Oleh, Mang Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com
Lupa dengan leluhur mereka. Bagaimana tidak? Apa bedanya bersholwat kepada Nabi dan Mendoakan orang mati dengan bacaan tahlil? Apa ada yang buruk dari keduanya? Ah, biarlah. Resti memang perlu belajar dan banyak belajar agama.
Sejak kejadian tadi
malam, tali persahabatan yang cukup lama aku talikan, simpulnya sedikit
renggang. Dunia kami terlampau jauh berbeda. Dengan siapa lagi kalau bukan
Resti. Gadis yang insyaallah masih perawan itu. Dulu ia tinggal di Surabaya.
Bukan Surabaya kota. Sejak 2005, ia tinggal di rumah neneknya, di Gresik.
Banyak orang menyebut Gresik sebagai kota santri. Tapi akhir-akhir ini aku
lebih suka menyindir Gresik sebagai kota industri. Resti bersekolah di MA N 1
Gresik. Sedangkan aku di SMA Assa’adah. Kami berkenalan sejak 2006, pertemuan
kami tidak cukup menyenangkan untuk diterangkan. Sudahlah. Resti anak orang
kaya, menurut orang-orang kampungku. Ia baru 3 bulan kembali dari kuliah di
Yogyakarta. Aku pikir setelah mengunyah dan berinteraksi dengan banyak
budayawan di sana, Resti semakin bisa menghargai budaya nusantara. Tidak usah
ribut soal tari Pendet, batik yang baru diakui dunia, atau reog yang
diduplikasi orang Jiran itu. Urusan tradisi daerah saja masih ngalor-ngidul dan kembang-kempis. Masak anak daerah tidak tahu hari jadi derah
kelahirannya. Lucu kan? Atau riskan? Kehadiran Resti dikampungku bukan musibah,
terutama untukku. Kami sudah cukup lama saling kenal. Saat aku sekolah di
Surabaya, kami masih sering berkorespondensi dengan email. Bukan hanya email,
Resti juga aktif di situs jejaring sosial bersamaku, terutama facebook milik
orang yahudi itu. Persetan dengan agamanya, toh
itu urusannya dengan Tuhannya. Urusanku adalah mengapresiasi pemikiran dan
karyanya. Kenapa? Karena aku yakin otaknya ciptaan Tuhanku.
Kemarin sore, beberapa
orang sudah siap dengan pakaian islami, bukan berarti bercadar dan berwarna
hitam juga. Orang-orang itu bersiap untuk acara slametan. Ritual turunan hasil
akulturasi budaya Hindu-Budha yang dilebur dengan nilai-nilai Islam. Di Jawa,
terutama Jawa Timur, slametan adalah tradisi yang sudah mengakar. Karena aku
dilahirkan di daerah yang kental dengan tradisi kejawen, meski tidak di Jawa
Tengah.”Met, orang-orang sudah banyak?” Ibuku bertanya dari dapur. “Sudah ada
berapa orang?”
“Sekitar 200 bu. Tapi
kayaknya nambah terus. Masih banyak gerombolan orang di jalan. Dari desa
Sudimoro juga belum datang.” Jawabku dari pintu tengah rumah. Pintu itu
menghadap langsung ke mushola Maslakul Huda. Kebetulan ayahku yang menjadi
ketua pengurus. “Wis, kamu ke
mushola! Nanti pas waktu do’a, kamu ke dapur lagi.” Tambah Ibu. Segera aku
langkahkan kaki menuju mushola. Hanya beberapa langkah saja. Disana sudah
banyak orang berpakaian putih. Peci mereka hitam. Bawahannya bukan celana,
cukup sarung beraneka warna. H. Djamil, seorang pemuka agama di kampungku mulai
mengumandangkan puji-pujian. Bertalu-talu. Cukup merdu. Alunan irama merdu
berbahasa arab tersebut memang ampuh untuk mengundang orang untuk segera
bergabung. Aku berdiri sekitar dua meter dari serambi mushola. Bertindak
sebagai penerima tamu.”Met, mana Resti?” Sapa Sayna, sepupuku. “Bukannya
katanya dia mau datang ya?”
“He’em. Tapi kenapa
belum datang ya?” Jawabku. Aku masih ramah melempar senyum kepada beberapa
orang yang datang.
Aku sedikit kesal.
Resti tadi pagi janji akan datang.
Jalanan makin lengang.
Suara puji-pujian mengeras. Menggemuruh dari mushola. Sudut-sudut musholah
semakin penuh terisi dengan jasad-jasad manusia bernyawa. Mereka tertunduk.
