Tuesday, May 3, 2011

Aisyah Namaku

-->
oleh Mang Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com
 
Namaku Aisyah, masih gadis atau perawan. Usiaku sekarang 18 tahun. Bapakku seorang Kiyai, pemangku pondok pesantren Al-Harun. Menulis sudah menjadi kegemaranku. Membaca apalagi. Setiap keluar rumah aku mengenakan jilbab. Tidak lebar, tidak memakai kaus kaki juga. Bajuku tidak terlalu ketat, tidak pula ngelombyor. Mengenakan celana pun tidak riskan. Kegemaranku berkelahi. Karate olah raga favoritku. Tak peduli aku anak pemuka agama atau bukan. Bapak dan Ibuku tidak melarang. Mereka memberi kebebasan kepadaku untuk menjadi diriku. “Tuhan tidak pernah melarang manusia masuk neraka.” Itulah kalimat yang sering aku lontarkan kepada orang-orang yang sempit pikiran dan hatinya. Tapi aku bukan manusia penggila surga, meskipun aku selalu merindukan tempat itu.
Disekolah, aku selalu dimudahkan oleh pengajar, guru-guruku. Mungkin aku anak seorang ulama’. Ah, tetap saja aku tidak suka diistimewakan. Anak kiyai juga banyak yang berandal dan bajingan. Mungkin aku termasuk golongan bajingan itu suatu hari nanti. Aku tidak sangsi dengan kitab kuning, Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, Akidah al-Awam, sitiran karya Imam Syafi’i, Yusuf Qardhawi yang diusianya ke-10 sudah hafal Al-Qur’an, sampai karya Emile Dermenghem, juga pemikiran Guibert de Nogent dan Comte Boulainvilliers. Urusan selera musik, aku juga tidak risih menikmati Ode to Joy karya Ludwig van Beethoven, La Mer ciptaan Claude Achile Debussy, hingga The Magic Flute karya Wolfgang Amadeus Mozart. Bagiku semuanya adalah kuasa Allah SWT. Toh, mereka yang muslim maupun non-muslim tetap dirahmati Allah.
Malam ini, aku melamun. Pikiranku melayang. Membayangkan pengajian ba’da sholat isya’. Tafsir al Jalalain, bukan karya Ibnu Katsir. Pengjian itu di-ngaji-kan langsung oleh Kiyai Soleh, bapakku sendiri. Diluar kamar, masih banyak santri yang berdiskusi. Cukup sengit. Aku hanya memandangi langit-langit kamar. Merenung dalam. Al-inqiyad. Dan terlelap. Mulailah narasi mimpiku aku rangkai.
*
Rahmat sedang asik dengan pijitanku. Ia mendesah keenakan. Tubuhnya tengkurap. Aku menyandingnya. Badanku sedikit menempel, merebah lebih tepatnya. Rahmat adalah suamiku. Usianya 5 tahun lebih tua. Ia fasih mengaji. Hafalannya pun kuat. Dua tahun lalu ia menamatkan  studinya di Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah, di daerah Ciputat, Tanggerang. Bulan Februari yang lalu kami menikah. Belum punya momongan. Masih dalam proses produksi. “Dik, yang sebelah bawah.” Pintanya. Segera aku arahkan tanganku ke daerah tubuh yang dipintanya. “Kebawah lagi.” Imbuhnya. Aku sudah faham kemauan dia. Sekali lagi aku arahkan remasan tanganku ke daerah tubuh yang dipintanya. “Nah, pas. Agak lembut dikit ya Dik.” Rayunya dengan nada manja. Aku turuti saja pintanya. Jika tidak, ia akan mengeluarkan dalil-dalil yang sudah pasti aku lebih tahu dan faham penafsirannya. Tapi Nabiku menginstruksikan untuk patuh terhadap suami. Jika surga anak berada di telapak kaki ibu, maka surga isteri berda di telapak kaki suami. Adagium seperti itulah yang turun temurun menjadi nasihat keluargaku. “Emmm..Mas lagi pengen Dik.” Ucap Rahmat pelan. Tangannya mulai liar. Senyumku terlempar. Saat ini aku juga sedang on fire. Buat apa aku menolak. Ini juga ibadah kan?
