Wednesday, March 2, 2011

MELEWATI LEMBAH AIR MATA

-->
MELEWATI LEMBAH AIR MATA

Sebuah Kisah Tentang Keberanian Untuk Hidup


Oleh Job Palar

Dengan rendah hati sang penulis buku ini memulai kisah hidupnya dengan menyatakan secara lansung ke pembacanya, “Ini adalah sebuah kesalahan yang saya lakukan dalam hidup saya”. Sebuah pengakuan pribadi di awal kisah tentu menempatkan dirinya dalam posisi “genting”, dipersalahkan pembaca.

Tapi pembaca sebetulnya sudah tidak perlu berepot-repot menyalahkan Mbak Ning—sapaan akrab dari si penulis buku, Mundhi Sabda Hardiningtyas—selama membaca fragmen kehidupan ini. Sudah banyak perwakilan untuk posisi “pencemooh” Mbak Ning, daftar itu bisa dimulai dari teman-teman pelayanan dan rohaniwan yang terlibat dalam kehidupannya, berikutnya barangkali adalah masyarakat sekitar, lalu bisa keluarga dekat, dan seterusnya.

Sementara itu, salah satu tokoh utama dalam kisah ini, sang Arjuna, berperan sebagai penggenap kesalahan yang dilakukan Mbak Ning. Ia berfungsi menghadirkan teror, duka, dan nestapa dalam rumah tangga Mbak Ning. Sang Arjuna, bukan nama sebenarnya, adalah suami yang dipilih oleh Mbak Ning untuk menjadi suaminya. Sang Arjuna memang menggenapi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Mbak Ning dan anaknya, Dika. Sebenarnya ada dua lagi anak kandung Mbak Ning, namun hanya peran anak tertua Dika yang patut dicatat dalam bahasan ini.
Sang Arjuna, dikisahkan, menghancurkan Mbak Ning baik secara psikis maupun fisik. Kisah ini diceritakan dengan gamblang. Sebuah perceraian sebenarnya sudah bisa menjadi jalan keluar. Namun, iman Mbak Ning menyatakan itu bukan jalan keluar. Jelas, dia tak ingin sebuah kesalahan di awal harus diakhiri dengan kesalahan lainnya.
Kisah-kisah pelarian yang mencekam dialami ibu dan anak di tengah keganasan sang suami. Namun, sepertinya ada kisah pelarian yang “tidak pada tempatnya”, di halaman 111, penulis buku ini lebih tepat menuliskan “mengajak anak-anak ke Pontianak” bukan “membawa anak-anak lari ke Pontianak” karena saat itu tidak ada tekanan apa pun dari suaminya, sang Arjuna, yang telah minggat entah ke mana.
Ini kerancuan yang wajar saja, karena memang suasana yang sedang terbangun menggambarkan ketegangan yang luar biasa dari para tokohnya. Semua kisah tentu datang dari sudut pandang Mbak Ning, barangkali ada pandangan berbeda dari orang-orang yang terlibat, tapi tak bisa tampil di buku ini karena buku ini memang sebuah pengalaman pribadi, bukan tentang orang lain.
Yang menarik, penulis juga menyadari ada sikap egosentris dirinya. Ini terlihat dari bab “Kepahitan Dika”. Mbak Ning mengakui diri terlalu mengasihani diri sendiri, terlalu “asyik” dengan derita dan ketegangan diri sendiri. Ia lupa masih ada Dika, sang anak pertama, yang masih butuh kehadirannya. Buku ini tidak hanya berkisah tentang derita demi derita. Sebuah titik balik kerohanian yang dialami Mbak Ning patut dicermati dan bisa mengilhami banyak orang yang memiliki masalah yang serupa. Sikap mengampuni sang suami menemukan arahnya.
Pertentangan antara kehidupan nyata dan tataran rohani ideal menjadi muncul saat Mbak Ning berkisah tentang perceraian dan hak pertanggungan anak. Kehidupan nyata itu bisa diwakili oleh para konsultan hukum yang didatanginya yang dengan tegas menyatakan “harus terjadi perceraian” dan minta perwalian untuk mengasuh anak. Sementara itu, para rohaniwan masih bermain di daerah abu-abu, “berdoa dan berdoa” untuk meminta kembalinya sang Arjuna.
Seandainya Arjuna kembali, apakah lalu masalah menjadi selesai? Apakah setelah itu harus kabur dari rumah lagi, dan fragmen-fragmen kehidupan berulang kembali?
Apakah yang diharapkan oleh para pendoa itu adalah Arjunanya Mbak Ning datang dengan tabiat yang telah berubah dan penuh sesal serta bersumpah setia ingin kembali membina hubungan rumah tangga yang ideal? Pertanyaan yang menggelitik karena keadaan itu Cuma bisa hadir dengan mulus di sinetron-sinetron taubat di televisi.
Mbak Ning mulai memiliki titik pandang berbeda terhadap persepsi masyarakat padanya.
Ia dikelilingi para sahabat yang sangat berpengaruh dalam alur hidupnya. Arti seorang sahabat menjadi sangat penting untuk Mbak Ning. Jalinan persahabatan yang tidak hanya dilandasi oleh kesamaan dasar iman, tapi empati yang mendalam membuat hidup menjadi lebih baik.
Perceraian dilihat sebagai sebuah kegagalan dalam rumah tangga adalah benar, tapi rumah tangga yang penuh derita jangan-jangan memang membutuhkan perceraian untuk terjadi.
Riwayat Mbak Ning benar-benar memperlihatkan keteguhan visi seorang hamba tuhan. Ia tetap bersikukuh bahwa ada yang salah pada dirinya jika sebuah perceraian harus terjadi, namun memiliki pandangan jauh ke depan bahwa yang ideal itu bukan semata-mata bentuk keluarga secara fisik, tetapi peran sesungguhnya dalam keluarga, walaupun sebagai orang tua tunggal. Ini jauh lebih penting.
Jika seorang ayah jasmani sudah tidak bisa dianggap baik lagi kehadirannya, Mbak Ning berani mengambil posisi sebagai “ayah” jasmani maupun rohani untuk anak-anaknya.
Jelas, buku ini akan mendorong pembacanya untuk kuat dan berani menghadapi berbagai gejolak hidup. Mbak Ning mendemonstrasikan kekuatan Tuhan dalam perjalanan hidupnya lewat buku ini.
Kekuatan itu bukan kekuatan menghukum atau menyakiti, apalagi menyiksa, tetapi kekuatan mengampuni, kekuatan melihat “susu setitik di antara nila sebelanga”, melihat yang terbaik di antara yang terburuk sekalipun.
Di sini juga kita bisa memaknai sikap si penulis, Mbak Ning. Ketika banyak orang yang berani mati untuk membela keyakinannya, Mbak Ning memilih berani hidup untuk menjalani keyakinan dan imannya.
Dear All,

