Tuesday, September 28, 2010

Narasi Kantin Asrama UI

-->
Pagi ini saya bangun tepat jam lima pagi – biasanya tidur lagi. Ritual sholat subuh saya lakoni dengan khusyu – seperti biasa. Hari ini Minggu tanggal 26 September 2010. Agenda yang terpampang di tembok kamar saya “merangsang” saya untuk segera beranjak menyelesaikan tugas – sebagai syarat masuk – dari Badan Otonom Pers kampus Universitas Indonesia atau yang akrab dengan “julukan” B.O.Pers UI.
Kegiatan jurnalistik memang sudah menjadi menu wajib yang harus saya cerna sejak SLTA. Tulisan kali ini saya buat sebagai “alibi” untuk merangsek masuk sebagai anggota B.O.Pers UI 2010. Mengacu pada tema yang tercetak pada formulir pendaftaran, yaitu membuat deskripsi tentang kantin asrama UI dari sudut pandang yang (angle) yang nyeleneh, maka saya sengaja mengambil judul “Narasi Kantin Asrama UI.
Berbicara tentang asrama, orang akan dengan cepat berfantasi tentang makanan, minuman, meja makan, dan outlet-outlet yang menjajakan danganga mereka. Paradigma yang demikian memang tidak salah. Kantin dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memberikan definisi kantin adalah ruang tempat menjual minuman dan makanan (di sekolah, di kantor, di asrama, dsb). Namun, karena tuntutan “skenario" dari panitia yang mengisyaratkan untuk mendeskripsikan dari angle berbeda, maka saya harus mencium, melihat, mendengar, dan merasakan dengan cara yang berbeda pula. Banyak hal unik di kantin asrama UI apabila kita melihat dari sudut pandang subaltern. Sudut pandang subaltern tidak akan bisa kita temukan di buku referensi, koran, maupun media elektronik. Pandangan ini hanya akan anda temukan di tengah-tengah lingkungan bersahaja kaum santri pondok pesantren, percakapan petani, perbincangan warung kopi dan rakyat yang tertindas – rakyat jelata, tukang becak sampai tukang sampah, buruh, dan masyarakat pinggiran.

Teknologi Informasi

Apa Pengertian Teknologi Informasi?
Pengertian “teknologi informasi” berbeda-beda dalam pelbagai disiplin ilmu. Istilah teknologi informasi merupakan “perkawinan” antara dua istilah dasar, yaitu teknologi dan informasi. Kata teknologi bisa di artikan sebagai sinonim ilmu terapan, pelaksanaan ilmu. Teknologi tidak hanya melibatkan hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak). Dalam bukunya Pengantar Ilmu Perpustakaan, Prof. Sulityo Basuki menerangkan bahwa teknologi harus menyertakan manusia – sering disebut brainware – serta orientasi yang ditentukan. Selain itu, harus ada penekanan nilai yang digunakan untuk membuat pilihan, dan kriteria penilaian yang digunakan untuk memutuskan apakah manusia mengendalikan teknologi dan diperkaya oleh teknologi atau tidak.

Dalam kamus besar bahasa Inonesia (KBBI), informasi didefinisikan sebagai Penerangan, pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu, dan Lingkungan keseluruhan makna yg menunjang amanat yg terlihat dl bagian-bagian amanat itu.

Saturday, September 25, 2010

Ethics For Life Orientation

-->
Mang Oejank Indro

Title: "Ethics of Aristotle"
Author: Mohammad Hatta, Vice President of the First Republic of Indonesia
Publication Data: Natural Greek Thought, London: UI-Press, xvii, 191.

The purpose of life, according to Aristotle, is not achieving good for good, but tasted good. A lecturer, education is life orientation, for a fighter, victory became its orientation, a physician-oriented health care, for a businessman, kemakmuranlah orientation of his life. To become an ethical person - as well as a virtuous person, berkehidupan orientation is not just knowing but doing. Not just to know what that reason. How to mind your present life? How ethical orientation of life traffic system? Both of these depend on consideration of the man himself. Ethics has a job description will educate people to have a proper attitude in all deeds. In other words, human being must be healthy in terms of weighing, selft control, and balancing Willingness and wishes.