Sudah dua jam kami bergumul menikmati anugerah Allah, sex. “Dik, terimakasih. Mas sudah dilayani. Dik Ais seneng juga kan?” tukas Rahmat. Hanya selimut yang menutupi aurat kami. Ia mengelus-elus keningku. Menciumnya beberapa kali. “Mandi yuk. Terus kita sholat!” Ajaknya. Kepalaku mengangguk. Malam itu aku juga merasa terbang. Memang bukan malam pertama. Tapi inilah yang pertama sejak aku keluar dari rahim ibuku. Dalam hati aku bergumam, “Andai desahanku terdengar. Suamiku akan lebih bisa menikmatinya.”
“Ais, Sarung..!” Pekik suamiku dari balik pintu kamar mandi. Jemariku mengetuk pintu kamarmandi. Sarung putih berpola kotak-kotak aku sodorkan. “Terimakasih Cinta.” Ujar Rahmat mesra. Hatiku sungguh berbunga. Setelah selesai dengan urusan mandi besar dan berwudlu. Kami sholat, qiyamu al lailii. Dilanjutkan dengan berdzikir. Malam Jum’at adalah malam yang selalu ditunggu-tunggu oleh banyak ulama dan santri. Mereka menghabiskan banyak waktunya dengan duduk bersila, melafalkan pujian dan bacaan dzikir. Sedari tengah malam sampai subuh. Aku dan suamiku pun begitu. Kami pun larut dalam buaian dzikir dan do’a. Bersama malaikat-malaikat-Nya.
*
“Nduk, ikan mujair, kangkung, bawang merah, bawang putih, dan penyedap. Ini uangnya. Nanti bilang sama Cak Mat, berasnya diambil sama santri nanti siang.” Ibuku menyilahkanku untuk berbelanja. Seperti biasa, sepeda pancal hijau muda dengan keranjang di depan aku kendarai. Aku tidak bisa berkendara dengan sepeda bermotor. “Andaikan bapak tidak bersikap seperti Badui.” Gumamku dalam hati. Tapi ya sudahlah. Toh, aku tidak pernah pergi jauh sendirian. Paling jauh ke balai desa. Soalnya, balai desa kami terletak di sudut penjuru desa. Bersebelahan dengan pemakaman. Kalaupun pergi jauh, ada Pak Bogel yang siap mengantarku, juga menjagaku.
Aku menyodorkan kertas kecil ke Cak Mat, pemilik warung Harapan Baru. Nama lengkapnya Ahmad Wiwongso. Tapi orang desa akrab dengan panggilan Cak Mat. “Ini Ais, nanti sore berasnya diambil sama santri-santri kan?” Kata Cak Mat. Tanganku segera melipat, seperti orang bertapa. Melempar senyum dan menganggukkan kepala. Bungkusan belanjaan aku jatuhkan di keranjang sepeda. Dan, melesat kembali ke rumah. “Ais, darimana?” Sapa Suminah, sahabatku. Rem sepeda segera aku tarik. Kuat. Aku berhenti tepat di samping Inah, panggilan Suminah. “Wah, sekarang tambah gemuk ya.., gimana kabar suamimu? Udah belah duren?” Tanya Inah seraya melempar tawa. Aku hanya tersipu malu. Member isyarat. Suminah pun mengerti. Kami berdua berjalan beriringan. Melintasi jalan setapak. Menembus musamus yang bertebaran di pinggir jalan. Inah akan mengikuti pengajian di rumahku, pondok Al-Harun. Kali ini suamiku sendiri yang akan memberikan pengajian. Temanya tentang tasawuf. Aku tahu Inah banyak mencurahkan perhatian pada ilmu ini. Apalagi jika dihubungkan dengan Salafiyah dan Fiqh Siyasah. Pasti ia tidak berkedip meskipun Justin Beber lewat didepannya.
