Bagian II
Euforia Mahasiswa Baru
Selembar
kertas tersemat usang menyelinap di jari-jarinya. Lembaran kertas tertata rapi
dalam map kuning tua. Pagi ini zunia sedang berdiri tanpa jenuh menunggu
giliran daftar ulang di Universitas Indonesia, Depok. Sekitar 4.000 manusia
muda berjubel di Balairung UI. Sebuah gedung besar yang terletak diantara danau
dan rektorat UI. Jika dilihat dari lantai 8 gedung rektorat, bentuknya seperti
segitiga besar dengan pondasi kokoh menahannya. Dibeberapa titik berkeliaran
pemuda-pemudi berseragam sok militer.
Mereka menamakan diri sebagai MENWA (resimen mahasiswa) UI. Markas mereka
terletak di dekat Gerbatama UI. Keringat mulai menghujan dari balik pori-pori
kulit Zunia. Sang mentari menyelinap sesekali dari rindang pohon asam. Sudah 2
jam ia hanya berputar-putar menunggu antrean.
Zunia
bergegas menuju sisi utara balairung UI. Rok hitam yang merumpai indah sedikit
menahan
langkahnya. Setelah melewati sebuah tangga kecil beranak 4, seorang pria tidak sengaja menginjak rok panjangnya. Gubrak!! Ia tepental kedepan. Tubuhnya terjun bebas ke lantai dari beton. Ia berteriak kecil, pandangannya kabur, dan terlelap pingsan.
langkahnya. Setelah melewati sebuah tangga kecil beranak 4, seorang pria tidak sengaja menginjak rok panjangnya. Gubrak!! Ia tepental kedepan. Tubuhnya terjun bebas ke lantai dari beton. Ia berteriak kecil, pandangannya kabur, dan terlelap pingsan.
“Mbak,
mbak.. !” suara seorang wanita melebur ke otak Zunia. Pandangannya kabur.
Sesekali menoleh ke kanan-kiri, “Bangun mbak, mbak bisa dengar saya?” tangannya
mulai meliuk. Ia merasakan kepalanya bersandar di kepala seorang laki-laki.
Sesekali dihirupnya aroma minyak kayu putih. “Saya kenapa?” tutur Zunia lemas.
“Mbak
tadi jatuh, terus nggak sadarkan
diri. Jadi kita bawa ke sini.” Jawab seorang perempuan bertubuh gemuk tersebut.
“Saya
Mila.” Sapa gadis berambut ikal tadi sambil menjulurkan tangan, mengajak
bersalaman.
Zunia
tertegun. Raut mukanya seperti orang terhipnotis. Gamang. Dari balik pintu
muncul seorang pria berambut rapi. Pria itu mendekati Zunia dan Mila, segelas
teh hangat disodorkan untuk Zunia.
Zunia
melamun bebas.
“Terima
kasih.”
“Kamu
istirahat dulu, nanti bareng sama saya ke dalam.” Pria itu menenangkan Zunia.
Mila beranjak keluar, kembali ke antrian.
“Saya
Iswanda, tapi teman-teman saya biasa panggil Siby. Mbak siapa? Darimana?” Tanya
Siby. Zunia meneguk teh, mengusap bibirnya.
“Saya
Zunia, Zuniarti Rahayu.”
Suasana
di luar ruangan masih ramai. Petugas masih terlihat sibuk dengan mahasiswa
baru. Didalam balairung tertata delapan meja di beberapa sisi dan dua meja di
tengah-tengah. Disisi sebelah barat terpasang sebuah monitor yang berulangkali
menampilkan nama-nama mahasiswa yang sudah melewati proses registrasi ulang.
Setelah
sejam lebih Zunia tergeletak. Ia segera bangkit dari istirahat singkatnya.
Bersama Sibi ia kembali ke antrian. Dibantu salah seorang MENWA, mereka dengan
mudah menyerobot antrian yang mulai menyusut, dan merampungkan rangkaian proses
registrasi ulang.
***
Zunia
mencermati lembaran amplop yang ia terima dari petugas registrasi. Ia sedang
menikmati sebuah perpustakaan megah yang sedang dibangun di dekat mesjid
Ukhuwah Islamiah Univessitas Indonesia. Sinar mentari mulai meredup dan hanyut
di bumi bagian barat. Hari yang melelahkan untuk Zunia. Ini adalah hari keduda
ia berada di kota Depok. Sebuah kota satelit ibu kota Indonesia, Jakarta.
Beberapa lampu jalan di sekitar gedung perpustakaan seberang danau sudah
menyala indah. Suasana balairung mulai hening. Hanya beberapa orang yang
bertugas membersihkan area yang mondar-mandir. Puluhan mobil dan ratusan sepeda
motor yang tadinya berjajar rapi pun sudah mulai lenyap. Zunia memutuskan untuk
meninggalkan balairung. Ia ingin secepatnya melepaskan pengat dan lelah diatas
ranjang, di asrama UI.
Semua
barang bawaannya sudah tersegel rapi di dalam tas hitam bergambar Winne The
Pooh. Ia berjalan singkat kea arah halte, 50 meter dari balairung. Senandung
ayat suci Al-Qur’an yang tersuakan dari mesjid UI mulai terdengar. Bus kuning –
sebutan untuk bus khusus transportasi mahasiswa UI – terlihat mendekat dari
balik rindang pohon karet. Ia segera
mengambil posisi layaknya seorang karyawan yang sedang menunggu taksi. Selang
beberapa detik, pintu bus terbuka secara otomatis. Ia segera meloncat masuk.
Bus tersebut pun melenggang ramah menuju asrama UI.
Setibanya
di asrama mahasiswa, Zunia segera menuju ke kamar. Ia harus mendaki ke lantai
tiga untuk sampai dikamarnya. Di kamar seharga Rp. 175.000 per bulan itulah
Zunia akan tinggal selama satu tahun. “Duh,
kuwesele rek..!” Tukasnya sambil
meletakkan barang-barang bawaannya.
Tas,
baju, dan jilbab ditanggalkan pada gantungan baju balik pintu. Kamar Zunia
cukup nyaman. Terletak di sebelah tangga penghubung ke lantai dua, jendela
menjulang membuatnya bisa mengamati aktifitas di Wisma Makara UI. Wisma
tersebut dijadikan tempat menginap tamu-tamu kehormatan UI. Setelah
melaksanakan ritual sholat maghrib, ia bergegas ke kantin asrama untuk makan
malam.
Hari
pertama dalam rangkaian proses penyambutan mahasiswa baru sudah terlewati
dengan cukup berat. Sialnya, masih banyak hari-hari yang lebih berat harus
dijalani Zunia. Berkeliaran sebatangkara tanpa saudara, jaminan biaya kuliah
yang terlalu tinggi dari harapan. Sebuah kisah baru saja ia tuliskan dalam
garis kehidupannya.
No comments:
Post a Comment