Wednesday, February 9, 2011

Menapaki Jejak Sang Guru Bangsa

-->
Abdurrahman Wahid, presiden ke-empat Republik Indonesia ini memang memiliki daya tarik dan kecermelangan – juga kejeniusan – diatas rata-rata. Resensi ini berkutat tentang buku karya Greg Barton yang berjudul”Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman  Wahid” terbitan LKiS tahun 2002. Buku yang diterjemahkan oleh Lie Hua ini membredel sosok Gus Dur dari proses yang berbeda disbanding penulisan buku tentang Gus Dur lainnya. Selain pendekatan dengan membaca litaratur seputar Gus Dur dan melakukan penelitian, Greg sengaja menfokuskan penulisan biografi ini pada keterangan subjeknya sendiri, yaitu Gus Dur. Greg Barton memang mendapatkan momen yang pas dalam penulisan biografi Gus Dur – yang sebenarnya adalah sebuah penelitian tentang pengaruh liberalisme Islam dan sumbangannya pada perkembangan masyarakat sipil dan demokrasi.
Ke-nyelenehan Gus Dur memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Kiai dan pembesar NU (Nahdhatul Ulama) itu. Dalam hal intelektual dan keilmuan, tak dapat dipungkiri beliau adalah orang super cerdas dan memiliki ingatan yang tajam. Buku boigrafi yang  memiliki lima pokok bahasan dan dua belas sub-pokok bahsan ini menfokuskan perjalanan Gus Dur dalam kerangka politik. Dalam pokok bahasan awak, Greg membeberkan konstuksi pemikiran Gus Dur dari sejak kecil sampai ketika Gus Dur berkelana ke dataran Eropa. Pada pertengahan buku, sajian yang dihidangkan Greg adalah konsepsi Islam, tradisi, dan modernisasi dalam pemikiran Gus Dur. Tidak lupa Greg juga menerangkan secara gamblang proses Gus Dur mengawal Reformasi 1998, ketika menjadi presiden, dan pasca menjadi RI-1 di tahun 2001.
*****
Dalam pandangan masyarakat Indonesia dan dunia, Gus Dur merupakan figur yang unik, cerdas, dan – pasti – lucu. Kapsitas intelektual yang seolah tidak pernah habis membuat Gus Dur menjadi target penelitian dan kajian beberapa lembaga internasional, tidak terkecuali penulis buku Biografi ini, Greg Barton. Dijelaskan oleh Greg, masa kecil Gus Dur dibesarkan dalam arena pesantren dan perpolitikan. Pengaruh beberapa orang disekitar Gus Dur memang memiliki peran yang signifikan. Beberapa orang yang mempengaruhi konstruksi pemikiran Gus Dur adalah kedua kakeknya, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy’ari. Kedua orang ini adalah orang yang sangat dihormati dikalangan NU, baik oleh karena mereka adalah tokoh pendiri NU maupun pengaruh mereka sebagai ulama tersohor di Indonesia.
            Pada awal buku Greg mejelaskan bahwa Gus Dur muda sejak muda termasuk orang yang suka bermain-main, karena hal inilah Gus Dur hampir menjadi nakal dan ceroboh. Banyak hal yang dijelaskan oleh Greg tentang kecerobohan Gus Dur. Misalnya, ketika gagal naik kelas karena terlalu sering menonton bola dan pergi ke bioskop. Sama halnya ketika mengenyam pendidikan di pesantren Yogyakarta dan Jombang, keberhasilan yang diraihnya pun dengan mudah diraihnya. Hal ini mungkin karena Gus Dur dibekali oleh ketajaman pikiran ditambah daya ingat yang kuat, sehingga mampu menamatkan studinya tanpa harus belajar dengan keras. Di Kairo Gus Dur juga menilai mata kuliah yang disajikan oleh universitas sudah melekat di kepalanya semenjak nyantri di Yogyakarta dan Jombang. Waktunya di Mesir pun dihabiskan dengan menonton sepak bola, ke bioskop, dan berdiskusi di warung Kopi yang dipenuhi asap rokok. Setelah gagal di Mesir, Gus Dur beralih ke Baghdad, Irak. Disinilah ia mendapatkan ruang pemikiran dan pembelajaran yang menantang juga menarik baginya.
