MELEWATI LEMBAH AIR MATA
Sebuah Kisah
Tentang Keberanian Untuk Hidup
Oleh Job Palar
Dengan rendah
hati sang penulis buku ini memulai kisah hidupnya dengan menyatakan secara
lansung ke pembacanya, “Ini adalah sebuah kesalahan yang saya lakukan dalam
hidup saya”. Sebuah pengakuan pribadi di awal kisah tentu menempatkan dirinya
dalam posisi “genting”, dipersalahkan pembaca.
Tapi pembaca
sebetulnya sudah tidak perlu berepot-repot menyalahkan Mbak Ning—sapaan akrab
dari si penulis buku, Mundhi Sabda Hardiningtyas—selama membaca fragmen
kehidupan ini. Sudah banyak perwakilan untuk posisi “pencemooh” Mbak Ning,
daftar itu bisa dimulai dari teman-teman pelayanan dan rohaniwan yang terlibat
dalam kehidupannya, berikutnya barangkali adalah masyarakat sekitar, lalu bisa
keluarga dekat, dan seterusnya.
Sementara itu, salah satu tokoh utama dalam kisah ini, sang Arjuna, berperan sebagai penggenap kesalahan yang dilakukan Mbak Ning. Ia berfungsi menghadirkan teror, duka, dan nestapa dalam rumah tangga Mbak Ning. Sang Arjuna, bukan nama sebenarnya, adalah suami yang dipilih oleh Mbak Ning untuk menjadi suaminya. Sang Arjuna memang menggenapi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Mbak Ning dan anaknya, Dika. Sebenarnya ada dua lagi anak kandung Mbak Ning, namun hanya peran anak tertua Dika yang patut dicatat dalam bahasan ini.
Sang Arjuna,
dikisahkan, menghancurkan Mbak Ning baik secara psikis maupun fisik. Kisah ini
diceritakan dengan gamblang. Sebuah perceraian sebenarnya sudah bisa menjadi
jalan keluar. Namun, iman Mbak Ning menyatakan itu bukan jalan keluar. Jelas,
dia tak ingin sebuah kesalahan di awal harus diakhiri dengan kesalahan lainnya.
Kisah-kisah
pelarian yang mencekam dialami ibu dan anak di tengah keganasan sang suami.
Namun, sepertinya ada kisah pelarian yang “tidak pada tempatnya”, di halaman
111, penulis buku ini lebih tepat menuliskan “mengajak anak-anak ke Pontianak”
bukan “membawa anak-anak lari ke Pontianak” karena saat itu tidak ada tekanan
apa pun dari suaminya, sang Arjuna, yang telah minggat entah ke mana.
Ini kerancuan
yang wajar saja, karena memang suasana yang sedang terbangun menggambarkan
ketegangan yang luar biasa dari para tokohnya. Semua kisah tentu datang dari
sudut pandang Mbak Ning, barangkali ada pandangan berbeda dari orang-orang yang
terlibat, tapi tak bisa tampil di buku ini karena buku ini memang sebuah
pengalaman pribadi, bukan tentang orang lain.
Yang menarik,
penulis juga menyadari ada sikap egosentris dirinya. Ini terlihat dari bab
“Kepahitan Dika”. Mbak Ning mengakui diri terlalu mengasihani diri sendiri,
terlalu “asyik” dengan derita dan ketegangan diri sendiri. Ia lupa masih ada
Dika, sang anak pertama, yang masih butuh kehadirannya. Buku ini tidak hanya
berkisah tentang derita demi derita. Sebuah titik balik kerohanian yang dialami
Mbak Ning patut dicermati dan bisa mengilhami banyak orang yang memiliki
masalah yang serupa. Sikap mengampuni sang suami menemukan arahnya.
Pertentangan
antara kehidupan nyata dan tataran rohani ideal menjadi muncul saat Mbak Ning
berkisah tentang perceraian dan hak pertanggungan anak. Kehidupan nyata itu
bisa diwakili oleh para konsultan hukum yang didatanginya yang dengan tegas
menyatakan “harus terjadi perceraian” dan minta perwalian untuk mengasuh anak.
Sementara itu, para rohaniwan masih bermain di daerah abu-abu, “berdoa dan
berdoa” untuk meminta kembalinya sang Arjuna.
