Namaku Aisyah, masih
gadis atau perawan. Usiaku sekarang 18 tahun. Bapakku seorang Kiyai, pemangku
pondok pesantren Al-Harun. Menulis sudah menjadi kegemaranku. Membaca apalagi.
Setiap keluar rumah aku mengenakan jilbab. Tidak lebar, tidak memakai kaus kaki
juga. Bajuku tidak terlalu ketat, tidak pula ngelombyor. Mengenakan celana pun
tidak riskan. Kegemaranku berkelahi. Karate olah raga favoritku. Tak peduli aku
anak pemuka agama atau bukan. Bapak dan Ibuku tidak melarang. Mereka memberi
kebebasan kepadaku untuk menjadi diriku. “Tuhan tidak pernah melarang manusia
masuk neraka.” Itulah kalimat yang sering aku lontarkan kepada orang-orang yang
sempit pikiran dan hatinya. Tapi aku bukan manusia penggila surga, meskipun aku
selalu merindukan tempat itu.
Disekolah, aku selalu
dimudahkan oleh pengajar, guru-guruku. Mungkin aku anak seorang ulama’. Ah,
tetap saja aku tidak suka diistimewakan. Anak kiyai juga banyak yang berandal
dan bajingan. Mungkin aku termasuk golongan bajingan itu suatu hari nanti. Aku
tidak sangsi dengan kitab kuning, Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, Akidah
al-Awam, sitiran karya Imam Syafi’i, Yusuf Qardhawi yang diusianya ke-10 sudah
hafal Al-Qur’an, sampai karya Emile Dermenghem, juga pemikiran Guibert de
Nogent dan Comte Boulainvilliers. Urusan selera musik, aku juga tidak risih
menikmati Ode to Joy karya Ludwig van
Beethoven, La Mer ciptaan Claude
Achile Debussy, hingga The Magic Flute karya
Wolfgang Amadeus Mozart. Bagiku semuanya adalah kuasa Allah SWT. Toh, mereka yang muslim maupun non-muslim
tetap dirahmati Allah.
Malam ini, aku
melamun. Pikiranku melayang. Membayangkan pengajian ba’da sholat isya’. Tafsir al Jalalain, bukan karya Ibnu
Katsir. Pengjian itu di-ngaji-kan
langsung oleh Kiyai Soleh, bapakku sendiri. Diluar kamar, masih banyak santri
yang berdiskusi. Cukup sengit. Aku hanya memandangi langit-langit kamar.
Merenung dalam. Al-inqiyad. Dan
terlelap. Mulailah narasi mimpiku aku rangkai.
*
Rahmat sedang asik
dengan pijitanku. Ia mendesah keenakan. Tubuhnya tengkurap. Aku menyandingnya.
Badanku sedikit menempel, merebah lebih tepatnya. Rahmat adalah suamiku.
Usianya 5 tahun lebih tua. Ia fasih mengaji. Hafalannya pun kuat. Dua tahun lalu ia menamatkan studinya di Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah,
di daerah Ciputat, Tanggerang. Bulan Februari yang lalu kami menikah. Belum
punya momongan. Masih dalam proses produksi. “Dik, yang sebelah bawah.”
Pintanya. Segera aku arahkan tanganku ke daerah tubuh yang dipintanya. “Kebawah
lagi.” Imbuhnya. Aku sudah faham kemauan dia. Sekali lagi aku arahkan remasan
tanganku ke daerah tubuh yang dipintanya. “Nah, pas. Agak lembut dikit ya Dik.”
Rayunya dengan nada manja. Aku turuti saja pintanya. Jika tidak, ia akan
mengeluarkan dalil-dalil yang sudah pasti aku lebih tahu dan faham
penafsirannya. Tapi Nabiku menginstruksikan untuk patuh terhadap suami. Jika
surga anak berada di telapak kaki ibu, maka surga isteri berda di telapak kaki
suami. Adagium seperti itulah yang turun temurun menjadi nasihat keluargaku. “Emmm..Mas
lagi pengen Dik.” Ucap Rahmat pelan. Tangannya mulai liar. Senyumku terlempar.
Saat ini aku juga sedang on fire.
Buat apa aku menolak. Ini juga ibadah kan?
