Monday, March 21, 2011

Mencumbu Islam Kosmpolitan


Telaah Kritis Sufistik dan Ilmu Kalam
Oleh: Iswanda Fauzan S (Mang Oejank Indro)


Abstrak
Sebuah penafsiran tentang pokok-pokok ajaran Islam sudah banyak dituangkan oleh ulama-ulama kaliber dunia. Mulai dari syariat sampai fiqh. Sejarah telah banyak mencatat tentang Islam, tidak terkecuali tasawuf dan ilmu kalam. Sebuah penafsiran tekstual akan menjadikan umat Islam terkurung dalam ruang perversi. Sebelum semua menjadi bias dan terkontaminasi oleh pandangan-pandangan nyeleneh, revitalisasi nilai-nilai universal Islam yang sudah ada sejak zaman Rasulullah harus dikembalikan – dengan penafsiran komprehensif menggunakan tasawuf dan ilmu kalam (tauhid). Unsur-unsur utama dalam penyampaian kemanusiaan (al-insaniyah) sejatinya sudah terpatri dalam rangkaian ajaran Islam. Meliputi hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), dan etika (akhlaq). Universalitas Islam dapat ditelusuri melalui lima buah jaminan dasar yang tetuangkan dalam al-kuub al-fiqiyyah kuno; (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs); (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzul an-din); (3) keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl); (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal); dan (5) keselamatan hal milik dan profesi (hifdzu al-aqli). Tasawuf tidak seharusnya berkutat pada perbincangan soal moralitas semata. Lebih jauh, Tasawauf juga menyinggung dunia batiniah yang memiliki ruang tanpa batasan yang harus terus-menerus dijelajahi untuk mencapai titik tertinggi tanpa terputus (istiqomah). Selanjutnya, kehidupan beragama yang elektik akan tercapai ditengah-tengah peradaban Islam saat ini dan masa depan.