Seandainya
Arjuna kembali, apakah lalu masalah menjadi selesai? Apakah setelah itu harus
kabur dari rumah lagi, dan fragmen-fragmen kehidupan berulang kembali?
Apakah yang
diharapkan oleh para pendoa itu adalah Arjunanya Mbak Ning datang dengan tabiat
yang telah berubah dan penuh sesal serta bersumpah setia ingin kembali membina
hubungan rumah tangga yang ideal? Pertanyaan yang menggelitik karena keadaan
itu Cuma bisa hadir dengan mulus di sinetron-sinetron taubat di televisi.
Mbak Ning mulai
memiliki titik pandang berbeda terhadap persepsi masyarakat padanya.
Ia dikelilingi
para sahabat yang sangat berpengaruh dalam alur hidupnya. Arti seorang sahabat
menjadi sangat penting untuk Mbak Ning. Jalinan persahabatan yang tidak hanya
dilandasi oleh kesamaan dasar iman, tapi empati yang mendalam membuat hidup
menjadi lebih baik.
Perceraian
dilihat sebagai sebuah kegagalan dalam rumah tangga adalah benar, tapi rumah
tangga yang penuh derita jangan-jangan memang membutuhkan perceraian untuk
terjadi.
Riwayat Mbak
Ning benar-benar memperlihatkan keteguhan visi seorang hamba tuhan. Ia tetap
bersikukuh bahwa ada yang salah pada dirinya jika sebuah perceraian harus
terjadi, namun memiliki pandangan jauh ke depan bahwa yang ideal itu bukan
semata-mata bentuk keluarga secara fisik, tetapi peran sesungguhnya dalam
keluarga, walaupun sebagai orang tua tunggal. Ini jauh lebih penting.
Jika seorang
ayah jasmani sudah tidak bisa dianggap baik lagi kehadirannya, Mbak Ning berani
mengambil posisi sebagai “ayah” jasmani maupun rohani untuk anak-anaknya.
Jelas, buku ini
akan mendorong pembacanya untuk kuat dan berani menghadapi berbagai gejolak
hidup. Mbak Ning mendemonstrasikan kekuatan Tuhan dalam perjalanan hidupnya
lewat buku ini.
Kekuatan itu
bukan kekuatan menghukum atau menyakiti, apalagi menyiksa, tetapi kekuatan
mengampuni, kekuatan melihat “susu setitik di antara nila sebelanga”, melihat
yang terbaik di antara yang terburuk sekalipun.
Di sini juga
kita bisa memaknai sikap si penulis, Mbak Ning. Ketika banyak orang yang berani
mati untuk membela keyakinannya, Mbak Ning memilih berani hidup untuk menjalani
keyakinan dan imannya.
Dear All,
Berikut ini saya
sampaikan ucapan terima kasih untuk konselor, rohaniwan pembimbing dan
kawan-kawan rohani yang telah rela dipakai Tuhan untuk mendukung dan
mendampingi saya menjalani hidup yang sangat sulit dan penuh depresi. Tapi puji
Tuhan, akhirnya Tuhan memampukan saya melewati lembah air mata. Mohon maaf kalau
saya mengirimkan ucapan terima kasih seperti yang tertulis dalam buku saya
"Melewati Lembah Air Mata" melalui milis, karena sebagian besar kawan
rohani, justru saya kenal pertama kali melalui dunia maya.
Salam hangat,
Ning
Ucapan Terima
Kasih
Ucapan syukur
patut saya naikkan kepada Tuhan yang tak henti-hentinya mengasihi dan menyertai
saya. Berbagai penderitaan Tuhan ijinkan terjadi demi kebaikan saya dan
anak-anak. Dengan tangan kasihNya, Tuhan menyiapkan soft landing pada saat yang
tepat sehingga ketika saya dicampakkan tidak pernah jatuh terjerembab atau
ketika saya ditinggalkan, saya tidak merasa kesepian. Tangan Tuhan yang perkasa
telah memampukan saya untuk melewati lembah-lembah kekelaman dan berdiri tegak
di atas puing-puing kehancuran serta melanjutkan perjalanan bersamaNya.