“Ais, Inah, barengan, tungguin aku.” Pekik seorang wanita dari belakang. Ia adalah Rasmi. Ia juga sahabatku. Ah, lengkap sudah. Rasmi berlari kecil. Jilbab nya pontang-panting. Badannya yang bahenol seperti meloncat-loncat. Mengumbar syahwat pria yang melihatnya. “Fiuh, habis belanja Ais?” Tanya Rasmi sambil terengah-engah. Aisah mengangguk. “Huum, emang matamu nggak lihat Itu bungkusan belanjaan?” Cetus Inah.
“Aku Tanya Ais, bukan kamu, Sum-sum?” Sanggah Rasmi sambari merapikan jilbabnya. Inah melotot. Pandangannya dingin. “Inah, gimana si Yayak? Udah jadian belom?”
“Halah, aku masih pengen kuliah.” Jawab Inah.
“Apa? Kuliah? Ha ha ha ha..”
“Eeeee.. ngeledek ya?”
“Lho?”
“Iya, kamu kayaknya nggak percaya kalau aku bisa kuliah.”
“Bukan begitu Inah, katanya kamu mau nikah dulu, terus kuliah?”
“Yaa.. itu kan kemauan bapak dan ibukku.”
“Emang yakin bisa diterima? Ha ha ha.” Rasmi menertawakan Inah.
“Nilaiku kan lebih bagus dari kamu. “ Jawab Inah. “Lagian, aku juga dapat rekomendasi beasiswa. Aku mau kuliah di UI. weeeekk..!”
“Hemmm..!”
“Kok Hemmm?”
“Ya nggak apa-apa, sebagai seorang sahabat. Aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu. Tapi jangan lupa. Kalau uda d UI, kenalin sama cowok-cowoknya ya? Hiks hiks hiks.” Ujar Rasmi. Lantas mereka berdua tertawa. Aku menggelengkan kepala. Eh, malah diketawain. “Tenang Ais, kamu kan sudah punya dan sudah sah. Jadi, …” Kata Inah. “Jadi kita bisa Tanya soal gitu-gituan sama kamu.! Ha ha ha.” Sahut Rasmi. Aku tidak kuat menahan gemasnya. Cubitan persahabatan segera aku daratkan di bahu mereka dan sesekali menggelitiki. Kami bertiga segera larut dalam canda dan gurauan khas remaja. Meskipun statusku ibu rumah tangga.
Tak lama berselang, kami melewati pendopo. Itu tandanya kami sudah memasuki wilayah rumahku, pesantren Al-Harun. Inah dan Risma segera melangkah menuju mesjid. Sedangkan aku kembali ke dapur pesantren. Setelah memarkir sepeda, bungkusan belanjaan aku serahkan pada ibu. Di dapur sudah banyak orang. Bi Siti, Mbak Wulan, dan Pak Bogel juga ada disitu. Aku mengambil cobek, cabai, garam, dan penyedap rasa. Tomat yang sudah digoreng aku tumpahkan ke dalam cobek. Sedikit aku bubuhi dengan garam. Dan diulek. Bagianku membuat  sambal tomat. Seperti sambal lalapan ayam atau bebek. Bi Siti mengaduk-aduk gulai di wadah yang besar. Aku sendiri tidak sanggup melakukannya. Sedangkan mbak Wulan asik mengupas dan mengiris bawang. Pak Bogel sibuk keluar masuk dapur. Keluar dengan tangan hampa, kemudian masuk dengan bungkusan berupa karung. Isinya adalah kelapa. Ibuku berada di dekat pintu dapur, dibagian belakang. Ia sibuk mancakki kelapa. Mengulitinya dan memarutnya. Nanti malam akan ada Manqib-an di mesjid. Jadi semuanya serba sibuk. Beberapa santri bertugas membersihkan halaman mesjid dan merapikan rumput liar di samping asrama santriwati – sebutan untuk santri perempuan. “Nduk, nanti selesai bikin sambal, kamu bantuin ibu ya!” Pinta ibu. Kepalaku mengangguk.
