intelektual yang seolah tidak pernah habis membuat Gus Dur
menjadi target penelitian dan kajian beberapa lembaga internasional, tidak
terkecuali penulis buku Biografi ini, Greg Barton. Dijelaskan oleh Greg, masa
kecil Gus Dur dibesarkan dalam arena pesantren dan perpolitikan. Pengaruh
beberapa orang disekitar Gus Dur memang memiliki peran yang signifikan.
Beberapa orang yang mempengaruhi konstruksi pemikiran Gus Dur adalah kedua
kakeknya, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy’ari. Kedua orang ini adalah
orang yang sangat dihormati dikalangan NU, baik oleh karena mereka adalah tokoh
pendiri NU maupun pengaruh mereka sebagai ulama tersohor di Indonesia.
Pada
awal buku Greg mejelaskan bahwa Gus Dur muda sejak muda termasuk orang yang
suka bermain-main, karena hal inilah Gus Dur hampir menjadi nakal dan ceroboh.
Banyak hal yang dijelaskan oleh Greg tentang kecerobohan Gus Dur. Misalnya,
ketika gagal naik kelas karena terlalu sering menonton bola dan pergi ke
bioskop. Sama halnya ketika mengenyam pendidikan di pesantren Yogyakarta dan
Jombang, keberhasilan yang diraihnya pun
dengan mudah diraihnya. Hal ini mungkin karena Gus Dur dibekali oleh ketajaman
pikiran ditambah daya ingat yang kuat, sehingga mampu menamatkan studinya tanpa
harus belajar dengan keras. Di Kairo Gus Dur juga menilai mata kuliah yang
disajikan oleh universitas sudah melekat di kepalanya semenjak nyantri di Yogyakarta dan Jombang.
Waktunya di Mesir pun dihabiskan
dengan menonton sepak bola, ke bioskop, dan berdiskusi di warung Kopi yang
dipenuhi asap rokok. Setelah gagal di Mesir, Gus Dur beralih ke Baghdad, Irak.
Disinilah ia mendapatkan ruang pemikiran dan pembelajaran yang menantang juga
menarik baginya.
Rasa
keingintahuan yang tinggi adalah salah satu sifat yang menonjol dalam diri Gus
Dur. Akan tetapi, menurut Greg, Gus Dur akan cepat bosan dengan hal-hal yang
sudah ia ketahui dan pelajari. Selain itu, selama bersama Gus Dur, Greg
menemukan sikap Gus Dur yang menonjol adalah keyakinan kuat akan nasib sehingga
ia juga yakin bahwa ia harus mencoba melakukan hal-hal yang besar. Dalam
perjalanan hidupnya, Gus Dur berada dalam suatu wilayah dan lingkungan dimana
ia hampir tidak mempunyai tandingan dalam pengetahuan dan minat. Akibatnya, Gus
Dur mempunyai kepercayaan diri yang sangat tinggi – menurut sebagian orang hal
itu merupakan blunder bagi Gus Dur.
Namun, ia adalah orang yang rendah hati dan benar-benar tak pernah berpretensi.
Gus
Dur dikenal sebagai orang yang humoris. Hal ini yang sering menjadi senjata
musuh politiknya ketika ia menjabat sebagai presiden. Beberapa lawan politiknya
– juga pengamat – mengeluhkan bahwa Gus Dur tidak bisa mengapresiasi keseriusan
suatu keadaan. Kenyataan ini memang salah besar, dijelaskan oleh Greg, seenarnya
ia hampir tidak memiliki waktu untuk hal-hal protokoler. Dengan demikian,
memang Gus Dur selalu serius memikirkan masalah-masalah yang dihadapinya. Namun
demikian, memang ia selalu memiliki kebiasaan untuk menyegarkan permasalahan
sehingga sedikit meringankan beban yang dihadapinya. Kejenakaan pikirannya
adalah adalah tameng dibalik pergulatan keseriusan Gus Dur menjadi nahkoda
Indonesia di masanya.
