oleh, Mang Oejank Indro, tinggal di htpp://mangoejankindro.blogspot.com
Namaku Aisyah, masih gadis atau
perawan. Usiaku sekarang 18 tahun. Bapakku seorang Kiyai, pemangku pondok
pesantren Al-Harun. Menulis sudah menjadi kegemaranku. Membaca apalagi. Setiap
kaluar rumah aku mengenakan jilbab. Tidak lebar, tidak memakai kaus kaki juga.
Bajuku tidak terlalu ketat, tidak pula ngelombyor.
Mengenakan celana pun tidak riskan.
Kegemaranku berkelahi. Karate olah raga favoritku. Tak peduli aku anak pemuka
agama atau bukan. Bapak dan Ibuku tidak melarang. Mereka memberi kebebasan
kepadaku untuk menjadi diriku. “Tuhan tidak pernah melarang manusia masuk
neraka.” Itulah kalimat yang sering aku lontarkan kepada orang-orang yang
sempit pikiran dan hatinya. Tapi aku bukan manusia penggila surga, meskipun aku
selalu merindukan tempat itu.
Disekolah, aku selalu dimudahkan
oleh pengajar, guru-guruku. Mungkin aku anak seorang ulama’. Ah, tetap saja aku
tidak suka diistimewakan. Anak kiyai juga banyak yang berandal dan bajingan.
Mungkin aku termasuk golongan bajingan itu suatu hari nanti. Aku tidak sangsi
dengan kitab kuning, Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, Akidah al-Awam, sitiran
karya Imam Syafi’i, Yusuf Qardhawi yang diusianya ke-10 sudah hafal Al-Qur’an,
sampai karya Emile Dermenghem, juga pemikiran Guibert de Nogent dan Comte Boulainvilliers.
Urusan selera musik, aku juga tidak risih menikmati Ode to Joy karya Ludwig van Beethoven, La Mer ciptaan Claude Achile Debussy, hingga The Magic Flute karya Wolfgang Amadeus Mozart. Bagiku semuanya
adalah kuasa Allah SWT. Toh, mereka
yang muslim maupun non-muslim tetap dirahmati Allah.
Malam ini, aku melamun.
Pikiranku melayang. Membayangkan pengajian ba’da sholat isya’. Tafsir al Jalalain, bukan karya Ibnu
Katsir. Pengjian itu di-ngaji-kan
langsung oleh Kiyai Soleh, bapakku sendiri. Diluar kamar, masih banyak santri
yang berdiskusi. Cukup sengit. Aku hanya memandangi langit-langit kamar.
Merenung dalam. Al-inqiyad. Dan
terlelap. Mulailah narasi mimpiku aku rangkai.
*
Rahmat sedang asik dengan
pijitanku. Ia mendesah keenakan. Tubuhnya tengkurap. Aku menyandingnya. Badanku
sedikit menempel, merebah lebih tepatnya. Rahmat adalah suamiku. Usianya 5
tahun lebih tua. Ia fasih mengaji. Hafalannya pun kuat. Dua tahun lalu ia menamatkan studinya di Universitas Islam Negeri
Syarifhidayatullah, di daerah Ciputat, Tanggerang. Bulan Februari yang lalu
kami menikah. Belum punya momongan. Masih dalam proses produksi. “Dik, yang
sebelah bawah.” Pintanya. Segera aku arahkan tanganku ke daerah tubuh yang
dipintanya. “Kebawah lagi.” Imbuhnya. Aku sudah faham kemauan dia. Sekali lagi
aku arahkan remasan tanganku ke daerah tubuh yang dipintanya. “Nah, pas. Agak
lembut dikit ya Dik.” Rayunya dengan nada manja. Aku turuti saja pintanya. Jika
tidak, ia akan mengeluarkan dalil-dalil yang sudah pasti aku lebih tahu dan faham
penafsirannya. Tapi Nabiku menginstruksikan untuk patuh terhadap suami. Jika
surga anak berada di telapak kaki ibu, maka surga isteri berda di telapak kaki
suami. Adagium seperti itulah yang turun temurun menjadi nasihat keluargaku. “Emmm..Mas
lagi pengen Dik.” Ucap Rahmat pelan. Tangannya mulai liar. Senyumku terlempar.
Saat ini aku juga sedang on fire.
Buat apa aku menolak. Ini juga ibadah kan?
Sudah dua jam kami bergumul
menikmati anugerah Allah, sex. “Dik, terimakasih. Mas sudah dilayani. Dik Ais seneng
juga kan?” tukas Rahmat. Hanya
selimut yang menutupi aurat kami. Ia mengelus-elus keningku. Menciumnya
beberapa kali. “Mandi yuk. Terus kita sholat!” Ajaknya. Kepalaku mengangguk.
