Telaah Kritis Sufistik dan Ilmu Kalam
Oleh:
Iswanda Fauzan S (Mang Oejank Indro)
Abstrak
Sebuah penafsiran tentang pokok-pokok ajaran Islam
sudah banyak dituangkan oleh ulama-ulama kaliber dunia. Mulai dari syariat
sampai fiqh. Sejarah telah banyak mencatat tentang Islam, tidak terkecuali
tasawuf dan ilmu kalam. Sebuah penafsiran tekstual akan menjadikan umat Islam
terkurung dalam ruang perversi. Sebelum semua menjadi bias dan terkontaminasi
oleh pandangan-pandangan nyeleneh, revitalisasi nilai-nilai universal Islam
yang sudah ada sejak zaman Rasulullah harus dikembalikan – dengan penafsiran
komprehensif menggunakan tasawuf dan ilmu kalam (tauhid). Unsur-unsur utama
dalam penyampaian kemanusiaan (al-insaniyah) sejatinya sudah terpatri dalam
rangkaian ajaran Islam. Meliputi hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), dan
etika (akhlaq). Universalitas Islam dapat ditelusuri melalui lima buah jaminan
dasar yang tetuangkan dalam al-kuub al-fiqiyyah kuno; (1) keselamatan fisik
warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs);
(2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk
berpindah agama (hifdzul an-din); (3) keselamatan keluarga dan keturunan
(hifdzu an-nasl); (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan
atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal); dan (5) keselamatan
hal milik dan profesi (hifdzu al-aqli). Tasawuf tidak seharusnya berkutat pada
perbincangan soal moralitas semata. Lebih jauh, Tasawauf juga menyinggung dunia
batiniah yang memiliki ruang tanpa batasan yang harus terus-menerus dijelajahi
untuk mencapai titik tertinggi tanpa terputus (istiqomah). Selanjutnya,
kehidupan beragama yang elektik akan tercapai ditengah-tengah peradaban Islam
saat ini dan masa depan.
Pendahuluan
Dunia telah
dikejutkan oleh sebuah seruan dari Allah yang disampaikan Malaikat Jibril as
kepada seorang wirausahawan, Muhammad. Beliau pun berubah statusnya menjadi Rasulullah
– utusan Allah. Sebuah ajaran yang diawali dengan lima ayat (QS 96: 1-5)
tersebut disampaikan kepada seorang yang ummi,
tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis. Diturunkan bukan di istanah
mewah-megah, melainkan di tengah gurun, di bukuit batu terjal-gersang, Jabal
Nur yang bersanding dengan Gua Hira. Mengapa hanya dengan realitas yang sangat
sederhana tersebut sejarah mampu dirubah? Realitas tersebut juga berdampak
abadi menemus daratan, lautan, dan udara tanpa batasan. Durasi yang termakan pun tidak banyak dan hanya digerakkan
oleh personal berlabel a tiny creative
minority – kelompok kecil minoritas yang penuh kreatifitas.[1]
Sejak saat
itu sebuah ajaran yang sempurna sebagai falsafah kehidupan dan ke-Tuhan-an umat
manusia mulai ber-reinkarnasi. Sebelum Rosulullah wafat pada 12 Robiul Awal 11
Hijriah (Juni 632 M), Islam sudah disempurnakan untuk kaum Muslimin. Gerakan
Islam segera berputar ke berbagai penjuru dunia. Membelah cakrawala nusantara.
Bukan dari istana ke istana, tapi dari pasar ke pasar. Melalui wirausahawan
yang bukan semata membawa barang dagangan, tapi ajaran keselamatan dunia dan
akhirat, Islam. Pendekatan seperti ini merupakan hal yang mujarab dalam
menumbangkan ajaran Poleteisme dan
menggantinya dengan ajaran Tauhid.