Karir
ke-persiden-an Gus Dur memang tidak secemerlang ketika membawa gerbong NU
sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia. Banyak hal yang mempengaruhi
karir ke-presiden-nan Gus Dur. Antara lain adalah proses kenaikan ia menjadi
presiden. Ketika Gus Dur dengan PeDe
memproklamirkan diri bahwa akan segera menjadi presiden jauh sebelum pemilu
1999 berlangsung, dan bahkan sebelum reformasi. Namun, akhirnya ia melenggang
menjadi presiden dengan atmnosfir koalisi yang tidak jelas. Dimulai dari
tuduhan-tuduhan korupsi kepadanya yang dihentikan Kejaksaan Agung karena tidak
cukup bukti, tuduhan-tuduhan itu bergejolak menjadi kritik ke-tidak-kompetenan
Gus Dur dalam menjalankan pemerintahan. Tentunya orang sehat yang waras akan
merasa tidak percaya, bahkan sebagian besar lawan politiknya ragu-ragu tentang
keaadaan tersebut.
Banyak
kerabat dan sahabat sebenarnya kurang merestui majunya Gus Dur sebagai
presiden. Menurut para sahabat, Gus Dur merupakan sosok aktivis ornop, dan
dilahirkan sebagai seorang ahli manajerial ulung, apalagi kepala rumah tangga
negara demokrasi ketiga didunia. Hal lain yang dituangkan Greg adalah
kemungkinan sikap kaum elit Jakarta bahwa ia kurang peduli terhadap penampilan.
Gus Dur sendiri mempunyai keyakinan bahwa di Jakarta orang terlalu
memperhatikan bentuk, bukan isi. Namun, dalam posisinya sebagai kepala negara,
keadaan tersebut merupakan hal yang kurang baik, terutama dalam
pengkomunikasian pesan.
Dalam
buku ini, Greg lebih banyak menuangkan cerita Gus Dur ketika berada dalam
masa-masa kritis sebagai presiden. Terutama ketika berbagai tuduhan miring
terhadap Gus Dur menyeruak di berbagai media. Sebagai presiden pertama yang
dipilih secara demokratis, Gus Dur menanggung beban yang sangat beratdan
krusial bagi bangsa. Belum lagi masa transisi dari otoriter ke demokrasi
ditengah gerusan krisis ekonomi yang tidak main-main. Runtuhnya rezim Soeharti
belum tentu habis sampai ke akar-akarnya. Keberadaan kekuatan militer dan pejabat
Orde Baru – dengan kepentingan-kepentingan golongan – adalah PR yang besar bagi
Gus Dur. Ke-nyelenehan yang biasa
dipertontonkan dengan gaya komunikasi humoris bisa jadi merupakan cara Gus Dur
untuk meredam kegelisahan dan kerumitan permasalahan bangsa ini.
*****
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pada msa Gus Dur menjadi presiden adalah masa yang lebih
sulit daripada masa-masa presiden yang lain. Harapan besar masyarakat yang
tersemat di pundaknya terlalu besar. Namun, terlepas dari berbagai permasalahan
diatas, Gus Dur tetap Gus Dur. Sekalipun banyak dihujani kritik dan perlawanan
dari lawan yang tidak nampak. Ia tetap
berdiri diatas punggung rakyat. Idealism dan ketulusannya dalam “merakyat”
memang sangat jeals terlihat. Tampuk jabatan ke-presiden-an yang singkat memang
sangat syarat dengan serangan lawan-lawan politik dan tokoh-tokoh rezim Orde
baru. Karena kurangnya keberpihakan dan sekutu melawan Orde Baru, ia harus
berjalan di garda depan sendiri. Menurut catata Greg, hanya Gus Dur yang berani
menyuarakan gregetnya terhadap pemerintahan Orde Baru kala itu. Bahkan ketika
ia menjadi presiden, Gus Dur pun
defisit dukungan untuk melaksanakan reformasi secara utuh.
Sangat
mungkin karena hal-hal tersebut, sifat ke-Kiai-an Gus Dur muncul dalam
peranannya sebagai presiden. Cara kerja manajerialnya memang lemah. Tapi visi
dan misi membangun peradaban Indonesia yang baru tidak bisa diremehkan. Akan
tetapi, pemikiran Gus Dur kadang-kadang tidak bisa diterima secara akal sehat
dan ralistis. Padahal, menurut Greg, apa yang ia lontarkan hanyalah logika
rasional dengan pemikiran matang. Namun, pemikiran matang Gus Dur tetntu jauh
daripada orang lain. Kapasitas intelektualnya sulit dijangkau rekan-rekan
pemerintahan lainnya.
