Oleh, Mang
Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com
Pada sebuah jurnal yang berjudul “Slametan: Solidaritas dan Ritualisme Orang
Jawa” yang ditulis oleh Thomas Schweizer[1], slametan digambarkan sebagai sebuah
sarana untuk membangun solidaritas sosial dan mengungkapkan rasa syukur di
tengah orientasi keagamaan yang berbeda. Selain dua hal tersebut, slametan juga mereflesksikan betapa
besarnya pengaruh tradisi-tradisi bangsawan (priyayi) Jawa dan lingkup masyarakat yang lebih besar. Jadi, secara
tidak langsung slametan menyiratkan “kekuatan
luar” suatu masyarakat – baik ekonomi, politik, dan simbolik.
Sebagai suatu kawasan dengan identitas
sejarah yang indigenous, yaitu kota pelabuhan yang berorietasi pada perdagangan
antar kerjaan-kerajaan pedalaman dengan corak agraris, masyarakat Jawa memiliki
gaya hidup dan pemelukan agama yang berbeda – Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, dan Budha. Gaya hidup dan orientasi yang beragam ini kemudian
secara gradual menyebar ke pedalaman oleh pedagang, tuan tanah, dan tokoh-tokoh
agama.
Pada masa sekarang, slametan
belum terlepas dari ikatan tradisi dan berdiri sendiri tanpa mengalami sebuah perubahan,
sebagaimana sejarah Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari pengandaian tentang
kedamaian semata (Pemberton, 1994: 14-19). Pandangan dunia (world-view) masyarakat Jawa sangat
dipengaruhi oleh konsultan elit (dukun
kraton) dan serat-serat yang
berisi ajaran etika dan cerita-cerita sejarah masa lampau, sejatinya mengandung
ide dasar bahwa urusan duniawi dan spiritual saling berkaitan dan terhubung
(Erington, 1984). Menurut masyarakat Jawa, manusia yang benar-benar kuat dan
beradab harus berusaha mencapai ketenangan jiwa dan kontrol diri yang optimal
serta berusaha keras untuk dapat berhubungan secara harmonis dengan sesamanya.
Secara umum, manusia, menurut pemahaman
orang Jawa, akan menghadapi fase pergantian “perputaran hidup.” Pada saat
mengalaminya, seseorang bisa saja kehilangan kontrol diri dan harmoninya
sehingga merusak aspek kemanusiaan dan spiritual manusia itu sendiri. Dengan
demikian, pada kondisi seperti itu, seseorang akan dengan mudah diserang oleh
roh jahat yang dapat mengambil alih kesadarannya. Slametan merupakan ritual yang sangat efektif dalam membendung
pengaruh-pengaruh tersebut dan memberi dorongan kepada seseorang yang ingin
secara mulus menapaki tingkatan kehidupan selanjutnya. Secara esensisal slametan adalah peristiwa multifungsi.
Selain menunjukkan penghormatan yang tinggi kepada para leluhur dan tradisi
Jawa, ia juga memperhatikan kewajiban agama dan menyiratkan nilai kerukunan
sosial yang senantiasa dirindukan wong
Jowo – sayangnya tidak selalu bisa dicapai dalam kehidupan sehari-hari.
Pencapain hasil proses kerukunan sosial
yang tergambar dalam prosesi slametan
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi sosial dan politik di
Jawa. Selama dua abad terakhir, proses difusi kebudayaan yang diperankan bangsa
kolonial Barat tidak serta-merta memberikan dampak positif atas slametan itu sendiri. Puncaknya terjadi
ketika peristiwa yang berkecamuk natara tahun 1965-1966, slametan sangat terpengaruhi – bisa jadi dicemari – dengan urusan
politik Orde Baru. Karena itu, pertentangan harus diredam dan semua komponen
diupayahkan untuk menampakkan solidaritas baru dalam bentuk baru – dan slametan merupakan ajang utama untuk hal
itu dalam setting pedesaan. Berangkat
dari pemahaman seperti itulah, antara tahun 1978-1979 stabilitas dan
konsolidasi antara level makro dan mikro mampu saling mengisi dan melengkapi.
Sehinga selama era Orde Baru, jaringan pusat-daerah mampu berafiliasi dengan adem-ayem.
Namun, jika ditengok melalui perspektif
relasional slametan itu sendiri,
hubungan tersebut tidak berjalan beriringan. Slametan ‘new edition’
sebenarnya tidak melepaskan dirinya dari induk tradisi orang Jawa. Merujuk pada
tulisan D’Adrade dan Strauss 1992, yang meletakkan slametan dengan bahasa antropologi kognitif, pengetahuan praktis slametan terdiri dari serangkaian skema
kultural, yaitu struktur-sturktur konseptual dan yang berhubungan,
diualang-ulang dan tebagi-bagi, yang dipelajari dan ditawarkan melalui action pemujaan. Dengan demikian, wong Jowo tidak lagi memerlukan
instruksi eksplisit untuk memahami bagaimana mempersiapkan dan bertindak selama
jalannya slametan itu sendiri. Jadi,
unsur politik praktis yang dewasa ini berkembang di masyarakat Jawa – khusunya
politikus muda, yang terekam dalam nilai moral slametan tersalurkan dengan baik. Alasannya, slametan sejatinya bukan hanya sekedar sasmita yang bersifat amawarta
belaka. Karena didalamnya terdapat nilai spiritual dan membutuhkan leader dengan kemampuan agama dan umum –
politik, ekonomi, sosial – yang luar biasa.
