Wednesday, May 4, 2011

Slametan Politik: Strategi dan Tradisi Mengubur Korupsi


Oleh, Mang Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com

Pada sebuah jurnal yang berjudul “Slametan: Solidaritas dan Ritualisme Orang Jawa” yang ditulis oleh Thomas Schweizer[1], slametan digambarkan sebagai sebuah sarana untuk membangun solidaritas sosial dan mengungkapkan rasa syukur di tengah orientasi keagamaan yang berbeda. Selain dua hal tersebut, slametan juga mereflesksikan betapa besarnya pengaruh tradisi-tradisi bangsawan (priyayi) Jawa dan lingkup masyarakat yang lebih besar. Jadi, secara tidak langsung slametan menyiratkan “kekuatan luar” suatu masyarakat – baik ekonomi, politik, dan simbolik.
Sebagai suatu kawasan dengan identitas sejarah yang indigenous, yaitu kota pelabuhan yang berorietasi pada perdagangan antar kerjaan-kerajaan pedalaman dengan corak agraris, masyarakat Jawa memiliki gaya hidup dan pemelukan agama yang berbeda – Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Gaya hidup dan orientasi yang beragam ini kemudian secara gradual menyebar ke pedalaman oleh pedagang, tuan tanah, dan tokoh-tokoh agama.
Pada masa sekarang, slametan belum terlepas dari ikatan tradisi dan berdiri sendiri tanpa mengalami sebuah perubahan, sebagaimana sejarah Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari pengandaian tentang kedamaian semata (Pemberton, 1994: 14-19). Pandangan dunia (world-view) masyarakat Jawa sangat dipengaruhi oleh konsultan elit (dukun kraton) dan serat-serat yang berisi ajaran etika dan cerita-cerita sejarah masa lampau, sejatinya mengandung ide dasar bahwa urusan duniawi dan spiritual saling berkaitan dan terhubung (Erington, 1984). Menurut masyarakat Jawa, manusia yang benar-benar kuat dan beradab harus berusaha mencapai ketenangan jiwa dan kontrol diri yang optimal serta berusaha keras untuk dapat berhubungan secara harmonis dengan sesamanya.
Secara umum, manusia, menurut pemahaman orang Jawa, akan menghadapi fase pergantian “perputaran hidup.” Pada saat mengalaminya, seseorang bisa saja kehilangan kontrol diri dan harmoninya sehingga merusak aspek kemanusiaan dan spiritual manusia itu sendiri. Dengan demikian, pada kondisi seperti itu, seseorang akan dengan mudah diserang oleh roh jahat yang dapat mengambil alih kesadarannya. Slametan merupakan ritual yang sangat efektif dalam membendung pengaruh-pengaruh tersebut dan memberi dorongan kepada seseorang yang ingin secara mulus menapaki tingkatan kehidupan selanjutnya. Secara esensisal slametan adalah peristiwa multifungsi. Selain menunjukkan penghormatan yang tinggi kepada para leluhur dan tradisi Jawa, ia juga memperhatikan kewajiban agama dan menyiratkan nilai kerukunan sosial yang senantiasa dirindukan wong Jowo – sayangnya tidak selalu bisa dicapai dalam kehidupan sehari-hari.
Pencapain hasil proses kerukunan sosial yang tergambar dalam prosesi slametan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi sosial dan politik di Jawa. Selama dua abad terakhir, proses difusi kebudayaan yang diperankan bangsa kolonial Barat tidak serta-merta memberikan dampak positif atas slametan itu sendiri. Puncaknya terjadi ketika peristiwa yang berkecamuk natara tahun 1965-1966, slametan sangat terpengaruhi – bisa jadi dicemari – dengan urusan politik Orde Baru. Karena itu, pertentangan harus diredam dan semua komponen diupayahkan untuk menampakkan solidaritas baru dalam bentuk baru – dan slametan merupakan ajang utama untuk hal itu dalam setting pedesaan. Berangkat dari pemahaman seperti itulah, antara tahun 1978-1979 stabilitas dan konsolidasi antara level makro dan mikro mampu saling mengisi dan melengkapi. Sehinga selama era Orde Baru, jaringan pusat-daerah mampu berafiliasi dengan adem-ayem.
Namun, jika ditengok melalui perspektif relasional slametan itu sendiri, hubungan tersebut tidak berjalan beriringan. Slametannew edition’ sebenarnya tidak melepaskan dirinya dari induk tradisi orang Jawa. Merujuk pada tulisan D’Adrade dan Strauss 1992, yang meletakkan slametan dengan bahasa antropologi kognitif, pengetahuan praktis slametan terdiri dari serangkaian skema kultural, yaitu struktur-sturktur konseptual dan yang berhubungan, diualang-ulang dan tebagi-bagi, yang dipelajari dan ditawarkan melalui action pemujaan. Dengan demikian, wong Jowo tidak lagi memerlukan instruksi eksplisit untuk memahami bagaimana mempersiapkan dan bertindak selama jalannya slametan itu sendiri. Jadi, unsur politik praktis yang dewasa ini berkembang di masyarakat Jawa – khusunya politikus muda, yang terekam dalam nilai moral slametan tersalurkan dengan baik. Alasannya, slametan sejatinya bukan hanya sekedar sasmita yang bersifat amawarta belaka. Karena didalamnya terdapat nilai spiritual dan membutuhkan leader dengan kemampuan agama dan umum – politik, ekonomi, sosial – yang luar biasa.