Inah dan Rasmi mengagetkanku. Diam-diam mereka berdua mendekap dari belakang. Membungkam mataku. “Duarrr..!” Untung saja aku bukan pengidap penyakit jantungan. “Wah, makan besar nih!” Celoteh Rasmi. Ia segera mengambil jatah pekerjaannya. Seperti biasa, melipat kardus makanan. Sedangkan Inah membantu mbk Wulan kupas-kupas bawang. “Inah, kamu jadi ke Jakarta?” Tanya Bi Siti. “Katanya mau nikah dulu Bi, ha ha ha!” Sambar Rismah.
“Eh, eh.. kamu itu ikut aja.” Sahut Inah cepat.
“Oalah, nikah?” Kata Bi Siti.
Ora, kuliah dulu Bi, emang Risma mulutnya nyonyor. Tidak usah di dengar Bi!”
“Ha ha ha” Risma tertawa. Ibu dan aku memandangi mereka berdua. Seperti orang sedang menonton pertandingan bulu tangkis. Mata kami bergser ke kanan dan ke kiri.
“Ais, sudah ada niat punya momongan belum? Ibumu kayaknya sudah nggak sabar pengen punya cucu.” Bi Siti mengalihkan pembahasan.
“Iya Ais, aku sama Inah juga pengen dipanggil tante.” Sahut Risma lantas tertawa.
“Husss..” mbak Wulan menghardik genit.
“Biar saja, mereka kan Cuma bercanda.” Ibuku berusaha menyegarkan suasana. Aku pun tersenyum. Berusaha menutupi rasa malu. Wajahku saat itu memerah. Memang benar-benar malu. Ruangan dapur semakin penuh dengan asap. Sebagian besar hidangan untuk acara manaqib sudah siap santap. Risma dan Inah bersiap pulang. Bau badannya sudah seperti kebuli gosong. “Ais, kita pulang dulu. Nanti habis magrib kita kesini lagi.” Ujar Inah. Berpaamitan sederhana. Aku melambaikan tangan. Sedikit melempar senyum. Mereka perlahan menjauh. Hilang.
Sinar sang surya perlahan menipis. Kegelapan mulai merasuk disela-sela bangunan pondok. Mas Rahmat masih asik bercengkeramah bersama beberapa santri di mesjid. Handuk dan sarung sudah aku siapkan, sambari berjalan melewati lorong asrama putri, aku menunggu suamiku memperhatikanku. Ketika suamiku menoleh kepadaku, handuk dan sarung ku angkat ringan. Senyumku mengisyaratkan perintah untuk segera mandi. Suamiku segera menghampiriku. Kami berjalan berdua ke bale, sebuah ruangan mirip gazebo besar yang dipakai untuk acara pengajian dan lain-lain. Dibalik bale itulah aku dan suamiku berumah tangga. Rumah yang tidak mewah. Dindingnya dibangun dari kayu jati dengan ornamen dari kayu akasia. Tamannya juga tak luas. Namun, di belakang rumah terdapat kolam ikan lele dumbo, beberapa pohon pisang raja, dua pohon mangga, dan sepetak tanaman ubi. Hidupku cukup bahagia. “Dik, ada yang perlu Mas omongin sama kamu.” Ujar Mas Rahmat. Kepalaku mendongak. Tangannya memegang kedua pundakku. Menyandarkan tubuhku di kursi, di pojok bale. “Emmm…!” Gumam Mas Rahmat. Tanganku mendarat mesra di tangannya. Kami saling bertatapan. Ada yang aneh, firasatku juga tidak enak. “Akan terjadi hal yang menyedihkan.” Batinku.