Malam itu aku juga merasa terbang. Memang bukan malam pertama. Tapi inilah yang
pertama sejak aku keluar dari rahim ibuku. Dalam hati aku bergumam, “Andai
desahanku terdengar. Suamiku akan lebih bisa menikmatinya.”
“Ais, Sarung..!” Pekik suamiku
dari balik pintu kamar mandi. Jemariku mengetuk pintu kamarmandi. Sarung putih berpola
kotak-kotak aku sodorkan. “Terimakasih Cinta.” Ujar Rahmat mesra. Hatiku
sungguh berbunga. Setelah selesai dengan urusan mandi besar dan berwudlu. Kami
sholat, qiyamu al lailii. Dilanjutkan
dengan berdzikir. Malam Jum’at adalah malam yang selalu ditunggu-tunggu oleh
banyak ulama dan santri. Mereka menghabiskan banyak waktunya dengan duduk
bersila, melafalkan pujian dan bacaan dzikir. Sedari tengah malam sampai subuh.
Aku dan suamiku pun begitu. Kami pun larut dalam buaian dzikir dan do’a.
Bersama malaikat-malaikat-Nya.
*
“Nduk, ikan mujair, kangkung,
bawang merah, bawang putih, dan penyedap. Ini uangnya. Nanti bilang sama Cak
Mat, berasnya diambil sama santri nanti siang.” Ibuku menyilahkanku untuk
berbelanja. Seperti biasa, sepeda pancal hijau muda dengan keranjang di depan
aku kendarai. Aku tidak bisa berkendara dengan sepeda bermotor. “Andaikan bapak
tidak bersikap seperti Badui.” Gumamku dalam hati. Tapi ya sudahlah. Toh, aku tidak pernah pergi jauh
sendirian. Paling jauh ke balai desa. Soalnya, balai desa kami terletak di
sudut penjuru desa. Bersebelahan dengan pemakaman. Kalaupun pergi jauh, ada Pak
Bogel yang siap mengantarku, juga menjagaku.
Aku menyodorkan kertas kecil ke
Cak Mat, pemilik warung Harapan Baru. Nama lengkapnya Ahmad Wiwongso. Tapi
orang desa akrab dengan panggilan Cak Mat. “Ini Ais, nanti sore berasnya
diambil sama santri-santri kan?” Kata
Cak Mat. Tanganku segera melipat, seperti orang bertapa. Melempar senyum dan
menganggukkan kepala. Bungkusan belanjaan aku jatuhkan di keranjang sepeda.
Dan, melesat kembali ke rumah. “Ais, darimana?” Sapa Suminah, sahabatku. Rem
sepeda segera aku tarik. Kuat. Aku berhenti tepat di samping Inah, panggilan
Suminah. “Wah, sekarang tambah gemuk ya.., gimana kabar suamimu? Udah belah
duren?” Tanya Inah seraya melempar tawa. Aku hanya tersipu malu. Member
isyarat. Suminah pun mengerti. Kami
berdua berjalan beriringan. Melintasi jalan setapak. Menembus musamus yang bertebaran di pinggir
jalan. Inah akan mengikuti pengajian di rumahku, pondok Al-Harun. Kali ini
suamiku sendiri yang akan memberikan pengajian. Temanya tentang tasawuf. Aku
tahu Inah banyak mencurahkan perhatian pada ilmu ini. Apalagi jika dihubungkan
dengan Salafiyah dan Fiqh Siyasah. Pasti ia tidak berkedip meskipun Justin
Beber lewat didepannya.
“Ais, Inah, barengan, tungguin
aku.” Pekik seorang wanita dari belakang. Ia adalah Rasmi. Ia juga sahabatku.
Ah, lengkap sudah. Rasmi berlari kecil. Jilbab nya pontang-panting. Badannya
yang bahenol seperti meloncat-loncat. Mengumbar syahwat pria yang melihatnya.
“Fiuh, habis belanja Ais?” Tanya Rasmi sambil terengah-engah. Aisah mengangguk.
“Huum, emang matamu nggak lihat Itu
bungkusan belanjaan?” Cetus Inah.
“Aku Tanya Ais, bukan kamu,
Sum-sum?” Sanggah Rasmi sambari merapikan jilbabnya. Inah melotot. Pandangannya
dingin. “Inah, gimana si Yayak? Udah jadian belom?”
“Halah, aku masih pengen
kuliah.” Jawab Inah.
“Apa? Kuliah? Ha ha ha ha..”
“Eeeee.. ngeledek ya?”
“Lho?”
“Iya, kamu kayaknya nggak percaya kalau aku bisa kuliah.”
“Bukan begitu Inah, katanya kamu
mau nikah dulu, terus kuliah?”
“Yaa.. itu kan kemauan bapak dan ibukku.”
“Emang yakin bisa diterima? Ha
ha ha.” Rasmi menertawakan Inah.
