Thursday, April 28, 2011

DIK (Sebuah Novel) : Bagian II Euforia Mahasiswa Baru


Bagian II
Euforia Mahasiswa Baru

Selembar kertas tersemat usang menyelinap di jari-jarinya. Lembaran kertas tertata rapi dalam map kuning tua. Pagi ini zunia sedang berdiri tanpa jenuh menunggu giliran daftar ulang di Universitas Indonesia, Depok. Sekitar 4.000 manusia muda berjubel di Balairung UI. Sebuah gedung besar yang terletak diantara danau dan rektorat UI. Jika dilihat dari lantai 8 gedung rektorat, bentuknya seperti segitiga besar dengan pondasi kokoh menahannya. Dibeberapa titik berkeliaran pemuda-pemudi berseragam sok militer. Mereka menamakan diri sebagai MENWA (resimen mahasiswa) UI. Markas mereka terletak di dekat Gerbatama UI. Keringat mulai menghujan dari balik pori-pori kulit Zunia. Sang mentari menyelinap sesekali dari rindang pohon asam. Sudah 2 jam ia hanya berputar-putar menunggu antrean.
Zunia bergegas menuju sisi utara balairung UI. Rok hitam yang merumpai indah sedikit menahan
langkahnya. Setelah melewati sebuah tangga kecil beranak 4, seorang pria tidak sengaja menginjak  rok panjangnya. Gubrak!! Ia tepental kedepan. Tubuhnya terjun bebas ke lantai dari beton. Ia berteriak kecil, pandangannya kabur, dan terlelap pingsan.
“Mbak, mbak.. !” suara seorang wanita melebur ke otak Zunia. Pandangannya kabur. Sesekali menoleh ke kanan-kiri, “Bangun mbak, mbak bisa dengar saya?” tangannya mulai meliuk. Ia merasakan kepalanya bersandar di kepala seorang laki-laki. Sesekali dihirupnya aroma minyak kayu putih. “Saya kenapa?” tutur Zunia lemas.
“Mbak tadi jatuh, terus nggak sadarkan diri. Jadi kita bawa ke sini.” Jawab seorang perempuan bertubuh gemuk tersebut.
“Saya Mila.” Sapa gadis berambut ikal tadi sambil menjulurkan tangan, mengajak bersalaman.
Zunia tertegun. Raut mukanya seperti orang terhipnotis. Gamang. Dari balik pintu muncul seorang pria berambut rapi. Pria itu mendekati Zunia dan Mila, segelas teh hangat disodorkan untuk Zunia.
Zunia melamun bebas.
“Terima kasih.”
“Kamu istirahat dulu, nanti bareng sama saya ke dalam.” Pria itu menenangkan Zunia. Mila beranjak keluar, kembali ke antrian.
“Saya Iswanda, tapi teman-teman saya biasa panggil Siby. Mbak siapa? Darimana?” Tanya Siby. Zunia meneguk teh, mengusap bibirnya.
“Saya Zunia, Zuniarti Rahayu.”
Suasana di luar ruangan masih ramai. Petugas masih terlihat sibuk dengan mahasiswa baru. Didalam balairung tertata delapan meja di beberapa sisi dan dua meja di tengah-tengah. Disisi sebelah barat terpasang sebuah monitor yang berulangkali menampilkan nama-nama mahasiswa yang sudah melewati proses registrasi ulang.
Setelah sejam lebih Zunia tergeletak. Ia segera bangkit dari istirahat singkatnya. Bersama Sibi ia kembali ke antrian. Dibantu salah seorang MENWA, mereka dengan mudah menyerobot antrian yang mulai menyusut, dan merampungkan rangkaian proses registrasi ulang.

***
Zunia mencermati lembaran amplop yang ia terima dari petugas registrasi. Ia sedang menikmati sebuah perpustakaan megah yang sedang dibangun di dekat mesjid Ukhuwah Islamiah Univessitas Indonesia. Sinar mentari mulai meredup dan hanyut di bumi bagian barat. Hari yang melelahkan untuk Zunia. Ini adalah hari keduda ia berada di kota Depok. Sebuah kota satelit ibu kota Indonesia, Jakarta. Beberapa lampu jalan di sekitar gedung perpustakaan seberang danau sudah menyala indah. Suasana balairung mulai hening. Hanya beberapa orang yang bertugas membersihkan area yang mondar-mandir. Puluhan mobil dan ratusan sepeda motor yang tadinya berjajar rapi pun sudah mulai lenyap. Zunia memutuskan untuk meninggalkan balairung. Ia ingin secepatnya melepaskan pengat dan lelah diatas ranjang, di asrama UI.
Semua barang bawaannya sudah tersegel rapi di dalam tas hitam bergambar Winne The Pooh. Ia berjalan singkat kea arah halte, 50 meter dari balairung. Senandung ayat suci Al-Qur’an yang tersuakan dari mesjid UI mulai terdengar. Bus kuning – sebutan untuk bus khusus transportasi mahasiswa UI – terlihat mendekat dari balik rindang pohon karet. Ia segera mengambil posisi layaknya seorang karyawan yang sedang menunggu taksi. Selang beberapa detik, pintu bus terbuka secara otomatis. Ia segera meloncat masuk. Bus tersebut pun melenggang ramah menuju asrama UI.
Setibanya di asrama mahasiswa, Zunia segera menuju ke kamar. Ia harus mendaki ke lantai tiga untuk sampai dikamarnya. Di kamar seharga Rp. 175.000 per bulan itulah Zunia akan tinggal selama satu tahun. “Duh, kuwesele rek..!” Tukasnya sambil meletakkan barang-barang bawaannya.
Tas, baju, dan jilbab ditanggalkan pada gantungan baju balik pintu. Kamar Zunia cukup nyaman. Terletak di sebelah tangga penghubung ke lantai dua, jendela menjulang membuatnya bisa mengamati aktifitas di Wisma Makara UI. Wisma tersebut dijadikan tempat menginap tamu-tamu kehormatan UI. Setelah melaksanakan ritual sholat maghrib, ia bergegas ke kantin asrama untuk makan malam.
Hari pertama dalam rangkaian proses penyambutan mahasiswa baru sudah terlewati dengan cukup berat. Sialnya, masih banyak hari-hari yang lebih berat harus dijalani Zunia. Berkeliaran sebatangkara tanpa saudara, jaminan biaya kuliah yang terlalu tinggi dari harapan. Sebuah kisah baru saja ia tuliskan dalam garis kehidupannya.

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...