Sebagai
ajaran Samawi, Islam memberikan sebuah dimensi dengan cakupan manifestasi
secara universal. Sayangnya, umat islam seringkali menyempitkan rangkaian
ajaran Islam dan hanya mementingkan “Ma’
fi al-Nafsi” (in the text)
semata. Padahal, dalam QS Al-Jumu’ah [62]: 2 dan hadis Nabi Muhammad, “Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk
menyempurnakan akhlak yang luhur.” telah menunjukkan sebuah paradigma
tentang pemahaman Islam sebagai agama kaffah
yang terdiri dari tiga pilar utama: akidah, syariah, dan tasawuf. Bagaimana peran
ketiga pilar tersebut dalam mengafiliasi umat Akhir al-Zaman? Bagaimana tasawuf dan ilmu kalam mereproduksi
peradaban jahiliah kedalam embrium umat manusia dengan panji islam yang kaffah?
Al-Qur’an
merupakan sumber utama agama Islam selain sunnah Rasulullah, Ijma’, dan Qiyas.
Namun, sejarah menorehkan beberapa cerita yang menggugah cendekiawan muslim
dalam menghadang gempuran dari kaum Orientalis. Keadaan ini memicu perdebatan
panjang hingga detik ini. Cerita mengenai Nicolas de Cuse, Vives, Maracci,
Hottingler, Bibliander, Prideaux, dan lainya sudah sering terdengar di kalangan
cendekiawan muslim. Namun, diantara mereka terdapat pula seorang orientalis –
agak – jujur dan terbuka, yaitu Emile Dermenghem.[2]
Dari kajian singkat tentang orientalis-orientalis tersebut, keberadaan ilmu
kalam merupakan titik utama yang harus dipegang sebagai sebuah ajaran
“persemakmuran” umat Islam – tanpa menghianati manusia non-Islam. Selain itu,
peranan Tasawuf sebagai barometer kultural manusia juga tidak bisa dilepaskan
dari ke-Islam-an yang memang universal.
Belajar
dari sejarah lahirnya As-Shahifah –
yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah – sebagai bentuk manifestasi dari
Islam sebagai Rahmat al-Alamin – yang
mengandung nilai-nilai universalitas; keadilan, kebebasan, persamaan hak dan
kewajiban, serta perlakuan yang sama di mata hukum. Jika lebih jauh kita
mengkaji Piagam Madinah, tidak akan kita temukan kalimat superioritas
simbol-simbol Islam. Seperti kata “Islam”, ayat Al-Qur’an, dan Syariat Islam. Dari
sekelumit kisah tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam sangat
menjunjung tinggi moralitas – itmamul
khuluq – demi terwujudnya kesempurnaan etika dan moralitas manusia.
Sebuah
penafsiran tentang pokok-pokok ajaran Islam sudah banyak dituangkan oleh
ulama-ulama kaliber dunia. Mulai dari syariat sampai fiqh. Sejarah telah banyak
mencatat tentang Islam, tidak terkecuali tasawuf dan ilmu kalam. Sebuah
penafsiran tekstual akan menjadikan umat Islam terkurung dalam ruang perversi.[3]
Sebelum semua menjadi bias dan terkontaminasi oleh pandangan-pandangan nyeleneh, revitalisasi nilai-nilai
universal Islam yang sudah ada sejak zaman Rasulullah harus dikembalikan –
dengan penafsiran komprehensif menggunakan tasawuf dan ilmu kalam (tauhid).
Mencerna Islam Kosmopolitan
Unsur-unsur
utama dalam penyampaian kemanusiaan (al-insaniyah)
sejatinya sudah terpatri dalam rangkaian ajaran Islam. Meliputi hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), dan etika (akhlaq).
Sejarawan agung, Arnold Joseph Toynbee[4]
menyebutkan bahwa ketika peradaban Islam terbuka dan logowo terhadap peradaban lainnya kala itu, seingga peradaban Islam
mampu mencapai puncak tertinggi – oikumene
peradaban Islam. Hal ini dikarenakan adanya proses saling memengaruhi antar
peradaban. Namun, Islam mampu mengakulturasi berbagai pengaruh dari luar,
sehingga pada saat itu kekayaan kultural dan intelektual umat Islam sangat
kaya.