Ethics (Budi) was born among human beings because of their actions and behavior. To understand ethics as the orientation of living - with the goal of achieving happiness of life, there are three things that must be filled according to Aristotle. First, people must have enough wealth so that his life is preserved. Low behavior that develops in the human soul because of poverty, and will force people to be greedy because of poverty. Second, friendship. According to Aristotle, friendship is more important than justice. Justice will be born in the midst of friendship. However, friendship is difficult to form in the number of men in great numbers. Third, fairness. In this case justice is divided into two. First of justice in the sense that the distribution of goods balanced, with relatively similar circumstances. Both justice in the sense to repair the damage caused. The second option can be studied from an agreement to replace losses.


Pleasure derived from the soul is happiness. This will be achieved with the mind works. Ethics as oerientasi underlie the life work of mind. Work does not mind looking beyond that goal done, but find pleasure in oneself. Satisfaction, tireless, and an innate ability of mind. And orientation of life in it. So, justice and friendship is the key of life that underlies the common life in the family and the State.


References.

Hatta, Mohammad. 1986.
Alam Pikiran Yunani Jakarta: UI-Press

Monday, September 20, 2010

Mengarang Sebuah Urgensi di UI

Awalnya Konfusi
Penulis sempat bingung dengan tema yang diajukan panitia, yaitu “Urgensi PSA-MABIM.” Pengunaan kata “Urgensi” menurut penulis sangat ambigu. Artinya, apa yang urgent? Mengapa harus urgent? Atau panitia sengaja menyajikan sebuah konfusi belaka? “Urgensi” dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai keperluan yang sangat mendesak. Apalagi, dalam ketentuan dalam Buku Budaya dijelaskan jumlah karakter tulisan antara 5000 – 7000 karakter. Penulis merasa dimanjakan dengan salah satu tugas yang satu ini.
Dalam buku KAMABA tahun akademik 2010, beberapa catatan dari Prof. Dr. der Soz. Gumilar R. Soemantri sudah mewakili apa yang disebut “Urgensi PSA-MABIM” secara keseluruhan, bukan? Tapi, penulis akan mencoba menorehkan susunan paragraf reklamasi tentang “Urgensi PSA-MABIM.” Semoga tidak hanya menjadi syarat PSA-MABIM belaka. Lebih jauh, penulis berharap tulisan ini mampu memberi kontribusi untuk semua pembaca.
Dalam tulisan ini, penulis akan menyuguhkan beberapa hal terkait tema “Urgensi PSA-MABIM” dari sudut pandang subaltern. Pandangan subaltern tetntunya tidak akan ditemukan di media cetak, televisi, atau di seminar-seminar ilmiah yang megah dan modern. Padangan seperti ini hanya bisa di jelajahi dan ditemukan dalam perbincangan warung kopi, dalam percakapan kaum buruh, dan juga dalam banyak suara orang-orang pinggiran diberbagai aksi dan demo mereka.
Mengawinkan Pandangan Sublatern
Tujuan serangkaian kegiatan awal mahasiswa baru UI (Universitas Indonesa) terbagi dua, umum dan khusus. Penulis hanya akan “mengawinkan” antara tujuan umum PSA-MABIM dengan sudut pandang subaltern. Pertama, meningkatkan peran dan tanggung jawab mahasiswa dalam proses pembelajaran. Seorang mahasiswa tidak hanya harus bertanggung jawab dalam hal sinau (belajar) semata – dengan kata lain, proses pembalajaran harus memiliki karakteristik tersendiri. Dalam beberapa kasus, peran mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change, iron stock dan julukan lain yang tersemat di dada mereka, hanya mampu bertahan di level terakhir percaturan intelektual nasional. Tentu mahasiswa perguruan tinggi yang menyandang nama negara tidak ingin disebut sebagai trahison des clercs (penghianatan intelektual)[1].
Universitas Indonesia (UI) menduduki peringkat 201 dunia berdasarkan rilis dari imes Higher Education - QS World University Ranking (THE-QS World). Prestasi mahasiswa UI di level internasional juga sangat cemerlang. Banyak tokoh-tokoh nasional hasil gemblengan UI yang menduduki posisi penting di Indonesia. Sebut saja Ibu Sri Mulyani (mantan Menkeu, sekrang bertugas di Bank Dunia, New York), Chandra Hamzah (Pimpinan KPK), Suharna Surapranata (Menteri Negara dan Riset), dan masih banyak orang-orang besar lulusan UI lainnya. Hal ini membuktikan bahwa gerbang PSA-MABIM merupakan sebuah agenda yang urgent bagi mahasiswa baru UI.
Kedua, mempererat hubungan antaranggota civitas akademika. Kabar burung yang diterima penulis mengatakan bahwa intensitas antara alumni UI berbeda antarfakultas. Tapi bukan hal itu yang akan penulis paparkan. Dibawah tameng Dr. Komaruddin selaku direktur kemahasiswaan UI, atmosfir kehidupan di UI terasa nyaman dan aman. Sebagai mahasiswa – apalagi mahasiswa UI, bukan hanya tuntuan mempererat hubungan antaranggota saja. Namun harus memosisikan diri sebagai komunitas akademik. Dalam PPRI No. 60 Tahun 1999, menjelaskan tentang disiapkannya mahasiswa untuk “(1) Menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional, yang menerapkan, mengembangkan, dan/atau memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian; (2) menegembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian serta mengupayahkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.”