Kata kunci: Islam, kosmopolitan, tasawuf, ilmu kalam, sufistik

Pendahuluan
Dunia telah dikejutkan oleh sebuah seruan dari Allah yang disampaikan Malaikat Jibril as kepada seorang wirausahawan, Muhammad. Beliau pun berubah statusnya menjadi Rasulullah – utusan Allah. Sebuah ajaran yang diawali dengan lima ayat (QS 96: 1-5) tersebut disampaikan kepada seorang yang ummi, tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis. Diturunkan bukan di istanah mewah-megah, melainkan di tengah gurun, di bukuit batu terjal-gersang, Jabal Nur yang bersanding dengan Gua Hira. Mengapa hanya dengan realitas yang sangat sederhana tersebut sejarah mampu dirubah? Realitas tersebut juga berdampak abadi menemus daratan, lautan, dan udara tanpa batasan. Durasi yang termakan pun tidak banyak dan hanya digerakkan oleh personal berlabel a tiny creative minority – kelompok kecil minoritas yang penuh kreatifitas.[1]
Sejak saat itu sebuah ajaran yang sempurna sebagai falsafah kehidupan dan ke-Tuhan-an umat manusia mulai ber-reinkarnasi. Sebelum Rosulullah wafat pada 12 Robiul Awal 11 Hijriah (Juni 632 M), Islam sudah disempurnakan untuk kaum Muslimin. Gerakan Islam segera berputar ke berbagai penjuru dunia. Membelah cakrawala nusantara. Bukan dari istana ke istana, tapi dari pasar ke pasar. Melalui wirausahawan yang bukan semata membawa barang dagangan, tapi ajaran keselamatan dunia dan akhirat, Islam. Pendekatan seperti ini merupakan hal yang mujarab dalam menumbangkan ajaran Poleteisme dan menggantinya dengan ajaran Tauhid.
Sebagai ajaran Samawi, Islam memberikan sebuah dimensi dengan cakupan manifestasi secara universal. Sayangnya, umat islam seringkali menyempitkan rangkaian ajaran Islam dan hanya mementingkan “Ma’ fi al-Nafsi” (in the text) semata. Padahal, dalam QS Al-Jumu’ah [62]: 2 dan hadis Nabi Muhammad, “Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” telah menunjukkan sebuah paradigma tentang pemahaman Islam sebagai agama kaffah yang terdiri dari tiga pilar utama: akidah, syariah, dan tasawuf. Bagaimana peran ketiga pilar tersebut dalam mengafiliasi umat Akhir al-Zaman? Bagaimana tasawuf dan ilmu kalam mereproduksi peradaban jahiliah kedalam embrium umat manusia dengan panji islam yang kaffah?
Al-Qur’an merupakan sumber utama agama Islam selain sunnah Rasulullah, Ijma’, dan Qiyas. Namun, sejarah menorehkan beberapa cerita yang menggugah cendekiawan muslim dalam menghadang gempuran dari kaum Orientalis. Keadaan ini memicu perdebatan panjang hingga detik ini. Cerita mengenai Nicolas de Cuse, Vives, Maracci, Hottingler, Bibliander, Prideaux, dan lainya sudah sering terdengar di kalangan cendekiawan muslim. Namun, diantara mereka terdapat pula seorang orientalis – agak – jujur dan terbuka, yaitu Emile Dermenghem.[2] Dari kajian singkat tentang orientalis-orientalis tersebut, keberadaan ilmu kalam merupakan titik utama yang harus dipegang sebagai sebuah ajaran “persemakmuran” umat Islam – tanpa menghianati manusia non-Islam. Selain itu, peranan Tasawuf sebagai barometer kultural manusia juga tidak bisa dilepaskan dari ke-Islam-an yang memang universal.
Belajar dari sejarah lahirnya As-Shahifah – yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah – sebagai bentuk manifestasi dari Islam sebagai Rahmat al-Alamin – yang mengandung nilai-nilai universalitas; keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama di mata hukum. Jika lebih jauh kita mengkaji Piagam Madinah, tidak akan kita temukan kalimat superioritas simbol-simbol Islam. Seperti kata “Islam”, ayat Al-Qur’an, dan Syariat Islam. Dari sekelumit kisah tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi moralitas – itmamul khuluq – demi terwujudnya kesempurnaan etika dan moralitas manusia.
Sebuah penafsiran tentang pokok-pokok ajaran Islam sudah banyak dituangkan oleh ulama-ulama kaliber dunia. Mulai dari syariat sampai fiqh. Sejarah telah banyak mencatat tentang Islam, tidak terkecuali tasawuf dan ilmu kalam. Sebuah penafsiran tekstual akan menjadikan umat Islam terkurung dalam ruang perversi.[3] Sebelum semua menjadi bias dan terkontaminasi oleh pandangan-pandangan nyeleneh, revitalisasi nilai-nilai universal Islam yang sudah ada sejak zaman Rasulullah harus dikembalikan – dengan penafsiran komprehensif menggunakan tasawuf dan ilmu kalam (tauhid).