Di jelaskan
oleh Toynbee, oikumene Islam tersebut
adalah satu dari enam belas oikumene
yang menguasasi dunia. Menurut Gus Dur[5],
kearifan dari oikumene Islam itulah
yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Universalitas
Islam dapat ditelusuri melalui lima buah jaminan dasar yang tetuangkan dalam al-kuub al-fiqiyyah kuno; (1)
keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum
(hifdzu an-nafs); (2) keselamatan
keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzul an-din); (3) keselamatan
keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl);
(4) keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di
luar prosedur hukum (hifdzu al-mal); dan
(5) keselamatan hal milik dan profesi (hifdzu
al-aqli).
Pertama,
jaminan keselamatan fisik. Ranah ini secara langsung akan menarik sebuah permerintahan
berdasarkan hukum ditegngah-tengah masyarakat. Dalam hal ini hukum yang
berkeadilan tanpa pandang bulu dan sesuai dengan proporsi hak masing-masing
individu. Keadaan ini sejalan dengan pola interaksi yang dibangun oleh Islam
yang berupa dinamisasi yang mengedepankan pola uswah hasanah, yaitu mendasarkan pandangan terhadap moralitas dan
teladan yang baik. Pilar ini juga termasuk gerakan agama yang bersifat soft-power. Alasannya, karena gerakan
teresebut menjunjung tinggi keteladanan, pembelaan terhadap kaum dhuafa, dan
penegakan hak-hak asasi manusia.
Pada poin
kedua, tentang jaminan dasar keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi
warga masyarakat, secara nyata akan membentuk pondasi dasar tentang rasa saling
menghormati, tenggang rasa, dan persahabatan yang kuat. Dengan suburnya
sifat-sifat tersebut, pandangan bermasyarakat manusia akan menemukan titik temu nilai-nilai
universal dalam pandangan hidup – bahasa kerennya Weltanschauung.[6]
Sampai disini kita bisa menarik sebuah pengandian bahwa toleransi merupakan
komposisi yang inhernt dari kehidupan
manusia secara umum. Dapat pula diartikan bahwa Islam sejatinya memiliki ajaran
yang berlaku untuk semua manusia secara keseluruhan.
Dalam
tauhid (ilmu kalam), Islam menampilkan sebuah penghargaan tehadap perbedaan
pendapat dan perbenturan keyakinan. Disinilah kekuatan syaria’ah Islam
menampilkan dua aspek, yaitu aspek eksoterik dan esoterik. Sisi eksoterik
syari’at Islam, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad fi
sabillah. Pada masa Nabi Muhammad Saw, proses penyempurnaan aspek ini terwujud
dalam Piagam Madina. Berdasarkan kasus ini, syari’at Islam lebih bermakna
sebagai upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong-menolong, cinta
tanah air, serta mewujudkan keadilan dan kemakmuran (Siraj, 2006: 30).
Selain
kebenaran yang ditemukan dari kedua sapek – eksoterik dan esoterik – tersebut,
Islam juga memberikan ruang dialektik dalam proses pencapaian kebenaran. Dalam
proses dialektik tersebut justru tingkat toleransi dan keterbukaan memerlukan
derajat toleransi yang tinggi bukan? Selanjutnya adalah jaminan dasar akan
keselamatan harta benda (al milk,
property). Jaminan ini dapat ditafsirkan sebagai sarana perkembangan
hak-hak individu secara wajar dan proporsional. Seperti Ilmu Faraidl[7]
mengatur dengan jeli pembagian harta peninggalan orang mati, harta fa’i atau harta rampasan perang, dan
lain sebagainya. Dari penjabaran diatas, hak dasar pemilikan harta merupakan
penentu kreativitas warga masyarakat.
