Setelah penantian panjang yang penuh
dengan kontroversi dan kritik, perpustakaan baru UI mulai dibuka pada tanggal
13 Mei 2011 yang lalu. Suasana perpustakaan cukup nyaman. Kemegahan bangunan
dan beberapa sentuhan artistik menambah keindahan dan kenyamanan perpustakaan
itu. Belum lagi pemandagan yang tersaji di halaman perpustakaan. Disana
pengunjung bisa menikmati sejuk danau dan rindangnya pohon-pohon nan hijau.
Dari lantai 5, pemandangannya juga tidak kalah menggiurkan.
Siang hari sebelum sholat Ju’mat
(13/5), saya dan beberapa mahasiswa lain dari progam studi ilmu perpustakaan
(JIP) mengunjungi ‘rumah’ pengetahuan tersebut. Ketika melintasi jalan kucing
yang menghubungkan shelter sepeda
FIB, aroma kemegahan sudah tercium. Melintasi pintu utama, kami disambut oleh
ATM BNI yang tersambung dengan ruangan BNI di dalam loby. Sebuah patung dari
kayu menjulang tinggi didekat pintu, seolah menyapa dengan keindahannya. Dihari
itu saya dan kawan-kawan disambut oleh dua orang petugas yang duduk manis menunggui
daftar hadir. Lembaran pembatas buku dan berbiji-biji permen bertuliskan
‘Universitas Indonesia’ tercecer di atas nampan agak lebar. Setiap
pengunjung yang datang dianjurkannya
mengisi daftar hadir. “Isi dulu mas, mbak!” Begitulah kira-kira. Selanjutnya,
pengunjung dimanjakan dengan hidangan makanan prasmanan serta minuman dari
larutan gula-kopi dan gula-teh. Beberapa piring dan gelas tercecer di sudut-sudut
ruangan lantai bawah hingga ke halaman perpustakaan. Banyak orang siang itu. Ruang
rehat yang terbentang sebelum masuk kedalam meja sirkulasi terisi penuh oleh
mahasiswa dan ‘maha-guru’ UI. Mereka bebas berbaur dengan hidangan dan topik
yang beraneka ragam.
Saya awalnya tertarik dengan kopi.
Sayangnya, setelah mengambil segelas kopi, teman-teman saya langsung merangsek
masuk. Jadi, segelas kopi yang masih terisi penuh terpaksa saya letakkan
kembali di meja. Di lantai paling bawah, pengunjung akan menemukan sebuah Front
Office (FO) dengan bentuk layaknya hotel berbintang tiga. Sangat jauh berbeda
dengan perpustakaan lama. Takjub. Akses menuju lantai kedua,
ketiga, keempat, dan samapi ke lantai-lantai berikutnya, pengunjung dimanjakan
dengan tangga tak beranak. Lho, kok tidak beranak? Jelasnya, tangga itu
melingkar tak penuh seperti jalan menanjak yang mulus. Sempat terlintas dalam
benak saya, “Seandainya ada shelter sepeda UI di lantai 4, pasti akan lebih
seru.”
Perjalanan selanjutnya. Saya menemukan
sebuah ruangan berisi computer berlabel buah apel. Buahnya yang sedikit
tergigit itu lho. Saya rasa anda
sudah bisa menebak. Perpustakaan UI yang baru ini memilih Apple sebagai mitra IT
dengan memboyong ratusan komputer berbasis Mac.
Tidak sekedar bangunan yang megah ternyata. Selain perangkat komputer yang
canggih, perpustakaan yang dibangun sejak 2009 ini terbilang sangat efektif
dalam hal penataan ruangan. Serasa berada ‘di luar’ UI jika anda memasukinya. Semua
baru, kecuali SDM dan koleksinya. Ketika memasuki ruangan koleksi, petugas memberi
peringatan untuk tidak memaksa masuk. Alasannya, “Koleksi belum bisa digunakan,
masih dalam penataan.” Seperti itulah kira-kira ucapnya. Ruangan koleksi
tertata bak perpustakaan FMIPA – kalau
tidak salah. Rak berjubal menindih rak dibawahnya. Cerdas. Sangat brilliant, setidaknya hal tersebut efektif
dalam hal menghemat tempat untuk ruang diskusi, ruang komputer, dan – mungkin –
ruang bagi ‘mesin komersial’ yang melekat di perpustakaan UI.
Menginjak di lantai ketiga dari ‘benteng
pengetahuan’ UI yang baru. Narsisme mulai merebak kemana-mana. Setiap mata
melotot menikmati seluk-beluk property disekitar mereka. “Sini-sini, kita foto
disini, lu ambil dari sebelah sana.”
Celoteh seorang mahasiswi, ia mengarahkan temannya yang memegangi kamera.
Hemm.. euphoria yang menakjubkan bukan? Sekarang ruangan semakin bervariasi. Ruang
diskusi, kotak-kotak tempat diskusi sudah lengkap dengan meja dan kursi
ter-plastik-i dengan rapi. Tandanya masih baru. Pemandangan yang terekam dari
lantai tiga tidak kalah menakjubkan. Lantai empat terlewati, sekarang lantai
lima. Tidak banyak yang berbeda. Banyak akses menuju ruangan-ruangan ‘rahasia’
masih ditutup. Di lantai panca ini,
lebih menakjubkan lagi dalam hal pemandangan, atau view-nya. Danau, Balairung, dan Rektorat terlihat sejajar dengan
saya. Wussss…nyaman, tapi saya masih tidak tentram. Kenapa? Saya juga sedang mencari
jawaban.