Mencerna Islam Kosmopolitan
Unsur-unsur utama dalam penyampaian kemanusiaan (al-insaniyah) sejatinya sudah terpatri dalam rangkaian ajaran Islam. Meliputi hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), dan etika (akhlaq). Sejarawan agung, Arnold Joseph Toynbee[4] menyebutkan bahwa ketika peradaban Islam terbuka dan logowo terhadap peradaban lainnya kala itu, seingga peradaban Islam mampu mencapai puncak tertinggi – oikumene peradaban Islam. Hal ini dikarenakan adanya proses saling memengaruhi antar peradaban. Namun, Islam mampu mengakulturasi berbagai pengaruh dari luar, sehingga pada saat itu kekayaan kultural dan intelektual umat Islam sangat kaya.
Di jelaskan oleh Toynbee, oikumene Islam tersebut adalah satu dari enam belas oikumene yang menguasasi dunia. Menurut Gus Dur[5], kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Universalitas Islam dapat ditelusuri melalui lima buah jaminan dasar yang tetuangkan dalam al-kuub al-fiqiyyah kuno; (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs); (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzul an-din); (3) keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl); (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal); dan (5) keselamatan hal milik dan profesi (hifdzu al-aqli).
Pertama, jaminan keselamatan fisik. Ranah ini secara langsung akan menarik sebuah permerintahan berdasarkan hukum ditegngah-tengah masyarakat. Dalam hal ini hukum yang berkeadilan tanpa pandang bulu dan sesuai dengan proporsi hak masing-masing individu. Keadaan ini sejalan dengan pola interaksi yang dibangun oleh Islam yang berupa dinamisasi yang mengedepankan pola uswah hasanah, yaitu mendasarkan pandangan terhadap moralitas dan teladan yang baik. Pilar ini juga termasuk gerakan agama yang bersifat soft-power. Alasannya, karena gerakan teresebut menjunjung tinggi keteladanan, pembelaan terhadap kaum dhuafa, dan penegakan hak-hak asasi manusia.
Pada poin kedua, tentang jaminan dasar keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi warga masyarakat, secara nyata akan membentuk pondasi dasar tentang rasa saling menghormati, tenggang rasa, dan persahabatan yang kuat. Dengan suburnya sifat-sifat tersebut, pandangan bermasyarakat manusia  akan menemukan titik temu nilai-nilai universal dalam pandangan hidup – bahasa kerennya Weltanschauung.[6] Sampai disini kita bisa menarik sebuah pengandian bahwa toleransi merupakan komposisi yang inhernt dari kehidupan manusia secara umum. Dapat pula diartikan bahwa Islam sejatinya memiliki ajaran yang berlaku untuk semua manusia secara keseluruhan.
Dalam tauhid (ilmu kalam), Islam menampilkan sebuah penghargaan tehadap perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Disinilah kekuatan syaria’ah Islam menampilkan dua aspek, yaitu aspek eksoterik dan esoterik. Sisi eksoterik syari’at Islam, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad fi sabillah. Pada masa Nabi Muhammad Saw, proses penyempurnaan aspek ini terwujud dalam Piagam Madina. Berdasarkan kasus ini, syari’at Islam lebih bermakna sebagai upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong-menolong, cinta tanah air, serta mewujudkan keadilan dan kemakmuran (Siraj, 2006: 30).
Selain kebenaran yang ditemukan dari kedua sapek – eksoterik dan esoterik – tersebut, Islam juga memberikan ruang dialektik dalam proses pencapaian kebenaran. Dalam proses dialektik tersebut justru tingkat toleransi dan keterbukaan memerlukan derajat toleransi yang tinggi bukan? Selanjutnya adalah jaminan dasar akan keselamatan harta benda (al milk, property). Jaminan ini dapat ditafsirkan sebagai sarana perkembangan hak-hak individu secara wajar dan proporsional. Seperti Ilmu Faraidl[7] mengatur dengan jeli pembagian harta peninggalan orang mati, harta fa’i atau harta rampasan perang, dan lain sebagainya. Dari penjabaran diatas, hak dasar pemilikan harta merupakan penentu kreativitas warga masyarakat.
Terakhir adalah jaminan dasar akan keselamatan profesi, jaminan ini memanpakkan sisi universalitas lain dari Islam. Logikanya adalah, penghormatan kepada profesi orang lain telah berjalan beriringan berdasarkan catatan sejarah. Hal ini menunjukkan kebebasan manusia dalam memilih profesi yang mereka kehendaki. Dengan demikian, kelima pilar tersebut tidak melenceng jauh dari Syariat. Pengertian syariaat sendiri adalah “jalan” yang berasal dari kata syaraa. Secara terminologis, syariat memiliki pengertian jalan kehidupan yang baik. Jadi, kelima jaminan dasar tersebut merupakan kesatuan yang bulat dan utuh tentang universalitas dan kosmopolitanisme Islam. Namun, selama ini lima dasar diatas seringkali hanya dijadikan sketsa teoritik yang kesulitan menembus kosmopiolitanisme peradaban Islam.

Tasawuf, Sufistik, dan Etika Pembebasan Universal
Tasawuf dan sufisme tidak mungkin terlepas dari konstruksi ke-Islam-an, seperti halnya nurani dan kesadaran tertinggi. KH. Said Aqil Siraj mengatakan bahwa Islam merupakan suatu kesadaran abadi yang bermakna penyerahan diri dan ketertundukan (al-inqiyad). Kemunculan tasawuf sendiri didasari oleh perlawanan atas penyimpangan dari ajaran Islam yang melenceng dari syariat yang lahir pada abad pertama Hijriah. Ketika itu banyak kalangan penguasa menggunakan Islam sebagai legitimasi ambisi pribadi. Saat itu juga tasawuf menyeruak untuk menentang tanpa pengorganisasian dan kepentingan-kepentingan diluar Islam. para sufi adalah penggerak dan penjunjung tinggi pesan-pesan Islam. Mereka dengan tulus dan ikhlas mengembalikan pesan orisinil Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut merupakan dorongan spontan individu Muslim.
Ke-Sufi-an adalah wilayah yang menghubungkan dimensi lahiriah dengan dimensi batinia. Pengalaman kesufian inilah yang membawa manusia menembus “ke-diri-an” batin setiap manusia (Siraj, 2006: 38). Realitas yang muncul pada akhirnya tidak terbatas pada dimensi esoterik belaka, tapi mampu mengakomodasi dimensi eksoterik syariat. Kehidupan batiniah seorang sufi – yang harus kita lestarikan dalam kehidupan – adalah ketidak terbatasan alam batiniahnya. Namun, ia masih konsisten dengan menerima batasan-batasan fisik-lahiriah dengan memberikan penghormatan terhadap hukum-hukum alam.
Sampai disini, jika dengan teliti kita garis bawahi, kebebasan dan  universalitas memang merupakan bagian dasar agama Islam. Perwatakan Islam yang kosmopolitan sebenarnya lahir dari awal pemunculan Islam itu sendiri. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw,“Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” Peradaban Islam dimulai oleh Nabi Muhammad Saw yang mengatur pengorganisasian masyarakat Madina sehingga melahirkan ensiklopedis Muslim awal – seperti al-Jahiz[8] - pada abad ketiga HIjriah, dengan pemantulan proses penyerapan dengan peradaban lainnya waktu itu – dari peradaban Yunani Kuno dengan hellenisme hingga peradaban anak benua India.