Pasca Reformasi 1998
Sejak meledaknya peristiwa Reformasi dan
beralihnya sistem pemerintahan, slametan
masih tetap berdiri dengan kontekstualitas yang semakin kaya. Bukan berati slametan pernah masuk dalam sistem Orde
Baru. Lebih jauh, slametan memperkaya
konten kemasyarakatan dengan pengaturan yang tertata rapi (well-orchestrated) serta mempertahankan nilai demokrtatis individu
untuk berekspresi – subkultural yang semakin beragam. Meskipun ritual slametan semakin menampakkan kemunduran
eksistensinya setelah Reformasi 1998, slametan
masih menjadi sebuah ‘jurus’ ampuh untuk mengendalikan pelepasan masa transisi
dari Orde Baru ke Reformasi.
Pengendalian yang dimaksudkan dalam tulisan
ini adalah dalam urusan politik pemerintahan. Kaitan slametan dan politik pemerintahan yang bersih dapat ditemukan di
daerah suburban yang terdiri dari masyarakat subaltern. Kelompok ini adalah
kelompok mikro.yang masuk dalam sebuah sistem makro. Akibat penurunan
eksistensi slametan pasca-Reformasi,
menurut hemat penulis, gejala korupsi di daerah-daerah semakin menjalar ke
berbagai aspek kemasyarakatan. Ditambah lagi munculnya inisiatif desentralisasi
akibat keinginan mengembangkan prinsip demokrasi lokal yang diabaikan Orde
Baru. Inisiatif ini kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan di Daerah.
Perubahan
yang paling penting dengan adanya UU 22/1999 ini adalah pelimpahan kewenangan
pemerintah pusat kepada daerah menyangkut sektor pelayanan publik.[2]
Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/ Kota
meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
koperasi dan tenaga kerja.[3] Dimensi
desentralisasi yang paling mencolok dalam UU 22/1999 ini antara lain:
desentralisasi keuangan, politik dan hubungan antara lembaga pemerintah di
tingkat lokal yang ditandai dengan kuatnya kedudukan lembaga legislatif
dibandingan lembaga eksekutif. DPRD memiliki wewenang untuk memilih dan
memberhentikan Kepala Daerah serta Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepada DPRD (Rinaldi, 2007: 31).
Seperti
diungkapkan Marini Purnomo dkk. dalam jurnal “Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus
Penangan Korupsi pemerintah Daerah,” penguatan posisi DPRD pada gilirannya
berimplikasi pada pergeseran relasi kekuasaan di tingkat lokal dimana seseorang
untuk bisa menjadi Kepala Daerah dan mempertahankan posisinya harus dapat ‘bekerjasama’
dengan DPRD. Pergeseran relasi kekuasaan ini diduga mendorong terjadinya locus
korupsi di tingkat lokal dimana ‘transaksi’ politik banyak terjadi di
gedung dewan.[4]
Praktek korupsi di daerah bahkan sudah dimulai sebelum seseorang duduk dalam
jabatan kepala daerah; untuk bisa mendapat dukungan suara dari anggota DPRD,
calon kepala daerah melakukan suap kepada anggota DPRD – praktek yang lebih
dikenal sebagai ‘money politic’. Dalam penelitiannya di wilayah Poso,
Aditjondro mengungkapkan nilai suara yang harus dibayarkan oleh seorang calon
bupati kepada setiap anggota DPRD senilai Rp 20 juta. Penting untuk dicatat,
bahwa seorang anggota DPRD tidak hanya menerima dari kandidat yang akhirnya
menang melainkan juga menerima dari kandidat yang kalah.[5]
Pada
titik ini, anatomi korupsi di daerah tidak bisa lagi dilihat terbatas dari
kacamata ‘lokal’. Untuk memenuhi ‘pembiayaan politik’ dalam proses pemilihan,
seorang calon kepala daerah perlu mencari dukungan pembiayaan dari kelompok
kepentingan dan pelaku politik di tingkat nasional. Pelaku di tingkat nasional
memiliki kepentingan khusus dengan apa yang terjadi di tingkat lokal. Aditjondro
menengarai bahwa para pelaku bisnis di tingkat propinsi dan nasional memiliki
kepentingan tersendiri untuk mendukung seorang calon yang pada gilirannya harus
‘dibayar’ ketika kelak ia menduduki posisi tersebut. Hal ini mengingat
berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, seorang kepala daerah memiliki
otoritas untuk menyetujui rencana investasi pelaku bisnis di daerahnya.[6]
Dalam konteks tersebut, Aditjondro menyimpulkan bahwa sumber utama korupsi
pemerintahan daerah sebagai berikut:
a. Manipulasi
dana yang terjadi selama proses kampanye seorang Kepala Daerah dan ‘sangu’ yang dipakai untuk membayar
partai politik atau anggota DPRD oleh calon kepala daerah yang melanggar
peraturan mengenai bantuan dana bagi partai politik.
