Pagi-pagi buta Petruk sudah rapi dengan kemeja berdasi,
rutinitas menyiram kebun belakang rumahnya dan nyelendro “dikhianati” sejenak. Hari ini Petruk ingin mlaku-mlaku ngintip bumi nusantara, terutama tanah Jawa yang disinggahi Pak
BeYe dan adipati-adipati KIB jilid II. Ia juga berniat singgah di gedung DPR
RI, bertemu tuan Gayus, nyambangi Jeng Ayin,
dan nginep di kantor KPK. “Monggo Juragan, mobil sampun siap..!!” Sukirno, sopir pribadi Petruk
menyilahkan sang majikan nunggang
lymosin putih pemberian Batara Guru.
Beberapa menit dari singgasana Petruk di Pulau
Kahyangan, Suralaya, Sukirno bertanya, “Juragan, enak’e lewat jalan tol apa jalan biasa?” Dengan suara mbindeng Petruk bersua, “Lho, jalan tol
di Jakarta sudah bebas hambatan to? Wong pendega Jakarta terbukti bukan
ahlinya koq!!” Sukirno bingung. “Terus, lewat mana Juragan?” Sahutnya. “Wis, lewat jalur biasane wae. Ojo lali pake For Ridder yo..!” Jawab Petruk sambil memainkan iPhone 4 di tangan
kanan dan BB Torch di tangan kirinya.
“Walah, Juragan, mosok
wis mimpin hampir dua periode nguna-ngunu
wae, rakyat cilik dibohongi dengan kebohongan ala balita, ckckckck..!” Geram
Sukirno di bangku depan lymosin. “Hemmm… Raimu
koyok gak ngerti Pak BeYe. Aku kesini juga gara-gara prihatin.” Kata
Petruk. “Oalah, Prihatin tukang jamu yang bahenol itu to Juragan?” Sambung Sukirno. “Untumu
keropos…!! Prihatin Kir, prihatin temenan
cok..!! Wis, Aku turun sini. Kamu
langsung balik ke Suralaya.” Dawuh
Petruk. Sukirno pun langsung bergegas
kembali ke Suryalaya. Petruk nyamar
seperti biasa, baju kabanggaanya yang seperti kaus kutang terbelah
disematkannya. Perut buncit meluber kedepan diatas celana pendek berbalut
sarung yang terselendangkan melingkar.
****
Suasana
Istana Negara siang ini lumayan ramai. Teriakan demonstran dari Universitas
Indonesia memecah ke-galau-an penghuni Istana Negara. Segerombolan manusia
berseragam militer kurang lengkap melecit berbaur dengan demonstran, alih-alih
mengamankan, pak Pol malah melakukan pengamanan beberapa demonstran. Walah-walah, polisi dari jaman Soeharto
sampai sekarang koq kerjaannya sama
saja. Nggak kreatif. Kalau ndak “ngerampok” di jalanan, yo
“main-main” bongkar rumah, eksekusi tanah, dan ngantemi demonstran. Itu Polisi kasta paling bawah lho Bes, apalagi Pak Pol yang
berbintang-bintang itu? Hemmm…
Petruk
mengais dan menyisir pemukiman di bantaran Kali Ciliwung sebelum ke gedung DPR
RI, disana ia bertemu Romo Sandyawan Sumardi. Seorang “wakil rakyat” yang
tinggal diluar gedung wakil rakyat, yang membangun ratusan rumah untuk korban
tsunami Aceh. Mereka berdiskusi tentang keputusan – lebih tepatnya ke-nekat-an,
bisa juga keberingasan – wakil rakyat di DPR untuk membangun gedung baru dengan
banderol Rp. 1,3 triliun. Wow..!!
Petruk teringat tulisan Jaya Suprana di Kompas (29/1/11) yang menghitung-hitung
jumlah rumah layak huni dan layak kerja yang mampu dibangun dengan anggaran Rp.
1,3 T. Bang Jaya mendapatkan angka 86.666.666.666 rumah dengan estimasi Rp.
15.000.000 per rumah. Sambil ngiler Petruk
memaksakan pikirannya membayangkan angka-angka kongkrit di atas.