Ketiga, memperkenalkan infrastruktur untuk membangkitkan kepedulian mahasiswa akan lingkungan universitas. Poin ketiga membahas hal-hal teknis dilapangan tentang bagaimana dan mengapa mahasiswa baru, yang mengikuti PSA-MABIM, mampu mengendalikan kepedulian mahasiswa kepada universitasnya. Universitas Indonesia memilki sejarah panjang dalam perjalanannya menjadi benteng Negara. Dengan visi “menjadi universitas riset kelas dunia” dan misi menyelenggarakan pendidikan tinggi berbasis riset untuk pengembangan ilmu, teknologi, seni dan budaya, dan menyelenggarakan pendidikan tinggi yang mengupayahkan penggunaannya unyuk meningkatkan taraf dan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia serta kemanusiaan.UI dibawah tangan dingin Prof. Dr. der.Soz. Gumilar Rusliwa Somantri menunjukkan kelasnya sebagai universitas terbaik di Indonesia. Lima besar Asia tenggara dan peringkat 201 dunia. Seperti yang penulis utarakan di awal, gerbang PSA-MABIM merupakan khazanah yang mencetak ideologi mahasiswa UI. Untuk memperjelas tentang urgensi PSA-MABIM. Penulis akan memaparkan salah satu unsur, mengapa PSA-MABIM itu harus urgent? Yaitu hedonisme.
Virus Hedonisme
Hedonisme memiliki pengertian sebagai suatu kesenangan terhadap hal-hal yang bersifat temporarry (sementara), sehingga orang terjebak untuk tidak mampu bersikap sabar dan gagal membangun asketisme. Dewasa ini mahasiswa – termasuk saya pribadi – lebih “mencintai” tayangan dan hal-hal yang bersifat entertainment, gosip, jingkrak-jingkrak menyaksikan konser musik rock, dan hal-hal yang melemahkan mereka dalam membangun kepribadian mereka sendiri.
Gaya hidup hedonis yang melekat pada mahasiswa terbukti berhasil melonggarkan pertalian pendidikan sebagi bagian dari kebudayaan. Mungkin rasa we felling atau rasa “kekitaan” yang dikumandangkan Benedict Anderson sebagai rasa nasionalisme di dalam suatu imagined community (masyarakat yang diimajinasikan) sedang sekarat dibenak mahasiswa. Pancasila pun sudah jarang menjadi jargon mahasiswa untuk ditelaah, dikaji, apalagi menjalankan nilai-nilai luhur Pancasila. Seharusnya mahasiswa Indonesia mampu berpendidikan ditengah-tengah tradisi tanpa harus bersikap tradisional. Dengan hardcore lokal, mahasiswa akan lebih mampu menembus barikade keilmuan menuju intelektualitas yang global.
Selain mendiskreditkan kebudayaan, virus hedonisme juga telah memangkas makna tri dharma perguruan tinggi yang mengacu pada tiga aspek pengetahuan menurut Perkins, yaitu aquicition, transmission, dan application. Mahasiswa seharusnya familiar dan bergaul dengan penjelajahan pemikiran dan intelektual yang interdisipliner. Namun, realita yang ada sangat bertolak belakang dari seharusnya. Mahasiswa ogah “mengunyah” tulisan-tulisan Lenin, Jean-Jacques Rousseau, Karl Marx, Plato, Aristoteles, Hanafi, Fajrul Rahman, Cak Nur, Tilaar, dan Gus Dur. Mahasiswa sekarang lebih menyukai musik pop daripada musik gamelan, lebih cinta Jeans daripada batik, dan masih banyak lagi hardcore mahasiswa Indonesia yang tidak “Indonesia.”
Gejala hedonisme sudah “melahap” hampir seluruh mahasiswa diperkotaan dan daerah-daerah. Hedonisme juga telah mengerutkan kapasitas moral mahasiswa. Mungkin mahasiswa yang benar-benar “Indonesia” sudah punah di dekade 90-an? Atau mereka belum menyadari bahwa pusat lahirnya peradaban dunia adalah Indonesia? Prof. Arysio dalam bukunya, Atlantis; The Lost Continent Finally Found – saya baru baca separuh – menyuguhkan informasi tentang kebenaran bahwa Atlantis adalah Indonesia, Negara kita. Adalah tugas mahasiswa – termasuk saya – untuk mengulang peradaban Eden, nenek moyang kita. Sekaligus sebagai pewaris tunggal nusantara. Kenapa kita harus memakai “baju” orang barat kalau kita memiliki “baju” sendiri?
Bahan Rujukan:
Somantri, Gumilar R, “Sambutan Rektor Universitas Indonesa.” Dalam Panduan KAMABA Universitas Indonesia Tahun Akademik 2010/2011. 3 – 4. Jakarta: Universitas Indonesia.
Santos, Arysio, 2009 “Atlantis; The Lost Continent Finally Found” Jakarta: Ufuk Press.
Buku Saku Universitas Indonesia, 2009 “Profil Universiatas Indonesia Jakarta: Direktorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia1.
Said, Edward W. 1998 “Peran Intelektual; Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993” Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fauzan S, Iswanda. 2010 “Hardcore Mahasiswa yang IndonesiaDalam Kumpulan Artikel untuk Negeri. Tabloid Prospek. Surabaya: Global-Indo Media.
http://komunitas.ui.ac.id/pg/blog/widia.kurnia/read/2939/peringkat-ui-201-dunia-tahun-2009. Jumat. 20.48 WIB.

