Sunday, May 22, 2011

Berlabu di Perpustakaan Baru Apresiasi, Prestasi, dan Kontroversi (2-Habis)

 Setelah penantian panjang yang penuh dengan kontroversi dan kritik, perpustakaan baru UI mulai dibuka pada tanggal 13 Mei 2011 yang lalu. Suasana perpustakaan cukup nyaman. Kemegahan bangunan dan beberapa sentuhan artistik menambah keindahan dan kenyamanan perpustakaan itu. Belum lagi pemandagan yang tersaji di halaman perpustakaan. Disana pengunjung bisa menikmati sejuk danau dan rindangnya pohon-pohon nan hijau. Dari lantai 5, pemandangannya juga tidak kalah menggiurkan.
Siang hari sebelum sholat Ju’mat (13/5), saya dan beberapa mahasiswa lain dari progam studi ilmu perpustakaan (JIP) mengunjungi ‘rumah’ pengetahuan tersebut. Ketika melintasi jalan kucing yang menghubungkan shelter sepeda FIB, aroma kemegahan sudah tercium. Melintasi pintu utama, kami disambut oleh ATM BNI yang tersambung dengan ruangan BNI di dalam loby. Sebuah patung dari kayu menjulang tinggi didekat pintu, seolah menyapa dengan keindahannya. Dihari itu saya dan kawan-kawan disambut oleh dua orang petugas yang duduk manis menunggui daftar hadir. Lembaran pembatas buku dan berbiji-biji permen bertuliskan ‘Universitas Indonesia’ tercecer di atas nampan agak lebar. Setiap pengunjung  yang datang dianjurkannya mengisi daftar hadir. “Isi dulu mas, mbak!” Begitulah kira-kira. Selanjutnya, pengunjung dimanjakan dengan hidangan makanan prasmanan serta minuman dari larutan gula-kopi dan gula-teh. Beberapa piring dan gelas tercecer di sudut-sudut ruangan lantai bawah hingga ke halaman perpustakaan. Banyak orang siang itu. Ruang rehat yang terbentang sebelum masuk kedalam meja sirkulasi terisi penuh oleh mahasiswa dan ‘maha-guru’ UI. Mereka bebas berbaur dengan hidangan dan topik yang beraneka ragam.
Saya awalnya tertarik dengan kopi. Sayangnya, setelah mengambil segelas kopi, teman-teman saya langsung merangsek masuk. Jadi, segelas kopi yang masih terisi penuh terpaksa saya letakkan kembali di meja. Di lantai paling bawah, pengunjung akan menemukan sebuah Front Office (FO) dengan bentuk layaknya hotel berbintang tiga. Sangat jauh berbeda dengan perpustakaan lama. Takjub. Akses menuju lantai kedua, ketiga, keempat, dan samapi ke lantai-lantai berikutnya, pengunjung dimanjakan dengan tangga tak beranak. Lho, kok tidak beranak? Jelasnya, tangga itu melingkar tak penuh seperti jalan menanjak yang mulus. Sempat terlintas dalam benak saya, “Seandainya ada shelter sepeda UI di lantai 4, pasti akan lebih seru.”
Perjalanan selanjutnya. Saya menemukan sebuah ruangan berisi computer berlabel buah apel. Buahnya yang sedikit tergigit itu lho. Saya rasa anda sudah bisa menebak. Perpustakaan UI yang baru ini memilih Apple sebagai mitra IT dengan memboyong ratusan komputer berbasis Mac. Tidak sekedar bangunan yang megah ternyata. Selain perangkat komputer yang canggih, perpustakaan yang dibangun sejak 2009 ini terbilang sangat efektif dalam hal penataan ruangan. Serasa berada ‘di luar’ UI jika anda memasukinya. Semua baru, kecuali SDM dan koleksinya. Ketika memasuki ruangan koleksi, petugas memberi peringatan untuk tidak memaksa masuk. Alasannya, “Koleksi belum bisa digunakan, masih dalam penataan.” Seperti itulah kira-kira ucapnya. Ruangan koleksi tertata bak perpustakaan FMIPA – kalau tidak salah. Rak berjubal menindih rak dibawahnya. Cerdas. Sangat brilliant, setidaknya hal tersebut efektif dalam hal menghemat tempat untuk ruang diskusi, ruang komputer, dan – mungkin – ruang bagi ‘mesin komersial’ yang melekat di perpustakaan UI.
Menginjak di lantai ketiga dari ‘benteng pengetahuan’ UI yang baru. Narsisme mulai merebak kemana-mana. Setiap mata melotot menikmati seluk-beluk property disekitar mereka. “Sini-sini, kita foto disini, lu ambil dari sebelah sana.” Celoteh seorang mahasiswi, ia mengarahkan temannya yang memegangi kamera. Hemm.. euphoria yang menakjubkan bukan? Sekarang ruangan semakin bervariasi. Ruang diskusi, kotak-kotak tempat diskusi sudah lengkap dengan meja dan kursi ter-plastik-i dengan rapi. Tandanya masih baru. Pemandangan yang terekam dari lantai tiga tidak kalah menakjubkan. Lantai empat terlewati, sekarang lantai lima. Tidak banyak yang berbeda. Banyak akses menuju ruangan-ruangan ‘rahasia’ masih ditutup. Di lantai panca ini, lebih menakjubkan lagi dalam hal pemandangan, atau view-nya. Danau, Balairung, dan Rektorat terlihat sejajar dengan saya. Wussss…nyaman, tapi saya masih tidak tentram. Kenapa? Saya juga sedang mencari jawaban.