            Rasa keingintahuan yang tinggi adalah salah satu sifat yang menonjol dalam diri Gus Dur. Akan tetapi, menurut Greg, Gus Dur akan cepat bosan dengan hal-hal yang sudah ia ketahui dan pelajari. Selain itu, selama bersama Gus Dur, Greg menemukan sikap Gus Dur yang menonjol adalah keyakinan kuat akan nasib sehingga ia juga yakin bahwa ia harus mencoba melakukan hal-hal yang besar. Dalam perjalanan hidupnya, Gus Dur berada dalam suatu wilayah dan lingkungan dimana ia hampir tidak mempunyai tandingan dalam pengetahuan dan minat. Akibatnya, Gus Dur mempunyai kepercayaan diri yang sangat tinggi – menurut sebagian orang hal itu merupakan blunder bagi Gus Dur. Namun, ia adalah orang yang rendah hati dan benar-benar tak pernah berpretensi.
            Gus Dur dikenal sebagai orang yang humoris. Hal ini yang sering menjadi senjata musuh politiknya ketika ia menjabat sebagai presiden. Beberapa lawan politiknya – juga pengamat – mengeluhkan bahwa Gus Dur tidak bisa mengapresiasi keseriusan suatu keadaan. Kenyataan ini memang salah besar, dijelaskan oleh Greg, seenarnya ia hampir tidak memiliki waktu untuk hal-hal protokoler. Dengan demikian, memang Gus Dur selalu serius memikirkan masalah-masalah yang dihadapinya. Namun demikian, memang ia selalu memiliki kebiasaan untuk menyegarkan permasalahan sehingga sedikit meringankan beban yang dihadapinya. Kejenakaan pikirannya adalah adalah tameng dibalik pergulatan keseriusan Gus Dur menjadi nahkoda Indonesia di masanya.
            Karir ke-persiden-an Gus Dur memang tidak secemerlang ketika membawa gerbong NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia. Banyak hal yang mempengaruhi karir ke-presiden-nan Gus Dur. Antara lain adalah proses kenaikan ia menjadi presiden. Ketika Gus Dur dengan PeDe memproklamirkan diri bahwa akan segera menjadi presiden jauh sebelum pemilu 1999 berlangsung, dan bahkan sebelum reformasi. Namun, akhirnya ia melenggang menjadi presiden dengan atmnosfir koalisi yang tidak jelas. Dimulai dari tuduhan-tuduhan korupsi kepadanya yang dihentikan Kejaksaan Agung karena tidak cukup bukti, tuduhan-tuduhan itu bergejolak menjadi kritik ke-tidak-kompetenan Gus Dur dalam menjalankan pemerintahan. Tentunya orang sehat yang waras akan merasa tidak percaya, bahkan sebagian besar lawan politiknya ragu-ragu tentang keaadaan tersebut.
            Banyak kerabat dan sahabat sebenarnya kurang merestui majunya Gus Dur sebagai presiden. Menurut para sahabat, Gus Dur merupakan sosok aktivis ornop, dan dilahirkan sebagai seorang ahli manajerial ulung, apalagi kepala rumah tangga negara demokrasi ketiga didunia. Hal lain yang dituangkan Greg adalah kemungkinan sikap kaum elit Jakarta bahwa ia kurang peduli terhadap penampilan. Gus Dur sendiri mempunyai keyakinan bahwa di Jakarta orang terlalu memperhatikan bentuk, bukan isi. Namun, dalam posisinya sebagai kepala negara, keadaan tersebut merupakan hal yang kurang baik, terutama dalam pengkomunikasian pesan.
            Dalam buku ini, Greg lebih banyak menuangkan cerita Gus Dur ketika berada dalam masa-masa kritis sebagai presiden. Terutama ketika berbagai tuduhan miring terhadap Gus Dur menyeruak di berbagai media. Sebagai presiden pertama yang dipilih secara demokratis, Gus Dur menanggung beban yang sangat beratdan krusial bagi bangsa. Belum lagi masa transisi dari otoriter ke demokrasi ditengah gerusan krisis ekonomi yang tidak main-main. Runtuhnya rezim Soeharti belum tentu habis sampai ke akar-akarnya. Keberadaan kekuatan militer dan pejabat Orde Baru – dengan kepentingan-kepentingan golongan – adalah PR yang besar bagi Gus Dur. Ke-nyelenehan yang biasa dipertontonkan dengan gaya komunikasi humoris bisa jadi merupakan cara Gus Dur untuk meredam kegelisahan dan kerumitan permasalahan bangsa ini.
           
