Tahun 1999
merupakan tahun dimulainya tren baru dalam “gaya hidup” perpolitikan Indonesia
yang sampai saat ini bertengger di klasmen teratas wajah politik Indonesia.
Tren tersebut tidak terlepas dari peristiwa Reformasi setahun sebelumnya.
Sampai detik ini bumbu-bumbu eforia politik reformasi masih menjadi “bacaan”
yang paling dicari mahasiswa – termasuk saya, pengamat, dan politikus. Namun,
eforia atas tren tersebut diboncengi oleh ke-frustasi-an terhadap
partai-partai. Terutama enam partai yang mewarnai peta politik tanah air dalam penyelenggaraan negara secara umum.
Kemenangan partai-partai tersebut hanya dimanfaatkan “bocah-bocah” penggila
jabatan untuk keangkuhan dan kerakusan dalam korupsi, kolusi, dan nepotiseme second generation – setelah Orde Baru. Bagaimana
tren politik Indonesia dahulu, sekarang, dan nanti dalam kerangka geopolitik
dan geostrategi?
Berdasarkan
kenyataan pemilu umum 1999 dan kenyataan baru berdasarkan kenyataan ketentuan
hukum, aturan, dan regulasi yang mengatur pemilihan umum 2004. Pemilihan umum
sama halnya dengan sebuah “perang” antara “dataran rendah” melawan “dataran
tinggi” dengan pengadil yang masih balita – termasuk KPU, KPK, dkk. Pada pemilu
1999, ketika negara masih ngalor-ngidul
karena krisis, ada 148 partai yang mendaftarkan diri ke DepKehHam. Dari jumlah
tersebut hanya 48 yang lolos. Mengapa demikian? Jawabannya adalah maraknya
permainan political engineering by legal
measures, yaitu perekayasaan politik melalui jalan hukum – dengan alat
birokratik. Hal serupa terjadi pada pemilu 2004. Dari 268 partai, hanya 24
partai yang mampu menyelesaikan “permainan” sang wakil rakyat. Lebih parah
lagi, pada pemilu 2004, KPU seolah menjadi “tukang perah” dengan jerat hukum
dan jerat birokratik – seperti yang kita ketahui, tingkat drop out parpol sampai 90 persen. Bukan hanya ditingkat ke-partaian
semata, permainan “menggambar” politik juga menuntut gambar baru dalam peta
wilayah administratif negara. Setelah Pemilu 1999, sampai februari 2003, telah
dibentuk 102 kabupaten dan kota baru. Tujuannya tidak lain adalah intervensi
politik “sang wakil rakyat” terhadap lawan politiknya. Dengan demikian, pada
Pemilu 2004, “gambar” kekuatan politik Indonesia terbagi antara 69 wilayah
pemilihan nasional, 200 wilayah tingkat provinsi, dan 1.565 tingkat
kota-kabupaten.
Berdasarkan
uraian di atas, politik Indonesia masih dalam proses pendewasaan. Umumnya orang
menganggap terkuburnya rezim Orde Baru dan lengsernya Pak Harto, tamatlah
riwayat Orde Baru. Sangat naif memang. Kini semua bisa bebas merdeka, tanpa
rasa takut dan sungkan melakukan apa
saja bagi syahwat-duniawi-nya. Tentu cara yang dipakai adalah cara hasil gemblengan Sang Diktator. Begitulah,
menurut saya yang bodoh ini; banyak sang wakil rakyat, termasuk sang reformis,
yang juga sangat fasih – menirukan “guru” mereka kemarin – ber-“kepentingan” di
Senayan; terampil memaksakan kehendak; lihai merekayasa; cekatan menyalahkan
orang lain; canggih mempermainkan hukum; tega “menyunat” anak bangsa; mahir
mengatasnamakan rakyat; cerdas menggunakan ayat untuk kepentingan; bahkan
berani arogan dan mutlak-mutlak-an, seolah ingin berkompetisi dengan Tuhan.
Jadi, perubahan “gambar” politik Indonesia tidak akan berbeda jika politik –
kepentingan – masih menjadi seorang panglima.
No comments:
Post a Comment