Oleh,Mang Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com
--Tulisan ini adalah sitiran dari Jurnal Ilmiah berjudul Respon Tokoh Islam Atas Fatwa MUI
Tentang Gerakan Ahmadiyah Indonesia karya Ahmad Subakir,
Ilham Mashuri dan M Asror Yusuf, STAIN Kediri, 2008--
Tulisan
ini bukanlah lembaran luas tentang sepak terjang jamaah Ahamdiyah di Indonesia.
Sebagai Negara sekuler yang meng-“halal”-kan enam keyakinan beragama, Indonesia
memiliki Majelis Ulama Indonesia (MUI) – yang seolah-olah mewakili “Tuhan”
sebagai eksekutor terhadap masalah keyakinan keagamaan, dalam hal ini agama
Islam. Fungsi MUI tidak jauh berbeda dengan Konferensi Waligereja Indonesia
(KWI) bagi umat katolik atau PGI (Persatuan Gereja-gereja Indonesia). Sejarah mencatat
bahwa Jamaah Ahmadiyah sudah mendapatkan reaksi keras dari berbagai kalangan
sejak masuk ke Indonesia. Sejak berkiprah di Sumatera, Ahmadiyah sudah mendapat
kecaman dari Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah. Sehingga terbitlah buku Al Qaul ash Shohih guna meredam paham
Ahmadiyah. Sampai saat ini kejadian yang berujung pada kekerasan terhadap
Ahmadiyah memang sangat riskan. Apalagi di Negara yang berlandaskan Pancasila
dan UUD 1945, serta bersemboyan Bhineka Tunggal Ika.
Majelis
Ulama Indonesia dalam Munas II tahun 1980 menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah
Jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.[1] Fatwa
yang sama dikeluarkan pada tahun 2005 dalam suatu Keputusan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia melalui Musyawaran Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H./
26-29 Juli 2005 M yang dituangkan dalam Surat Keputusan MUI Nomor: 11/Munas
VII/MUI/15/2005. Bukan hanya di Indonesia, jauh sebelumnya sudah ada keputusan serupa
dalam level internasional. Pada tahun 1974, ulama Islam dari 124 negara menyelenggarakan
pertemuan di Mekah yang diprakarsai oleh Liga Muslim Dunia (Rabithah al Alam
al Islami)[2].
Pertemuan itu menghasilkan keputusan bahwa tokoh dan pendiri Ahmadiyah, Mirza
Ghulam Ahmad dan para pengikutnya adalah ingkar. Keputusan tersebut didasarkan
pada analisa bahwa Ahmadiyah sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Pro dan
kontra terhadap fatwa MUI bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok besar. Pertama
kelompok yang mendukung fatwa tersebut. Ada sekitar 31 ormas Islam
menyatakan mendukung fatwa MUI, Komite Islam untuk Solidaritas Dunia Islam
(KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Badan Kerja Sama Pondok
Pesantren Indonesia (BKSPPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Syarikat Islam, Al
Irsyad. Kedua kelompok yang menolak fatwa, termasuk di dalamnya mereka
yang menuntut dibubarkannya lembaga ini.[3]
Kelompok ketiga adalah mereka yang menolak kedua
fatwa tersebut, di antara mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah Jemaat Ahmadiyah
Qadian, yang didukung oleh Komnas HAM dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam
Aliansi Masyarakat Madani. Mereka berargumen bahwa Ahmadiyah di Indonesia sudah
mendapat ijin legal dari pemerintah sebagai organisasi sosial. Pada tahun 1953
mereka mendapat legalitas sebagai badan hukum. Pada tahun 2003 mereka mendapat
ijin sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan
Politik No. 75//D.I./VI/2003. Dengan demikian tidak ada alasan bagi untuk
memutuskan kesesatan Ahmadiyah.
Disamping
itu, dilihat dari segi hukum, fatwa tersebut juga batal demi hukum, sebab dalam
UUD 1945 Pasal 29 secara tegas dinyatakan: (1) Negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Disamping
itu, menurut hukum positif Indonesia, fatwa tersebut juga batal demi hukum,
sebab (a) menurut anggaran dasar Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) bab II Pasal
4 “Gerakan Ahmadiyah Indonesia berasaskan Pancasila. (b) Menurut UUD 1945 Pasal
29 secara tegas dinyatakan: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa, (2) Negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agamnya masing-masing
dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Mengembangkan
Dialog Emansipatoris
Agar
kejadian serupa tidak terulang di masa-masa mendatang – yang kemudian menjadi
penting adalah meletakkan konflik maupun perdebatan soal kepercayaan ini dalam
wadah dialog emansipatoris. Pihak MUI sendiri bahkan menyetujui untuk tidak
menggunakan cara-cara kekerasan dalam penolakan terhadap Ahmadiyah.[4] Rasulullah
sendiri tidak pernah melibas dan menghancurkan orangorang menurut Islam sesat
(kafir, musyrik)—karena hidup itu adalah proses, hari ini bisa dianggap sebagai
orang saleh, bahkan ulama, tapi pada hari atau bulan atau tahun berikutnya,
status demikian belum tentu berjalan terus—beliau justru mendekatinya dengan hikmah
dan mau’idhah hasanah. Amar Ma’ruf Nahi Munkar bagi beliau harus
dilandasi dengan kasih sayang, bukan kebencian, sampai-sampai oleh Imam al
Busyiri, beliau dijuluki al Amirun Nahi, karena beliau sangat sayang
kepada sesama.[5]
Dakwah
yang dilakukan oleh Nabi selalu menjunjung akhlakul karimah, seandainya
Rasulullah tidak bersikap demikian, orang-orang seperti Amr ibn Ash putra Ash
bin Washil, Ikrimah putra Abu Jahal (keduanya musuh bebuyutan Rasulullah) tidak
akan pernah masuk Islam. Sebenarnya perbedaan paham antara Ahmadiyah dan
Ahlissunnah tidak ada yang prinsipil. Jika kaum Ahmadiyah mengaku ada nabi
setelah Muhammad dan wahyu tetap diturunkan kepada seorang nabi sampai sekarang,
maka itu tidak prinsipil. Kata nabi berasal dari kata naba’a – artinya
pemberi kabar (dari langit). Bukankah sampai hari ini pun banyak ulama atau
kaum sufi yang karena kesucian dan kezuhudannya sering mendapat berita langit?