“Mas harus ke Jakarta. Mas dapat tawaran menjadi dosen disana. Di UIN Syarif Hidayatullah. Mas ndak bisa nolak, karena bapak rektor yang memintanya.” Tutur Mas Rahmat pelan. Awalnya aku sangat bahagia. Bukan karena suamiku akan menjadi dosen, bukan pula akan menjadi kaya dan terpandang. Tapi karena aku setidaknya bisa “bebas” dalam jangka waktu tertentu. “Bagaimana Dik?” Sambung Mas Rahmat. tegurannya membuyarkan lamunanku akan “kebebasan” tadi. Senyuman pasrah aku lontarkan. Kepalaku tersandar di pundaknya. Ia dengan lembut melepaskan belaiannya. “Mas akan rajin kirim surat. Mungkin tidak setiap tahun Mas pulang, tapi Mas pasti pulang.” Aku menganggukkan kepala. Menaruh percaya yang dalam pada suamiku. Tidak ingin lama-lama terbuai dalam pelukannya. Aku mencubit perutnya. Menggelitikinya. “Dik,,Dik,, apa-apaan sih, geli Dik, geli..” Suamiku mulai membalas. Aku segera berlari menjauh. Ia mengejar. Dengan wajah lucunya, ia terus mengejar. Menyergapku dari belakang. Aku tak kuasa. Mati kutu. Dekapannya begitu nikmat. “Dik, Mas tidak pernah belajar tentang cinta. Tapi Mas ingin mencintai. Ajari Mas ya! Karena Mas percaya Dik Ais sudah mencintai Mas.” Bisik Mas Rahmat. Aku mengangguk. Membalikkan badan. Senyum manjaku membuatnya tidak tahan untuk mencium keningku. “Tetap jadi suamiku ya Mas.” Kataku dalam hati. Handuk dan sarung aku sodorkan ke mukanya. Mas Rahmat segera mengerti maksudku. Senyum sinisku memaksanya melepaskan pelukannya. Dan ia segera masuk ke kamar mandi.

*
Semalam suasana tidak begitu ramai. Diranjang, suamiku tidak berkutik. Hanya mendengkur seperti biasa. Mungkin terlalu capek.  Acara manaqib juga biasa-biasa saja. Sangat berbeda ketika aku balita. Jama’ahnya didominasi kaum lanjut usia. Semenjak banyak pabrik di pinggiran kota, pemuda dan pemudi kampungku hidup layaknya mesin. Menurutku mereka hanya korban dari kapitalisme new edition. Diperbudak. Ya.. benar-benar menjadi budak industri. Urusan mengaji dan jama’ah di mesjid-mesjid dinomor duakan. Shaf jama’ah sholat lima waktu mengalami kemajuan cukup signifikan. Artinya, semakin maju shaf ke barisan depan. Ruangan belakang mesjid dan surau kosong. Apalagi ketika kumandang iqomah subuh, hanya segelintir manusia yang beranjak ke tempat ibadah. Masih orang-orang yang bau tanah juga yang jumlahnya paling banyak. Kiamat memang sudah sangat dekat.
Pagi ini suamiku, Rahmat, harus pergi ke Jakarta. Terlalu cepat. Tapi tidak bisa diperlambat. Ransel hitam cukup besar sudah terisi penuh perbekalan; baju, celana, jaket, dan kopyah tertata rapi didalamnya. Tak lupa beberapa buku, juga Al-Qur’an kecil kesayangan suamiku. “Ais, Ais.. sepatu Mas sudah kamu semir?” Ujar suamiku. Ia menyeliap dari balik tirai yang memisahkan ruang tengah dan bale. Aku segera membalikkan badan. Terperanjat. Mengangguk. Ia menghampiriku. “Sudah?” Tambahnya sambil merapikan kemeja berbatik, lengan panjang. Penampilan suamiku sangat rapi. Celana yang dikenakannya bergaya Elvis Prisley, penyanyi ROCK n ROLL itu. Rambutnya pun tersisir rapi. Aku mengambilkan jaket hitamnya, bukan jaket kulit, dan tak lupa peci hitam. Penampilannya benar-benar dandy.
“Mat, Rahmat..! Kamu sudah siap?” Sapa Abah dari balik pintu rumah kami.
“Sebentar Bah.” Sahut suamiku. “Dik, bukain pintu gih!” Bisiknya. Aku segera menuruti kemauan suamiku. “Wah wah.. Menantuku benar-benar gagah.” Kata Abah. Mas Rahmat hanya tersipu.
“Mat, kamu yakin bisa jaga isterimu, Aisyah, dari Jakarta?” Tanya Abah.
“Insyaallah Bah, saya akan rajin kirim surat buat Dik Ais.” Jawab Mas Rahmat.
“Apa hanya dengan surat?”
“Yo mboten Bah, saya juga kirim nafkah lahir.”
