Awalnya Konfusi
Penulis sempat bingung dengan tema yang diajukan panitia, yaitu “Urgensi PSA-MABIM.” Pengunaan kata “Urgensi” menurut penulis sangat ambigu. Artinya, apa yang urgent? Mengapa harus urgent? Atau panitia sengaja menyajikan sebuah konfusi belaka? “Urgensi” dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai keperluan yang sangat mendesak. Apalagi, dalam ketentuan dalam Buku Budaya dijelaskan jumlah karakter tulisan antara 5000 – 7000 karakter. Penulis merasa dimanjakan dengan salah satu tugas yang satu ini.
Dalam buku KAMABA tahun akademik 2010, beberapa catatan dari Prof. Dr. der Soz. Gumilar R. Soemantri sudah mewakili apa yang disebut “Urgensi PSA-MABIM” secara keseluruhan, bukan? Tapi, penulis akan mencoba menorehkan susunan paragraf reklamasi tentang “Urgensi PSA-MABIM.” Semoga tidak hanya menjadi syarat PSA-MABIM belaka. Lebih jauh, penulis berharap tulisan ini mampu memberi kontribusi untuk semua pembaca.
Dalam tulisan ini, penulis akan menyuguhkan beberapa hal terkait tema “Urgensi PSA-MABIM” dari sudut pandang subaltern. Pandangan subaltern tetntunya tidak akan ditemukan di media cetak, televisi, atau di seminar-seminar ilmiah yang megah dan modern. Padangan seperti ini hanya bisa di jelajahi dan ditemukan dalam perbincangan warung kopi, dalam percakapan kaum buruh, dan juga dalam banyak suara orang-orang pinggiran diberbagai aksi dan demo mereka.
Mengawinkan Pandangan Sublatern
Tujuan serangkaian kegiatan awal mahasiswa baru UI (Universitas Indonesa) terbagi dua, umum dan khusus. Penulis hanya akan “mengawinkan” antara tujuan umum PSA-MABIM dengan sudut pandang subaltern. Pertama, meningkatkan peran dan tanggung jawab mahasiswa dalam proses pembelajaran. Seorang mahasiswa tidak hanya harus bertanggung jawab dalam hal sinau (belajar) semata – dengan kata lain, proses pembalajaran harus memiliki karakteristik tersendiri. Dalam beberapa kasus, peran mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change, iron stock dan julukan lain yang tersemat di dada mereka, hanya mampu bertahan di level terakhir percaturan intelektual nasional. Tentu mahasiswa perguruan tinggi yang menyandang nama negara tidak ingin disebut sebagai trahison des clercs (penghianatan intelektual)[1].
Universitas Indonesia (UI) menduduki peringkat 201 dunia berdasarkan rilis dari imes Higher Education - QS World University Ranking (THE-QS World). Prestasi mahasiswa UI di level internasional juga sangat cemerlang. Banyak tokoh-tokoh nasional hasil gemblengan UI yang menduduki posisi penting di Indonesia . Sebut saja Ibu Sri Mulyani (mantan Menkeu, sekrang bertugas di Bank Dunia , New York ), Chandra Hamzah (Pimpinan KPK), Suharna Surapranata (Menteri Negara dan Riset), dan masih banyak orang-orang besar lulusan UI lainnya. Hal ini membuktikan bahwa gerbang PSA-MABIM merupakan sebuah agenda yang urgent bagi mahasiswa baru UI.
Kedua, mempererat hubungan antaranggota civitas akademika. Kabar burung yang diterima penulis mengatakan bahwa intensitas antara alumni UI berbeda antarfakultas. Tapi bukan hal itu yang akan penulis paparkan. Dibawah tameng Dr. Komaruddin selaku direktur kemahasiswaan UI, atmosfir kehidupan di UI terasa nyaman dan aman. Sebagai mahasiswa – apalagi mahasiswa UI, bukan hanya tuntuan mempererat hubungan antaranggota saja. Namun harus memosisikan diri sebagai komunitas akademik. Dalam PPRI No. 60 Tahun 1999, menjelaskan tentang disiapkannya mahasiswa untuk “(1) Menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional, yang menerapkan, mengembangkan, dan/atau memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian; (2) menegembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian serta mengupayahkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.”