Pertanyaannya, lantas nabikah dia? Kaum Islam mayoritas mungkin menyebutnya
wali atau ayatullah dalam Syiah.
Karena
itu, jauh lebih baik jika umat Islam mayoritas merangkul umat Islam minoritas
(Ahmadiyah) ketimbang menjadikannya musuh yang harus dihancurkan. Apalagi peran
kaum Ahmadiyah dalam menyebarkan Islam sangat besar. Jika kita perhatikan
secara seksama sebagian besar buku-buku Islam yang diterbitkan di Barat dan
kemudian membawa orang Barat simpati kepada Islam ditulis oleh orang Ahmadiyah.[6] Di
berbagai
wilayah di
Indonesia hubungan antara muslim Ahmadiyah dan muslim mayoritas Indonesia (NU
dan Muhammadiyah) baik-baik saja.
[1] Keputusan MUNAS II MUI se
Indonesia No,05/Kep/Munas/MUI/1980.
[2]
Abdullah
Hanif, “Gerakan Ahmadiyah dalam Sorotan Publik” dalam Mozaik Pesantren, edisi 01/Th.1/Oktober 2005.
[3]
Menarik
untuk diungkap di sini apa yang disampaikan oleh KH. Musthofa Bisri saat
mengomentari pejabat MUI pusat. Ia menyatakan: “Cita-cita saya kalau terpilih
menjadi ketua MUI adalah membubarkan MUI”. Tentu Gus Mus punya alasan yang
cukup kuat saat menyampaikan komentar ini. Lihat, Ahmad Rofiq, Fiqh
kontekstual: dari normatif ke pemaknaan sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 207.
[4]
Kita tidak mendukung bila penolakan Ahmadiyah dengan
cara anarkis, ujar Umar Shihab, salah satu Ketua MUI, di sela-sela Munas MUI
ke-7 di Jakarta.
[5]
Mustofa Bisri, “Fatwa MUI Refleksi Ketidakpercayaan
Diri” dalam Ahmad Sueadi (ed.) Kala
Fatwa Menjadi Penjara (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), p. 254-255.
[6]
Banyak orang belum tahu bahwa Abdus Salam
(1926-1996), pemenang Nobel Fisika tahun 1979 adalah orang Ahmadiyah. Banyak di
antara kita—termasuk mereka yang anti Ahmadiyah--mengatakan dunia Islam
benar-benar tertolong dengan kehadiran sang peraih nobel Abdus Salam, sehingga
perkembangan sains Islam yang sudah terputus selama lima abad seakan kembali
hidup. Abdus Salam menjadi penerang sains Islam dan menjadi penggugah kaum
muslimin untuk kembali meraih kejayaan di bidang sains yang pernah digenggamnya
pada abad ke ke-7 sampai ke-15. Abdus Salam kelahiran Pakistan 29 Januari 1926
itu meraih gelar doktor fisika dalam usia 26 tahun dari Cambridge University, Inggris. Dalam waktu hanya lima tahun
melakukan penelitian tentang gaya-gaya fundamental di alam raya, penemuan Salam
ternyata mendapat penghargaan Nobel. Penemuannya dalam usia 31 tahun dianggap
prestasi yang luar biasa. Salam dalam penelitiannya berhasil menemukan fakta
sesungguhnya semua gaya yang ada di jagad raya – yaitu gaya gravitasi,
elektromagnet, nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah hakikatnya merupakan satu
kesatuan. Sebelum pemerintahan Benazir, Salam diusir dari Pakistan dan dilarang
menginjakkan kakinya di Tanah Suci Makkah. Semasa hidupnya Salam sering jadi
objek caci maki rakyat Pakistan dan Timur Tengah karena ke-Ahmadiyah-annya.
Tapi di akhir hayatnya, – Salam justru dianggap Putra dan pahlawan Pakistan dan
dunia Islam.
No comments:
Post a Comment