Sudah dua jam kami
bergumul menikmati anugerah Allah, sex. “Dik, terimakasih. Mas sudah dilayani.
Dik Ais seneng juga kan?” tukas
Rahmat. Hanya selimut yang menutupi aurat kami. Ia mengelus-elus keningku.
Menciumnya beberapa kali. “Mandi yuk. Terus kita sholat!” Ajaknya. Kepalaku
mengangguk. Malam itu aku juga merasa terbang. Memang bukan malam pertama. Tapi
inilah yang pertama sejak aku keluar dari rahim ibuku. Dalam hati aku bergumam,
“Andai desahanku terdengar. Suamiku akan lebih bisa menikmatinya.”
“Ais, Sarung..!”
Pekik suamiku dari balik pintu kamar mandi. Jemariku mengetuk pintu kamarmandi.
Sarung putih berpola kotak-kotak aku sodorkan. “Terimakasih Cinta.” Ujar Rahmat
mesra. Hatiku sungguh berbunga. Setelah selesai dengan urusan mandi besar dan
berwudlu. Kami sholat, qiyamu al lailii. Dilanjutkan
dengan berdzikir. Malam Jum’at adalah malam yang selalu ditunggu-tunggu oleh
banyak ulama dan santri. Mereka menghabiskan banyak waktunya dengan duduk
bersila, melafalkan pujian dan bacaan dzikir. Sedari tengah malam sampai subuh.
Aku dan suamiku pun begitu. Kami pun larut dalam buaian dzikir dan do’a.
Bersama malaikat-malaikat-Nya.
*
“Nduk, ikan mujair,
kangkung, bawang merah, bawang putih, dan penyedap. Ini uangnya. Nanti bilang
sama Cak Mat, berasnya diambil sama santri nanti siang.” Ibuku menyilahkanku
untuk berbelanja. Seperti biasa, sepeda pancal hijau muda dengan keranjang di
depan aku kendarai. Aku tidak bisa berkendara dengan sepeda bermotor. “Andaikan
bapak tidak bersikap seperti Badui.” Gumamku dalam hati. Tapi ya sudahlah. Toh, aku tidak pernah pergi jauh
sendirian. Paling jauh ke balai desa. Soalnya, balai desa kami terletak di
sudut penjuru desa. Bersebelahan dengan pemakaman. Kalaupun pergi jauh, ada Pak
Bogel yang siap mengantarku, juga menjagaku.
Aku menyodorkan
kertas kecil ke Cak Mat, pemilik warung Harapan Baru. Nama lengkapnya Ahmad
Wiwongso. Tapi orang desa akrab dengan panggilan Cak Mat. “Ini Ais, nanti sore
berasnya diambil sama santri-santri kan?”
Kata Cak Mat. Tanganku segera melipat, seperti orang bertapa. Melempar senyum
dan menganggukkan kepala. Bungkusan belanjaan aku jatuhkan di keranjang sepeda.
Dan, melesat kembali ke rumah. “Ais, darimana?” Sapa Suminah, sahabatku. Rem
sepeda segera aku tarik. Kuat. Aku berhenti tepat di samping Inah, panggilan
Suminah. “Wah, sekarang tambah gemuk ya.., gimana kabar suamimu? Udah belah
duren?” Tanya Inah seraya melempar tawa. Aku hanya tersipu malu. Member
isyarat. Suminah pun mengerti. Kami
berdua berjalan beriringan. Melintasi jalan setapak. Menembus musamus yang bertebaran di pinggir
jalan. Inah akan mengikuti pengajian di rumahku, pondok Al-Harun. Kali ini
suamiku sendiri yang akan memberikan pengajian. Temanya tentang tasawuf. Aku
tahu Inah banyak mencurahkan perhatian pada ilmu ini. Apalagi jika dihubungkan
dengan Salafiyah dan Fiqh Siyasah. Pasti ia tidak berkedip meskipun Justin
Beber lewat didepannya.
“Ais, Inah, barengan,
tungguin aku.” Pekik seorang wanita dari belakang. Ia adalah Rasmi. Ia juga
sahabatku. Ah, lengkap sudah. Rasmi berlari kecil. Jilbab nya pontang-panting.