Setelah kurang lebih 20 menit cangkruk di lantai lima, saya dan
sahabat-sahabat saya greget ingin mencicipi lift-nya perpustakaan baru. Tekan tombol
bergambar panah, pilih lantai, pintu tertutup. Nyuuuuuuttttttt, “Ting” Sampailah kami di lantai dasar. Belum sempat
pintu lift tadi tertutup rapat. “Lain kali mahasiswa dilarang naik lift.”
Satpam bertubuh ramping menghujat. “Lho, terus lift-nya buat siapa pak?”
Tanyaku, “Ya buat dosen, mas.” Jawabnya. “Oooo.. Maaf pak ya..!” Pungkasku. Sebenarnya,
itu perpustakaan atau perusahaan? Sepertinya pak satpam tadi hanya ‘bekerja’
untuk pembayar upahnya, bukan siapa yang membayar upahnya. Maksudnya? Jadi begini,
‘pembayar upah’ tidak lain adalah pihak yang secara langsung memberi upah
kepada satpam tadi, sedangkan ‘yang membayar upah’ adalah mahasiswa yang rutin
selama 8 semester – bisa jadi lebih – membayar spp, yang akrab dipanggil BOP.
***
Banyak yang masih menjadi
ketidaktentraman hati saya, selaku pemustaka dan mahasiswa yang bergelut dengan
dunia perpustakaan. Seminggu sembelumnya, saya mengunjungi sekolah Master,
jangan anda bayangkan disekolah itu berisi pelajar dengan kemampuan Limbad.
Master (Masjid Terminal), Depok. Saya menemui bapak Nurrokhim, kepala pengelola
asrama. Rencananya, saya dan beberapa gelintir teman saya akan melaksanakan
proyek sosial ‘Dunia Cinta’, dan saya dipercaya menjadi koordinator urusan revitaslisasi
perpustakaannya. Jika perpustakaan UI menelan biaya 200 M lebih, maka, saya
hanya butuh 2 juta saja. Itu pun
tidak semuanya dalam bentuk uang. Ketika menikmati perpustakaan baru UI, saya
harus mengoreksi kembali anggaran 2 juta tadi. Kenapa? Karena dengan sisa-sisa properti
perpustakaan fakultas-fakultas di UI, saya yakin, perpustakaan sekolah Master
dengan mudah berdiri dengan kualitas perguruan tinggi dan kuantitas sekolah
Negeri.
Sekarang, kita hanya bisa mendampingi
proses pembangunan komunitas pemustaka di perpustakaan baru UI. Prof. Sulistiyo
Basuki, dalam kuliah yang saya ikuti tahun lalu pernah mengatakan, “Perpustakaan
itu seharusnya terbuka, terbuka untuk semua orang.” Harapan itu sepertinya akan
segera terwujud di UI. Perpustakaan terbaru dan terbesar ini rencananya akan
dibuka untuk umum. Pernyataan serupa juga sempat dilontarkan oleh Raja Ashurbanipal
dari Babylonia yang mendirikan perpustakaan besar di kota Neneveh sekitar tahun
600 SM. Kejadian serupa juga pernah terjadi di Yunani dan Romawi. Di Yunani,
Peisistratus yang berkuasa di Athena sekitar tahun 600-528 SM membuka
perpustakaan untuk rakyat Yunani. Sedangkan di Romawi, Kaisar Agustus (63 SM –
14 M) juga melakukan hal yang sama.
Semoga kemegahan perpustakaan UI mampu
memberi kekuatan positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan Indonesia. Tidak hanya
juara olimpiade internasional berkali-kali saja. Tapi menjadi Negara yang
benar-benar juara tanpa kemiskinan dimana-mana, pengangguran berjama’ah, dan
pembodohan yang berwibawa. “Nam et ipsa
scientia potestas est.” (ilmu pengetahuan adalah kekuatan). Kalimat ini
diucapkan oleh Roger Bacon, seorang ilmuwan ulung abad pertengahan. “Ilmu pengetahuan ada di perpustakaan.” Dan
ini kata saya. He he he. Jadi, kekuatan sebuah peradaban dapat diukur dari
kekuatan ilmu pengetahuan masyarakatnya, dan perpustakaan adalah parameter
suatu peradaban terhadap ilmu pengetahuan. Mesir mampu menjadi rujukan ilmu
pengetahuan selama 9 abad, tidak dapat dipisahkan dari peranan perpustakaan
Alexandri yang dibangun Ptolomues Soter. Eropa bangkit dari keterpurukan juga
tidak terpisahkan oleh kerja keras Greja dalam membangun perpustakaan awal abad
ke-20.
Catatan sejarah sudah banyak
menuliskan peranan perpustakaan terhadap perdaban manusianya. Seperti kata
ilmuan Roma, Plinius “Igena hominum rem
publica.” (menjadikan bakat manusia dan kekuatan mental sebagai milik
umum). Perpustakaan UI sudah berdiri, tinggal bagaimana kita mengisinya dengan
dua hal yang dikemukakan oleh Plinius diatas, supaya megah dan modern-nya
bangunan, isi, dan layanan tidak bersifat ephemera
(kurang penting) di tengah-tengah mahasiswa dan rakyat Indonesia.
1 comment:
"Rak berjubal menindih rak dibawahnya...efektif dalam hal menghemat tempat."
Sindiran halus akan ketersediaan tempat, nih :D
Semoga kualitas manusianya setara dengan fasilitasnya. Mulai dari organisme terkecil, kita sendiri, untuk memanfaatkan perpustakaan sebagai mata air pengetahuan. Semoga, ya, itu buku-buku dibaca dan dimanfaatkan dengan baik oleh kita.
Keep blogging, Oejank!
Post a Comment