Friday, April 29, 2011

Do’a Slamet


Oleh, Mang Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com

Seharusnya tidak aku jadikan ini sebagai masalah yang besar. Sebenarnya tidak lebih dari tar-tarian, nyanyian dan tabu-tabuhan belaka. Resti juga, kenapa dia sok najis dengan hal-hal mistis. Lagian, mereka juga berTuhan. Tuhan mereka masih satu. Harusnya Resti yang minta maaf, bukannya aku. Dan lagi, Resti pendatang baru dikampungku. Apa yang dia tahu tentang slametan? Ngaku orang Islam, tapi antipati sama kegiatan orang Islam. Apa ibunya tidak pernah sekolah? Atau bapaknya bukan santri? Paling tidak, mereka mengajarkan Resti apa itu toleransi dan menghargai. Pikiranku tentang orang yang lahir dan lama hidup di kota, tidak perlu yang megapolitan, yang metropolis saja, spertinya sudah lupa.
Lupa dengan leluhur mereka. Bagaimana tidak? Apa bedanya bersholwat kepada Nabi dan Mendoakan orang mati dengan bacaan tahlil? Apa ada yang buruk dari keduanya? Ah, biarlah. Resti memang perlu belajar dan banyak belajar agama.
Sejak kejadian tadi malam, tali persahabatan yang cukup lama aku talikan, simpulnya sedikit renggang. Dunia kami terlampau jauh berbeda. Dengan siapa lagi kalau bukan Resti. Gadis yang insyaallah masih perawan itu. Dulu ia tinggal di Surabaya. Bukan Surabaya kota. Sejak 2005, ia tinggal di rumah neneknya, di Gresik. Banyak orang menyebut Gresik sebagai kota santri. Tapi akhir-akhir ini aku lebih suka menyindir Gresik sebagai kota industri. Resti bersekolah di MA N 1 Gresik. Sedangkan aku di SMA Assa’adah. Kami berkenalan sejak 2006, pertemuan kami tidak cukup menyenangkan untuk diterangkan. Sudahlah. Resti anak orang kaya, menurut orang-orang kampungku. Ia baru 3 bulan kembali dari kuliah di Yogyakarta. Aku pikir setelah mengunyah dan berinteraksi dengan banyak budayawan di sana, Resti semakin bisa menghargai budaya nusantara. Tidak usah ribut soal tari Pendet, batik yang baru diakui dunia, atau reog yang diduplikasi orang Jiran itu. Urusan tradisi daerah saja masih ngalor-ngidul dan kembang-kempis. Masak anak daerah tidak tahu hari jadi derah kelahirannya. Lucu kan? Atau riskan? Kehadiran Resti dikampungku bukan musibah, terutama untukku. Kami sudah cukup lama saling kenal. Saat aku sekolah di Surabaya, kami masih sering berkorespondensi dengan email. Bukan hanya email, Resti juga aktif di situs jejaring sosial bersamaku, terutama facebook milik orang yahudi itu. Persetan dengan agamanya, toh itu urusannya dengan Tuhannya. Urusanku adalah mengapresiasi pemikiran dan karyanya. Kenapa? Karena aku yakin otaknya ciptaan Tuhanku.
Kemarin sore, beberapa orang sudah siap dengan pakaian islami, bukan berarti bercadar dan berwarna hitam juga. Orang-orang itu bersiap untuk acara slametan. Ritual turunan hasil akulturasi budaya Hindu-Budha yang dilebur dengan nilai-nilai Islam. Di Jawa, terutama Jawa Timur, slametan adalah tradisi yang sudah mengakar. Karena aku dilahirkan di daerah yang kental dengan tradisi kejawen, meski tidak di Jawa Tengah.”Met, orang-orang sudah banyak?” Ibuku bertanya dari dapur. “Sudah ada berapa orang?”
“Sekitar 200 bu. Tapi kayaknya nambah terus. Masih banyak gerombolan orang di jalan. Dari desa Sudimoro juga belum datang.” Jawabku dari pintu tengah rumah. Pintu itu menghadap langsung ke mushola Maslakul Huda. Kebetulan ayahku yang menjadi ketua pengurus. “Wis, kamu ke mushola! Nanti pas waktu do’a, kamu ke dapur lagi.” Tambah Ibu. Segera aku langkahkan kaki menuju mushola. Hanya beberapa langkah saja. Disana sudah banyak orang berpakaian putih. Peci mereka hitam. Bawahannya bukan celana, cukup sarung beraneka warna. H. Djamil, seorang pemuka agama di kampungku mulai mengumandangkan puji-pujian. Bertalu-talu. Cukup merdu. Alunan irama merdu berbahasa arab tersebut memang ampuh untuk mengundang orang untuk segera bergabung. Aku berdiri sekitar dua meter dari serambi mushola. Bertindak sebagai penerima tamu.”Met, mana Resti?” Sapa Sayna, sepupuku. “Bukannya katanya dia mau datang ya?”
“He’em. Tapi kenapa belum datang ya?” Jawabku. Aku masih ramah melempar senyum kepada beberapa orang yang datang.
Aku sedikit kesal. Resti tadi pagi janji akan datang.
Jalanan makin lengang. Suara puji-pujian mengeras. Menggemuruh dari mushola. Sudut-sudut musholah semakin penuh terisi dengan jasad-jasad manusia bernyawa. Mereka tertunduk. Seolah berkomunikasi dengan Tuhan. Aku masih sibuk dengan urusan teknis. Biar saja waktuku habis untuk menyamankan orang-orang slametan.
