Kajian Tragedi Tanjung Priok 14 April 2010
Hukum sebagai panglima,
jargon tersebut sering kita dengar sebagai “bungkus” kebusukan hukum negara
kita. 14 April 2010 adalah salah satu bentuk kecil kebringasan masyarakat yang
jengah menyaksikan tindak-tanduk aparatur hukum di negara sahabat bencana,
Indonesia. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur negara
tersebut disebabkan para penegak
hukum hobi dolanan moralitas dan terbiasa dengan budaya
hipermoralitas. Masyarakat
sengaja disuapi “permainan hukum” (justice game)
dengan tedeng aling-aling “permainan bahasa” (language game).
Dalam kasus Priok, masyarkat – khusunya warga yang tinggal di daerah Koja –
lebih ayem dengan hukum adat yang
telah mendarah daging dalam sanubari mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa
masyarakat merasa dijadikan lakon dalam skenario “palu hukum” aparatur negara.
Bagaimana mereka mampu “berlayar” mencari keadilan (justice) dan kebernaran (truth)?
Seperti yang telah diberitakan oleh media massa, Pemerintah DKI “nekat” mengerahkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk mendepak penduduk yang mempertahankan makam Mbah Priok dan lahan sekitarnya. Warga Koja kemudian melihat ini sebagai tindakan yang mengancam eksistensi mereka. Akhirnya, mereka memilih mempertahankan makam dan wilayah mereka dengan mati-matian. Hukum yang terkikis krisis pe-legitimasi-an ini telah meluas ke berbagai lapisan masyarakat, yang selanjutnya bermuara pada melubernya tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan masyarakat dalam mencari suatu keadilan yang diidam-idamkan oleh semua elemen bangsa. Akibatnya, muncul bahasa keadilan yang ditonjolkan dikalangan masyarakat luas yang lebih dikenal dengan “bahasa hukum = bahasa kekerasan” – termasuk didalamnya; penjarahan, pembakaran, pelemparan, penghancuran, dan pembunuhan. Masyarakat telah jenuh, kapok, dan menghinakan skenario para penegak hukum di Negara Indonesia yang – katanya – menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi. Ini terlihat dengan semakin meningkatnya budaya masyarkat “penentang” hukum. Penegakan hukum yang jauh dari keadilan, memaksa masyarakat yang seharusnya sadar dan taat hukum menjadi masyarakat takut hukum. Maraknya “permainan” main hakim sendiri di tengah-tengah masyarakat merupakan salah satu faktor dari setumpuk faktor ketidak percayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negara ini – bukan pada hukum itu sendiri.
Ini gambaran yang kelam, terjal, dan suram terhadap wajah penegakan hukum di Indonesia yang diakibatkan oleh para “aktor” penegak hukum itu sendiri. Masyarakat tidak lagi menutup sebelah mata dalam melihat kasus-kasus hukum yang sangat diskriminatif. Tindakan kekerasan dan bentrokan antara warga dan aparat di Tanjung Priok, Jakarta Utara pada hari Rabu tanggal 14 April 2010, diakibatkan ke-nekat-an dalam pendekatan terhadap masyarakat. Bentrokan tersebut merupakan akumulasi dari dampak penerapan pendekatan keamanan – lebih tepatnya pengamanan – yang lebih dominan dalam kebijakan pembangunan. Pola seperti itu semestinya tidak dipakai lagi oleh Pihak Pemerintah Daerah, khususnya pihak Satpol PP. Pendekatan yang seharusnya adalah melalui diplomasi – tanpa harus ada drama dan jatuhnya korban terlebih dahulu. Selama ini kita perhatikan banyak kasus penggusuran yang menimbulkan perlawanan akibat kekeliruan dalam pendekatan. Pendekatan dengan pertimbangan hukum adat-istiadat, tradisi, dan budaya warga masysarakat sekitar sering di abaikan dan dianggap tidak perlu. Eksekusi yang terjadi hanya bagian kecil dari pendekatan tersebut, yang lebih utama adalah diplomasi dengan masyarakat, baik itu menyangkut kebijakan yang berpihak kepada mereka, maupun diplomasi melalui tokoh agama serta tokoh masyarakat, dan pemegang kekuasaan administratif (pejabat pemerintahan).
Mang Oejank Indro @ 2010
Daftar Pustaka :
Mentang, J. A. Kasus Hukum
Pembongkaran Makam Mbah Priok Dilihat Dari Aspek Sosiologi Hukum. Dalam Makalah Tugas Kuliah Sosiologi Hukum, Magister Ilmu Hukum Universitas
Islam Jakarta, Angkatan ke - IV Tahun 2010.
No comments:
Post a Comment