Iswanda Fauzan S
1006696951
Ilmu Perpustakaan




[1] Riri Hindaryati P dan P. Hasudungan Sirait, dalam Peran Intelektual, xvi-xix. Edward E. Said,1998

Revolusi Kesadaran Gerakan Mahasiswa

“Refleksi Perjuangan Soe Hok Gie dan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara”
Mang Oejank Indro

Padepokan Ki Hadjar Dewantara
“Aku adalah orang Indonesia Biasa
Yang Bekerja untuk bangsa Indonesia
Dengan cara Indonesia[1]
Salah satu rangkaian kalimat diatas adalah ungkapan Ki Hadjar Dewantara kepada seorang anaknya – Bambang Sokawati Dewantara – yang akan pergi ke Jakarta, untuk memenuhi panggilan pekerjaan sebuah surat kabar. Kejadian itu kurang lebih dua bulan sebelum denyut nadi Ki Hadjar Dewantara berhenti untuk waktu yang tidak terbatas. Sebuah padepokan – yang juga tempat tinggalnya – Ki Hadjar Dewantara, sosok revolusioner yang terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat sekaligus bapak pendidikan Indonesia itu menghabiskan sisa waktu di akhir hidupnya.

Tanggal kelahirannya – 2 Mei 1889 – ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional – Meskipun beliau mungkin tidak menginginkannya. Pria kelahiran Yogyakarta ini terlahir untuk mengabdi dan berjuang untuk bangsa Indonesia. Pemikiran dan perjuangannya dibidang pendidikan dan kebudayaan membuatnya dengan ringan hati melepas gelar kebangsawanannya. Sebuah gelar yang sangat sakral – yang diperebutkan banyak orang – rela dikorbankan Ki Hadjar Dewantara untuk bisa lebih dekat dan harmonis dengan semua kalangan masyarakat.

Empat tahun setelah kepulangannya dari negeri belanda, Ki Hadjar Dewantara dan sejumlah tokoh pejuang lainnya mendirikan National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Bersama Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk Indonesia.
Pada tahun 1932 pemerintah kolonial Hindia-Belanda – dengan Staatsblad No. 494/September 1932 – menerbitkan Undang-undang yang dinamakan Wilde Scholen Ordonatie (Undang-undang Sekolah Liar). Undang-undang – yang berlaku mulai 1 Oktober 1932 – tersebut merupakan ordonasi untuk mereka yang hendak menyelenggarakan pendidikan atau hanya ingin sekedar mengajar di sekolah-sekolah, harus mengantongi izin tertulis dari pemerintah dan harus memenuhi persyaratan – antara lain – bahwa setiap pemohon harus orang yang dapat di percaya pemerintah.