Perjalanan
selanjutnya, Petruk berpapasan dengan Paskah Suzetta dan Panda Nababan.
Kelihatannya kedua orang ini sedang nyungsep
gara-gara ulah KPK. Oalah, padahal Cak Panda akan “bertamasya” ke Batam
untuk Rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional) partai moncong putih kesayangannya. Sialnya,
masih ada 17 anggota DPR lagi yang ngantri
“dipreteli” KPK. Petruk makin
bingung. Di jamannya, orang sangat patuh terhadap hukum, dan penegak hukum demen mati-urip nandangi pelanggar hukum. Sekarang jamane wis edan, yen ora edan ora kaduman. “Kata Pak BeYe pas kampanye Pilpres 2009 akan menjadi
garda terdepan melawan koruptor, koq malah
tambah subur tandang-gawe pejabat
korupsi, malah mucul markus, mafia pajak, mafia hukum. Duh Gusti…!!! Pak BeYe, tak
enteni janjimu Pak!” Tukas Petruk. Akhirnya,
agenda kunjungannya ke DPR RI dikaji ulang untuk waktu yang tidak ditentukan.
Petruk gumulung
ke-edan-an. Ia hendak nyambangi tuan Gayus HP Tambunan.
Bintang mafia kelas teri yang sejak pertengahan tahun 2010 menanjak karir
“ke-artis-an”-nya ini memang menyita perhatian Petruk. “Ternyata ono sing luwih licik dari Naya Truna
yang belagak mateni Jaya Parusa dalam
kisah Karta Sura dan Gunung Kidul, hemmm… Nggapleki
yo awakmu, Gayus.” Celotehan pun mengalir
antara Petruk dan Gayus, di dalam jeruji – yang lembek jika di-sawur uang. Belum lepas dari memori otak
di dalam kepala Petruk yang mirip kelapa hijau, memanjang oval dengan beberapa
lembar rambut, ketika Gayus ngotot
ingin jadi staf ahli Polri. “Lha,
kalau yang jadi pejabat tindak-tanduke
koyok awakmu, Indonesia bakal jadi benar-benar negara hukum. Toh pejabatnya memang orang hukuman
semua, hehehe.” Bayangkan, dari 33 kepala daerah, hanya belasan dari mereka
yang tidak menyandang status koruptor. Belum lagi 286 perkara sengketa Pilkada
yang tertimbun di MK di awal tahun kelinci ini. Petruk memengangi kepalanya,
meremas dada kirinya, merasakan degub jantung yang mulai instabil. Nuraninya ingin
segera kembali ke Suralaya, ngeloni isteri
dan minum kopi.
Setelah mampir di warung Cak Gundul urnuk mencicipi
kepiting bakar, Petruk menuju ke Istanah Negara. Di jalan ia disapa beberapa dari
100 tokoh Geram Hukum (Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum). Diantaranya Bang Tobas
(Taufik Basari), Kamaruddin Hidayat, Anies Baswedan, Todung Mulya Lubis, Wimar
Witoelar, dan beberapa tokoh nasional lainnya. Pak Kamaruddin mbisiki Petruk, “Upaya kriminalisasi dan
pelemahan penegak hukum ini harus kita lawan. Kita tidak ingin hukum dijadikan
komodifikasi untuk memeras, memperkaya diri, atau menyingkirkan lawan politik.”
Petruk manggut-manggut, seperti orang
faham permasalahan. Petruk angen-angen
ibu manis yang baru-baru ini menghirup udara bebas dari lembaga permasyarakatan
(LP) khusus wanita, Tanggerang. Banyak pihak yang nyanggah kejadian ini. Namun, ada juga yang nyumanggaaken, tentu anda mnegetahui siapa orang ini. “Patrialis
Akbar..!!!” Pekik Petruk yang sedang ngelamuti
capit kepiting sambil berjalan.
Ditengah perjalanan, di sebelah selatan masjid
Istiqlal Petruk ngaso, ngombe. “Mosok wong maling ayam disamakan dengan Ayin? Pembinaan yo pembinaan, kealakuan baik yo kalaukan baik.” Petruk terkesiap
pernyataan Ketua Komisi III DPR RI, Benny K Harman, “Jangan-jangan malah mereka
(petugas rumah tahanan) yang dibina penghuni..!” Petruk segera membuka serat dari Pak BeYe tentang aturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan. “Jangkrik..!!