Badannya yang bahenol seperti meloncat-loncat. Mengumbar syahwat pria yang
melihatnya. “Fiuh, habis belanja Ais?” Tanya Rasmi sambil terengah-engah. Aisah
mengangguk. “Huum, emang matamu nggak
lihat Itu bungkusan belanjaan?” Cetus Inah.
“Aku Tanya Ais, bukan
kamu, Sum-sum?” Sanggah Rasmi sambari merapikan jilbabnya. Inah melotot.
Pandangannya dingin. “Inah, gimana si Yayak? Udah jadian belom?”
“Halah, aku masih
pengen kuliah.” Jawab Inah.
“Apa? Kuliah? Ha ha
ha ha..”
“Eeeee.. ngeledek
ya?”
“Lho?”
“Iya, kamu kayaknya nggak percaya kalau aku bisa kuliah.”
“Bukan begitu Inah,
katanya kamu mau nikah dulu, terus kuliah?”
“Yaa.. itu kan kemauan bapak dan ibukku.”
“Emang yakin bisa
diterima? Ha ha ha.” Rasmi menertawakan Inah.
“Nilaiku kan
lebih bagus dari kamu. “ Jawab Inah. “Lagian, aku juga dapat rekomendasi
beasiswa. Aku mau kuliah di UI. weeeekk..!”
“Hemmm..!”
“Kok Hemmm?”
“Ya nggak apa-apa,
sebagai seorang sahabat. Aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu. Tapi jangan
lupa. Kalau uda d UI, kenalin sama cowok-cowoknya ya? Hiks hiks hiks.” Ujar
Rasmi. Lantas mereka berdua tertawa. Aku menggelengkan kepala. Eh, malah
diketawain. “Tenang Ais, kamu kan sudah punya dan sudah sah. Jadi, …” Kata
Inah. “Jadi kita bisa Tanya soal gitu-gituan sama kamu.! Ha ha ha.” Sahut
Rasmi. Aku tidak kuat menahan gemasnya. Cubitan persahabatan segera aku
daratkan di bahu mereka dan sesekali menggelitiki. Kami bertiga segera larut
dalam canda dan gurauan khas remaja. Meskipun statusku ibu rumah tangga.
Tak lama berselang, kami
melewati pendopo. Itu tandanya kami sudah memasuki wilayah rumahku, pesantren
Al-Harun. Inah dan Risma segera melangkah menuju mesjid. Sedangkan aku kembali
ke dapur pesantren. Setelah memarkir sepeda, bungkusan belanjaan aku serahkan
pada ibu. Di dapur sudah banyak orang. Bi Siti, Mbak Wulan, dan Pak Bogel juga
ada disitu. Aku mengambil cobek, cabai, garam, dan penyedap rasa. Tomat yang
sudah digoreng aku tumpahkan ke dalam cobek. Sedikit aku bubuhi dengan garam.
Dan diulek. Bagianku membuat sambal tomat. Seperti sambal lalapan ayam
atau bebek. Bi Siti mengaduk-aduk gulai di wadah yang besar. Aku sendiri tidak
sanggup melakukannya. Sedangkan mbak Wulan asik mengupas dan mengiris bawang.
Pak Bogel sibuk keluar masuk dapur. Keluar dengan tangan hampa, kemudian masuk
dengan bungkusan berupa karung. Isinya adalah kelapa. Ibuku berada di dekat
pintu dapur, dibagian belakang. Ia sibuk mancakki
kelapa. Mengulitinya dan memarutnya. Nanti malam akan ada Manqib-an di mesjid. Jadi semuanya serba sibuk. Beberapa santri
bertugas membersihkan halaman mesjid dan merapikan rumput liar di samping
asrama santriwati – sebutan untuk santri perempuan. “Nduk, nanti selesai bikin
sambal, kamu bantuin ibu ya!” Pinta ibu. Kepalaku mengangguk.
Inah dan Rasmi
mengagetkanku. Diam-diam mereka berdua mendekap dari belakang. Membungkam mataku.
“Duarrr..!” Untung saja aku bukan pengidap penyakit
jantungan. “Wah, makan besar nih!” Celoteh Rasmi. Ia segera mengambil jatah
pekerjaannya. Seperti biasa, melipat kardus makanan. Sedangkan Inah membantu
mbk Wulan kupas-kupas bawang. “Inah, kamu jadi ke Jakarta?” Tanya Bi Siti.