Tepat tanggal 1 Oktober 1932. Ki Hadjar Dewantara melayangkan surat[2] ke pemerintah Gubenur Jendral Hindia-Belanda di Bogor. Surat itu membangkitkan semangat nasionalisme dan edukasi yang tinggi. Terbukti dengan banyaknya penolakan dari lembaga pendidikan dan partai politik di tanah air. Hanya empat bulan setelah ordonasi tersebut, tanggal 23 Pebruari Pemerintah Hindia-Belanda mencabut ”Undang-undang Sekolah Liar” tersebut[3].
Banyak nilai luhur yang terangkum dalam sosok Ki Hadjar Dewantara. Perjuangan dan dedikasi seorang intelektual, kapabilitas, dan konsistensinya begitu dahsyat. Nilai-nilai inilah yang harus ditanam di jiwa dan tubuh mahasiswa di Milenium sekarang.
Tiga semboyan beliau – tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan) – merupakan wujud nyata tatanan keilmuan, keluhuran, dan kecerdasan spiritual-inteletual sang Bapak Pendidikan. Pandangan dan pemikirannya selalu berdasarkan nilai-nilai kebangsaan kebudayaan, dan kekeluargaan. Dengan pandangan dan pemikiran tersebut beliau mencoba menghapus paham-paham individualis yang tertanam pada sebagian masayarakat Indonesia.

GIE, Pohon Oak yang Berani Menantang Angin
Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production adalah 2 dari banyak orang yang memperkenalkan semangat perjuangan seorang pemuda tamatan Universitas Indonesia yang tulang belulangnya di kremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango[4]. Mereka menghormati perjuangan sang pemuda lewat film “GIE” yang di bintangi Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi, dan Thomas Nawilis. Film yang diangkat dari kisah nyata perjuangan pemuda kelahiran 17 Desember 1942 keturunan Cina dari hasil perkawinan Soe Lie Pit – seorang novelis – Nio Hoe An.
Soe Hok Gie[5], pemuda yang suka melahap cerpen-cerpen Pramoedya Ananta Toer semenjak dibangku SD ini tidak mengenal ragu dan takut untuk melawan ketidakadilan. Jalur perjuangannya tegas dan jelas – namun tidak muluk-muluk. Gie sepertinya bahagia mati muda? Atau dia sudah mengetahui kematiannya? Salah satu quote dari catatan hariannya. “ Seorang filsuf Yunani pernah menulis. ….. nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” Dan dia benar-benar mewujudkan kebahagiaan – mati muda akibat gas beracun Gunung Semeru – itu. Seorang legenda memang banyak yang mati muda bukan?
DR. John Maxwell dalam bukunya “Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani” menjelaskan dengan bahasa yang berapi-api dan lugas tentang pemuda oposisif dan sulit diajak kompromi dengan oposisinya ini. “Dia adalah seorang mahsiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meningal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional.” Ujar DR. John Maxwell.
Meskipun banyak dari teman-teman seangkatannya – terkenal dengan Angkatan 66[6] di Bandung – banyak yang lupa dengan visi dan misi awal perjuangan Angkatan 66, Gie tetap dengan konsistensi dan teguh terhadap apa yang diperjuangkannya. Gie adalah kiblat ideologi perjuangan mahasiswa Indonesia.
Salah satu buku – kumpulan catatan Gie sejak 4 Maret 1957 sampai 8 Desember 1969 – Gie yang diterbitkan LP3ES tahun 1983 dengan judul “Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran” adalah buku – tebal 494 halaman – yang wajib di baca semua mahasiswa se-Nusantara. Idealisme khas seorang mahasiswa termaktub dalam rangkain kalimat-kalimat Gie. Buku lain yang ditulis oleh Gie adalah Zaman Peralihan (Bentang, 1997), Di Bawah Lentera Merah (Bentang, 1999), dan Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan – skripsi S1-nya yang mengulas pemberontakan PKI di Madiun – yang juga diterbitkan Yayasan Bentang pada tahun 1997.
Nama Soe Hok Gie tidak pernah muncul dalam buku sejarah sekolah – mungkin sengaja tidak dimunculkan. Namun Gie adalah fenomena bersejarah dunia pergerakan mahasiswa Indonesia. Kita mengenal Ki Hadjar Dewantara dengan 3 semboyannya, kita memiliki semangat pergerakan Soe Hok Gie.
Cuplikan catatan Soe Hok Gie yang mampu membuka gerbang pergerakan di sanubari mahasiswa adalah :
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”
“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.”
Masih banyak catatan Soe Hok Gie yang membakar mental kita, membuka cakrawala pandangan kita. Karena mahasiswa Indonesia adalah Iron Stock[7] Bangsa Indonesia.
****
Mencoba Ber-Komparasi
Soe Hok Gie dengan perjuangan dan pergerakan idealisme “kemahasiswaannya” membawanya menembus tirani dan “penjara” pemerintahan orde lama maupun orde baru.
Ki Hadjar Dewantara dengan “Trias” semboyannya mampu menemukan identitas pendidikan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Hasil karya intelektual kedua “legenda” Indonesia yang hidup dan beradaptasi dengan atmosfir pendidikan, kebudayaan, dan – mblegedes – politik pemerintahan.
Merevolusi kesadaran. Itulah sebenarnya yang mesti kita benahi jika masih meyakini bahwa merekonstrusi perubahan ke arah yang lebih progresif adalah bagian dari salah satu tugas intelektual – seluruh – mahasiswa. Kapan lagi kita bisa memunculkan Soe Hok Gie – dengan idealisme struktural yang “kekal” – dan Ki Hadjar Dewantara – dengan edukasi bertandensi cultural – yang "baru"?
Sebuah tuntutan yang harus digulirkan kepada gerakan mahasiswa, adalah bagaimana mengembalikan ruh – idealisme – gerakan mahasiswa pada hakekatnya. Sebagai gerakan yang progresif, kritis dan independen, dengan begitu maka akan terwujud terbangun tatanan demokrasi yang kita idamkan.
Karakter yang menarik dari semua aktivis gerakan mahasiswa adalah mereka yang memenuhi persyaratan[8] :
  1. Mempunyai prestasi akademik yang baik (IPK diatas rata-rata).
  2. Basic organisasi yang kuat, karena mengalami pengkaderan yang berjenjang dari tingkatannya, bukan aktivis instant yang hanya mengejar popularitas sesaat.
  3. Santun dalam bertingkah cerdas dalam berfikir (ahlakul kharimah), dan menjadi panutan mahasiswa lainnya.
  4. Mampu me-manage (mengatur) waktu, bukan waktu yang mengaturnya.
  5. Mampu menuangkan pokok pikiran dan ide-ide nya kedalam tulisan. Gerakan penyadaran tidak hanya dalam bentuk aksi jalanan melainkan dalam bentuk tulisan – essai, tabloid, majalah, dan koran pelajar – juga.
Jika anda sebagai mahasiswa mempunyai semua kriteria seperti diatas, maka anda layak menyandang predikat sebagai aktivis mahasiswa sejati. Jika belum, maka baiknya Penulis sarankan anda banyak belajar, belajar dan belajar.



