Wednesday, May 4, 2011

Samidun


Oleh, Mang Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com

Semua dianggapnya sempurna. Meskipun ada yang salah, ia hanya menggeleng-geleng kepala. Lalu menjauhkan rasa dengki. Tanpa ada kata yang terlontar. Membisu saja. Padahal, usianya sudah baligh. Sekarang ia sudah jadi mahasiswa di universitas ternama di Indonesia. Semoga sikap lugu dan neriman tidak sepenuhnya segan ia budayakan. Jika terus-terusan seperti ini, ia akan terbiasa dengan intimidasi dan mudah ditarik oleh lingkungannya. Entah mengapa ia bertingkah seperti keledai dungu. Hanya diam saja. Seperti awal semester ini, disaat sejumlah penerima beasiswa sedang gaduh menuntut pencaiaran dana biaya hidup (living cost), ia hanya mesam-mesem. Apa ia tidak memikirkan nasib ketiga adiknya yang menggantungkan makan dari keringatnya? Apa ia tega melihat ibunya berpanas-panas menikmati sengatan matahari di tengah sawah. Itu jika musim kemarau, kalau musim hujan, ibunya harus menggigil berbalut air hujan. Tidak cukup malukah ia dengan semua ini? Daripada jauh-jauh kuliah dengan menggantungkan beasiswa. Sedangkan keuarga tertati menghidupi diri jauh di pelosok desa.
Samidun nama sahabatku itu. Selama ini, ia menetap satu kamar denganku. Aku yang menanggung biaya kosnya. Termasuk biaya tambahan listrik dan sebagainya. Setahuku, ia hanya membawa dua stel baju tiga kaus dalam, dua celana dalam, dan dua celana. Salah satu celananya pun sudah
bertaburan tambalan. Lebih parah lagi, resleting celana tersebut rusak, dan setiap kali ia mengenakannya, dengkulnya selalu terjuntai murka keluar. Naas dan tragis memang hidupnya.
“Dun, kamu itu lho, hak kamu itu sudah di cederai. Kok malah nyantai, leha-leha, koyok wong sugih aja.” Malam ini aku menegurnya. Sengaja aku memecah konsentrasi belajarnya. Kadang-kadang aku getir sendiri. membayangkan ia dengan tenang menjalani hidup, meskipun tidak tahu besok mau hidup dengan apa.
“Wo, hidup itu sudah ada yang ngatur. Nyantai aja. Hidup kok dibikin susah.” Jawabnya. Ia segera menutup buku kalkulus 1 yang tebal itu.
“Lho, bukan gitu Dun..”
“Terus..?” Aku memotong.
“Kamu percaya tidak kalau Tuhan itu maha adil?”
“Yo mesti percaya…”
“Nah, itu, itu jawabnnya. Buktinya, aku masih bisa hidup meskipun sekamar sama kamu.”
“Maksutmu opo cok? Ndak suka sekamar sama aku?”
“Ha ha ha. Yo nggak apa-apa. Terimakasih.” Ia mletakkan buku kalkulusnya di meja kecil. Antara kursiku dan kursinya. “Dun, adikmu, Sumi, sudah lunas biaya ujiannya?” Tanyaku. Samidun mengangkat kakinya. Posisinya seperti orang di warung kopi. Pandangannya memusat ke langit. “Woi, ngalamun. Aku tanya cok!” Sengaja kubuyarkan lamunan Samidun. “Belum Wo, masih tunggu beasiswa cair.” Jawabnya melas. Guratan dahinya mengkerut-kerut. “Hemmm, memang Tuhan maha adil.” Gumamku. “Raimu, asu.” Aku hanya tertawa liar. “Makannya, beasiswa itu hakmu, kalau memang yang member hak itu tidak melaksanakan kewajiban, tanya dong! Jangan mbideg saja.”
“Iya juga ya Wo, kalau kamu kuliah dikirim dari dari rumah. Lha aku, malah ngirim ke rumah.” Samidun mengigau. “Memang Tuhan Maha adil.” Tuturku singkat.
“Jancok, raimu Wo. Seneng lihat teman susah?” Samidun menyanggah.
“Mukamu memang muka susah.” Tukasku lantas tertawa.
“Waaah, kacau.”
“Eh, Dun, Samidun.. Tuhan memang menyuruh kita untuk berusaha, tapi Tuhan tidak menuntut kita untuk berhasil.”
“Tumben kata-kata kamu putih, biasanya keruh dan jorok.”
“Koyok raimu ndak aja Dun..!”
“Kalau aku masih demen sholat. Lha kamu, perintah sholat wajib lima waktu, sing dilakoni cuma telu.” Ujar Samidun seraya menjitak kepalaku. “Oooo, asu!”
Hampir setiap malam, aku dan Samidun tidak pernah meninggalkan rutinitas ngopi. Meskipun kopi racikan sendiri. Rasanya tidak kalah dengan starbuck coffe yang mahal itu. Samidun bukan orang bodoh, setidaknya itu yang aku tahu. Setiap Sabtu dan Minggu ia habiskan hanya untuk menukar ilmunya demi rupiah. Hasilnya, ia bisa mengisi perutnya dengan segumpal nasi dan pernak-pernik makanan lainnya. Urusan air minum cukup isi ulang. “Wo, Minggu depan aku pinjem kemeja sama celana ya. Buat ngajar.” Seperti biasa, Samidun selalu mengandalkan pakaianku dalam setiap jam terbangnya mengajar. Sudah berulang kali aku merelakan beberapa baju dan celanaku untuknya. Tetapi jawabannya selalu sama. “Sebentar lagi aku beli kok.” Hasilnya, selama setahun, ia tak kunjung membeli baju, apalagi celana. Dasar Samidun.
Sebenarnya, menurutku, banyak Samidun-Samidun lain di sini, di kampusku. Kampus berbintang nomor satu di negeriku. Tapi, Samidun yang satu ini berbeda. Ia mengejar beasiswa untuk keluarga. Urusan makan dan minum sudah ia dapatkan dari menjual ilmu di tempat-tempat kursus, dan kolom-kolomnya di koran nasional. Memang berat bagi Samidun, ia harus menjadi ‘ayah’ bagi ketiga adiknya, dan sekolah untuk masa depannya. Dalam benakku sangat yakin, kualitas dasar kemanusiaan yang dimiliki Samidun akan sangat high qualified. Sayang sekali jika hanya karena orang-orang yang memainkan hak orang lain, Samidun harus melihat adik-adik dan ibunya menggeliat dalam persakitan ekonomi. Dan Samidun sendiri terganggu perjalanan akademiknya. Pas awal menerima beasiswa, kata Samidun, ia dijejali berkas pernyataan yang bermaterai. Di berkas itu ada poin-poin hak dan kewajiban antara penerima dan pemberi beasiswa. Sayangnya, sampai saat ini penerima lebih diposisikan sebagai ‘isteri kedua’ daripada pemberi. Agamaku saat ini, mengajarkan bahwa hak tetaplah hak, dan pemberi beasiswa itu tidak berhak merampas hak penerima. Awalnya bilang A, ujung-ujungnya dilempar ke Z. Tentunya dibumbuhi alibi dan alsan yang rasional juga. Tetap saja alasan. Di kampusku, hak seorang mahasiswa kadang-kadang juga di buat mainan. Seperti hak Samidun. Dasar Samidun (siang malam rindu dana turun).







No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...