“Katanya mau nikah dulu Bi, ha ha ha!” Sambar Rismah.
“Eh, eh.. kamu itu
ikut aja.” Sahut Inah cepat.
“Oalah, nikah?” Kata
Bi Siti.
“Ora, kuliah dulu Bi, emang Risma mulutnya nyonyor. Tidak usah di dengar Bi!”
“Ha ha ha” Risma
tertawa. Ibu dan aku memandangi mereka berdua. Seperti orang sedang menonton
pertandingan bulu tangkis. Mata kami bergser ke kanan dan ke kiri.
“Ais, sudah ada niat punya momongan belum?
Ibumu kayaknya sudah nggak sabar
pengen punya cucu.” Bi Siti mengalihkan pembahasan.
“Iya Ais, aku sama Inah juga pengen dipanggil
tante.” Sahut Risma lantas tertawa.
“Husss..” mbak Wulan menghardik genit.
“Biar saja, mereka kan Cuma bercanda.” Ibuku berusaha
menyegarkan suasana. Aku pun
tersenyum. Berusaha menutupi rasa malu. Wajahku saat itu memerah. Memang
benar-benar malu. Ruangan dapur semakin penuh dengan asap. Sebagian besar
hidangan untuk acara manaqib sudah
siap santap. Risma dan Inah bersiap pulang. Bau badannya sudah seperti kebuli
gosong. “Ais, kita pulang dulu. Nanti habis magrib kita kesini lagi.” Ujar
Inah. Berpaamitan sederhana. Aku melambaikan tangan. Sedikit melempar senyum.
Mereka perlahan menjauh. Hilang.
Sinar sang surya
perlahan menipis. Kegelapan mulai merasuk disela-sela bangunan pondok. Mas
Rahmat masih asik bercengkeramah bersama beberapa santri di mesjid. Handuk dan
sarung sudah aku siapkan, sambari berjalan melewati lorong asrama putri, aku
menunggu suamiku memperhatikanku. Ketika suamiku menoleh kepadaku, handuk dan
sarung ku angkat ringan. Senyumku mengisyaratkan perintah untuk segera mandi.
Suamiku segera menghampiriku. Kami berjalan berdua ke bale, sebuah ruangan mirip gazebo besar yang dipakai untuk acara
pengajian dan lain-lain. Dibalik bale
itulah aku dan suamiku berumah tangga. Rumah yang tidak mewah. Dindingnya
dibangun dari kayu jati dengan ornamen dari kayu akasia. Tamannya juga tak
luas. Namun, di belakang rumah terdapat kolam ikan lele dumbo, beberapa pohon
pisang raja, dua pohon mangga, dan sepetak tanaman ubi. Hidupku cukup bahagia.
“Dik, ada yang perlu Mas omongin sama kamu.” Ujar Mas Rahmat. Kepalaku
mendongak. Tangannya memegang kedua pundakku. Menyandarkan tubuhku di kursi, di
pojok bale. “Emmm…!” Gumam Mas
Rahmat. Tanganku mendarat mesra di tangannya. Kami saling bertatapan. Ada yang
aneh, firasatku juga tidak enak. “Akan terjadi hal yang menyedihkan.” Batinku.
“Mas harus ke
Jakarta. Mas dapat tawaran menjadi dosen disana. Di UIN Syarif Hidayatullah.
Mas ndak bisa nolak, karena bapak
rektor yang memintanya.” Tutur Mas Rahmat pelan. Awalnya aku sangat bahagia.
Bukan karena suamiku akan menjadi dosen, bukan pula akan menjadi kaya dan
terpandang. Tapi karena aku setidaknya bisa “bebas” dalam jangka waktu
tertentu. “Bagaimana Dik?” Sambung Mas Rahmat. tegurannya membuyarkan lamunanku
akan “kebebasan” tadi. Senyuman pasrah aku lontarkan. Kepalaku tersandar di
pundaknya. Ia dengan lembut melepaskan belaiannya. “Mas akan rajin kirim surat.