Daftar Pustaka

Madjid, “Sejarah Memberikan Kesimpulan, Pergerakan Yang Merevolusionerkannya.” Dikutip dari majalah PROGRES No. 3, Jilid 2, 1992.
Riki, “Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah”, Portal Berita Perpustakaan UPI 2006
Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Kolom Biografi, “Biografi Soe Hok Gie (1942-1969)” 2009
Kolom-biografi,blogspot.com/2009/biografi-soe-hok-gie-1942-1969.html (18 Juni 2010).
Dewantara, Ki Hajar, “Ki Hajar Dewantara,” Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989.


[1] Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989

[2] Isi surat tersebut antara lain: “..... Perkenankanlah saya mengingatkan bahwa setiap makhluk tak berdaya mempunyai naluri berlawanan menolak bahaya, demikian juga halnya kami karena dipaksaakan berlawanan secara keras selama-lamanya dengan cara diam.”
Dewantara, Bambang Sokawati, “Ki Hadjar Dewantara, Ayahku,” Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1989
[3] Stlb. No. 18/23 Pebruari 1933 Pemerintah Hindia-Belanda.
[4] Gunung tertinggi kedua di Jawa Barat, 3.019 mdpl.
[5] Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokian dari namanya Su-Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi).
[6] Sebutan untuk tokoh perakan pemuda pasca Angkatan 45. Antara lain : Soe Hok Gie, Akbar Tandjung, dan Cosmas Batubara.
[7] Label prestisius untuk mahasiswa: Agent of Change, Agent of Control, Iron Stock. Dan label-label lainnya. Emanuel Kant.
[8] Portal Berita Perpustakaan UPI, Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah; Posted on Wednesday, October 06 @ 13:27:20 WIT by riki

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...