Berikut ini saya sampaikan ucapan terima kasih untuk konselor, rohaniwan pembimbing dan kawan-kawan rohani yang telah rela dipakai Tuhan untuk mendukung dan mendampingi saya menjalani hidup yang sangat sulit dan penuh depresi. Tapi puji Tuhan, akhirnya Tuhan memampukan saya melewati lembah air mata. Mohon maaf kalau saya mengirimkan ucapan terima kasih seperti yang tertulis dalam buku saya "Melewati Lembah Air Mata" melalui milis, karena sebagian besar kawan rohani, justru saya kenal pertama kali melalui dunia maya.

Salam hangat,
Ning

Ucapan Terima Kasih
Ucapan syukur patut saya naikkan kepada Tuhan yang tak henti-hentinya mengasihi dan menyertai saya. Berbagai penderitaan Tuhan ijinkan terjadi demi kebaikan saya dan anak-anak. Dengan tangan kasihNya, Tuhan menyiapkan soft landing pada saat yang tepat sehingga ketika saya dicampakkan tidak pernah jatuh terjerembab atau ketika saya ditinggalkan, saya tidak merasa kesepian. Tangan Tuhan yang perkasa telah memampukan saya untuk melewati lembah-lembah kekelaman dan berdiri tegak di atas puing-puing kehancuran serta melanjutkan perjalanan bersamaNya.