Mungkin tidak setiap tahun Mas pulang, tapi Mas pasti pulang.” Aku
menganggukkan kepala. Menaruh percaya yang dalam pada suamiku. Tidak ingin
lama-lama terbuai dalam pelukannya. Aku mencubit perutnya. Menggelitikinya.
“Dik,,Dik,, apa-apaan sih, geli Dik, geli..” Suamiku mulai membalas. Aku segera
berlari menjauh. Ia mengejar. Dengan wajah lucunya, ia terus mengejar.
Menyergapku dari belakang. Aku tak kuasa. Mati kutu. Dekapannya begitu nikmat.
“Dik, Mas tidak pernah belajar tentang cinta. Tapi Mas ingin mencintai. Ajari
Mas ya! Karena Mas percaya Dik Ais sudah mencintai Mas.” Bisik Mas Rahmat. Aku
mengangguk. Membalikkan badan. Senyum manjaku membuatnya tidak tahan untuk
mencium keningku. “Tetap jadi suamiku ya Mas.” Kataku dalam hati. Handuk dan
sarung aku sodorkan ke mukanya. Mas Rahmat segera mengerti maksudku. Senyum
sinisku memaksanya melepaskan pelukannya. Dan ia segera masuk ke kamar mandi.
*
Semalam suasana tidak
begitu ramai. Diranjang, suamiku tidak berkutik. Hanya mendengkur seperti
biasa. Mungkin terlalu capek. Acara manaqib juga biasa-biasa saja. Sangat
berbeda ketika aku balita. Jama’ahnya didominasi kaum lanjut usia. Semenjak
banyak pabrik di pinggiran kota, pemuda dan pemudi kampungku hidup layaknya
mesin. Menurutku mereka hanya korban dari kapitalisme new edition. Diperbudak. Ya.. benar-benar menjadi budak industri.
Urusan mengaji dan jama’ah di mesjid-mesjid dinomor duakan. Shaf jama’ah sholat
lima waktu mengalami kemajuan cukup signifikan. Artinya, semakin maju shaf ke
barisan depan. Ruangan belakang mesjid dan surau kosong. Apalagi ketika
kumandang iqomah subuh, hanya segelintir manusia yang beranjak ke tempat
ibadah. Masih orang-orang yang bau tanah juga yang jumlahnya paling banyak.
Kiamat memang sudah sangat dekat.
Pagi ini suamiku,
Rahmat, harus pergi ke Jakarta. Terlalu cepat. Tapi tidak bisa diperlambat.
Ransel hitam cukup besar sudah terisi penuh perbekalan; baju, celana, jaket,
dan kopyah tertata rapi didalamnya. Tak lupa beberapa buku, juga Al-Qur’an
kecil kesayangan suamiku. “Ais, Ais.. sepatu Mas sudah kamu semir?” Ujar
suamiku. Ia menyeliap dari balik tirai yang memisahkan ruang tengah dan bale. Aku segera membalikkan badan.
Terperanjat. Mengangguk. Ia menghampiriku. “Sudah?” Tambahnya sambil merapikan
kemeja berbatik, lengan panjang. Penampilan suamiku sangat rapi. Celana yang
dikenakannya bergaya Elvis Prisley,
penyanyi ROCK n ROLL itu. Rambutnya pun
tersisir rapi. Aku mengambilkan jaket hitamnya, bukan jaket kulit, dan tak lupa
peci hitam. Penampilannya benar-benar dandy.
“Mat, Rahmat..! Kamu
sudah siap?” Sapa Abah dari balik pintu rumah kami.
“Sebentar Bah.” Sahut
suamiku. “Dik, bukain pintu gih!”
Bisiknya. Aku segera menuruti kemauan suamiku. “Wah wah.. Menantuku benar-benar
gagah.” Kata Abah. Mas Rahmat hanya tersipu.
“Mat, kamu yakin bisa
jaga isterimu, Aisyah, dari Jakarta?” Tanya Abah.
“Insyaallah Bah, saya
akan rajin kirim surat buat Dik Ais.” Jawab Mas Rahmat.
“Apa hanya dengan
surat?”
“Yo mboten Bah, saya juga kirim nafkah
lahir.”