Pasca Reformasi 1998
Sejak meledaknya peristiwa Reformasi dan beralihnya sistem pemerintahan, slametan masih tetap berdiri dengan kontekstualitas yang semakin kaya. Bukan berati slametan pernah masuk dalam sistem Orde Baru. Lebih jauh, slametan memperkaya konten kemasyarakatan dengan pengaturan yang tertata rapi (well-orchestrated) serta mempertahankan nilai demokrtatis individu untuk berekspresi – subkultural yang semakin beragam. Meskipun ritual slametan semakin menampakkan kemunduran eksistensinya setelah Reformasi 1998, slametan masih menjadi sebuah ‘jurus’ ampuh untuk mengendalikan pelepasan masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi.
Pengendalian yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah dalam urusan politik pemerintahan. Kaitan slametan dan politik pemerintahan yang bersih dapat ditemukan di daerah suburban yang terdiri dari masyarakat subaltern. Kelompok ini adalah kelompok mikro.yang masuk dalam sebuah sistem makro. Akibat penurunan eksistensi slametan pasca-Reformasi, menurut hemat penulis, gejala korupsi di daerah-daerah semakin menjalar ke berbagai aspek kemasyarakatan. Ditambah lagi munculnya inisiatif desentralisasi akibat keinginan mengembangkan prinsip demokrasi lokal yang diabaikan Orde Baru. Inisiatif ini kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah.
Perubahan yang paling penting dengan adanya UU 22/1999 ini adalah pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah menyangkut sektor pelayanan publik.[2] Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/ Kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja.[3] Dimensi desentralisasi yang paling mencolok dalam UU 22/1999 ini antara lain: desentralisasi keuangan, politik dan hubungan antara lembaga pemerintah di tingkat lokal yang ditandai dengan kuatnya kedudukan lembaga legislatif dibandingan lembaga eksekutif. DPRD memiliki wewenang untuk memilih dan memberhentikan Kepala Daerah serta Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD (Rinaldi, 2007: 31).
Seperti diungkapkan Marini Purnomo dkk. dalam jurnal “Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penangan Korupsi pemerintah Daerah,” penguatan posisi DPRD pada gilirannya berimplikasi pada pergeseran relasi kekuasaan di tingkat lokal dimana seseorang untuk bisa menjadi Kepala Daerah dan mempertahankan posisinya harus dapat ‘bekerjasama’ dengan DPRD. Pergeseran relasi kekuasaan ini diduga mendorong terjadinya locus korupsi di tingkat lokal dimana ‘transaksi’ politik banyak terjadi di gedung dewan.[4] Praktek korupsi di daerah bahkan sudah dimulai sebelum seseorang duduk dalam jabatan kepala daerah; untuk bisa mendapat dukungan suara dari anggota DPRD, calon kepala daerah melakukan suap kepada anggota DPRD – praktek yang lebih dikenal sebagai ‘money politic’. Dalam penelitiannya di wilayah Poso, Aditjondro mengungkapkan nilai suara yang harus dibayarkan oleh seorang calon bupati kepada setiap anggota DPRD senilai Rp 20 juta. Penting untuk dicatat, bahwa seorang anggota DPRD tidak hanya menerima dari kandidat yang akhirnya menang melainkan juga menerima dari kandidat yang kalah.[5]
Pada titik ini, anatomi korupsi di daerah tidak bisa lagi dilihat terbatas dari kacamata ‘lokal’. Untuk memenuhi ‘pembiayaan politik’ dalam proses pemilihan, seorang calon kepala daerah perlu mencari dukungan pembiayaan dari kelompok kepentingan dan pelaku politik di tingkat nasional. Pelaku di tingkat nasional memiliki kepentingan khusus dengan apa yang terjadi di tingkat lokal. Aditjondro menengarai bahwa para pelaku bisnis di tingkat propinsi dan nasional memiliki kepentingan tersendiri untuk mendukung seorang calon yang pada gilirannya harus ‘dibayar’ ketika kelak ia menduduki posisi tersebut. Hal ini mengingat berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, seorang kepala daerah memiliki otoritas untuk menyetujui rencana investasi pelaku bisnis di daerahnya.[6] Dalam konteks tersebut, Aditjondro menyimpulkan bahwa sumber utama korupsi pemerintahan daerah sebagai berikut:
a.       Manipulasi dana yang terjadi selama proses kampanye seorang Kepala Daerah dan ‘sangu’ yang dipakai untuk membayar partai politik atau anggota DPRD oleh calon kepala daerah yang melanggar peraturan mengenai bantuan dana bagi partai politik.
b.      Manipulasi sumber pendanaan dari pusat kepada daerah, terutama dalam bentuk DAU, yang melibatkan pejabat dan anggota dewan di tingkat lokal dan kroni yang bekerja pada pemerintah pusat.
c.       Biaya yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah kepada kelompok kepentingan bisnis yang sebelumnya telah mengongkosi kampanye dan suap kepada anggota dewan dan partai politik pendukungnya.