Ucapan terima
kasih juga layak saya sampaikan kepada mantan suami saya; Arjuna beserta ayah
dan ibu mertua saya yang telah menorehkan luka dan memberi saya berbagai
pengalaman hidup yang sangat berharga. Tidak kalah pentingnya, saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah mencemooh dan
mentertawakan kegagalan saya. Walaupun apa yang mereka lakukan tak ubahnya
mengguyurkan cuka di atas luka, namun saya sangat berterima kasih karena secara
tidak langsung mereka membuat saya semakin dekat dengan Tuhan. Semakin tak kuat
menanggung kepedihan hati, sayapun semakin aktif mencari Tuhan untuk membalut
dan menyembuhkan luka hati saya. Semakin dalam luka yang mereka goreskan,
membuat saya semakin mengerti betapa besar kasih dan penyertaan Tuhan dalam
hidup saya, sehingga sayapun semakin tertantang untuk mengampuni mereka. Sekali
lagi terima kasih untuk Arjuna dan orang-orang yang pernah menyakiti saya,
karena tanpa mereka mungkin saya tidak berkesempatan untuk belajar mengampuni
tanpa syarat.
Saya sangat
bersyukur karena Tuhan memberi saya dua orang tua yang penuh cinta, mau
mengerti dan menerima saya apa adanya. Tidak hanya mengantar saya memasuki
kehidupan rumah tangga, tetapi mereka juga bersedia menanggung beban dan
bertanggung jawab atas kegagalan saya. Saya juga sangat bersyukur karena Tuhan
telah mengaruniakan Dika,Vika dan Mika; ketiga anak saya yang kembali
mengobarkan semangat hidup yang nyaris padam. Terima kasih juga kepada adik
saya; Titin Suprihatini yang selalu menolong ketika jiwa saya dan anak-anak
terancam. Sudah seharusnya saya juga berterima kasih kepada kakak-kakak saya,
terutama Priagus Widodo dan Sinung Wigati serta kakak ipar saya Mas Gio yang
rela mengambil tanggung jawab sebagai ayah dan orang tua pengganti bagi
anak-anak saya.
Terima kasih
yang tak terkira saya sampaikan kepada Bapak Pdt. Tony Theopilus, Bapak Pdt.
Nugroho, Bapak Tri Budiardjo beserta istri dan Tim Solusi yang telah menjadi
konselor sekaligus pembimbing rohani ketika saya jatuh terpuruk dan hampir
kehilangan arah. Juga Bapak Pdt. Rekno Wibowo yang senantiasa mendoakan saya
dan anak-anak terutama ketika badai menerpa rumah tangga kami.
Tak lupa saya
juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Pdt. Eka Dharmaputra (alm) yang telah
mewariskan pengajaran berharga tentang penderitaan orang-orang beriman.Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya haturkan kepada Bapak FA Suhardi
yang selalu siap menjadi tempat saya bertanya dan membagi beban. Juga kepada
Bapak Pdt. Ayub Yahya yang selalu menyemangati hidup saya.
Ucapan terima
kasih layak saya sampaikan kepada para hakim : Ibu Djuarni, SH., Ibu Budi
Hapsari, SH., dan Ibu Rita Elsy, SH beserta panitera; Bapak Jansen Simbolon, SH
di Pengadilan Negeri Bogor ,
yang telah membantu saya mengerti hak dan kewajiban sebagai seorang ibu. Mereka
jualah yang telah mendorong saya untuk menghormati dan tunduk pada hukum yang
berlaku.
Tidak kalah
pentingnya dalam hidup saya adalah sahabat-sahabat saya: Petrus Lambe, beserta
istrinya; Kusuma Wardhani, Ign Suharyono dan Dwi Woro yang selalu meminjamkan
telinga dan hatinya terutama ketika dada saya terasa sesak penuh beban. Terima
kasih juga untuk Septa dan Bung Andri Pranolo yang telah menjadi kawan rohani
yang banyak memberikan dukungan moril pada saat yang tepat, sehingga saya
berani memutuskan yang terbaik untuk Tuhan, diri saya sendiri dan anak-anak.
Terima kasih juga patut saya sampaikan kepada Ati (adik) Joni Wang, Fransisca
Yunisa, dan Sigit Budi Darmawan yang telah menjadi teman curhat ketika jiwa
saya lelah menghadapi persidangan.