“Cuma itu?” Tanya
Abah lagi. Nada suaranya agak menggurui. Mas Rahmat melihat ke arahku. Begitu
juga aku. Kami Berpandangan sejenak. Hening. Suamiku seperti orang bodoh. Raut
mukanya rancu.
“Nduk, kamu panggil
ibumu, temenin ibu bawa pesenan Abah sekalian. Ya..!” Perintah Abah. Kakiku
segera melangkah menuju dalem,
sebutan untuk rumah kiyai dan keluarganya. Abah dan Mas Rahmat terus berbincang-bincang.
Aku sadar, meraka berdua pasti membahas tentang aku. Sudahlah. Laki-laki
kadang-kadang penuh misteri dan teka-teki.
Pak Bogel sedang
menikmati kopi di teras depan dalem.
Kepulan asap rokok meninggi dari mulutnya. Ia segera menyadari kedatanganku.
“Eh, neng Ais. Ngopi neng. He he he.” Celotehnya. Tangan kananku sengaja aku
silangkan di dada, dan tangan kiriku memegangi hidung. Tapi aku tersenyum.
“Hemmm.. ngeyek, ngeledek..
mentang-mentang saya ngerokok.” Ujar Pak Bogel sinis. Aku tepat melintas di
depannya. Tangannya tak tahan untuk mencolekku. Aku tahu Pak Bogel tidak akan
berani mencolekku. Jadi, aku julurkan lidaku. Kedua tanganku melebar di telinga
kanan dan kiriku. Meledek, maksudku menggoda sebenarnya. Aku berlari kecil
menuju dalem. “Apa to nduk?” Kata Ibu. Ia sepertinya tahu
kalau aku baru ngeledek Pak Bogel.
Isyaratku menyilahkan
Ibu segera bertolak menyusul Abah dan Mas Rahmat di bale. Ibu mnyerahkan bungkusan. Bentukknya persegi panjang, agak
lonjong. “Ini apaan ya?” Gumamku dalam hati. “Ayuk nduk..!” Ajak Ibu. Kami
segera meluncur ke bale.
“Nah, ini nak Rahmat.
Abah sama Ibu cuma bisa kasih ini. Semoga berguna.” Kata Ibu sambari
menyerahkan bungkusan. “Ini satu lagi. Mana Ais?” Ibu merogoh bungkusan lonjong
tadi dari genggamanku. Aku hanya menikmati keresahan yang mulai menjalar dalam
benakku.
Suamiku begitu
menikmati suasana pagi itu. Aku dapat melihatnya dengan jelas melalui matanya.
Mungkin ia akan kerasan d Jakarta. Kadang-kadang pembicaraan kami diatas
ranjang pun diselingi keinginan besar
dan ambisinya menjadi seorang inelektual muda islam. Inginnya seperti Nur
Cholis Majid, Idham Chalid, atau Wachid Hasyim. Entahlah. Siapapun yang menjadi
rujukan pemikirannya, aku juga tidak peduli. Selama ia mampu menjadi imam
keluarga.
*
Pak Bogel bersiap
dengan mobil Toyota kuno, inventaris pondok. Bentuknya agak persegi. Tidak
begitu menarik dipandang. Belum lagi asap yang mengepul dari buntut. “Ayuk Mas.
Saya sudah ready!” Ujar Pak Bogel
dari balik kemudi mobil. Ia keluar. Mengambil barang-barang Mas Rahmat yang
tercecer didekat Abah dan Ibu. Menaruhnya di bagasi belakang. Bukan bagasi
tepatnya, tapi tempat duduk belakang yang dialihfungsikan menjadi bagasi.
Semangat sekali. Pecinya yang agak kumal tergantung tidak rapi. Rambutnya yang
putih bersayup-sayup tertiup anngin pagi. Meskipun sudah mandi, Pak Bogel masih
saja kucel. Memang itulah ia. Aku tertawa-tawa sendiri. Suamiku terlihat kaku.
Perasaanku yakin, obrolan Mas Rahmat dan Abah tadi cukup serius. Mungkin
kesedihan akan segera menderaku. Hanya perasaan. Harapku tidak menjadi
kenyataan.
“Dik, Mas berangkat.
Jaga diri baik-baik.” Ujar suamiku. Dengan lembut ia membelai pipiku. Mencium
keningku. Tangannya aku cium. Beberapa kali. Senyum sedih aku buang perlahan.