Setelah kurang lebih 20 menit cangkruk di lantai lima, saya dan sahabat-sahabat saya greget ingin mencicipi lift-nya perpustakaan baru. Tekan tombol bergambar panah, pilih lantai, pintu tertutup. Nyuuuuuuttttttt, “Ting” Sampailah kami di lantai dasar. Belum sempat pintu lift tadi tertutup rapat. “Lain kali mahasiswa dilarang naik lift.” Satpam bertubuh ramping menghujat. “Lho, terus lift-nya buat siapa pak?” Tanyaku, “Ya buat dosen, mas.” Jawabnya. “Oooo.. Maaf pak ya..!” Pungkasku. Sebenarnya, itu perpustakaan atau perusahaan? Sepertinya pak satpam tadi hanya ‘bekerja’ untuk pembayar upahnya, bukan siapa yang membayar upahnya. Maksudnya? Jadi begini, ‘pembayar upah’ tidak lain adalah pihak yang secara langsung memberi upah kepada satpam tadi, sedangkan ‘yang membayar upah’ adalah mahasiswa yang rutin selama 8 semester – bisa jadi lebih – membayar spp, yang akrab dipanggil BOP.
***
Banyak yang masih menjadi ketidaktentraman hati saya, selaku pemustaka dan mahasiswa yang bergelut dengan dunia perpustakaan. Seminggu sembelumnya, saya mengunjungi sekolah Master, jangan anda bayangkan disekolah itu berisi pelajar dengan kemampuan Limbad. Master (Masjid Terminal), Depok. Saya menemui bapak Nurrokhim, kepala pengelola asrama. Rencananya, saya dan beberapa gelintir teman saya akan melaksanakan proyek sosial ‘Dunia Cinta’, dan saya dipercaya menjadi koordinator urusan revitaslisasi perpustakaannya. Jika perpustakaan UI menelan biaya 200 M lebih, maka, saya hanya butuh 2 juta saja. Itu pun tidak semuanya dalam bentuk uang. Ketika menikmati perpustakaan baru UI, saya harus mengoreksi kembali anggaran 2 juta tadi. Kenapa? Karena dengan sisa-sisa properti perpustakaan fakultas-fakultas di UI, saya yakin, perpustakaan sekolah Master dengan mudah berdiri dengan kualitas perguruan tinggi dan kuantitas sekolah Negeri.
Sekarang, kita hanya bisa mendampingi proses pembangunan komunitas pemustaka di perpustakaan baru UI. Prof. Sulistiyo Basuki, dalam kuliah yang saya ikuti tahun lalu pernah mengatakan, “Perpustakaan itu seharusnya terbuka, terbuka untuk semua orang.” Harapan itu sepertinya akan segera terwujud di UI. Perpustakaan terbaru dan terbesar ini rencananya akan dibuka untuk umum. Pernyataan serupa juga sempat dilontarkan oleh Raja Ashurbanipal dari Babylonia yang mendirikan perpustakaan besar di kota Neneveh sekitar tahun 600 SM. Kejadian serupa juga pernah terjadi di Yunani dan Romawi. Di Yunani, Peisistratus yang berkuasa di Athena sekitar tahun 600-528 SM membuka perpustakaan untuk rakyat Yunani. Sedangkan di Romawi, Kaisar Agustus (63 SM – 14 M) juga melakukan hal yang sama.
Semoga kemegahan perpustakaan UI mampu memberi kekuatan positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan Indonesia. Tidak hanya juara olimpiade internasional berkali-kali saja. Tapi menjadi Negara yang benar-benar juara tanpa kemiskinan dimana-mana, pengangguran berjama’ah, dan pembodohan yang berwibawa. “Nam et ipsa scientia potestas est.” (ilmu pengetahuan adalah kekuatan). Kalimat ini diucapkan oleh Roger Bacon, seorang ilmuwan ulung abad pertengahan. “Ilmu pengetahuan ada di perpustakaan.” Dan ini kata saya. He he he. Jadi, kekuatan sebuah peradaban dapat diukur dari kekuatan ilmu pengetahuan masyarakatnya, dan perpustakaan adalah parameter suatu peradaban terhadap ilmu pengetahuan. Mesir mampu menjadi rujukan ilmu pengetahuan selama 9 abad, tidak dapat dipisahkan dari peranan perpustakaan Alexandri yang dibangun Ptolomues Soter. Eropa bangkit dari keterpurukan juga tidak terpisahkan oleh kerja keras Greja dalam membangun perpustakaan awal abad ke-20.
Catatan sejarah sudah banyak menuliskan peranan perpustakaan terhadap perdaban manusianya. Seperti kata ilmuan Roma, Plinius “Igena hominum rem publica.” (menjadikan bakat manusia dan kekuatan mental sebagai milik umum). Perpustakaan UI sudah berdiri, tinggal bagaimana kita mengisinya dengan dua hal yang dikemukakan oleh Plinius diatas, supaya megah dan modern-nya bangunan, isi, dan layanan tidak bersifat ephemera (kurang penting) di tengah-tengah mahasiswa dan rakyat Indonesia.

1 comment:

ibnumarogi said...

"Rak berjubal menindih rak dibawahnya...efektif dalam hal menghemat tempat."
Sindiran halus akan ketersediaan tempat, nih :D

Semoga kualitas manusianya setara dengan fasilitasnya. Mulai dari organisme terkecil, kita sendiri, untuk memanfaatkan perpustakaan sebagai mata air pengetahuan. Semoga, ya, itu buku-buku dibaca dan dimanfaatkan dengan baik oleh kita.

Keep blogging, Oejank!

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...