Ketiga, memperkenalkan infrastruktur untuk membangkitkan kepedulian mahasiswa akan lingkungan universitas. Poin ketiga membahas hal-hal teknis dilapangan tentang bagaimana dan mengapa mahasiswa baru, yang mengikuti PSA-MABIM, mampu mengendalikan kepedulian mahasiswa kepada universitasnya. Universitas Indonesia memilki sejarah panjang dalam perjalanannya menjadi benteng Negara. Dengan visi “menjadi universitas riset kelas dunia” dan misi menyelenggarakan pendidikan tinggi berbasis riset untuk pengembangan ilmu, teknologi, seni dan budaya, dan menyelenggarakan pendidikan tinggi yang mengupayahkan penggunaannya unyuk meningkatkan taraf dan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia serta kemanusiaan.UI dibawah tangan dingin Prof. Dr. der.Soz. Gumilar Rusliwa Somantri menunjukkan kelasnya sebagai universitas terbaik di Indonesia . Lima besar Asia tenggara dan peringkat 201 dunia. Seperti yang penulis utarakan di awal, gerbang PSA-MABIM merupakan khazanah yang mencetak ideologi mahasiswa UI. Untuk memperjelas tentang urgensi PSA-MABIM. Penulis akan memaparkan salah satu unsur, mengapa PSA-MABIM itu harus urgent? Yaitu hedonisme.
Virus Hedonisme
Hedonisme memiliki pengertian sebagai suatu kesenangan terhadap hal-hal yang bersifat temporarry (sementara), sehingga orang terjebak untuk tidak mampu bersikap sabar dan gagal membangun asketisme. Dewasa ini mahasiswa – termasuk saya pribadi – lebih “mencintai” tayangan dan hal-hal yang bersifat entertainment, gosip, jingkrak-jingkrak menyaksikan konser musik rock, dan hal-hal yang melemahkan mereka dalam membangun kepribadian mereka sendiri.
Selain mendiskreditkan kebudayaan, virus hedonisme juga telah memangkas makna tri dharma perguruan tinggi yang mengacu pada tiga aspek pengetahuan menurut Perkins, yaitu aquicition, transmission, dan application. Mahasiswa seharusnya familiar dan bergaul dengan penjelajahan pemikiran dan intelektual yang interdisipliner. Namun, realita yang ada sangat bertolak belakang dari seharusnya. Mahasiswa ogah “mengunyah” tulisan-tulisan Lenin, Jean-Jacques Rousseau, Karl Marx, Plato, Aristoteles, Hanafi, Fajrul Rahman, Cak Nur, Tilaar, dan Gus Dur. Mahasiswa sekarang lebih menyukai musik pop daripada musik gamelan, lebih cinta Jeans daripada batik, dan masih banyak lagi hardcore mahasiswa Indonesia yang tidak “Indonesia .”
Gejala hedonisme sudah “melahap” hampir seluruh mahasiswa diperkotaan dan daerah-daerah. Hedonisme juga telah mengerutkan kapasitas moral mahasiswa. Mungkin mahasiswa yang benar-benar “Indonesia ” sudah punah di dekade 90-an? Atau mereka belum menyadari bahwa pusat lahirnya peradaban dunia adalah Indonesia ? Prof. Arysio dalam bukunya, Atlantis; The Lost Continent Finally Found – saya baru baca separuh – menyuguhkan informasi tentang kebenaran bahwa Atlantis adalah Indonesia , Negara kita. Adalah tugas mahasiswa – termasuk saya – untuk mengulang peradaban Eden , nenek moyang kita. Sekaligus sebagai pewaris tunggal nusantara. Kenapa kita harus memakai “baju” orang barat kalau kita memiliki “baju” sendiri?
Bahan Rujukan:
Somantri, Gumilar R, “Sambutan Rektor Universitas Indonesa.” Dalam Panduan KAMABA Universitas Indonesia Tahun Akademik 2010/2011. 3 – 4. Jakarta : Universitas Indonesia .
Buku Saku Universitas Indonesia , 2009 “Profil Universiatas Indonesia ” Jakarta : Direktorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia1.
Said, Edward W. 1998 “Peran Intelektual; Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993” Jakarta : Yayasan Obor Indonesia .
Fauzan S, Iswanda. 2010 “Hardcore Mahasiswa yang Indonesia ” Dalam Kumpulan Artikel untuk Negeri. Tabloid Prospek. Surabaya : Global-Indo Media.
http://komunitas.ui.ac.id/pg/blog/widia.kurnia/read/2939/peringkat-ui-201-dunia-tahun-2009. Jumat. 20.48 WIB.
Iswanda Fauzan S
1006696951
Ilmu Perpustakaan
[1] Riri Hindaryati P dan P. Hasudungan Sirait, dalam Peran Intelektual, xvi-xix. Edward E. Said,1998
No comments:
Post a Comment