Terakhir
adalah jaminan dasar akan keselamatan profesi, jaminan ini memanpakkan sisi
universalitas lain dari Islam. Logikanya adalah, penghormatan kepada profesi
orang lain telah berjalan beriringan berdasarkan catatan sejarah. Hal ini
menunjukkan kebebasan manusia dalam memilih profesi yang mereka kehendaki.
Dengan demikian, kelima pilar tersebut tidak melenceng jauh dari Syariat.
Pengertian syariaat sendiri adalah “jalan” yang berasal dari kata syaraa. Secara terminologis, syariat
memiliki pengertian jalan kehidupan yang baik. Jadi, kelima jaminan dasar
tersebut merupakan kesatuan yang bulat dan utuh tentang universalitas dan
kosmopolitanisme Islam. Namun, selama ini lima dasar diatas seringkali hanya
dijadikan sketsa teoritik yang kesulitan menembus kosmopiolitanisme peradaban
Islam.
Tasawuf, Sufistik, dan Etika Pembebasan Universal
Tasawuf dan
sufisme tidak mungkin terlepas dari konstruksi ke-Islam-an, seperti halnya
nurani dan kesadaran tertinggi. KH. Said Aqil Siraj mengatakan bahwa Islam
merupakan suatu kesadaran abadi yang bermakna penyerahan diri dan ketertundukan
(al-inqiyad). Kemunculan tasawuf
sendiri didasari oleh perlawanan atas penyimpangan dari ajaran Islam yang
melenceng dari syariat yang lahir pada abad pertama Hijriah. Ketika itu banyak
kalangan penguasa menggunakan Islam sebagai legitimasi ambisi pribadi. Saat itu
juga tasawuf menyeruak untuk menentang tanpa pengorganisasian dan
kepentingan-kepentingan diluar Islam. para sufi adalah penggerak dan penjunjung
tinggi pesan-pesan Islam. Mereka dengan tulus dan ikhlas mengembalikan pesan
orisinil Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut merupakan
dorongan spontan individu Muslim.
Ke-Sufi-an
adalah wilayah yang menghubungkan dimensi lahiriah dengan dimensi batinia.
Pengalaman kesufian inilah yang membawa manusia menembus “ke-diri-an” batin
setiap manusia (Siraj, 2006: 38). Realitas yang muncul pada akhirnya tidak
terbatas pada dimensi esoterik belaka, tapi mampu mengakomodasi dimensi
eksoterik syariat. Kehidupan batiniah seorang sufi – yang harus kita lestarikan
dalam kehidupan – adalah ketidak terbatasan alam batiniahnya. Namun, ia masih
konsisten dengan menerima batasan-batasan fisik-lahiriah dengan memberikan
penghormatan terhadap hukum-hukum alam.
Sampai
disini, jika dengan teliti kita garis bawahi, kebebasan dan universalitas memang merupakan bagian dasar
agama Islam. Perwatakan Islam yang kosmopolitan sebenarnya lahir dari awal
pemunculan Islam itu sendiri. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw,“Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk
menyempurnakan akhlak yang luhur.” Peradaban Islam dimulai oleh Nabi
Muhammad Saw yang mengatur pengorganisasian masyarakat Madina sehingga
melahirkan ensiklopedis Muslim awal – seperti al-Jahiz[8] -
pada abad ketiga HIjriah, dengan pemantulan proses penyerapan dengan peradaban
lainnya waktu itu – dari peradaban Yunani Kuno dengan hellenisme hingga peradaban anak benua India.
Kosmopolitanisme dan Ekstrimisme
Kosmopolitanisme
peradaban Islam itu terdiri dari beberapa unsur dominan didalamnya, seperti
hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik.