Tak berselang lama pujian-pujian itu terhenti. Berdiri seorang pria, itu ayahku. Seperti biasa. Ia menyampaikan pengumuman-pengumuman. Mulai dari pembaca do’a hingga penyumbang dana. Hal itu menandakan akan dimulainya slametan. Prosesinya sederhana saja sebenarnya. Dimulai dengan bacaan sholawat, kirim do’a, tahlilan yang diikuti do’a pamungkas, dan makan-makan sebagai acara penutup. Prosesi atau adat slametan di derahku bisa sedikit berbeda dengan daerah lain. Tapi, secara subtansial sama. Aku menikmati adat slametan di daerahku, juga tak sangsi mengikuti slametan di daerah lain. Tujuannya toh sama saja. Penghormatan dan wujud syukur kehadirat Allah SWT.
Surat al-Fatihah sudah bersua. Tanda mulai slametan. Masih tidak ada tanda-tanda kehadiran Resti. Lantunan ayat Al-Qur’an semakin menyala-nyala. Semua orang sudah terbius dalam buaian dzikir. Suasana di dapur semakin sepi. Hanya segelintir orang yang masih merapikan sajian. “Resti mungkin sibuk.” Gumamku sendu. Aku membaur saja ke mushola. Tersipu di barisan paling belakang. Sebelah operator sound system. Biasanya aku sudah bisa menikmati lantunan dzikir dengan cepat. Namun malam ini berbeda. Gundah. Hatiku bertekuk. Seolah melambai ke seorang perempuan. Siapa lagi kalau bukan Resti. Mataku menatap liar ke kerumunan jama’ah perempuan. Seperti ada yang aneh. Tapi apa? Aku beranjak dari sipuanku. Berdiri dan bergerak. Pandanganku menangkap kegganjilan. Sebuah kepala terbuka meliuk-liuk diantara kepala berkerudung putih. “Sepertinya bukan kepala anak kecil.” Kataku dalam hati. “Bu, perempuan yang didepan itu siapa?” Tanyaku kepada bu Warsih. “Kok nggak berjilbab?”
“Yang mana?”
“Itu, yang dekat pintu samping.” Bu Warsih mendongak. Matanya pun clingak-clinguk. Ia menepuk seorang didepannya. “Bu, itu siapa ya? Yang ndak berjilbab?” Tanya bu Warsih kepada orang didepannya. Mereka berbsisik. Mungkin untuk menjaga kekhusu’an jama’ah disekelilingnya. “Resti. Anak Pak Dibyo, orang baru itu.” Kata bu Warsih. Nadanya cukup centil. Aku yakin setelah slametan selesai, mereka akan melanjutkan bergosip.
Aku merangas. Darahku terperanjat naik ke kepala. Tanganku segera dingin. Keningku tak kering. Bercucuran keringat segera. Aku ragu. Aku perhatikan lagi baik-baik perempuan yang kata bu Warsih adalah Resti. Masak Resti tidak berjilbab? Perlahan. Ia memalingkan kepala. Sekilas aku cermati mukanya. Bentuk alis dan keningnya.
“Astagfirullah..!” Tukasku kaget. Itu benar Resti. Tapi kenapa ia di barisan depan jika tak berjilbab? Acara slametan kok pamer aurat? Apa orang-orang sekelilingnya tidak melihat? Tidak bergumam? Raut mukanya pucat pasi. Tidak seperti biasa. Ah, mungkin ia terenyuh karena alunan dzikir.
Aku kembali bersipu. Meskipun pikiran dan hatiku masih aku paksakan berdzikir.
Mulai malam ini, besok dan nanti. Aku akan selalu mengenang. Menangis dan membiaskan harap dan duka.
Bacaan surat Yasin akan habis. Aku masih merinding dengan jutaan bintik-bintik kepasrahan kepada Tuhan. Waktunya berdo’a. Dan menikmati semua hidangan. “Bihaqi wa sirril surati al fatihah..” H. Djamil mengakhiri do’a. Aku sudah berada didapur. Menyiapkan segala bentuk makanan dan minuman. Ada juga jajanan pasar yang tersusun rapi diatas piring-piring beling putih. Rekan-rekanku segera berjuntai membentuk barisan. Seperti pagar hidup dalam permainan sepak bola, tapi agak renggang. Mereka secara marathon mengalirkan piring berisi makanan kepada para jama’ah. Dimulai dari jama’ah laki-laki. Setelah terbagi secara menyeluruh, jama’ah perempuan mulai mengikuti menikmati hidangan. Aku menoleh ke arah Resti. “Resti dimana ya?” Gumamku. Aku memberanikan diri mendekati tempat Resti tadi. Ia masih tertunduk. Tidak menikmati hidangan satu apapun. Ia tertunduk lama.
Beberapa jama’ah sudah meninggalkan mushola. Mulai agak sepi. Aku sedang bercengkeramah dengan kerabat dan tokoh masyarakat di teras mushola. Sebagian kecil ibu rumah tangga membersihkan piring dan tempat hidangan di mushola. Sementara itu, beberapa remaja membersihkan mushola. Menyapu dan mengepel.
Resti belum terlihat keluar mushola. Atau ia sudah pulang tanpa berpamitan? Tidak mungkin. Lewat mana? Aku belum melihatnya. Kalaupun ia pulang, pasti lewat di depanku, kan tidak ada jalan lain. Suasana di mushola semakin sepi. Ibu-ibu yang mencuci piring terlihat segera mem-finish-kan pekerjaannya. Kenapa Resti belum keluar juga? Aku semakin penasaran. “Bas, di tempat perempuan masih ada orang tidak?” Tanyaku kepada Basar. Tetanggaku. “Ndak ada. Sepi mas.” Jawabnya singkat. Penasaranku semakin meninggi. Lalu dimana Resti? Apa aku ditilapnya? Tapi masak iya. Gundah. Cukup gugup. Sebaiknya aku ke rumahnya besok pagi.