Seolah berkomunikasi dengan Tuhan. Aku masih sibuk dengan urusan teknis. Biar
saja waktuku habis untuk menyamankan orang-orang slametan.
Tak berselang lama
pujian-pujian itu terhenti. Berdiri seorang pria, itu ayahku. Seperti biasa. Ia
menyampaikan pengumuman-pengumuman. Mulai dari pembaca do’a hingga penyumbang
dana. Hal itu menandakan akan dimulainya slametan. Prosesinya sederhana saja
sebenarnya. Dimulai dengan bacaan sholawat, kirim do’a, tahlilan yang diikuti
do’a pamungkas, dan makan-makan sebagai acara penutup. Prosesi atau adat
slametan di derahku bisa sedikit berbeda dengan daerah lain. Tapi, secara
subtansial sama. Aku menikmati adat slametan di daerahku, juga tak sangsi
mengikuti slametan di daerah lain. Tujuannya toh sama saja. Penghormatan dan wujud syukur kehadirat Allah SWT.
Surat al-Fatihah sudah
bersua. Tanda mulai slametan. Masih tidak ada tanda-tanda kehadiran Resti.
Lantunan ayat Al-Qur’an semakin menyala-nyala. Semua orang sudah terbius dalam
buaian dzikir. Suasana di dapur semakin sepi. Hanya segelintir orang yang masih
merapikan sajian. “Resti mungkin sibuk.” Gumamku sendu. Aku membaur saja ke
mushola. Tersipu di barisan paling belakang. Sebelah operator sound system.
Biasanya aku sudah bisa menikmati lantunan dzikir dengan cepat. Namun malam ini
berbeda. Gundah. Hatiku bertekuk. Seolah melambai ke seorang perempuan. Siapa
lagi kalau bukan Resti. Mataku menatap liar ke kerumunan jama’ah perempuan. Seperti
ada yang aneh. Tapi apa? Aku beranjak dari sipuanku. Berdiri dan bergerak.
Pandanganku menangkap kegganjilan. Sebuah kepala terbuka meliuk-liuk diantara
kepala berkerudung putih. “Sepertinya bukan kepala anak kecil.” Kataku dalam
hati. “Bu, perempuan yang didepan itu siapa?” Tanyaku kepada bu Warsih. “Kok
nggak berjilbab?”
“Yang mana?”
“Itu, yang dekat pintu
samping.” Bu Warsih mendongak. Matanya pun clingak-clinguk. Ia menepuk seorang
didepannya. “Bu, itu siapa ya? Yang ndak berjilbab?” Tanya bu Warsih kepada
orang didepannya. Mereka berbsisik. Mungkin untuk menjaga kekhusu’an jama’ah
disekelilingnya. “Resti. Anak Pak Dibyo, orang baru itu.” Kata bu Warsih.
Nadanya cukup centil. Aku yakin setelah slametan selesai, mereka akan
melanjutkan bergosip.
Aku merangas. Darahku
terperanjat naik ke kepala. Tanganku segera dingin. Keningku tak kering.
Bercucuran keringat segera. Aku ragu. Aku perhatikan lagi baik-baik perempuan yang
kata bu Warsih adalah Resti. Masak Resti tidak berjilbab? Perlahan. Ia
memalingkan kepala. Sekilas aku cermati mukanya. Bentuk alis dan keningnya.
“Astagfirullah..!”
Tukasku kaget. Itu benar Resti. Tapi kenapa ia di barisan depan jika tak
berjilbab? Acara slametan kok pamer aurat? Apa orang-orang sekelilingnya tidak
melihat? Tidak bergumam? Raut mukanya pucat pasi. Tidak seperti biasa. Ah,
mungkin ia terenyuh karena alunan dzikir.
Aku kembali bersipu.
Meskipun pikiran dan hatiku masih aku paksakan berdzikir.
Mulai malam ini, besok
dan nanti. Aku akan selalu mengenang. Menangis dan membiaskan harap dan duka.
Bacaan surat Yasin akan
habis. Aku masih merinding dengan jutaan bintik-bintik kepasrahan kepada Tuhan.
Waktunya berdo’a. Dan menikmati semua hidangan. “Bihaqi wa sirril surati al fatihah..” H. Djamil mengakhiri do’a. Aku
sudah berada didapur. Menyiapkan segala bentuk makanan dan minuman. Ada juga
jajanan pasar yang tersusun rapi diatas piring-piring beling putih. Rekan-rekanku
segera berjuntai membentuk barisan. Seperti pagar hidup dalam permainan sepak
bola, tapi agak renggang. Mereka secara marathon mengalirkan piring berisi
makanan kepada para jama’ah. Dimulai dari jama’ah laki-laki. Setelah terbagi
secara menyeluruh, jama’ah perempuan mulai mengikuti menikmati hidangan. Aku
menoleh ke arah Resti. “Resti dimana ya?” Gumamku. Aku memberanikan diri mendekati
tempat Resti tadi. Ia masih tertunduk. Tidak menikmati hidangan satu apapun. Ia
tertunduk lama.