Ucapan terima kasih juga layak saya sampaikan kepada mantan suami saya; Arjuna beserta ayah dan ibu mertua saya yang telah menorehkan luka dan memberi saya berbagai pengalaman hidup yang sangat berharga. Tidak kalah pentingnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah mencemooh dan mentertawakan kegagalan saya. Walaupun apa yang mereka lakukan tak ubahnya mengguyurkan cuka di atas luka, namun saya sangat berterima kasih karena secara tidak langsung mereka membuat saya semakin dekat dengan Tuhan. Semakin tak kuat menanggung kepedihan hati, sayapun semakin aktif mencari Tuhan untuk membalut dan menyembuhkan luka hati saya. Semakin dalam luka yang mereka goreskan, membuat saya semakin mengerti betapa besar kasih dan penyertaan Tuhan dalam hidup saya, sehingga sayapun semakin tertantang untuk mengampuni mereka. Sekali lagi terima kasih untuk Arjuna dan orang-orang yang pernah menyakiti saya, karena tanpa mereka mungkin saya tidak berkesempatan untuk belajar mengampuni tanpa syarat.

Saya sangat bersyukur karena Tuhan memberi saya dua orang tua yang penuh cinta, mau mengerti dan menerima saya apa adanya. Tidak hanya mengantar saya memasuki kehidupan rumah tangga, tetapi mereka juga bersedia menanggung beban dan bertanggung jawab atas kegagalan saya. Saya juga sangat bersyukur karena Tuhan telah mengaruniakan Dika,Vika dan Mika; ketiga anak saya yang kembali mengobarkan semangat hidup yang nyaris padam. Terima kasih juga kepada adik saya; Titin Suprihatini yang selalu menolong ketika jiwa saya dan anak-anak terancam. Sudah seharusnya saya juga berterima kasih kepada kakak-kakak saya, terutama Priagus Widodo dan Sinung Wigati serta kakak ipar saya Mas Gio yang rela mengambil tanggung jawab sebagai ayah dan orang tua pengganti bagi anak-anak saya.

Terima kasih yang tak terkira saya sampaikan kepada Bapak Pdt. Tony Theopilus, Bapak Pdt. Nugroho, Bapak Tri Budiardjo beserta istri dan Tim Solusi yang telah menjadi konselor sekaligus pembimbing rohani ketika saya jatuh terpuruk dan hampir kehilangan arah. Juga Bapak Pdt. Rekno Wibowo yang senantiasa mendoakan saya dan anak-anak terutama ketika badai menerpa rumah tangga kami.

Tak lupa saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Pdt. Eka Dharmaputra (alm) yang telah mewariskan pengajaran berharga tentang penderitaan orang-orang beriman.Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya haturkan kepada Bapak FA Suhardi yang selalu siap menjadi tempat saya bertanya dan membagi beban. Juga kepada Bapak Pdt. Ayub Yahya yang selalu menyemangati hidup saya.

Ucapan terima kasih layak saya sampaikan kepada para hakim : Ibu Djuarni, SH., Ibu Budi Hapsari, SH., dan Ibu Rita Elsy, SH beserta panitera; Bapak Jansen Simbolon, SH di Pengadilan Negeri Bogor, yang telah membantu saya mengerti hak dan kewajiban sebagai seorang ibu. Mereka jualah yang telah mendorong saya untuk menghormati dan tunduk pada hukum yang berlaku.
Tidak kalah pentingnya dalam hidup saya adalah sahabat-sahabat saya: Petrus Lambe, beserta istrinya; Kusuma Wardhani, Ign Suharyono dan Dwi Woro yang selalu meminjamkan telinga dan hatinya terutama ketika dada saya terasa sesak penuh beban. Terima kasih juga untuk Septa dan Bung Andri Pranolo yang telah menjadi kawan rohani yang banyak memberikan dukungan moril pada saat yang tepat, sehingga saya berani memutuskan yang terbaik untuk Tuhan, diri saya sendiri dan anak-anak. Terima kasih juga patut saya sampaikan kepada Ati (adik) Joni Wang, Fransisca Yunisa, dan Sigit Budi Darmawan yang telah menjadi teman curhat ketika jiwa saya lelah menghadapi persidangan.