Kosmopolitan itu sendiri mennyajikan suatu penampakan dalam unsur dominan yang
menajubkan, yaitu kehidupan beragama yang elektik[9]
selama berabad-abad (Wahid, 2007: 9). Penafsiran dan pengkodifikasian ulang
memang sering mewarnai pemahaman individu terhadap Islam secara universal – dan
tentunya cosmopolitan. Pada dasarnya, pemahaman tentang Islam tidak cukup hanya
dengan cara tekstualistik dan legal-formal belaka. Penafsiran Islam semacam ini
akan mengkerdilkan Islam dan menumbuhkan sifat ekstrim yang melampaui batas
syariat. Padahal dengan Al-Qur’an tidak pernah melegitimasi sedikitpun segenap
perilaku dan sikap yang malampaui batas. Sikap “nyeleweng” dalam konteks ini, menurut KH. Said Aqil Siraj, terbagi
menjadi tiga kategori.
Pertama, “ghuluw”, yaitu bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespon
persoalan hingga terwujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran
kemanusiaan. Kedua, “tatharuf”, yaitu
sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi pada empati
berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat. Ketiga, ”irhab”, adalah sikap dan tindakan berlebihan karena
dorongan agama atau ideologi.
Poin ketiga
adalah kategori stadium empat, karena bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama
agama atau ideologi tertentu. Dengan demikian, titik puncak kesempurnaan
beragama seseorang terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam secara
komprehensif dan penyelaman penafsiran yang utuh. Sehingga ketegangan
intelektual atau intellectual tension
tidak serta merata mengotori kosmopolitanisme sebagai universalisasi
nilai-nilai luhur yang ditarik kedalam Islam secara keseluruhan, utuh.
Simpulan
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa kosmopolitanisme ajaran Islam dapat digapai
dan mecapai titik optimal, ketika tercapainya keseimbangan antara kecendrungan
normative kaum Muslimin dan kebebsan berfikir unsur-unsur masyarakat – termasuk
individu non-muslim. Pada titik ini, perlunya mengedepankan aspek sufistik dan
penafsiran beragama yang bulat dan utuh, sehingga didapatkan sebuah pokok-pokok
ajaran Islam yang universal, yakni melalui aspek esoteris dari Islam itu
sendiri.
Universalitas
Islam melalui lima buah jaminan dasar yang tetuangkan dalam al-kuub al-fiqiyyah kuno; (1)
keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum
(hifdzu an-nafs); (2) keselamatan
keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzul an-din); (3) keselamatan
keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl);
(4) keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di
luar prosedur hukum (hifdzu al-mal);
dan (5) keselamatan hal milik dan profesi (hifdzu
al-aqli), merupakan pijakan dasar yang menjadi mersucuar peradaban
kosmopolitan Islam masa depan.
Tasawuf
tidak seharusnya berkutat pada perbincangan soal moralitas semata. Jika
moralitas hanya dianalogikan sebatas moralitas, berarti ia hanya meyentuh
lahiriah individu. Padahal dunia batiniah memiliki ruang tanpa batasan yang
harus terus-menerus dijelajahi untuk mencapai titik tertinggi tanpa terputus (istiqomah). Selanjutnya, kehidupan
beragama yang elektik akan tercapai
ditengah-tengah peradaban Islam saat ini dan masa depan.
Pengembangan
pemahaman yang bulat-utuh tentang penerjemahan Islam sebagai ajaran universal
harus di mulai dari sekarang. Tujuannya adalah mengemballikan lagi
universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam di masa
mendatang. Hal ini penting karena masyarakat Muslim sedang digerogoti oleh
penyempitan pandangan tentang agamanya sendiri, Islam. mereka seolah tidak
mampu membedakan Muhammad sebagai Nabi, dan Muhammad sebagai orang Arab –
dengan corak kultur masyarakat Arab. Penyempitan pemahaman inilah yang
menjadikan keterpurukan Islam jika disandarkan dengan sosio-ekonomi orang-orang
non-islam.