Kosmopolitanisme dan Ekstrimisme
Kosmopolitanisme peradaban Islam itu terdiri dari beberapa unsur dominan didalamnya, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik. Kosmopolitan itu sendiri mennyajikan suatu penampakan dalam unsur dominan yang menajubkan, yaitu kehidupan beragama yang elektik[9] selama berabad-abad (Wahid, 2007: 9). Penafsiran dan pengkodifikasian ulang memang sering mewarnai pemahaman individu terhadap Islam secara universal – dan tentunya cosmopolitan. Pada dasarnya, pemahaman tentang Islam tidak cukup hanya dengan cara tekstualistik dan legal-formal belaka. Penafsiran Islam semacam ini akan mengkerdilkan Islam dan menumbuhkan sifat ekstrim yang melampaui batas syariat. Padahal dengan Al-Qur’an tidak pernah melegitimasi sedikitpun segenap perilaku dan sikap yang malampaui batas. Sikap “nyeleweng” dalam konteks ini, menurut KH. Said Aqil Siraj, terbagi menjadi tiga kategori.
Pertama, “ghuluw”, yaitu bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespon persoalan hingga terwujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. Kedua, “tatharuf”, yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi pada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat. Ketiga, ”irhab”, adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi.
Poin ketiga adalah kategori stadium empat, karena bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu. Dengan demikian, titik puncak kesempurnaan beragama seseorang terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam secara komprehensif dan penyelaman penafsiran yang utuh. Sehingga ketegangan intelektual atau intellectual tension tidak serta merata mengotori kosmopolitanisme sebagai universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik kedalam Islam secara keseluruhan, utuh.