“Cuma itu?” Tanya Abah lagi. Nada suaranya agak menggurui. Mas Rahmat melihat ke arahku. Begitu juga aku. Kami Berpandangan sejenak. Hening. Suamiku seperti orang bodoh. Raut mukanya rancu.
“Nduk, kamu panggil ibumu, temenin ibu bawa pesenan Abah sekalian. Ya..!” Perintah Abah. Kakiku segera melangkah menuju dalem, sebutan untuk rumah kiyai dan keluarganya. Abah dan Mas Rahmat terus berbincang-bincang. Aku sadar, meraka berdua pasti membahas tentang aku. Sudahlah. Laki-laki kadang-kadang penuh misteri dan teka-teki.
Pak Bogel sedang menikmati kopi di teras depan dalem. Kepulan asap rokok meninggi dari mulutnya. Ia segera menyadari kedatanganku. “Eh, neng Ais. Ngopi neng. He he he.” Celotehnya. Tangan kananku sengaja aku silangkan di dada, dan tangan kiriku memegangi hidung. Tapi aku tersenyum. “Hemmm.. ngeyek, ngeledek.. mentang-mentang saya ngerokok.” Ujar Pak Bogel sinis. Aku tepat melintas di depannya. Tangannya tak tahan untuk mencolekku. Aku tahu Pak Bogel tidak akan berani mencolekku. Jadi, aku julurkan lidaku. Kedua tanganku melebar di telinga kanan dan kiriku. Meledek, maksudku menggoda sebenarnya. Aku berlari kecil menuju dalem. “Apa to nduk?” Kata Ibu. Ia sepertinya tahu kalau aku baru ngeledek Pak Bogel.
Isyaratku menyilahkan Ibu segera bertolak menyusul Abah dan Mas Rahmat di bale. Ibu mnyerahkan bungkusan. Bentukknya persegi panjang, agak lonjong. “Ini apaan ya?” Gumamku dalam hati. “Ayuk nduk..!” Ajak Ibu. Kami segera meluncur ke bale.
“Nah, ini nak Rahmat. Abah sama Ibu cuma bisa kasih ini. Semoga berguna.” Kata Ibu sambari menyerahkan bungkusan. “Ini satu lagi. Mana Ais?” Ibu merogoh bungkusan lonjong tadi dari genggamanku. Aku hanya menikmati keresahan yang mulai menjalar dalam benakku.
Suamiku begitu menikmati suasana pagi itu. Aku dapat melihatnya dengan jelas melalui matanya. Mungkin ia akan kerasan d Jakarta. Kadang-kadang pembicaraan kami diatas ranjang pun diselingi keinginan besar dan ambisinya menjadi seorang inelektual muda islam. Inginnya seperti Nur Cholis Majid, Idham Chalid, atau Wachid Hasyim. Entahlah. Siapapun yang menjadi rujukan pemikirannya, aku juga tidak peduli. Selama ia mampu menjadi imam keluarga.

*

Pak Bogel bersiap dengan mobil Toyota kuno, inventaris pondok. Bentuknya agak persegi. Tidak begitu menarik dipandang. Belum lagi asap yang mengepul dari buntut. “Ayuk Mas. Saya sudah ready!” Ujar Pak Bogel dari balik kemudi mobil. Ia keluar. Mengambil barang-barang Mas Rahmat yang tercecer didekat Abah dan Ibu. Menaruhnya di bagasi belakang. Bukan bagasi tepatnya, tapi tempat duduk belakang yang dialihfungsikan menjadi bagasi. Semangat sekali. Pecinya yang agak kumal tergantung tidak rapi. Rambutnya yang putih bersayup-sayup tertiup anngin pagi. Meskipun sudah mandi, Pak Bogel masih saja kucel. Memang itulah ia. Aku tertawa-tawa sendiri. Suamiku terlihat kaku. Perasaanku yakin, obrolan Mas Rahmat dan Abah tadi cukup serius. Mungkin kesedihan akan segera menderaku. Hanya perasaan. Harapku tidak menjadi kenyataan.