Mataku tak sengaja berair. Tidak deras. “Berat Mas, tapi aku harus nurut sama
Mas.” Hanya itu gumamku dalam hati. Mobil pun
melaju perlahan. Melintasi jalanan berbatu menuju stasiun. Biasanya orang
daerahku yang akan ke Jakarta, mereka memilih kereta api. Perjalanan ke stasiun
ditempuh dalam waktu dua jam. Dan butuh semalam untuk sampai ke Jakarta.
*
--Tiga tahun kemudian—
*
Aby bersemangat
sekali bermain di halaman pondok. Mobil-mobilan yang terbuat dari sisa kelapa
ditariknya sambil berlarian kesana-kemari. Suasana pondok sedang lengang.
Beberapa tamu yang berpakaian rapi juga sudah jarang terlihat keluar masuk dalem. Santri-santri juga masih belum
terlihat kembali dari libur panjangnya. Hari tanggal 8 Syawal tahun 1420
Hijriah, seminggu setelah hari raya Idul Fitri. Suasana pondok tidak jauh
berbeda. Bebebeda dengan suasana rumah tanggaku. Sangat berbeda. Dua tahun
terakhir ini aku tidak ditiduri suamiku, Rahmat. Lembaran surat darinya yang
membuatku terlelap. Dua tahun terakhir ini juga aku dihadiahi Allah seorang
putra mungil, sengaja aku beri nama Aby Suseno. Nama itu sudah disetujui oleh
suamiku, abah dan ibuku. Ia sudah beranjak balita. Sudah dua tahun dua bulan
usianya. Tapi, belum pernah melihat wajah ayah kandungnya. Terakhir Mas Rahmat
pulang saat Idul Fitri dua tahun yang lalu. Saat itu, Aby masih meringkuk dalam
perutku. Sejak saat itu, hanya surat dan bungkusan uang yang semakin menurun
kuantitasnya saja yang aku terima. Hal itulah yang membedakan suasan pondok dan
suasana rumah tanggaku. Terlintas dalam benakku untuk menyusul suamiku ke
Jakarta. Namun, niatan itu selalu digagalkan oleh suamiku sendiri. “Jangan
dulu, Mas sebentar lagi pulang.” Jawaban itulah yang terulang-ulang dalam
surat-surtanya. Surat terkhir yang aku terima dari suamiku, enam bulan lalu.
Satu semester. Semenjak kelahiran Aby, suamiku intensitas korespondensi kami
menurun. Biasanya mas Rahmat mengirim dua pucuk surat dalam sebulan. Namun
tidak akhir-akhir ini. Hanya dua dari sepuluh suratku yang dibalasnya. Isi
suratnyanya sudah mulai aneh. Wanita memang selalu unggul dalam hal perasaan
bukan? Tidak terkecuali aku. Wanita yang besar dilingkungan pesantren.
“Mi, Aby mau minum.”
Ujar malaikat kecilku. Gelas kesayangannya aku berikan kepadanya. Ia dengan
cepat meneguk air dalam gelas itu. “Lagi, mi.” Pintanya lagi. Nafasnya
berkejaran. Seperti atlet lari 100 meter setelah menembus pita. Aku ambilkan
lagi air dari kendi hitam. Kuserahkan lagi pada Aby. Gelas kedua kali ini,
tidak dihabiskan Aby. Mungkin sudah kelempoken.
Ia menyndar di kakiku. “Pangku mi. Aby mau dipangku.” Nada centilnya memanja.
Mobil-mobilan kelapa ia geletakkan saja di pinggir halaman pondok. Dekat pohon
mangga. Katanya, itu adalah tempat parkir mobilnya dan mobil ayahnya. Matanya
mengamati mobil-mobilan tadi.
“Umi, Ayah kapan
datang? Kata umi kan pas Idul Fitri.
Aby sudah kangen lho mi.” Kata Aby. Aku
memainkan jarinya. Memegangi tangannya seraya sesekali menciumi pipi tembemnya.
Kupeluk dia dengan manja. Kubisikkan kata hatiku, “Aby harus sabar. Ayah pasti
pulang secepatnya. Umi juga sudah kangen sama Ayah.”
