Sebuah karangan singkat ini tidak
akan cukup untuk menuangkan sebuah ikatan saya – seorang anak pertama – kepada
kedua orang tua saya. Hampir selama sembilan belas tahun ditambah tujuh bulan –
karena saya lahir preamatur, saya mulai menikmati kerumunan kasih sayang dan
jeratan cinta sang panglima dan ratu keluarga.
Harus dimulai darimana?
Pertanyaan itu yang semilir mengintai di otak kananku ketika berusaha menguntai
beberapa kalimat tentang dua orang ini. Pernyataan paling mudah adalah mereka
lebih murah dari apapun di muka bumi, bahkan udara pun tidak lebih murah dari mereka. Ke-murahan mereka untuk sabar,
tulus, jujur, sakit, lelah, dan banyak hal lainnya menjadi “barang” yang tidak
perlu kita pikirkan untuk menggunakannya.
Menulis tentang orang tua
saya adalah hal yang sulit. Padahal saya suka menulis. Bahkan beberapa tulisan
saya seringkali “mejeng” di media masa. Namun, untuk satu ini, saya merasa
berat. Ngelambyar. Baiklah. Kita
mulai dari kenangan-kengan mungil tentang dua orang hebat ini – tentunya dengan
gaya tulisan khas saya, subaltern metamorfosia.
Rumah Itu Baru
Segumpal awan melayang bebas
di atas atap rumah yang baru aku singgahi beberapa hari. Rumah ini yang
menghangatkanku selama sepuluh tahun – sebelum pergi berkelana. Aku tidak akan
membahas detail rumah itu. Tapi, sebuah perjuangan Sang Panglima dan Ratu
keluarga. Tanpa itu, semuanya tidak mungkin berakhir seperti sekarang. Apakah
anda bingung sampai disini?
Aku mengenal kedua orang tua
– jujur – sejak mengerti apa arti “orang tua” untukku. Sekitar tahun ke lima
aku bersemanyam di bumi Allah. Ketika itu aku mengetahui bahwa orang tuaku
bekerja sebagai petani – lebih tepatnya keluarga-buruh-petani. Ketika beranjak
– agak – dewasa, mulai beberapa doktrin dan penerapan pemahaman agama dan budi
pekerti mulai merasuk. Pelan-pelan. Semua itu hanya capaian terkecil, hanya
pengorbanan kecil dari ibu dan bapakku. Percaya atau tidak, itu urusan pembaca.
Sudah lima paragraf, dan ini
yang ke enam. Kita belum melebur ke pokok masalah yang ingin aku share tentang orang tuaku. Aku teringat
ketika masih berusia 11 tahun. Bapak menghampiriku yang sedang asyik bermain video game di ruang tengah rumah baruku.
Percakapan sangat sederhana, “Wis wayahe bapak
wenehi rasa percoyo gawe sampean. Dadio sing sampean pengen, kawit saiki.”
(sudah saatnya bapak kasih kepercayaan buat kamu. Jadilah yang kamu inginkan,
mulai sekarang) Begitulah kira-kira –
saya juga agak lupa – kalimat yang meluncur dari bibir bapakku. Semalaman aku
terbelalak. Memutar-mutar kalimat itu, seperti orang yang ditawari nikah. Kalimat
itulah yang selama ini menjadi “bibit” langkah kakiku merampas masa depan yang
sudah teridam-idamkan. Terima kasih bapak!
Ibu Juga Manusia Luar Biasa
Kado ulang tahunku ke 17
dari ibu adalah, “wa’budullaha wala
tusyriku bihi syaia, wabil walidaini ikhsana” Adalah potongan surat
An-Nisa’ ayat 36. Bukan kado kue ulang tahun, baju, dan alakadabra lainnya.
Tapi “bel” yang menyeretku untuk menghargai hidup dan kehidupan orang tua,
terutama ibu dan bapak. Beliau merelakan rahimnya untuk aku rusak selama tujuh
bulan. Air susunya untuk tubuh rentahku selama dua tahun. Wow! Bukan Cuma itu.
Masih ada dua adikku yang pernah mendekam di rahim dan menikmati putting susu ibu,
sang ratu keluarga.
Aku mengenal ibuku dengan
panggilan Bu Ta, namanya Farikha. Ibuku bukan hanya wanita, ataupun sekedar
perempuan biasa. Banyak hal yang inginku lesatkan tentang ibu dalam tulisan
ini. Namun, aturan yang diberikan panitia membuatku harus kerja keras
menuangkannya dengan kalimat yang super padat.
Aku dan ibu. Tidak banyak
aku berbuat baik padanya. Terlalu banyak yang dia perbuat untukku. Bahkan
rambut disekitar kelaminku tak luput dari sentuhan kasih sayangnya.
Subhanallah. Sampai detik ini, kucuran kasih itu selalu bertambah dan
bertambah. Sebuah cerita indah tidak banyak aku tulis untuknya. Tapi, banyak
cerita tentang beliau yang menjadi aturan hidupku.
Sedih dan
senang. Tidak ada dalam kamus kehidupannya untukku. Musnah. Hanya gemericik
do’a dan air mata yang membungkam setan-setan dibelakangku, istiqomah beliau
kumandangkan. Serangkaian kalimat ini belum cukup. Kurang. Masih aku menyimpan
jutaan kalimat untukmu, ibuku. Ini ibuku, bagaimana ibumu? Jawabannya,
“Sama…!!”
Iswanda Fauzan S,1006696951, FIB @ 2010
No comments:
Post a Comment