Oleh : Mang Oejank Indro,
Mahasiswa Universitas Indonesia
Tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com
Tidak perlu mukaddimah untuk mengupas kejadian
dan narasi pemerintah akhir-akhir ini. Cukup banyak media yang
berbondong-bondong menyajikan Lebensraum
Indonesiana beberapa pekan terakhir
bukan? Sejak Pemilu 2004 rakyat Indonesia memliki presiden dandy dengan berbagai daya tarik. Hingga masa jilid 2 saat ini,
suhu politik di negeri menjulang dengan gelombang reshuffle yang sering kali digelontorkan sang presiden. Jika kita
mengukuti napak tilas perjalanan politik sejak Pak BeYe menjadi nahkoda
Indonesia, tragedi seperti ini acap kali terjadi. Gertakan politik? Atau strategi
baru dalam membawa kapal KIB jilid 2 untuk Indonesia lebih baik?
Catatan Bung Tito Sulistio (Sindo, 10/3/11) tentang
De Javu – nya Presiden SBY, menurut
hemat saya, hal tersebut benar-benar harus dibenarkan. Pemimpin kita sekarang
ini mulai memutar otak untuk mempertahankan atau merekonstruksi KIB Jilid ke-2.
Saya masih ingat perkataan Presiden SBY pada 15 November 2005 dalam Rapat
Koordinasi Nasional Pendayagunaan Aparatur Negara di Istana Negara. Pada kesempatan
itu Presiden SBY beranalogi, “Kapal harus berlayar. Yang tidak ada gunanya di
kapal itu, kita ganti awak yang lain supaya kapal itu lajunya makin cepat dan
menuju sasaran yang baik. Ini fair,
adil.” (Investor Daily, 16/11/05,
hlm. 1). Sekarang coba kita terjemahkan
apa yang disampaikan Presiden SBY akhir-akhir ini setelah mencuatnya putusan
hak angket mafia pajak di DPR. Adakah perbedaan? Saya yakin anda sependapat
dengan saya, “Tidak ada perbedaan!”
Ketika bersentuhan dengan rakyat, politik tidak
selalu bernalar negatif. Jika politik bersanding nyaman dengan kebudayaan dan
keinginan rakyat secara umum, tidak sulit mencari Indonesia yang sejahtera – baik
jasmani maupun rohani. Namun, kesadaran
politik tidak semata-mata dipaksakan kepada politikus. Toh, politikus berpolitik – mudah-mudahan – untuk rakyat. Kesadaran
politik juga perlu dipertebal di ranah ke-rakyat-an. Merujuk ungkapan Karl W.
Deutsch, ketika seorang membayangkan politik sebagai sibernetika, maka hampir
seluruh masyarakat menjadi suatu sistem dan sub-sistem dalam suatu perpaduan hak
dan kewajiban yang sudah terpatri. Keterpaduan tersebut yang mungkin belum
digarap dengan serius oleh pemerintahan Presiden SBY. Sehingga banyak aksi
demonstrasi dan kritikan “telanjang” tanpa batasan. Parahnya lagi, demonstran
dan kritikus tersebut menafsirkan “demokrasi = kebebasan”. Luar biasa memang
rakyat kita dalam mengawal demokrasi.
Seperti sebuah permainan catur, pion bergerak ke sarang musuh. Berbeda dengan
buah catur di belakang pion-pion tersebut. Mereka bisa beegerak sesuai dengan
jalur pergerakan. Tujuannya tidak lain adalah melindungi sang raja dan membinasakan
lawannya. Sayangnya, realita permainan catur tersebut berbeda jauh dengan
permainan politik. Kekuatan terbesar negara demokrasi adalah rakyat bukan? Ketika
wakil ketua DPR RI dari partai Golkar menganlogikan Presiden sebagai koboi, saya
terbayang tentang “dagangan” politik yang dijual Presiden SBY di Warung KIB
Jilid 2. Bisa jadi Presiden kita sekarang ini kehilangan Staatskunst di dek kapal koalisinya? Rakyat masih menunggu kapal
Bapak Presiden bersandar di dermaga kesejahteraan.
No comments:
Post a Comment