Langit di kota Depok membiru dan
cerah siang ini. Sekelompok orang sedang bercengkeramah di sebuah warung kopi
yang berjarak lima
belas meter dari rumah yang aku diami. Akrab. Kepulan asap rokok terbang dengan
tenang di atmosfer canda dan tawa mereka.
Gulungan kertas
berserakan di meja depan rumah, aku berusaha membereskannya. Laptop yang telah
menyala di teras rumah sengaja aku tinggal sejenak. Layar laptop berwarna perak
tersebut menampilkan potret perempuan dengan lesung pipi yang sudah familiar di
benakku.
Sinar matahari
mulai panas. Sorak dan riuh kendaraan semakin menderu terdengar. Waktu
bersantai sudah habis. Laptop segera aku turn
off. Rasanya belum puas menikmati lesung pipi perempuan kelahiran kota dingin Malang
tersebut. Terlalu banyak variasi yang membuatku terus berinovasi dalam
memikirkannya. Fantasi yang aku bangun masih terlalu dini dan too small.
Seperti lantunan
lagu to be with u dari Mr. BIG,
selalu ingin aku memikirkan dan membayangkan dia berada tepat di sampingku.
Menyandarkan kepalanya di dadaku. Memegang erat tangan dan menciumi keningku.
Bayangan itu menghampiri hampir disetiap imajinasiku tentangnya. Terkadang
terlalu jauh aku menalar tentang keindahannya.
*
Kehidupan malam di kota
Depok sangat megah. Mall dan tempat hiburan malam seolah tak pernah mati.
Kenangan tentang kota
ini akan segera ku susun dengan rangkain narasi baru kehidupanku. Meskipun
setiap pena kehidupan mulai menuliskan deretan paragraf dan kalimat-kalimat
terbaiknya, nurani dan batinku selalu terjaga oleh senyum dan indah parasnya.
Malam-malam di kota Depok
memutar ingatanku ketika bertandang ke kota Malang . Di sebuah kamar
kos yang tepat di depan Wisma Kali Metro Malang, tubuh indahnya sering
melenggang memasuki kamar sederhana. Kamar yang memiliki nilai historis
tersendiri untukku. Indah. Sebuah
keindahan yang ingin aku ulangi sekali lagi. Hematku, sangat sulit menemukan
bidadari kecil yang terus berjalan di atas ubun-ubun kepalaku ini.
Desiran angin yang menggoyangkan daun-daun di halaman
depan dan samping rumah mengusik naluriku. Lembut dan tajam. Seperti Yenia,
kelembutannya mampu melunakkan kerasnya batu kehidupanku. Ketajamannya
membuatku mampu mengangkat kepala menatap masa depan.
Belum berakhir. Sajak-sajak dan guratan penaku tak
pernah menyerah dan putus asa untuk mengabadikan kekagumanku pada Yenia. Bahkan
ketika aku rampung membaca Bag of Bone’s karya Stephen King, dengan tokoh
Michel Noonan – seorang novelis yang mengalami kebekuan ide sepeninggal
isterinya, Jo – yang tinggal di rumah dengan segudang misteri. Kebekuan ide
yang kadang-kadang merembes ke otak kiriku, selalu mencair ketika halusinasiku
berterbangan dengan keindahan Yenia. Memang indah.
Sempat aku mencoba lebih dekat menimang-nimang parasnya.
Sungguh, tidak bisa terpecah dan kabur paras itu. Bening dan jernih. Hanya bisa
aku menggeleng-genlengkan kepala untuk Yenia. Tak mampu hanya tersenyum.
Meskipun aku terbiasa tersenyum kecut melihat brutal kehidupanku dan duniaku.
Sampai hari dan detik dimana aku
merangkai kalimat dan paragraf tentang Yenia – menggunakan software Microsoft Office bajakan – dan keindahannya, alibi-alibi
untuk tidak mengagumi terlalu sederhana. Terlalu mudah untuk mengeluarkan statement yang kontroversial – namun
tidak komerisal – tentang hidup dan kehidupannya. Memang Yenia selalu istimewa.
No comments:
Post a Comment