“Dik, Mas berangkat. Jaga diri baik-baik.” Ujar suamiku. Dengan lembut ia membelai pipiku. Mencium keningku. Tangannya aku cium. Beberapa kali. Senyum sedih aku buang perlahan. Mataku tak sengaja berair. Tidak deras. “Berat Mas, tapi aku harus nurut sama Mas.” Hanya itu gumamku dalam hati. Mobil pun melaju perlahan. Melintasi jalanan berbatu menuju stasiun. Biasanya orang daerahku yang akan ke Jakarta, mereka memilih kereta api. Perjalanan ke stasiun ditempuh dalam waktu dua jam. Dan butuh semalam untuk sampai ke Jakarta.
*
--Tiga tahun kemudian—
*
Aby bersemangat sekali bermain di halaman pondok. Mobil-mobilan yang terbuat dari sisa kelapa ditariknya sambil berlarian kesana-kemari. Suasana pondok sedang lengang. Beberapa tamu yang berpakaian rapi juga sudah jarang terlihat keluar masuk dalem. Santri-santri juga masih belum terlihat kembali dari libur panjangnya. Hari tanggal 8 Syawal tahun 1420 Hijriah, seminggu setelah hari raya Idul Fitri. Suasana pondok tidak jauh berbeda. Bebebeda dengan suasana rumah tanggaku. Sangat berbeda. Dua tahun terakhir ini aku tidak ditiduri suamiku, Rahmat. Lembaran surat darinya yang membuatku terlelap. Dua tahun terakhir ini juga aku dihadiahi Allah seorang putra mungil, sengaja aku beri nama Aby Suseno. Nama itu sudah disetujui oleh suamiku, abah dan ibuku. Ia sudah beranjak balita. Sudah dua tahun dua bulan usianya. Tapi, belum pernah melihat wajah ayah kandungnya. Terakhir Mas Rahmat pulang saat Idul Fitri dua tahun yang lalu. Saat itu, Aby masih meringkuk dalam perutku. Sejak saat itu, hanya surat dan bungkusan uang yang semakin menurun kuantitasnya saja yang aku terima. Hal itulah yang membedakan suasan pondok dan suasana rumah tanggaku. Terlintas dalam benakku untuk menyusul suamiku ke Jakarta. Namun, niatan itu selalu digagalkan oleh suamiku sendiri. “Jangan dulu, Mas sebentar lagi pulang.” Jawaban itulah yang terulang-ulang dalam surat-surtanya. Surat terkhir yang aku terima dari suamiku, enam bulan lalu. Satu semester. Semenjak kelahiran Aby, suamiku intensitas korespondensi kami menurun. Biasanya mas Rahmat mengirim dua pucuk surat dalam sebulan. Namun tidak akhir-akhir ini. Hanya dua dari sepuluh suratku yang dibalasnya. Isi suratnyanya sudah mulai aneh. Wanita memang selalu unggul dalam hal perasaan bukan? Tidak terkecuali aku. Wanita yang besar dilingkungan pesantren.
“Mi, Aby mau minum.” Ujar malaikat kecilku. Gelas kesayangannya aku berikan kepadanya. Ia dengan cepat meneguk air dalam gelas itu. “Lagi, mi.” Pintanya lagi. Nafasnya berkejaran. Seperti atlet lari 100 meter setelah menembus pita. Aku ambilkan lagi air dari kendi hitam. Kuserahkan lagi pada Aby. Gelas kedua kali ini, tidak dihabiskan Aby. Mungkin sudah kelempoken. Ia menyndar di kakiku. “Pangku mi. Aby mau dipangku.” Nada centilnya memanja. Mobil-mobilan kelapa ia geletakkan saja di pinggir halaman pondok. Dekat pohon mangga. Katanya, itu adalah tempat parkir mobilnya dan mobil ayahnya. Matanya mengamati mobil-mobilan tadi.
“Umi, Ayah kapan datang? Kata umi kan pas Idul Fitri. Aby sudah kangen lho mi.” Kata Aby. Aku memainkan jarinya. Memegangi tangannya seraya sesekali menciumi pipi tembemnya. Kupeluk dia dengan manja. Kubisikkan kata hatiku, “Aby harus sabar. Ayah pasti pulang secepatnya. Umi juga sudah kangen sama Ayah.”
