"Kajian Studi Kultral dan Pedagogik Libertarian"
Dekade awal di
abad ke-21 menghadirkan banyak tantangan global pada tatanan pendidikan nasional.
Dr. Willy Toisuta mengatakan bahwa kekacauan manajemen pendidikan nasional
dewasa ini disebabkan pemerintah yang tidak mempunyai platform pendidikan nasional. Hal ini bisa jadi karena minimnya
kesinambungan – juga evaluasi – dari kebijakan-kebijakan yang ada. Pejabat baru
berarti kebijakan yang baru. Polemik kehadiran PP No 66 tahun 2010 menambah
daftar panjang jejak “mengenaskan” pendidikan Indonesia.
Dalam bukunya Manifesto Pendidikan Nasional, Prof.
H.A.R Tilaar beranggapan bahwa terdapat dua aliran pemikiran yang sangat
dominan yang memengaruhi perkembangan pendidikan nasional, yaitu postmodernisme
dan studi kultural (cultural studies).
Postmodernisme yang bersifat open ended menjadikannya
sangat beragam dan sulit diidentifikasikan. Dalam eseinya tahun 1979, The Post Modern Condition: A Report on
Knowladge, Lyotard merumuskan postmodernisme sebagai fenomena intelektual dan
kultural yang secara kultur disebut metanarasi – semacam narasi yang
melegitimasikan suatu pandangan dan tindakan.
Pendidikan di
Indonesia, memang sedang berhadapan dengan dua permasalahan secara bersamaan,
yaitu permasalahan internal dan eksternal. Pendidikan Indonesia secara internal
tengah melakukan perombakan sistem, penataan dan restrukturisasi strategi
pengembangan yang jauh lebih tepat, akurat, dan akseleratif.[1]
Sementara itu, secara eksternal, Pendidikan Indonesia terus berdampingan dan
beriringan dengan perkembangan masyarkat dunia yang semakin kompetitif. Oleh
karena itu, pendidikan Indonesia membutuhkan “penyegaran” dalam studi kultural
dan pencarian pedagogik yang relevan dengan struktur kognisi masyarakat
Indonesia.
Studi kultural
yang lahir di lingkungan kebudayaan, dengan sendirinya akan berdampingan dengan
lingkungan pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan adalah bagian dari
kebudayaan, lebih tepatnya aspek kebudayaan. Dan kebudayaan Indonesia selalu
berjalan dinamis ditengah-tengah arus globalisasi. Oleh karena itu, pendidikan
Indonesia harus menjadi agen perubahan itu sendiri, sehinga pendidikan tidak
mungkin terlepas dari kebudayaan. Bukankah kualitas masyarakat ditentukan oleh
indentitas kultural masyarakat itu sendiri?
Lebih jauh,
studi kultural melihat jauh kedalam proses perubahan kebudayaan dalam struktur
kekuasaan yang mengatur hubungan antarmanusia, manusia dan lembaga-lembaga
sosial, perubahan, dan pergeseran kebudayaan dari pusat ke kebudayaan pinggiran
yang memunculkan pandangan-pandangan baru tentang kebudayaan yang berbeda
dengan pandangan tradisional. Dengan demikian, peningkataan kualitas pendidikan
Indonesia – yang selalu terbentur dengan
“benteng” kebudayaan dan pandangan masyarakat yang multikultural – mampu memosisikan
pendidikan itu sendiri ditengah-tengah tradisi tanpa harus bersifat
tradisional.
Sebagai suatu
bidang limu-ilmu sosial, pedagogik mustahil menghindar dari fenomena perubahan
global dewasa ini. Pendidikan Indonesia membutuhkan pedagogik yang menempatkan
manusia sebagai “manusia” dalam proses pendidikan. Manusia yang dimaksud adalah
manusia yang memiliki pilihan dalam kehidupannya yang rasional, dan memiliki
moralitas dalam tatanan kebudayaan, masyarakat lokalnya, masyarakat nasional
maupun global.[2] Pedagogik
semacam ini, menurut Prof. H.A.R Tilaar, adalah pedagogik libertarian.
Tindakan
mutlak yang harus dilakukan dalam proses penemuan pedagogik libertarian –
sering juga disebut pedagogik transformatif – dalam dunia pendidikan Indonesia
adalah dengan perubahan teknologi, perubahan pribadi, dan perubahan organisasi.
Perubahan teknologi, pendidikan Indonesia tidak bisa terlepas dari kemajuan
teknologi informasi. Dalam pemanfaat teknologi, pendidikan tidak hanya
diarahkan kepada kemudahan dan kenyamanan semata. Teknologi hanya sebuah alat
komunikasi-informasi, tidak lebih. Peran teknologi dalam pendidikan diharapkan
tidak menjadikan manusia Indonesia sebagai “robot” dan “budak” pendidikan.
Perubahan
pribadi, adapatasi individu terhadap perubahan global selama ini kebanyakan
ditanggapi sebagai sesuatu yang “menyeramkan.” Oleh karena itu, paradigma
pendidikan Indonesia di era global semakin mengenaskan. Perubahan global tidak
harus ditentang, tetapi diatasi dengan pribadi-pribadi yang mendukungnya
(Tilaar : 2005, p. 95). Terakhir adalah perubahan organisasi. Dalam hal ini
adalah lembaga pendidikan formal maupun informal. Sebagai suatu cultural lag, lembaga pendidikan seperti
sekolah harus adaptif terhadap perubahan masyarakat itu sendiri. Bukan sebagai tedeng aling-aling, namun sebagai wadah
perubahan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan Indonesia akan benar-benar
hidup dalam tradisi, tanpa bersifat tradisional dan berorientasi global –
ditengah kekayaan budaya Indonesia.
Masyarakat
Indonesia dengan identitas multikultural-nya, menurut Prof. H.A.R Tilaar, hanya
akan memberikan tempat bagi perkembangan individu jika identitas budaya lokal
dihormati sebagai tumpuhan bagi perkembangan setiap indvidu. Artinya,
multikulturalisme dalam pendidikan nasional sangat relevan dengan
desentralisasi pendidikan dan
pengembangan demokrasi di Indonesia.
Mang Oejank Indro @ 2010
Daftar Pustaka :
Tilaar, H. A. R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis.
Jakarta:Prenada Media.
No comments:
Post a Comment