b. Manipulasi
sumber pendanaan dari pusat kepada daerah, terutama dalam bentuk DAU, yang
melibatkan pejabat dan anggota dewan di tingkat lokal dan kroni yang bekerja
pada pemerintah pusat.
c. Biaya
yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah kepada kelompok kepentingan bisnis yang
sebelumnya telah mengongkosi kampanye dan suap kepada anggota dewan dan partai
politik pendukungnya.
Penguatan
Budaya Lokal
Melihat
realita korupsi yang menempatkan Indonesia sebagai Negara papan atas dalam hal
korupsi, perlua adanya suatu gerakan lokal untuk menangani masalah lokal. Slametan sebagai ritual yang memiliki
nilai politik, sosial, ekonomi, dan spiritual tentunya memiliki peran yang
tidak sedikit dalam pengembangan individu-individu dalam komunitas mikro. Kasus
korupsi era Orde Baru hanya tertata rapi di pusat pemerintahan. Pada era
Reformasi, korupsi menjalar ke pelosok daerah-daerah. Fenomena ini secara tidak
langsung diikuti oleh kemunduran eksistensi slametan,
terutama di daerah Jawa.
Jika
melihat slametan dari perspektif
relasional, maka ada dua poin yang dapat disimpulkan. Pertama, melihat nilai-nilai yang dibawa slametan dari level makro ke level mikro memang ada sebuah garis
lurus – baik politik, ekonomi, dan sosial. Pada level makro, proses inkorporasi
dan difusi nilai-nilai ini kemudian ditransformasikan ke dalam level mikro,
sehingga proses penularan nilai slametan mampu
berubah menjadi legitimasi inklusif. Dengan demikian, individu akan memperoleh
benteng spiritual dan lebih memahami arti bermasyarakat, dengan tujuan akhir
terhindar dari tindakan korupsi, baik materi maupun imateri.
Kedua,
mengarah pada level mikro dari slametan
dan pandangan yang lebih tinggi, salametan
terbentuk dari aktivitas individu-individu yang berprilaku invidual yang
berbeda. Mereka dengan sistematis diposisikan dalam struktur sosial. Pada tahap
selanjutnya, individu-individu tersebut akan mengejar tujuan tertentu yang
terbatas pada interaksi-interaksi strategis sesuai dengan sumberdaya yang
tersedia. Sehingga dapat memperkaya jaringan sosial, ekonomi, budaya, serta
bentuk kebertundukan terhadap Tuhan. Diharapkan dari aktivitas slametan ini adalah munculnya
universalitas nilai sosial yang terbingkai secara sempurna dengan tradisi
lokal. Dan atas dasar pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam slametan tersebut, perilaku korup dapat
dikubur dalam-dalam ditengah eksistensi tradisi dan budaya masyarakat Indonesia
yang sangat melimpah. Dorongan spiritual yang menempel pada slametan juga merupakan factor yang
menjadikan invidu-individu lebih mengingat Tuhan. Dengan demikian, ketebalan
imannya secara perlahan akan bertambah kuat, sehingga memantapkan hatinya untuk
menjauhi tindakan tercela, terutama korupsi dan kolusi.
Daftar Pustaka:
Pemberton, John. 1994. On the Subject of “Java”. Ithaca:
Cornell University Pers.
Schweizer, Thomas.
1998. Dalam Jurnal Ilmiah Gerbang Vol. 07 No. 03. Surabaya: eLSAD.
Raffles, Thomas. S. 2008.
The History of Java. Yogyakarta:
Penerbit Narasi
Rinaldi, Taufik. Dkk.
2007. Memerangi Korupsi di Indonesia Yang
Terdesentralisasi: Studi KasusPenanganan Korupsi Pemerintahan Daerah.
Justice for the Poor Project. Bank Dunia.
[1]
Prof. Dr. Thomas Schweizer, adalah Direktur pada Institute of Ethnology,
University of Cologne, Koln, Jerman. Pernah meneliti masalah perubahan
pertanian dan organisasi petani di Indonesia (1978/1979 dan 1984).
[2] Sebagaimana tertuang dalam pasal 7 UU
22/1999: “Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama ...”
[3] Pasal 11 ayat (2) UU 22/1999
[4]
Ervyn Kaffah, 2007
[5] George J.
Aditjondro, , April 2007 Review Local Government Corruption Study Report,
tidak dipublikasikan.
[6] Ibid.
No comments:
Post a Comment