Tuesday, April 12, 2011

Menyoal “Wakil Tuhan” di Indonesia :Kajian Fatwa MUI Tentang Ahmadiyah


Oleh,Mang Oejank Indro, tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com

--Tulisan ini adalah sitiran dari Jurnal Ilmiah berjudul Respon Tokoh Islam Atas Fatwa MUI Tentang Gerakan Ahmadiyah Indonesia karya Ahmad Subakir, Ilham Mashuri dan M Asror Yusuf, STAIN Kediri, 2008--
 
Tulisan ini bukanlah lembaran luas tentang sepak terjang jamaah Ahamdiyah di Indonesia. Sebagai Negara sekuler yang meng-“halal”-kan enam keyakinan beragama, Indonesia memiliki Majelis Ulama Indonesia (MUI) – yang seolah-olah mewakili “Tuhan” sebagai eksekutor terhadap masalah keyakinan keagamaan, dalam hal ini agama Islam. Fungsi MUI tidak jauh berbeda dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bagi umat katolik atau PGI (Persatuan Gereja-gereja Indonesia). Sejarah mencatat bahwa Jamaah Ahmadiyah sudah mendapatkan reaksi keras dari berbagai kalangan sejak masuk ke Indonesia. Sejak berkiprah di Sumatera, Ahmadiyah sudah mendapat kecaman dari Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah. Sehingga terbitlah buku Al Qaul ash Shohih guna meredam paham Ahmadiyah. Sampai saat ini kejadian yang berujung pada kekerasan terhadap Ahmadiyah memang sangat riskan. Apalagi di Negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, serta bersemboyan Bhineka Tunggal Ika.

Majelis Ulama Indonesia dalam Munas II tahun 1980 menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah Jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.[1] Fatwa yang sama dikeluarkan pada tahun 2005 dalam suatu Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia melalui Musyawaran Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H./ 26-29 Juli 2005 M yang dituangkan dalam Surat Keputusan MUI Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005. Bukan hanya di Indonesia, jauh sebelumnya sudah ada keputusan serupa dalam level internasional. Pada tahun 1974, ulama Islam dari 124 negara menyelenggarakan pertemuan di Mekah yang diprakarsai oleh Liga Muslim Dunia (Rabithah al Alam al Islami)[2]. Pertemuan itu menghasilkan keputusan bahwa tokoh dan pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya adalah ingkar. Keputusan tersebut didasarkan pada analisa bahwa Ahmadiyah sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Pro dan kontra terhadap fatwa MUI bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok besar. Pertama kelompok yang mendukung fatwa tersebut. Ada sekitar 31 ormas Islam menyatakan mendukung fatwa MUI, Komite Islam untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Syarikat Islam, Al Irsyad. Kedua kelompok yang menolak fatwa, termasuk di dalamnya mereka yang menuntut dibubarkannya lembaga ini.[3]

Kelompok ketiga adalah mereka yang menolak kedua fatwa tersebut, di antara mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah Jemaat Ahmadiyah Qadian, yang didukung oleh Komnas HAM dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani. Mereka berargumen bahwa Ahmadiyah di Indonesia sudah mendapat ijin legal dari pemerintah sebagai organisasi sosial. Pada tahun 1953 mereka mendapat legalitas sebagai badan hukum. Pada tahun 2003 mereka mendapat ijin sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Dengan demikian tidak ada alasan bagi untuk memutuskan kesesatan Ahmadiyah.

Disamping itu, dilihat dari segi hukum, fatwa tersebut juga batal demi hukum, sebab dalam UUD 1945 Pasal 29 secara tegas dinyatakan: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Disamping itu, menurut hukum positif Indonesia, fatwa tersebut juga batal demi hukum, sebab (a) menurut anggaran dasar Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) bab II Pasal 4 “Gerakan Ahmadiyah Indonesia berasaskan Pancasila. (b) Menurut UUD 1945 Pasal 29 secara tegas dinyatakan: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agamnya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Mengembangkan Dialog Emansipatoris

Agar kejadian serupa tidak terulang di masa-masa mendatang – yang kemudian menjadi penting adalah meletakkan konflik maupun perdebatan soal kepercayaan ini dalam wadah dialog emansipatoris. Pihak MUI sendiri bahkan menyetujui untuk tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam penolakan terhadap Ahmadiyah.[4] Rasulullah sendiri tidak pernah melibas dan menghancurkan orangorang menurut Islam sesat (kafir, musyrik)—karena hidup itu adalah proses, hari ini bisa dianggap sebagai orang saleh, bahkan ulama, tapi pada hari atau bulan atau tahun berikutnya, status demikian belum tentu berjalan terus—beliau justru mendekatinya dengan hikmah dan mau’idhah hasanah. Amar Ma’ruf Nahi Munkar bagi beliau harus dilandasi dengan kasih sayang, bukan kebencian, sampai-sampai oleh Imam al Busyiri, beliau dijuluki al Amirun Nahi, karena beliau sangat sayang kepada sesama.[5]