Terima kasih juga kepada Ci Aina, Pak Donny A.Wiguna, Pak Donny E. Prasetya, Bapak Pdt. Bob Jokiman, dr. Eddy JP, Ibu Anna S. Setyowati, Ibu Inne, Pak Yohanes, Pak Berman Sitorus dan kawan-kawan lain di milis Ayah Bunda. Karena penerimaan dan sikap simpati dari rekan-rekan milis Ayah Bunda inilah saya berani "membuka topeng" dan dengan bangga mengakui diri sebagai single parent. Terima kasih juga kepada Mas Arie Saptaji, Pak Sabar Simatupang dan Koko Wawan S. Tarman yang telah banyak memberikan masukan yang sangat berguna untuk menata kembali hidup saya.

Sudah sepatutnya saya memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Bapak Pdt. Julianto Simanjuntak dan Ibu Roswitha yang telah mengajar saya "Seni Merayakan Hidup Yang Sulit", membekali saya ketrampilan "How To Forgive", melatih saya sebagai konselor awam, memfasilitasi saya untuk melakukan konseling dan terapi kelompok serta konseling interaktif di Radio Pelita Kasih 96.3 FM dan TV Kabel Vision. Terima kasih juga kepada Mbak Anis dan komunitas "HOPE-LK3" yang telah memungkinkan saya mencapai pemulihan yang stabil dan sustainable.

Terima kasih juga kepada Bung Job Palar yang sering memuat tulisan saya di Sinar Harapan edisi Sabtu sore dan Bapak Pdt. K.E. Sianipar yang telah memungkinkan beberapa tulisan saya dimuat di koran Actual di USA. Terima kasih yang tak terkira juga saya sampaikan kepada Bapak Pdt. Mangapul Sagala dan Om Robert Nio (Mang Ucup) yang telah memberi perhatian khusus kepada Dika dan selalu menyemangati saya untuk menulis. Atas jasa Mang Ucup jugalah saya bisa berkenalan dengan Pak Ang Tek Khun yang membantu penerbitan buku ini. Penghargaan yang tak terkira layak saya sampaikan kepada Bapak Handy Asikin yang telah menolong saya merumuskan judul buku ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Amangboru Walsinur Silalahi, Bapak Soewarso dan istri, Budhe Farida Lahenda dan Oma Lahenda, Ibu Martha Pratana, Bapak Jaunty Harlim, Bapak Handy Asikin, Ibu Cecilia Evy Rumengan, Aldia, Ryandi & "Nonik" Christanti yang telah menjadi kawan karib dan keluarga kedua saya terutama selama melakukan pelayanan di Surabaya dan Malang. Terima kasih juga saya haturkan kepada Bapak Pdt. RYR. Wehantouw, Bapak Fredrik Makitan, Bapak Margono Susilomurti beserta Ibu Susana Retno Prihatin dan rekan-rekan lain di Batu Malang yang telah memberi kesempatan saya belajar tentang banyak hal sembari minum teh hangat. Terima kasih juga kepada Mbak Olivia dan seluruh crew Radio Sejahtera di Malang serta Mbak Fanny Lesmana lengkap dengan crew radio dan redaksi majalah Sangkakala di Surabaya.

Rasanya kurang lengkap jika saya tak mengucapkan terima kasih kepada adik-adik rohani saya; Veronika Ratna Ayu, Anton Widjaja dan Ferry Widjaja yang telah banyak mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mendukung pelayanan saya. Juga kepada Grace Suryani di China dan Mbak Nuke di Jerman yang concern dengan perkembangan Dika. Tak lupa saya juga mengucapkan terima kasih kepada Nandya Christina, Yulliana Tan, Novilia Tjandra, Venny Sherlina, Annie Lee, Mulyani, Handy dan rekan-rekan lain dari Pemuda Gereja Kristus Ketapang serta para pembaca buku pertama saya "Tangan Yang Menenun" yang telah banyak mendoakan dan memberikan dukungan moral yang sangat berarti.

Bogor, Juni 2006
Mundhi Sabda Hardiningtyas
Email: sabdaningtyas@indo.net.id
Kategori: Kesaksian  – Keluarga
Judul: Melewati Lembah Air Mata
Pengarang: Mundhi Sabda Hardiningtyas
Penerbit: Gradien Books
Cetakan: Cetakan Pertama, 1 Juni 2006
Hal: 200 halaman

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...