Penguatan Budaya Lokal
Melihat realita korupsi yang menempatkan Indonesia sebagai Negara papan atas dalam hal korupsi, perlua adanya suatu gerakan lokal untuk menangani masalah lokal. Slametan sebagai ritual yang memiliki nilai politik, sosial, ekonomi, dan spiritual tentunya memiliki peran yang tidak sedikit dalam pengembangan individu-individu dalam komunitas mikro. Kasus korupsi era Orde Baru hanya tertata rapi di pusat pemerintahan. Pada era Reformasi, korupsi menjalar ke pelosok daerah-daerah. Fenomena ini secara tidak langsung diikuti oleh kemunduran eksistensi slametan, terutama di daerah Jawa.
Jika melihat slametan dari perspektif relasional, maka ada dua poin yang dapat disimpulkan. Pertama, melihat nilai-nilai yang dibawa slametan dari level makro ke level mikro memang ada sebuah garis lurus – baik politik, ekonomi, dan sosial. Pada level makro, proses inkorporasi dan difusi nilai-nilai ini kemudian ditransformasikan ke dalam level mikro, sehingga proses penularan nilai slametan mampu berubah menjadi legitimasi inklusif. Dengan demikian, individu akan memperoleh benteng spiritual dan lebih memahami arti bermasyarakat, dengan tujuan akhir terhindar dari tindakan korupsi, baik materi maupun imateri.
Kedua, mengarah pada level mikro dari slametan dan pandangan yang lebih tinggi, salametan terbentuk dari aktivitas individu-individu yang berprilaku invidual yang berbeda. Mereka dengan sistematis diposisikan dalam struktur sosial. Pada tahap selanjutnya, individu-individu tersebut akan mengejar tujuan tertentu yang terbatas pada interaksi-interaksi strategis sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Sehingga dapat memperkaya jaringan sosial, ekonomi, budaya, serta bentuk kebertundukan terhadap Tuhan. Diharapkan dari aktivitas slametan ini adalah munculnya universalitas nilai sosial yang terbingkai secara sempurna dengan tradisi lokal. Dan atas dasar pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam slametan tersebut, perilaku korup dapat dikubur dalam-dalam ditengah eksistensi tradisi dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat melimpah. Dorongan spiritual yang menempel pada slametan juga merupakan factor yang menjadikan invidu-individu lebih mengingat Tuhan. Dengan demikian, ketebalan imannya secara perlahan akan bertambah kuat, sehingga memantapkan hatinya untuk menjauhi tindakan tercela, terutama korupsi dan kolusi.


Daftar Pustaka:
Pemberton, John. 1994. On the Subject of “Java”. Ithaca: Cornell University Pers.
Schweizer, Thomas. 1998. Dalam Jurnal Ilmiah Gerbang Vol. 07 No. 03. Surabaya: eLSAD.
Raffles, Thomas. S. 2008. The History of Java. Yogyakarta: Penerbit Narasi
Rinaldi, Taufik. Dkk. 2007. Memerangi Korupsi di Indonesia Yang Terdesentralisasi: Studi KasusPenanganan Korupsi Pemerintahan Daerah. Justice for the Poor Project. Bank Dunia.






[1] Prof. Dr. Thomas Schweizer, adalah Direktur pada Institute of Ethnology, University of Cologne, Koln, Jerman. Pernah meneliti masalah perubahan pertanian dan organisasi petani di Indonesia (1978/1979 dan 1984).
[2]  Sebagaimana tertuang dalam pasal 7 UU 22/1999: “Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama ...”
[3]  Pasal 11 ayat (2) UU 22/1999
[4] Ervyn Kaffah, 2007
[5] George J. Aditjondro, , April 2007 Review Local Government Corruption Study Report, tidak dipublikasikan.
[6] Ibid.

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...