Thursday, May 19, 2011

Putri Kiyai di Bulan Suci

Oleh Mang Oejank Indro

Ia memiliki kharisma yang tinggi. Bukan hanya karena ia anak seorang kiyai, ia juga seorang yang memiliki intelektualitas yang sangat tinggi. Kemampuannya dalam hal agama tidak diragukan lagi. Banyak sudah yang berbondong ingin menjadikannya sebagai menantunya. Tapi banyak juga yang pulang dengan tangan hampa.ia tak tampak sedikitpun mirip dengan putri raja. Selir kaisar dan apalah namanya. Sangat sederhana jika aku boleh mengatakannya. Semenjak mengenalnya, aku sadar, ternyata ia tidak bbegitu cantik, tapi sangat menarik. Sangat susah untuk menjelaskan runyamnya perasaanku kepadanya. Skalipun aku berkali-kali memperoleh medali emas di setiap kompetisi menulis puisi, tetap saja sulit bagiku menuangkan kalimat untuk melukiskan pribadinya. Nah, pribadinya itu lho, itu yang jarang dimiliki orang lain.
Pertemuanku dengannya berlangsung sebulan yang lalu. Bulan Sya’ban. Tanggalnya aku sudah lupa. Pokoknya antara tanggal 6 sampai 9. Saat itu, aku masih remaja. Usiaku belum genap 18 tahun. Kata psikiater ‘masih puber’. Karena dirumah aku sering berulah, menyusahkan orang tua, dan kadang manja, aku dikirim ke pondok. Pikirku, daripada bapak dan ibu terus sakit karena melihat tingkahku, mending aku jauh dari rumah. Nakal dan berandal diluar lebih aman.
Tidak berat jika harus meniggalkan rumah. Apalagi untuk belajar. Hemm.. dunia memang sulit dicerna. Sayangnya, kalau masuk surga, kita harus hidup di dunia, tidak seperti malaikat-malaikat tak bersyahwat itu.
Beberapa orang sibuk dengan buku kecil bertuliskan huruf arab gundul. Ada yang berpakain mewah, ada yang memakai baju takwa, da nada juga yang hanya mengenakan kaos oblong. Untuk bawahannya, mereka kompak memakai sarung. Tidak ada yang mengenakan celana kain, apalagi jeans. Aku hanya meamndangi mereka. Berlagak sebagai santri baru yang butuh perhatian dan pengarahan. Diam saja. Tak lama kemudian, seorang pria agak tua menghampiriku. Ia duduk disebelahku. “Santri baru ya nak?” Ia bertanya. “Iya, bapak pengurus pondok sini ya pak?” Aku balik bertanya.
“Semua santri dan keluarga pak kiai adalah pengurus pondok ini.” Jawabnya. “Asli mana? Tanyanya lagi.

“Saya asli desa Kemangi. Tidak jauh dari sini kok pak.”
“Ooo, kenapa mau mondok disini? Bukannya di sebelah lebih enak?” Bapak agak tua itu bertanya lagi. Ia mengacungkan jarinya kearah timur. Tepat menuju bangunan besar. Bangunan itu tak lain adalah pondok pesantren besar. Kiainya juga memiliki nama besar dan ilmu yang tinggi. Tidak heran belliau menjadi rujukan pencari ilmu agama dari berbagai penjuru daerah. “Emmm.. nggak pak, saya lebih nyaman disini.” Jawabku singkat.
“Saya Ainun, adik Kiai Ishaq. Yang didalam itu.” Tuturnya.
Aku hanya menganggukan kepala. “Kamu nggak ikut ngaji?” Tambahnya.
“Masih belum, besok saja ustadz.” Jawabku sedikit malu.
“Panggil saja Cak Nun.” Sahutnya. Aku kembali menyipukan wajahku.
Cak Nun berdiri, matanya mengawasi. “Nen..!” Teriaknya pelan. Memanggil seseorang. “Ayo, sudah ditunggu ibu.” Aku melihat kea rah yang berlawanan. Masih malu dengan keadaan. Ini malam pertmaku di pondok. Bapak dan ibuku tidak sempat mengantar kesini. Hanya sahabatku, Ketuplak, yang menemani. Tapi ia langsung kuusir pergi setelah nyeruput kopi di warung Cak Lan.
“Namamu siapa? Tanya cak Nun.
“Iswanda Fauzan, cak.”
“Ya udah, saya pergi dulu. Semoga kerasan disini. Assalamu’alaikum.” Cak Nun melangkah pergi. Seorang perempuan mengikuti dari belakang. Ia keluar dari pintu samping mushola, dekat tempat wudhu. Perempuan itu berjalan agak cepat. Kemudian melambat di depanku. Ia menoleh pelan, “Permisi”. Sambil melempar senyum ia berlalu didepanku. Darahku naik. Mataku tak kunjung beranjak ke objek lain selain perempuan tadi. Istimewa. Benar-benar istimewa.
Malam semakin larut. Aku berkenalan dengan penghuni pondok. Beberapa adalah temanku sekolah. Rata-rata mereka berasal dari desa Mengare, sebiah desa yang jauh terpelosok di ujung utara pulau jawa. Perjalanan kesan dapat ditempuh dengan 30 menit bersepeda. Itu jika musim kemarau, lain cerita jika musim hujan, mungkin butuh satu jam lebih untuk sampai kesana. Lebih parahnya lagi, jalanan ke desa itu penuh dengan ‘derita’. Aku yakin masyarakat Mengare jago off road. Tapi itu dulu, sekarang sudah banyak perbaikan dan pelebaran jalan. Jadi, tidak terlalu mmenderita jika bersepeda kesana.
Teman baruku tidak banyak di pondok. Untuk ukuran pondok, sebenarnya tidak seperti pondok pesantren pada umumnya. Santri disini hanya 15 orang, 16 denganku. Kamar asrama hanya ada satu. Di apit mushola dan rumah kiai. Sangat kecil dan sederhana. Kamar mandi pondok terpisah di samping belakang rumah kiai. Berbaur dengan kolam ikan lele dan kandang ayam. Komplek pemakaman menghampar luas di depan pondok. Jalanan juga tidak begitu ramai. Diatas jam sembilan malam sudah sangat sepi. Rintihan jangkrik dan ngengat merupakan penghias malam yang konsisten. Disinilah aku kenal dengan Cimeng, Manyelo, Conger, Kembung, Kroweng, Suluki, dan banyak lainnya. Meskipun tidak dari mereka teman baruku, tapi disinilah aku mengakrabkan diri dengan mereka.



No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...