Oleh Mang Oejank Indro
Ia memiliki kharisma yang tinggi.
Bukan hanya karena ia anak seorang kiyai, ia juga seorang yang memiliki
intelektualitas yang sangat tinggi. Kemampuannya dalam hal agama tidak
diragukan lagi. Banyak sudah yang berbondong ingin menjadikannya sebagai
menantunya. Tapi banyak juga yang pulang dengan tangan hampa.ia tak tampak
sedikitpun mirip dengan putri raja. Selir kaisar dan apalah namanya. Sangat
sederhana jika aku boleh mengatakannya. Semenjak mengenalnya, aku sadar,
ternyata ia tidak bbegitu cantik, tapi sangat menarik. Sangat susah untuk
menjelaskan runyamnya perasaanku kepadanya. Skalipun aku berkali-kali
memperoleh medali emas di setiap kompetisi menulis puisi, tetap saja sulit
bagiku menuangkan kalimat untuk melukiskan pribadinya. Nah, pribadinya itu lho, itu yang jarang dimiliki orang
lain.
Pertemuanku dengannya berlangsung
sebulan yang lalu. Bulan Sya’ban. Tanggalnya aku sudah lupa. Pokoknya antara
tanggal 6 sampai 9. Saat itu, aku masih remaja. Usiaku belum genap 18 tahun.
Kata psikiater ‘masih puber’. Karena dirumah aku sering berulah, menyusahkan
orang tua, dan kadang manja, aku dikirim ke pondok. Pikirku, daripada bapak dan
ibu terus sakit karena melihat tingkahku, mending aku jauh dari rumah. Nakal
dan berandal diluar lebih aman.
Tidak berat jika harus meniggalkan
rumah. Apalagi untuk belajar. Hemm.. dunia memang sulit dicerna. Sayangnya,
kalau masuk surga, kita harus hidup di dunia, tidak seperti malaikat-malaikat
tak bersyahwat itu.
Beberapa orang sibuk dengan buku kecil
bertuliskan huruf arab gundul. Ada yang berpakain mewah, ada yang memakai baju
takwa, da nada juga yang hanya mengenakan kaos oblong. Untuk bawahannya, mereka
kompak memakai sarung. Tidak ada yang mengenakan celana kain, apalagi jeans.
Aku hanya meamndangi mereka. Berlagak sebagai santri baru yang butuh perhatian
dan pengarahan. Diam saja. Tak lama kemudian, seorang pria agak tua
menghampiriku. Ia duduk disebelahku. “Santri baru ya nak?” Ia bertanya. “Iya,
bapak pengurus pondok sini ya pak?” Aku balik bertanya.
“Semua santri dan keluarga pak kiai
adalah pengurus pondok ini.” Jawabnya. “Asli mana? Tanyanya lagi.
“Saya asli desa Kemangi. Tidak jauh
dari sini kok pak.”
“Ooo, kenapa mau mondok disini?
Bukannya di sebelah lebih enak?” Bapak agak tua itu bertanya lagi. Ia
mengacungkan jarinya kearah timur. Tepat menuju bangunan besar. Bangunan itu
tak lain adalah pondok pesantren besar. Kiainya juga memiliki nama besar dan
ilmu yang tinggi. Tidak heran belliau menjadi rujukan pencari ilmu agama dari
berbagai penjuru daerah. “Emmm.. nggak pak, saya lebih nyaman disini.” Jawabku
singkat.
“Saya Ainun, adik Kiai Ishaq. Yang
didalam itu.” Tuturnya.
Aku hanya menganggukan kepala. “Kamu
nggak ikut ngaji?” Tambahnya.
“Masih belum, besok saja ustadz.”
Jawabku sedikit malu.
“Panggil saja Cak Nun.” Sahutnya. Aku
kembali menyipukan wajahku.
Cak Nun berdiri, matanya mengawasi.
“Nen..!” Teriaknya pelan. Memanggil seseorang. “Ayo, sudah ditunggu ibu.” Aku
melihat kea rah yang berlawanan. Masih malu dengan keadaan. Ini malam pertmaku
di pondok. Bapak dan ibuku tidak sempat mengantar kesini. Hanya sahabatku,
Ketuplak, yang menemani. Tapi ia langsung kuusir pergi setelah nyeruput kopi di warung Cak Lan.
“Namamu siapa? Tanya cak Nun.
“Iswanda Fauzan, cak.”
“Ya udah, saya pergi dulu. Semoga
kerasan disini. Assalamu’alaikum.” Cak Nun melangkah pergi. Seorang perempuan
mengikuti dari belakang. Ia keluar dari pintu samping mushola, dekat tempat
wudhu. Perempuan itu berjalan agak cepat. Kemudian melambat di depanku. Ia
menoleh pelan, “Permisi”. Sambil melempar senyum ia berlalu didepanku. Darahku
naik. Mataku tak kunjung beranjak ke objek lain selain perempuan tadi. Istimewa.
Benar-benar istimewa.
Malam semakin larut. Aku berkenalan
dengan penghuni pondok. Beberapa adalah temanku sekolah. Rata-rata mereka
berasal dari desa Mengare, sebiah desa yang jauh terpelosok di ujung utara
pulau jawa. Perjalanan kesan dapat ditempuh dengan 30 menit bersepeda. Itu jika
musim kemarau, lain cerita jika musim hujan, mungkin butuh satu jam lebih untuk
sampai kesana. Lebih parahnya lagi, jalanan ke desa itu penuh dengan ‘derita’.
Aku yakin masyarakat Mengare jago off
road. Tapi itu dulu, sekarang sudah banyak perbaikan dan pelebaran jalan.
Jadi, tidak terlalu mmenderita jika bersepeda kesana.
Teman baruku tidak banyak di pondok.
Untuk ukuran pondok, sebenarnya tidak seperti pondok pesantren pada umumnya.
Santri disini hanya 15 orang, 16 denganku. Kamar asrama hanya ada satu. Di apit
mushola dan rumah kiai. Sangat kecil dan sederhana. Kamar mandi pondok terpisah
di samping belakang rumah kiai. Berbaur dengan kolam ikan lele dan kandang
ayam. Komplek pemakaman menghampar luas di depan pondok. Jalanan juga tidak
begitu ramai. Diatas jam sembilan malam sudah sangat sepi. Rintihan jangkrik
dan ngengat merupakan penghias malam yang konsisten. Disinilah aku kenal dengan
Cimeng, Manyelo, Conger, Kembung, Kroweng, Suluki, dan banyak lainnya. Meskipun
tidak dari mereka teman baruku, tapi disinilah aku mengakrabkan diri dengan
mereka.
No comments:
Post a Comment