*

Subuh sudah lewat dua jam yang lalu. Mentari mulai menyingsing dari arah timur. Burung berebutan memamah makanan. Kicauannya terpekik dari segala penjuru. Pagi yang menyejukkan. Hari ini Jum’at pagi. Rencanaku tidak berubah. Selepas slametan tadi malam. Aku masih berangan-angan tentang Resti. Dan hari ini aku akan kerumahnya. Rumah Resti tidak begitu jauh. Hanya 500 meter dari rumahku.
Keadaan rumah Resti sangat sepi. Lampu penerang jalan masih menyala. Mungkin ia lupa mematikannya. Biasanya ibunya sudah bersih-bersih halaman didepan rumah. Sayangnya, pagi ini rutinitas itu tidak aku jumpai. Rumahnya benar-benar sangat sepi. Tertutup rapat. Tidak berselang lama, sebuah mobil pick up putih berhenti di depan rumah itu. Tiga orang pria keluar dari mobil tersebut. Aku tidak begitu kenal dengan mereka. Aku hanya mengamati, mengarahkan pandangan. Apa yang akan mereka lakukan? Seorang pria berbaju putih membuka pintu rumah. Seorang lagi mengikuti dari belakang. Sedangkan pria yang menjadi sopir, hanya berdiri tenang dengan menghisap rokok. Perlahan kedua pria tadi masuk ke rumah Resti. Memindahkan meja, kursi, rak-rak, dan peralatan elektronik semacam TV, kulkas, dan lainnya. Belum seminggu Resti pindah ke kampungku. Kenapa ia pindah lagi? Aku belum bercengkeramah langsung dengannya. Apalagi bercanda seperti ketika di masih SMA. “Assalamualaikum. Pak, ini semua mau dipindah?” Tanyaku ke sopir tadi.
“Oo.. Waalaikumsalam, barang-barang ini maksutnya?” Jawab si sopir. Kepulan asap mengepul bebas dari mulutnya. “Ini semua akan dikembalikan ke rumah kakek almarhum bapak Dibyo. Di Tulung Agung.”
“Tulung Agung?” Tanyaku keheranan.
“He’em.., mas warga sini?”
“Iya, saya warga sini. Pak Dibyo?”
“Pak Dibyo dan keluarganya kemarin malam, sekitar ba’da magrib, kecelakaan di dekat tol Manyar. Semua yang ada didalam mobil pak Dibyo tewas.”
Aku terentak. Degub jantungku tak teratur berdetak. “Innalillahi wa innailaihi rajiun.” Kataku pelan. Nafasku terengah. Sedih dan haru mulai merasuki benteng perasaanku. Bingung. Bukankah tadi malam Resti hadir di slametan? Lalu kenapa ibu Warsih? Dan juga ibu didepan ibu Warsih tadi malam?
Aku segara menemui ibu Warsih. Aku masih tidak percaya. Sedih.
“Bu, bu Warsih.” Teriakku sambil melambaikan tangan. Aku lihat ibu Warsih berjalan ke kebuh. Seperti biasa, memanen kacang dan menanam ubi. “Oalah, ada apa nak Slamet?” Sapanya. Ia mengenakan kudung buyuk, baju kumal. Ditangannya tersematkan botol air minum dan pisau. “Anu bu, emm.. Resti, meninggal. Bapak dan ibunya juga.” Kataku dengan terengah-engah. “Innalillahi wa innailahi rajiun.., kamu kata siapa?” Tanya bu Warsi lagi.
“Tadi ada tiga orang yang boyongin barang-barang dari rumah Resti.”
“Kok ndak ada kabar ya?”
“Lho, bukannya tadi malam ibu yang kasih tahu saya, kalau perempuan tidak berjilbab itu Resti?” Bu Warsih melepas kudung buyuknya. Ia kebingungan.
“Kapan?” Sahutnya.
“Tadi malam, waktu slametan. Masak ibu lupa?”
“Tadi malam? Slametan? Perasaan ibu tidak pernah kamu tanyai nak.” Jawabnya seraya melempar tatapan kosong.
“Lho, lha terus.. tadi malam?”
“Oalah nak, ibu tadi malam itu ndak ikut slametan. Anak ibu yang mewakili ibu. Aneh-aneh saja kamu ini. Udah, ibu ke kebun dulu.” Bu Warsih kembali mengenakan kudung buyuknya. Ia segera menjauh dariku. Aku masih tertegun. Takut dan penasaran. Aneh. Lalu, siapa Resti yang tadi malam? Siapa bu Warsih tadi malam di slametan itu? Tidak mungkin juga bu Warsi pikun. Dia masih 45 tahun. Kebingunganku semakin merangkak naik. Fase keanehan semalam sudah tidak lagi mampu aku jelaskan dengan akal sehat.