Yo pantes, wong di sini (sambil menunjuk serat)
ndak ada pembedaan perbuatan baik
bagi penjahat kelas teri dan penjahat kelas kakap. Eh, salah, kelas paus.” Petruk merasa kurang puas dengan peraturan
pemerintah tersebut. Ia merasa di-goblok-goblok-i
pemerintah. “Opo anccene wong Indonesia
goblok-goblok yo? Hiks..hiks..hiks..”
Celoteh Petruk lantas kabur menuju ke Istana Negara.
Di depan Istana Negara, Petruk melihat beberapa
pedagang asongan yang sliwar-sliwer mencari
kehidupan. Mulai dari jajanan, bakso, mie ayam, dan es cendol. Petruk melihat
mobil Dauhatsu Terios diikuti beberapa orang dengan perlengkapan jurnalistik.
Setelah aksi intip-mengintip,
ternyata mobil Terios tersebut dikendarai jaksa Cirus Sinaga. “Loh, koq Pak Cirus masih keleleran nang dalan. Piye Kapolri iki..!!” Geram Petruk. Memang wis
mbalelo sama penegakan hukum di bumi Indonesia. Polri dan Kejaksaan, dan
Ditjen Pajak sudah kronis. Sejatinya harus segera di “suntik” oleh Pak BeYe
sedini mungkin. “Suntik pake 12
instruksi ora mempan, mosok kudu naik gaji dulu.” Cetus
Petruk. Ia langsung melangkahkan kaki menuju Istana Negara. Dengan mudah ia
melewati “jebakan” yang dibuat oleh penjaga istana. Sayang seribu sayang,
Petruk ditilap Pak BeYe ke Congress
Hall Zentrum, Davos, Swiss. Di kota tertinggi di benua Eropa itulah Pak BeYe
menjadi tunggal wicara dalam World
Economic Forum (WEF). Pak BeYe, denger-denger,
ngajak dunia mengatasi ketimpangan
ekonomi. “Mbok yo ketimpangan di
Indonesia di beresno dulu,
pertumbuhan ekonomi 6.0 % dan GDP 2.968 toh
masih seabrek wong ngelongso.” Petruk mengeluh. Ia
juga teringat pada tulisan Om Rheinald Kasali di Harian Sindo (27/1/11) dengan
judul “Dompet Kebohongan”. Dalam tulisan tersebut, Om Rheinald menegaskan bahwa
peningaktan GDP, tidak menjamin peningkatan kebahagiaan masyarakat. Oleh karena
itu, Raja Jigme Khesar Namgyel Wangchhuk lebih gandrung dengan tolak ukur GNH, gross
national happiness. “Jika Pak BeYe gawe
GNH, yo langsung diprotes kurang
lebih 30 juta rakyat miskin Indonesia! wkwkwkwkwk!” Tegas Petruk.
Akhirnya Petruk bersenandung dengan lirih dalam
perjalanan kembali ke Suralaya. Di Suralaya, Bung Karno, Moh. Hatta, Gus Dur,
M. Natsir, Jend. Sudirmanm, Bung Tomo, dan banyak tokoh Nusantara di Suralaya
mendengar laporan Petruk. Mereka menggetarkan bibir dan terpaksa mengais sisa
air mata di mata mereka. Kondisi tanah air yang diperjuangkannya dengan semua
organ tubuh dan jiwanya, ya.. gitu-gitu
aja…! Cita-cita mereka jauh mlengos
dari realita ke-Indonesia-an sekarang ini. Petruk menundukkan kepala, kemudian
meyakinkan mereka bahwa Indonesia akan segera menjadi negara sesuai dengan apa
yang mereka cita-citakan. Mereka semua lantas bersenandung.
“Hiduplah
Tanahku, Hiduplah Negeriku
Bangsaku,
Rakyatku Semuanya”
“Bangunlah
Jiwanya, Bangunlah Badannya
Untuk
Indonesia Raya”
No comments:
Post a Comment