*****

            Tidak dapat dipungkiri bahwa pada msa Gus Dur menjadi presiden adalah masa yang lebih sulit daripada masa-masa presiden yang lain. Harapan besar masyarakat yang tersemat di pundaknya terlalu besar. Namun, terlepas dari berbagai permasalahan diatas, Gus Dur tetap Gus Dur. Sekalipun banyak dihujani kritik dan perlawanan dari lawan yang tidak nampak.  Ia tetap berdiri diatas punggung rakyat. Idealism dan ketulusannya dalam “merakyat” memang sangat jeals terlihat. Tampuk jabatan ke-presiden-an yang singkat memang sangat syarat dengan serangan lawan-lawan politik dan tokoh-tokoh rezim Orde baru. Karena kurangnya keberpihakan dan sekutu melawan Orde Baru, ia harus berjalan di garda depan sendiri. Menurut catata Greg, hanya Gus Dur yang berani menyuarakan gregetnya terhadap pemerintahan Orde Baru kala itu. Bahkan ketika ia menjadi presiden, Gus Dur pun defisit dukungan untuk melaksanakan reformasi secara utuh.
            Sangat mungkin karena hal-hal tersebut, sifat ke-Kiai-an Gus Dur muncul dalam peranannya sebagai presiden. Cara kerja manajerialnya memang lemah. Tapi visi dan misi membangun peradaban Indonesia yang baru tidak bisa diremehkan. Akan tetapi, pemikiran Gus Dur kadang-kadang tidak bisa diterima secara akal sehat dan ralistis. Padahal, menurut Greg, apa yang ia lontarkan hanyalah logika rasional dengan pemikiran matang. Namun, pemikiran matang Gus Dur tetntu jauh daripada orang lain. Kapasitas intelektualnya sulit dijangkau rekan-rekan pemerintahan lainnya.
            Kekuatan politik Gus Dur yang bisa dikatakan lemah, menurut Greg, adalah ganjalan serius dalam karir kepresidennya. Memang kala itu kekuatan politik Gus Dur sangat ambigu. Anda bisa memperkirakan sendiri betapa besar kekuatan politik yang masih dimiliki rezim Orde Baru. Kejeniusannya merangkul koalisi dan partainya sendiri, PKB, sangat dirasa kurang. Menurut pengamatan saya, keadaan ini tidak terlepas dari keingingan Gus Dur yang besar membangun fondasi negara demokratis. Memang benar, jika seorang pemimpin dalam yang berkiprah pada kondisi bangsa dengan masalah besar yang serba tidak nampak hanya mementingkan golongan dan koalisi, niscaya perjalanan reformasi akan meju-mundur, dan kemungkinan rezim Orde Baru beserta reformis yang egois dengan mudah menemukan celah dalam UUD 45 untuk sekali lagi “memperkosa” Indonesia.
            Ketika Gus Dur dilantik menjadi presiden, pada saat yang bersamaan kaum anti reformasi berhasi memecah dan menguasi, baik masyarakat sipil pada umumnya dan gerakan reformasi politik pada umumnya. Jadi, kualitas Gus Dur sebagai presiden pertama yang dipillih secara demokratis sudah diuji. Belum lagi golongan islamis yang dulunya “digodok” rezim Orde Baru dalam wadah ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) – yang tidak mampu menyeret ulama tradisional kedalamnya – yang secara tegas dikritik oleh Gus Dur sebagai munculnya kembali sektarianisme dalam politik. Usut punya usut, kritikan tersebut akhirnya menjadi kenyataan dengan melencengnnya kaum modenrnis konservatif dan islamis yang secara terbuka menyesali “kesalahan” telah mendukung Gus Dur yang “mblurut” dan keras kepala. Sampai disini jelas bukan masalah kenegaraan dan transisi ke demokrasi semata yang menjadi beban Gus Dur, bukan?
            Selain masalah diatas, kualitas kepemimpinan Gus Dur juga dihadapkan pada penegakan hukum yang tidak berfungsi dengan baik. Bayangkan jika Megawati kala itu menjadi opsi utama bagi rakyat Indonesia sebagai RI 1, pasti kondisi Indonesia sekarang masih ngalor-ngidul tidak jelas. Kelihaian Gus Dur sebagai pemimpin adalah bukan hanya mampu mengatasi tekanan politik dari penjuru arah mata angin, ia masih menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai presiden yang berorientasi kepada rakyat. Jika Gus Dur dipilih secara demokratis, maka ia juga lengser dengan cara demokratis pula. Jika bukan rakyat yang geram – karena skenario oposisi dan tokoh rezim Orde Baru yang busuk – terhadap gaya pemerintahannya yang sukar ditafsirkan, mungkin Gus Dur akan mati-matian menjaga kebenaran yang disalahkan oleh lawan politiknya. Saya yakin sampai disini Greg sebagai orang asing juga melihat betapa besar masalah yang dihadapi subyek penelitiannya tersebut.
            Masa peralihan Indonesia sebagai negara demokratis memang diperkirakan tidak mungkin lancer oleh para reformis kecil, termasuk Gus Dur. Rezim Orde Baru mewarisi Indonesia yang kacau dan amburadul daripada apa yang ditulis, didengar, dan dilihat masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan Gus Dur terbilang masuk akal. Namun, melihat realita yang lebih dalam dan dengan kajian yang rasional, Gus Dur merupakan penyelamat demokrasi Indonesia yang seharusnya menerima pujian dan pengahargaan lebih dari pujian dan pengahrgaan pada umumnya. Karakteristik kepemimpinan dan aspek kepribadian Gus Dur ini yang harus dibayar mahal karena mempermudah musuh-musuh politiknya menganggapnya sebagai seorang yang tolol egois, sehingga tak lagi dapat dipercaya memerintah negeri ini. Maneuver seperti ini membuat mereka seperti pahlawan, meskipun dimata orang asing yang jauh tidak mengenal subtansi permasalahan, terutama di mata unsure-unsur garis keras dalam tubuh militer – yang seharusnya dikurung dibalik jeruji, bukannya bermain-main dibalik indahnya demokrasi.
             

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...