*
Beberapa orang sudah meninggalkan mushola. Masih ada H. Djamil sholat sunnah. Aku tunggui saja di serambi. Beberapa menit kemudian ia sudah selesai. Aku mencegatnya di pintu mushola. Aku menyalaminya. Seperti biasa. “Ada apa Met?” Tanya beliau. Segera aku mengungkapkan kejadian-kejadian aneh sejak tadi malam sampai pagi tadi. Tubuhku merinding ketika bercerita. Seolah-olah Resti berada di sampingku mengamati gerak-gerikku. “Saya masih bingung Pak Haji.” Pungkasku.
“Slametan tadi malam tidak aneh. Biasanya juga banyak ruh yang datang. mereka rindu akan do’a dari orang yang masih hidup.” Jelasnya.
“Kenapa begitu nyata tadi malam?”
“Apa yang tidak mungkin bagi manusia, bukan masalah sulit bagi Allah. Mungkin karena Resti sudah janji sama kamu, sebelum Allah memanggilnya. Jadi ia berusaha menepati janjinya.”
“Kenapa juga Resti tidak berjilbab? Bukannya ia selalu menutupi auratnya?”
“Allah pasti punya alasan untuk itu.” Jawab H. Djamil. Ia menepuk pundakku. “Sholatlah. Kirimi dia do’a!” Tambahnya lantas meninggalkanku sendirian di mushola. Tidak begitu lama. Ingatanku berselancar tentang kenangan masa SMA. Antara aku dan Resti. Aku sempat berbisik kepadanya. “Res, kira-kira keindahan wajahmu sama seperti rambut dibalik jilbabmu tidak?” Aku masih bisa merasakan senyumnya. Ya.. Jawabnya hanya dengan senyuman waktu itu. Mungkin tadi malam adalah jawaban dari pertanyaanku tadi. “Subhanallah.” Tak tertahan sudah kesedihanku.
Mulai aku bersiap mendo’akan Resti. Mengambil air wudhu, mushaf Al-Qur’an. Terduduk aku di shaf depan mushola. Hanya sendirian. Kulafalkan ayat-ayat surat Yasin. Kupanjatkan do’a-do’a yang aku hafal dan do’a spesial yang aku karang sendiri. Tidak lupa, aku panjatkan do’a-do’a slametan beserta runtutan pengucapannya. Aku yakin, slametan selalu ditunggu orang-orang yang sudah tidak hidup didunia lagi. Slametan bukan hanya tradisi dan budaya hasil akulturasi Hindu-Islam. Tapi, lebih dari itu semua. Do’a.

O.i @ 2011

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...