Terima kasih
juga kepada Ci Aina, Pak Donny A.Wiguna, Pak Donny E. Prasetya, Bapak Pdt. Bob
Jokiman, dr. Eddy JP, Ibu Anna S. Setyowati, Ibu Inne, Pak Yohanes, Pak Berman
Sitorus dan kawan-kawan lain di milis Ayah Bunda. Karena penerimaan dan sikap
simpati dari rekan-rekan milis Ayah Bunda inilah saya berani "membuka
topeng" dan dengan bangga mengakui diri sebagai single parent. Terima
kasih juga kepada Mas Arie Saptaji, Pak Sabar Simatupang dan Koko Wawan S.
Tarman yang telah banyak memberikan masukan yang sangat berguna untuk menata
kembali hidup saya.
Sudah sepatutnya
saya memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Bapak Pdt. Julianto
Simanjuntak dan Ibu Roswitha yang telah mengajar saya "Seni Merayakan
Hidup Yang Sulit", membekali saya ketrampilan "How To Forgive",
melatih saya sebagai konselor awam, memfasilitasi saya untuk melakukan
konseling dan terapi kelompok serta konseling interaktif di Radio Pelita Kasih
96.3 FM dan TV Kabel Vision. Terima kasih juga kepada Mbak Anis dan komunitas
"HOPE-LK3" yang telah memungkinkan saya mencapai pemulihan yang
stabil dan sustainable.
Terima kasih
juga kepada Bung Job Palar yang sering memuat tulisan saya di Sinar Harapan
edisi Sabtu sore dan Bapak Pdt. K.E. Sianipar yang telah memungkinkan beberapa
tulisan saya dimuat di koran Actual di USA. Terima kasih yang tak terkira juga
saya sampaikan kepada Bapak Pdt. Mangapul Sagala dan Om Robert Nio (Mang Ucup)
yang telah memberi perhatian khusus kepada Dika dan selalu menyemangati saya
untuk menulis. Atas jasa Mang Ucup jugalah saya bisa berkenalan dengan Pak Ang
Tek Khun yang membantu penerbitan buku ini. Penghargaan yang tak terkira layak
saya sampaikan kepada Bapak Handy Asikin yang telah menolong saya merumuskan
judul buku ini.
Terima kasih
yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Amangboru Walsinur Silalahi,
Bapak Soewarso dan istri, Budhe Farida Lahenda dan Oma Lahenda, Ibu Martha
Pratana, Bapak Jaunty Harlim, Bapak Handy Asikin, Ibu Cecilia Evy Rumengan,
Aldia, Ryandi & "Nonik" Christanti yang telah menjadi kawan karib
dan keluarga kedua saya terutama selama melakukan pelayanan di Surabaya dan
Malang. Terima kasih juga saya haturkan kepada Bapak Pdt. RYR. Wehantouw, Bapak
Fredrik Makitan, Bapak Margono Susilomurti beserta Ibu Susana Retno Prihatin
dan rekan-rekan lain di Batu Malang
yang telah memberi kesempatan saya belajar tentang banyak hal sembari minum teh
hangat. Terima kasih juga kepada Mbak Olivia dan seluruh crew Radio Sejahtera
di Malang serta Mbak Fanny Lesmana lengkap dengan crew radio dan redaksi
majalah Sangkakala di Surabaya.
Rasanya kurang
lengkap jika saya tak mengucapkan terima kasih kepada adik-adik rohani saya;
Veronika Ratna Ayu, Anton Widjaja dan Ferry Widjaja yang telah banyak
mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mendukung pelayanan saya. Juga kepada
Grace Suryani di China dan Mbak Nuke di Jerman yang concern dengan perkembangan
Dika. Tak lupa saya juga mengucapkan terima kasih kepada Nandya Christina,
Yulliana Tan, Novilia Tjandra, Venny Sherlina, Annie Lee, Mulyani, Handy dan
rekan-rekan lain dari Pemuda Gereja Kristus Ketapang serta para pembaca buku
pertama saya "Tangan Yang Menenun" yang telah banyak mendoakan dan
memberikan dukungan moral yang sangat berarti.
Mundhi Sabda
Hardiningtyas
Email:
sabdaningtyas@indo.net.id
Kategori:
Kesaksian – Keluarga
Judul: Melewati
Lembah Air Mata
Pengarang:
Mundhi Sabda Hardiningtyas
Penerbit:
Gradien Books
Cetakan: Cetakan
Pertama, 1 Juni 2006
Hal: 200 halaman
No comments:
Post a Comment