Dengan cara
inilah, belenggu kebodohan dan kemiskinan yang menjerat masyarakat Muslim akan
dapat dilepaskan. Proses “sufistik” dan pemahaman Islam yang Mahaula al-Nass inilah yang mendasari
ke-kosmopolitanisme peradaban Islam era Rasulullah Muahammad Saw hingga abad
keempat Hijriah. Seperti yang dilakukan oleh zahid (kaum aksetik) Muslim terdahulu yang mengembangkan peradaban
Islam. Imam Hasan al-Basri[10] yang
expert di bidang tasawuf, ternyata
menguasai ilmu bahasa, Imam al-Kalil ibn Ahmad al-Farahidi[11]
yang shaleh setengah mati, ternyata menaruh perhatian besar terhadap filsafat
Yunani Kuno, karya agungnya Qamus al-A’in
jelas mneggunakan pembagian ilmu pengetahuan melalui kategorisasi filsafat
Yunani.
Hanya
dengan menampilkan universalitas dan kosmopolitanisme dalam ajaran dan
moralitas pemeluknya, Islam tidak hanya bernegasi sebagai agama terakhir Allah
SWT yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw, tapi menjadi Weltanschauung manusia secara keseluruhan, baik Muslim maupun
non-muslim, yang damai dan transformatif untuk kesejahteraan umat manusia.
Daftar pustaka :
Haekal, Muhammad Husain. 2006. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa.
Siroj, Said Aqil, KH. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung: PT. Mizan Pustaka bekerja
sama dengan Yayasan Khas.
Suryanegara, Mansur A. 2009. Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Wahid, Abdurrahman, KH. 2007. Islam Kosmopolitan:Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan.
Jakarta: The Wahid Institute. Cet. I.
-------------------------. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute. Cet. I
[1] Arnold J. Toynbee, 1974. A Study of History. Abridgement of
volume I-VI by. C Somervel;. Oxford University Press. New York, hlm. 214.
[2] Seorang orientalis berasal dari
Prancis, bukunya yang terkenal adalah La
Vie de Mahomet.
[3]
Tingkah laku yang didorong
oleh hawa nafsu belaka. Biasa diartikan sebagai kelainan dalam seksualitas
(ekshisibionisme, homeseksualitas,dsb).
[4]
Arnold J. Toynbee (1889-1975)
adalah sejarawan besar Inggris. Bukunya yang terkenal adalah 12 jilid A Study
of History (1934-1961), East to West
(1958), dan Civilization on Trial (1948).
[5]
Gus Dur atau KH Abdurrahman
Wahid (1940-2009) adalah presiden keempat Indonesia. Putra KH Wahid Hasyim,
Menteri Agama pertama RI. Penerima 8 Gelar Doctor Honoris Causa dari berbagai
Perguruan TInggi dunia
[6]
Weltanschauung istilah dalam bahasa Jerman yang berarti pandangan tentang dunia,
pengertian tentang suatu realitas sebagai suatu kesatuan dan pandangan umum
tentang kosmos. Pandangan umum tentang dunia ini berarti pandangan yang
menyangkut soal hakekat, nilai, arti, dan tujuan dunia dan hidup manusia.
[7] Pembagian harta warisan yang
ditingalkan oleh orang yang sudah meninggal, perhitungannya didasarkan atas
hukum sama rasa tidak sama rasa.
[8] Abu ‘Uthman ‘Amr ibn Bakr al-Kinani
al-Furqoni al-Basri, lebih dikenal al-Jahiz (776-869). Lahir dan meninggal di
Basrah (sekarang Irak). Hidup pada masa Dinsati Abbasyiah, al-Mansur.
[9] Sikap berfilsafat yang bersifat
memilih atau seleksi dari berbagai sumber untuk membangun pemikiran filsafat
sendiri.
[10] Al-Faqih adalah seorang imam besar
Basra. Ahli fiqh dan narator hadis dari para sahabat yang sangat menguasai
lebih dari 1.400 hadis ia beritakan.
[11] Khalid ibn Ahmad al-Farahidi
(718-791 M). seorang filolog dan penulis kamus bahasa Arab yang pertama. Ia
hidup di Basrah.
No comments:
Post a Comment