Dakwah yang dilakukan oleh Nabi selalu menjunjung akhlakul karimah, seandainya Rasulullah tidak bersikap demikian, orang-orang seperti Amr ibn Ash putra Ash bin Washil, Ikrimah putra Abu Jahal (keduanya musuh bebuyutan Rasulullah) tidak akan pernah masuk Islam. Sebenarnya perbedaan paham antara Ahmadiyah dan Ahlissunnah tidak ada yang prinsipil. Jika kaum Ahmadiyah mengaku ada nabi setelah Muhammad dan wahyu tetap diturunkan kepada seorang nabi sampai sekarang, maka itu tidak prinsipil. Kata nabi berasal dari kata naba’a – artinya pemberi kabar (dari langit). Bukankah sampai hari ini pun banyak ulama atau kaum sufi yang karena kesucian dan kezuhudannya sering mendapat berita langit? Pertanyaannya, lantas nabikah dia? Kaum Islam mayoritas mungkin menyebutnya wali atau ayatullah dalam Syiah.

Karena itu, jauh lebih baik jika umat Islam mayoritas merangkul umat Islam minoritas (Ahmadiyah) ketimbang menjadikannya musuh yang harus dihancurkan. Apalagi peran kaum Ahmadiyah dalam menyebarkan Islam sangat besar. Jika kita perhatikan secara seksama sebagian besar buku-buku Islam yang diterbitkan di Barat dan kemudian membawa orang Barat simpati kepada Islam ditulis oleh orang Ahmadiyah.[6] Di berbagai
wilayah di Indonesia hubungan antara muslim Ahmadiyah dan muslim mayoritas Indonesia (NU dan Muhammadiyah) baik-baik saja.



[1]  Keputusan MUNAS II MUI se Indonesia No,05/Kep/Munas/MUI/1980.
[2] Abdullah Hanif, “Gerakan Ahmadiyah dalam Sorotan Publik” dalam Mozaik Pesantren, edisi 01/Th.1/Oktober 2005.
[3] Menarik untuk diungkap di sini apa yang disampaikan oleh KH. Musthofa Bisri saat mengomentari pejabat MUI pusat. Ia menyatakan: “Cita-cita saya kalau terpilih menjadi ketua MUI adalah membubarkan MUI”. Tentu Gus Mus punya alasan yang cukup kuat saat menyampaikan komentar ini. Lihat, Ahmad Rofiq, Fiqh kontekstual: dari normatif ke pemaknaan sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 207.
[4] Kita tidak mendukung bila penolakan Ahmadiyah dengan cara anarkis, ujar Umar Shihab, salah satu Ketua MUI, di sela-sela Munas MUI ke-7 di Jakarta.
[5] Mustofa Bisri, “Fatwa MUI Refleksi Ketidakpercayaan Diri” dalam Ahmad Sueadi (ed.) Kala Fatwa Menjadi Penjara (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), p. 254-255.
[6] Banyak orang belum tahu bahwa Abdus Salam (1926-1996), pemenang Nobel Fisika tahun 1979 adalah orang Ahmadiyah. Banyak di antara kita—termasuk mereka yang anti Ahmadiyah--mengatakan dunia Islam benar-benar tertolong dengan kehadiran sang peraih nobel Abdus Salam, sehingga perkembangan sains Islam yang sudah terputus selama lima abad seakan kembali hidup. Abdus Salam menjadi penerang sains Islam dan menjadi penggugah kaum muslimin untuk kembali meraih kejayaan di bidang sains yang pernah digenggamnya pada abad ke ke-7 sampai ke-15. Abdus Salam kelahiran Pakistan 29 Januari 1926 itu meraih gelar doktor fisika dalam usia 26 tahun dari Cambridge University, Inggris. Dalam waktu hanya lima tahun melakukan penelitian tentang gaya-gaya fundamental di alam raya, penemuan Salam ternyata mendapat penghargaan Nobel. Penemuannya dalam usia 31 tahun dianggap prestasi yang luar biasa. Salam dalam penelitiannya berhasil menemukan fakta sesungguhnya semua gaya yang ada di jagad raya – yaitu gaya gravitasi, elektromagnet, nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah hakikatnya merupakan satu kesatuan. Sebelum pemerintahan Benazir, Salam diusir dari Pakistan dan dilarang menginjakkan kakinya di Tanah Suci Makkah. Semasa hidupnya Salam sering jadi objek caci maki rakyat Pakistan dan Timur Tengah karena ke-Ahmadiyah-annya. Tapi di akhir hayatnya, – Salam justru dianggap Putra dan pahlawan Pakistan dan dunia Islam.

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...