“Aby kalau sudah
gede, Aby mau sekolah di Jakarta. Boleh kan
mi?” Tanya Aby. Aku mengangguk. Melempar senyum. Ia terlihat senang. “Nanti
Aby juga pengen tinggal sama Ayah.” Tambahnya sambari memainkan kerudung
merahku.
“Ais, ada tamu,
katanya utusan suamimu, Rahmat.” Ibuku memanggil. Ia berjalan kearahku. “Aby,
sini.. ikut nenek bikin minum, nanti, Aby yang aduk-aduk ya..!” Ibu merayu Aby.
Ia memang tidak mengelak jika dirayu sang nenek. Ia melompat dari pangkuanku.
Melesat menggandeng neneknya. “Ayo nek, Aby Aduk-aduk.” Ccelotehnya gemas.
Mereka berdua menuju dapur, dan aku menemui tamu utusan suamiku.
Kali ini firasatku
mulai tidak menentu. Sejak surat terakhir mas Rahmat aku terima, aku sudah
mulai gusar. Kegusaranku kali ini meninggi. Benar-benar gundah dan was-was. Jangan-jangan
terjadi sesuatu dengan suamiku?
Aku mengetuk pintu dalem. Abah dan dua orang pria berpakain
rapi duduk disebelahnya. Toples berisi jajanan sudah terbuka. Rokok dan asbak
sudah disilahkan oleh Abah. Tinggal suguhan minuman yang belum tersedia. Aku
duduk di sampinga Abah. “Ais, ini bapak Waluyo dan bapak Kahar. Mereka utusan
suamimu, Rahmat. katanya ada pesan penting untuk kamu.” Abah memulai
pembicaraan.
“Assalamu’alaikum bu
Ais, maaf, bu Aisyah. Kami berdua ingin menyampaikan ini.” Ujar pak Waluyo
sambil menyodorkan map kuning tua kepadaku. “Silahkan bu Aisyah baca dulu.”
Tambah pak Kahar. Aku penasaran. Degub jantungku tidak karuan berdetak. Suasana
hening. Aku membuka dan mengluarkan lembaran kertas dari map itu. Abah terlihat
kaku. Kami berpandangan sesekali. Mulai aku baca halaman pertama hingga halaman
terakhir. Jiwaku bergetar. Keringat mulai bercucuran dari kening hingga
ketiakku. Tremor seluruh tangan dan kakiku. Aku melihat sekeliling mulai bias.
Berrgelayutan pandanganku. Wajah Abahku tidak lagi jelas. Kata-kata yang
terungkap dari mulutnya sudah tidak dapat aku cerna lagi. Dan, gelap.
*
Aku merasakan bagian
tubuhku tertarik-tarik. Terutama bagian kaki dan telingaku. Mulai bisa aku
mendengar celotehan perempuan di sebelahku. “Ais, Aisyah.. Bangun.. Bangun..!”
Nadanya cukup kasar. Sepertinya aku akrab dengan suara itu.Akui mulai bisa
menggerakkan bola mata. Namun sulit sekali membukanya. “Aisyah, jadilah
pendamping suamimu seperti dalam mimpimu. Turuti kemauan suamimu, kecuali jika
ia menarikmu kedalam lingkaran syaitan. Bukalah hatimu dan nikmati keindahan
pengabdian kepada suamimu. Disanalah surgamu. Isteriku.” Suara itu begitu
melekat dalam sanubariku. Itu suara mas Rahmat. Aku yakin itu mas Rahmat. “Aisyaaaahhhh…!”
Byuuuurrrrrr….!!!!
Sekujur kepalaku basah. Mataku tertati-tati terbuka. Kulihat perempuan memakai
daster kumal berdiri disamping kamar tidurku. Ia ibuku. “Baguuunnn.. Perawan
kok molor saja kerjaannya. Sana sekolah! Udah jam 8 masih merem!! Mau jadi apa
kamu?” Omelan dan guyuran air seember
itu membuyarkan mimpiku. Semua itu hanya bunga tidurku, Aisyatul Wahidah.
1 comment:
keren jang,, aku izin ngambil sedikit kata-katanya ya buat tugas
Post a Comment