Kekuatan
politik Gus Dur yang bisa dikatakan lemah, menurut Greg, adalah ganjalan serius
dalam karir kepresidennya. Memang kala itu kekuatan politik Gus Dur sangat
ambigu. Anda bisa memperkirakan sendiri betapa besar kekuatan politik yang
masih dimiliki rezim Orde Baru. Kejeniusannya merangkul koalisi dan partainya
sendiri, PKB, sangat dirasa kurang. Menurut pengamatan saya, keadaan ini tidak
terlepas dari keingingan Gus Dur yang besar membangun fondasi negara
demokratis. Memang benar, jika seorang pemimpin dalam yang berkiprah pada
kondisi bangsa dengan masalah besar yang serba tidak nampak hanya mementingkan
golongan dan koalisi, niscaya perjalanan reformasi akan meju-mundur, dan
kemungkinan rezim Orde Baru beserta reformis yang egois dengan mudah menemukan
celah dalam UUD 45 untuk sekali lagi “memperkosa” Indonesia.
Ketika
Gus Dur dilantik menjadi presiden, pada saat yang bersamaan kaum anti reformasi
berhasi memecah dan menguasi, baik masyarakat sipil pada umumnya dan gerakan
reformasi politik pada umumnya. Jadi, kualitas Gus Dur sebagai presiden pertama
yang dipillih secara demokratis sudah diuji. Belum lagi golongan islamis yang
dulunya “digodok” rezim Orde Baru dalam wadah ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia) – yang tidak mampu menyeret ulama tradisional kedalamnya – yang secara
tegas dikritik oleh Gus Dur sebagai munculnya kembali sektarianisme dalam
politik. Usut punya usut, kritikan tersebut akhirnya menjadi kenyataan dengan
melencengnnya kaum modenrnis konservatif dan islamis yang secara terbuka
menyesali “kesalahan” telah mendukung Gus Dur yang “mblurut” dan keras kepala. Sampai disini jelas bukan masalah
kenegaraan dan transisi ke demokrasi semata yang menjadi beban Gus Dur, bukan?
Selain
masalah diatas, kualitas kepemimpinan Gus Dur juga dihadapkan pada penegakan
hukum yang tidak berfungsi dengan baik. Bayangkan jika Megawati kala itu
menjadi opsi utama bagi rakyat Indonesia sebagai RI 1, pasti kondisi Indonesia
sekarang masih ngalor-ngidul tidak
jelas. Kelihaian Gus Dur sebagai pemimpin adalah bukan hanya mampu mengatasi
tekanan politik dari penjuru arah mata angin, ia masih menjalankan tugas dan
tanggung jawab sebagai presiden yang berorientasi kepada rakyat. Jika Gus Dur
dipilih secara demokratis, maka ia juga lengser dengan cara demokratis pula.
Jika bukan rakyat yang geram – karena skenario oposisi dan tokoh rezim Orde
Baru yang busuk – terhadap gaya pemerintahannya yang sukar ditafsirkan, mungkin
Gus Dur akan mati-matian menjaga kebenaran yang disalahkan oleh lawan
politiknya. Saya yakin sampai disini Greg sebagai orang asing juga melihat
betapa besar masalah yang dihadapi subyek penelitiannya tersebut.
Masa
peralihan Indonesia sebagai negara demokratis memang diperkirakan tidak mungkin
lancer oleh para reformis kecil, termasuk Gus Dur. Rezim Orde Baru mewarisi
Indonesia yang kacau dan amburadul daripada apa yang ditulis, didengar, dan
dilihat masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, kekecewaan rakyat terhadap
pemerintahan Gus Dur terbilang masuk akal. Namun, melihat realita yang lebih dalam
dan dengan kajian yang rasional, Gus Dur merupakan penyelamat demokrasi
Indonesia yang seharusnya menerima pujian dan pengahargaan lebih dari pujian
dan pengahrgaan pada umumnya. Karakteristik kepemimpinan dan aspek kepribadian
Gus Dur ini yang harus dibayar mahal karena mempermudah musuh-musuh politiknya
menganggapnya sebagai seorang yang tolol egois, sehingga tak lagi dapat
dipercaya memerintah negeri ini. Maneuver seperti ini membuat mereka seperti
pahlawan, meskipun dimata orang asing yang jauh tidak mengenal subtansi
permasalahan, terutama di mata unsure-unsur garis keras dalam tubuh militer –
yang seharusnya dikurung dibalik jeruji, bukannya bermain-main dibalik indahnya
demokrasi.
No comments:
Post a Comment