Simpulan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kosmopolitanisme ajaran Islam dapat digapai dan mecapai titik optimal, ketika tercapainya keseimbangan antara kecendrungan normative kaum Muslimin dan kebebsan berfikir unsur-unsur masyarakat – termasuk individu non-muslim. Pada titik ini, perlunya mengedepankan aspek sufistik dan penafsiran beragama yang bulat dan utuh, sehingga didapatkan sebuah pokok-pokok ajaran Islam yang universal, yakni melalui aspek esoteris dari Islam itu sendiri.
Universalitas Islam melalui lima buah jaminan dasar yang tetuangkan dalam al-kuub al-fiqiyyah kuno; (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs); (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzul an-din); (3) keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl); (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal); dan (5) keselamatan hal milik dan profesi (hifdzu al-aqli), merupakan pijakan dasar yang menjadi mersucuar peradaban kosmopolitan Islam masa depan.
Tasawuf tidak seharusnya berkutat pada perbincangan soal moralitas semata. Jika moralitas hanya dianalogikan sebatas moralitas, berarti ia hanya meyentuh lahiriah individu. Padahal dunia batiniah memiliki ruang tanpa batasan yang harus terus-menerus dijelajahi untuk mencapai titik tertinggi tanpa terputus (istiqomah). Selanjutnya, kehidupan beragama yang elektik akan tercapai ditengah-tengah peradaban Islam saat ini dan masa depan.
Pengembangan pemahaman yang bulat-utuh tentang penerjemahan Islam sebagai ajaran universal harus di mulai dari sekarang. Tujuannya adalah mengemballikan lagi universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam di masa mendatang. Hal ini penting karena masyarakat Muslim sedang digerogoti oleh penyempitan pandangan tentang agamanya sendiri, Islam. mereka seolah tidak mampu membedakan Muhammad sebagai Nabi, dan Muhammad sebagai orang Arab – dengan corak kultur masyarakat Arab. Penyempitan pemahaman inilah yang menjadikan keterpurukan Islam jika disandarkan dengan sosio-ekonomi orang-orang non-islam.
Dengan cara inilah, belenggu kebodohan dan kemiskinan yang menjerat masyarakat Muslim akan dapat dilepaskan. Proses “sufistik” dan pemahaman Islam yang Mahaula al-Nass inilah yang mendasari ke-kosmopolitanisme peradaban Islam era Rasulullah Muahammad Saw hingga abad keempat Hijriah. Seperti yang dilakukan oleh zahid (kaum aksetik) Muslim terdahulu yang mengembangkan peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri[10] yang expert di bidang tasawuf, ternyata menguasai ilmu bahasa, Imam al-Kalil ibn Ahmad al-Farahidi[11] yang shaleh setengah mati, ternyata menaruh perhatian besar terhadap filsafat Yunani Kuno, karya agungnya Qamus al-A’in jelas mneggunakan pembagian ilmu pengetahuan melalui kategorisasi filsafat Yunani.
Hanya dengan menampilkan universalitas dan kosmopolitanisme dalam ajaran dan moralitas pemeluknya, Islam tidak hanya bernegasi sebagai agama terakhir Allah SWT yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw, tapi menjadi Weltanschauung manusia secara keseluruhan, baik Muslim maupun non-muslim, yang damai dan transformatif untuk kesejahteraan umat manusia.



Daftar pustaka :
Haekal, Muhammad Husain. 2006. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa.
Siroj, Said Aqil, KH. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung: PT. Mizan Pustaka bekerja sama dengan Yayasan Khas.
Suryanegara, Mansur A. 2009. Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Wahid, Abdurrahman, KH. 2007. Islam Kosmopolitan:Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute. Cet. I.
-------------------------. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute. Cet. I


[1] Arnold J. Toynbee, 1974. A Study of History. Abridgement of volume I-VI by. C Somervel;. Oxford University Press. New York, hlm. 214.
[2] Seorang orientalis berasal dari Prancis, bukunya yang terkenal adalah La Vie de Mahomet.
[3] Tingkah laku yang didorong oleh hawa nafsu belaka. Biasa diartikan sebagai kelainan dalam seksualitas (ekshisibionisme, homeseksualitas,dsb).
[4] Arnold J. Toynbee (1889-1975) adalah sejarawan besar Inggris. Bukunya yang terkenal adalah 12 jilid  A Study of History (1934-1961), East to West (1958), dan Civilization on Trial (1948).
[5] Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) adalah presiden keempat Indonesia. Putra KH Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama RI. Penerima 8 Gelar Doctor Honoris Causa dari berbagai Perguruan TInggi dunia
[6] Weltanschauung istilah dalam bahasa Jerman yang berarti pandangan tentang dunia, pengertian tentang suatu realitas sebagai suatu kesatuan dan pandangan umum tentang kosmos. Pandangan umum tentang dunia ini berarti pandangan yang menyangkut soal hakekat, nilai, arti, dan tujuan dunia dan hidup manusia.
[7] Pembagian harta warisan yang ditingalkan oleh orang yang sudah meninggal, perhitungannya didasarkan atas hukum sama rasa tidak sama rasa.
[8] Abu ‘Uthman ‘Amr ibn Bakr al-Kinani al-Furqoni al-Basri, lebih dikenal al-Jahiz (776-869). Lahir dan meninggal di Basrah (sekarang Irak). Hidup pada masa Dinsati Abbasyiah, al-Mansur.
[9] Sikap berfilsafat yang bersifat memilih atau seleksi dari berbagai sumber untuk membangun pemikiran filsafat sendiri.
[10] Al-Faqih adalah seorang imam besar Basra. Ahli fiqh dan narator hadis dari para sahabat yang sangat menguasai lebih dari 1.400 hadis ia beritakan.
[11] Khalid ibn Ahmad al-Farahidi (718-791 M). seorang filolog dan penulis kamus bahasa Arab yang pertama. Ia hidup di Basrah.

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...