Beberapa jama’ah sudah
meninggalkan mushola. Mulai agak sepi. Aku sedang bercengkeramah dengan kerabat
dan tokoh masyarakat di teras mushola. Sebagian kecil ibu rumah tangga
membersihkan piring dan tempat hidangan di mushola. Sementara itu, beberapa
remaja membersihkan mushola. Menyapu dan mengepel.
Resti belum terlihat
keluar mushola. Atau ia sudah pulang tanpa berpamitan? Tidak mungkin. Lewat
mana? Aku belum melihatnya. Kalaupun ia pulang, pasti lewat di depanku, kan tidak ada jalan lain. Suasana di
mushola semakin sepi. Ibu-ibu yang mencuci piring terlihat segera mem-finish-kan pekerjaannya. Kenapa Resti
belum keluar juga? Aku semakin penasaran. “Bas, di tempat perempuan masih ada
orang tidak?” Tanyaku kepada Basar. Tetanggaku. “Ndak ada. Sepi mas.” Jawabnya
singkat. Penasaranku semakin meninggi. Lalu dimana Resti? Apa aku ditilapnya?
Tapi masak iya. Gundah. Cukup gugup. Sebaiknya aku ke rumahnya besok pagi.
*
Subuh sudah lewat dua
jam yang lalu. Mentari mulai menyingsing dari arah timur. Burung berebutan
memamah makanan. Kicauannya terpekik dari segala penjuru. Pagi yang
menyejukkan. Hari ini Jum’at pagi. Rencanaku tidak berubah. Selepas slametan
tadi malam. Aku masih berangan-angan tentang Resti. Dan hari ini aku akan
kerumahnya. Rumah Resti tidak begitu jauh. Hanya 500 meter dari rumahku.
Keadaan rumah Resti
sangat sepi. Lampu penerang jalan masih menyala. Mungkin ia lupa mematikannya.
Biasanya ibunya sudah bersih-bersih halaman didepan rumah. Sayangnya, pagi ini
rutinitas itu tidak aku jumpai. Rumahnya benar-benar sangat sepi. Tertutup
rapat. Tidak berselang lama, sebuah mobil pick
up putih berhenti di depan rumah itu. Tiga orang pria keluar dari mobil
tersebut. Aku tidak begitu kenal dengan mereka. Aku hanya mengamati,
mengarahkan pandangan. Apa yang akan mereka lakukan? Seorang pria berbaju putih
membuka pintu rumah. Seorang lagi mengikuti dari belakang. Sedangkan pria yang
menjadi sopir, hanya berdiri tenang dengan menghisap rokok. Perlahan kedua pria
tadi masuk ke rumah Resti. Memindahkan meja, kursi, rak-rak, dan peralatan
elektronik semacam TV, kulkas, dan lainnya. Belum seminggu Resti pindah ke
kampungku. Kenapa ia pindah lagi? Aku belum bercengkeramah langsung dengannya.
Apalagi bercanda seperti ketika di masih SMA. “Assalamualaikum. Pak, ini semua
mau dipindah?” Tanyaku ke sopir tadi.
“Oo.. Waalaikumsalam,
barang-barang ini maksutnya?” Jawab si sopir. Kepulan asap mengepul bebas dari
mulutnya. “Ini semua akan dikembalikan ke rumah kakek almarhum bapak Dibyo. Di
Tulung Agung.”
“Tulung Agung?” Tanyaku
keheranan.
“He’em.., mas warga
sini?”
“Iya, saya warga sini. Pak
Dibyo?”
“Pak
Dibyo dan keluarganya kemarin malam, sekitar ba’da magrib, kecelakaan di dekat
tol Manyar. Semua yang ada didalam mobil pak Dibyo tewas.”
Aku terentak. Degub
jantungku tak teratur berdetak. “Innalillahi wa innailaihi rajiun.” Kataku
pelan. Nafasku terengah. Sedih dan haru mulai merasuki benteng perasaanku.
Bingung. Bukankah tadi malam Resti hadir di slametan? Lalu kenapa ibu Warsih?
Dan juga ibu didepan ibu Warsih tadi malam?
Aku segara menemui ibu
Warsih. Aku masih tidak percaya. Sedih.
“Bu, bu Warsih.”