“Aby kalau sudah gede, Aby mau sekolah di Jakarta. Boleh kan mi?” Tanya Aby. Aku mengangguk. Melempar senyum. Ia terlihat senang. “Nanti Aby juga pengen tinggal sama Ayah.” Tambahnya sambari memainkan kerudung merahku.
“Ais, ada tamu, katanya utusan suamimu, Rahmat.” Ibuku memanggil. Ia berjalan kearahku. “Aby, sini.. ikut nenek bikin minum, nanti, Aby yang aduk-aduk ya..!” Ibu merayu Aby. Ia memang tidak mengelak jika dirayu sang nenek. Ia melompat dari pangkuanku. Melesat menggandeng neneknya. “Ayo nek, Aby Aduk-aduk.” Ccelotehnya gemas. Mereka berdua menuju dapur, dan aku menemui tamu utusan suamiku.
Kali ini firasatku mulai tidak menentu. Sejak surat terakhir mas Rahmat aku terima, aku sudah mulai gusar. Kegusaranku kali ini meninggi. Benar-benar gundah dan was-was. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan suamiku?
Aku mengetuk pintu dalem. Abah dan dua orang pria berpakain rapi duduk disebelahnya. Toples berisi jajanan sudah terbuka. Rokok dan asbak sudah disilahkan oleh Abah. Tinggal suguhan minuman yang belum tersedia. Aku duduk di sampinga Abah. “Ais, ini bapak Waluyo dan bapak Kahar. Mereka utusan suamimu, Rahmat. katanya ada pesan penting untuk kamu.” Abah memulai pembicaraan.
“Assalamu’alaikum bu Ais, maaf, bu Aisyah. Kami berdua ingin menyampaikan ini.” Ujar pak Waluyo sambil menyodorkan map kuning tua kepadaku. “Silahkan bu Aisyah baca dulu.” Tambah pak Kahar. Aku penasaran. Degub jantungku tidak karuan berdetak. Suasana hening. Aku membuka dan mengluarkan lembaran kertas dari map itu. Abah terlihat kaku. Kami berpandangan sesekali. Mulai aku baca halaman pertama hingga halaman terakhir. Jiwaku bergetar. Keringat mulai bercucuran dari kening hingga ketiakku. Tremor seluruh tangan dan kakiku. Aku melihat sekeliling mulai bias. Berrgelayutan pandanganku. Wajah Abahku tidak lagi jelas. Kata-kata yang terungkap dari mulutnya sudah tidak dapat aku cerna lagi. Dan, gelap.
*
Aku merasakan bagian tubuhku tertarik-tarik. Terutama bagian kaki dan telingaku. Mulai bisa aku mendengar celotehan perempuan di sebelahku. “Ais, Aisyah.. Bangun.. Bangun..!” Nadanya cukup kasar. Sepertinya aku akrab dengan suara itu.Akui mulai bisa menggerakkan bola mata. Namun sulit sekali membukanya. “Aisyah, jadilah pendamping suamimu seperti dalam mimpimu. Turuti kemauan suamimu, kecuali jika ia menarikmu kedalam lingkaran syaitan. Bukalah hatimu dan nikmati keindahan pengabdian kepada suamimu. Disanalah surgamu. Isteriku.” Suara itu begitu melekat dalam sanubariku. Itu suara mas Rahmat. Aku yakin itu mas Rahmat. “Aisyaaaahhhh…!”
Byuuuurrrrrr….!!!! Sekujur kepalaku basah. Mataku tertati-tati terbuka. Kulihat perempuan memakai daster kumal berdiri disamping kamar tidurku. Ia ibuku. “Baguuunnn.. Perawan kok molor saja kerjaannya. Sana sekolah! Udah jam 8 masih merem!! Mau jadi apa kamu?” Omelan dan guyuran air  seember itu membuyarkan mimpiku. Semua itu hanya bunga tidurku, Aisyatul Wahidah.

1 comment:

Cak Shofi Fabregas said...

keren jang,, aku izin ngambil sedikit kata-katanya ya buat tugas

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...