Teriakku sambil melambaikan tangan. Aku lihat ibu Warsih berjalan ke kebuh.
Seperti biasa, memanen kacang dan menanam ubi. “Oalah, ada apa nak Slamet?”
Sapanya. Ia mengenakan kudung buyuk, baju kumal. Ditangannya tersematkan botol
air minum dan pisau. “Anu bu, emm.. Resti, meninggal. Bapak dan ibunya juga.”
Kataku dengan terengah-engah. “Innalillahi wa innailahi rajiun.., kamu kata
siapa?” Tanya bu Warsi lagi.
“Tadi ada tiga orang
yang boyongin barang-barang dari rumah Resti.”
“Kok ndak ada kabar
ya?”
“Lho,
bukannya tadi malam ibu yang kasih tahu saya, kalau perempuan tidak berjilbab
itu Resti?” Bu Warsih melepas kudung buyuknya. Ia kebingungan.
“Kapan?”
Sahutnya.
“Tadi
malam, waktu slametan. Masak ibu lupa?”
“Tadi
malam? Slametan? Perasaan ibu tidak pernah kamu tanyai nak.” Jawabnya seraya
melempar tatapan kosong.
“Lho,
lha terus.. tadi malam?”
“Oalah nak, ibu tadi
malam itu ndak ikut slametan. Anak ibu yang mewakili ibu. Aneh-aneh saja kamu
ini. Udah, ibu ke kebun dulu.” Bu Warsih kembali mengenakan kudung buyuknya. Ia
segera menjauh dariku. Aku masih tertegun. Takut dan penasaran. Aneh. Lalu, siapa
Resti yang tadi malam? Siapa bu Warsih tadi malam di slametan itu? Tidak
mungkin juga bu Warsi pikun. Dia masih 45 tahun. Kebingunganku semakin
merangkak naik. Fase keanehan semalam sudah tidak lagi mampu aku jelaskan
dengan akal sehat.
*
Beberapa orang sudah
meninggalkan mushola. Masih ada H. Djamil sholat sunnah. Aku tunggui saja di
serambi. Beberapa menit kemudian ia sudah selesai. Aku mencegatnya di pintu
mushola. Aku menyalaminya. Seperti biasa. “Ada apa Met?” Tanya beliau. Segera
aku mengungkapkan kejadian-kejadian aneh sejak tadi malam sampai pagi tadi.
Tubuhku merinding ketika bercerita. Seolah-olah Resti berada di sampingku
mengamati gerak-gerikku. “Saya masih bingung Pak Haji.” Pungkasku.
“Slametan
tadi malam tidak aneh. Biasanya juga banyak ruh yang datang. mereka rindu akan
do’a dari orang yang masih hidup.” Jelasnya.
“Kenapa
begitu nyata tadi malam?”
“Apa
yang tidak mungkin bagi manusia, bukan masalah sulit bagi Allah. Mungkin karena
Resti sudah janji sama kamu, sebelum Allah memanggilnya. Jadi ia berusaha
menepati janjinya.”
“Kenapa
juga Resti tidak berjilbab? Bukannya ia selalu menutupi auratnya?”
“Allah pasti punya
alasan untuk itu.” Jawab H. Djamil. Ia menepuk pundakku. “Sholatlah. Kirimi dia
do’a!” Tambahnya lantas meninggalkanku sendirian di mushola. Tidak begitu lama.
Ingatanku berselancar tentang kenangan masa SMA. Antara aku dan Resti. Aku
sempat berbisik kepadanya. “Res, kira-kira keindahan wajahmu sama seperti
rambut dibalik jilbabmu tidak?” Aku masih bisa merasakan senyumnya. Ya.. Jawabnya
hanya dengan senyuman waktu itu. Mungkin tadi malam adalah jawaban dari
pertanyaanku tadi. “Subhanallah.” Tak tertahan sudah kesedihanku.
Mulai aku bersiap
mendo’akan Resti. Mengambil air wudhu, mushaf Al-Qur’an. Terduduk aku di shaf depan
mushola. Hanya sendirian. Kulafalkan ayat-ayat surat Yasin. Kupanjatkan
do’a-do’a yang aku hafal dan do’a spesial yang aku karang sendiri. Tidak lupa,
aku panjatkan do’a-do’a slametan beserta runtutan pengucapannya. Aku yakin,
slametan selalu ditunggu orang-orang yang sudah tidak hidup didunia lagi. Slametan
bukan hanya tradisi dan budaya hasil akulturasi Hindu-Islam. Tapi, lebih dari
itu semua. Do’a.
O.i @ 2011
No comments:
Post a Comment