“Nilaiku kan lebih bagus dari
kamu. “ Jawab Inah. “Lagian, aku juga dapat rekomendasi beasiswa. Aku mau kuliah
di UI. weeeekk..!”
“Hemmm..!”
“Kok Hemmm?”
“Ya nggak apa-apa, sebagai
seorang sahabat. Aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu. Tapi jangan lupa.
Kalau uda d UI, kenalin sama cowok-cowoknya ya? Hiks hiks hiks.” Ujar Rasmi.
Lantas mereka berdua tertawa. Aku menggelengkan kepala. Eh, malah diketawain.
“Tenang Ais, kamu kan sudah punya dan sudah sah. Jadi, …” Kata Inah. “Jadi kita
bisa Tanya soal gitu-gituan sama kamu.! Ha ha ha.” Sahut Rasmi. Aku tidak kuat
menahan gemasnya. Cubitan persahabatan segera aku daratkan di bahu mereka dan
sesekali menggelitiki. Kami bertiga segera larut dalam canda dan gurauan khas
remaja. Meskipun statusku ibu rumah tangga.
Tak lama berselang, kami
melewati pendopo. Itu tandanya kami sudah memasuki wilayah rumahku, pesantren
Al-Harun. Inah dan Risma segera melangkah menuju mesjid. Sedangkan aku kembali
ke dapur pesantren. Setelah memarkir sepeda, bungkusan belanjaan aku serahkan
pada ibu. Di dapur sudah banyak orang. Bi Siti, Mbak Wulan, dan Pak Bogel juga
ada disitu. Aku mengambil cobek, cabai, garam, dan penyedap rasa. Tomat yang
sudah digoreng aku tumpahkan ke dalam cobek. Sedikit aku bubuhi dengan garam.
Dan diulek. Bagianku membuat sambal tomat. Seperti sambal lalapan ayam
atau bebek. Bi Siti mengaduk-aduk gulai di wadah yang besar. Aku sendiri tidak
sanggup melakukannya. Sedangkan mbak Wulan asik mengupas dan mengiris bawang.
Pak Bogel sibuk keluar masuk dapur. Keluar dengan tangan hampa, kemudian masuk
dengan bungkusan berupa karung. Isinya adalah kelapa. Ibuku berada di dekat
pintu dapur, dibagian belakang. Ia sibuk mancakki
kelapa. Mengulitinya dan memarutnya. Nanti malam akan ada Manqib-an di mesjid. Jadi semuanya serba sibuk. Beberapa santri
bertugas membersihkan halaman mesjid dan merapikan rumput liar di samping asrama
santriwati – sebutan untuk santri perempuan. “Nduk, nanti selesai bikin sambal,
kamu bantuin ibu ya!” Pinta ibu. Kepalaku mengangguk.
Inah dan Rasmi mengagetkanku.
Diam-diam mereka berdua mendekap dari belakang. Membungkam mataku. “Duarrr..!”
Untung saja aku bukan pengidap penyakit
jantungan. “Wah, makan besar nih!” Celoteh Rasmi. Ia segera mengambil jatah
pekerjaannya. Seperti biasa, melipat kardus makanan. Sedangkan Inah membantu
mbk Wulan kupas-kupas bawang. “Inah, kamu jadi ke Jakarta?” Tanya Bi Siti.
“Katanya mau nikah dulu Bi, ha ha ha!” Sambar Rismah.
“Eh, eh.. kamu itu ikut aja.”
Sahut Inah cepat.
“Oalah, nikah?” Kata Bi Siti.
“Ora, kuliah dulu Bi, emang Risma mulutnya nyonyor. Tidak usah di dengar Bi!”
“Ha ha ha” Risma tertawa. Ibu
dan aku memandangi mereka berdua. Seperti orang sedang menonton pertandingan
bulu tangkis. Mata kami bergser ke kanan dan ke kiri.
“Ais, sudah ada niat punya momongan belum? Ibumu kayaknya sudah nggak sabar pengen punya cucu.” Bi Siti
mengalihkan pembahasan.
“Iya Ais, aku sama Inah juga pengen dipanggil tante.” Sahut Risma lantas
tertawa.
“Husss..” mbak Wulan menghardik genit.
“Biar saja, mereka kan Cuma bercanda.” Ibuku berusaha
menyegarkan suasana. Aku pun
tersenyum. Berusaha menutupi rasa malu. Wajahku saat itu memerah. Memang
benar-benar malu. Ruangan dapur semakin penuh dengan asap. Sebagian besar
hidangan untuk acara manaqib sudah
siap santap. Risma dan Inah bersiap pulang. Bau badannya sudah seperti kebuli
gosong. “Ais, kita pulang dulu. Nanti habis magrib kita kesini lagi.” Ujar
Inah. Berpaamitan sederhana. Aku melambaikan tangan. Sedikit melempar senyum.
Mereka perlahan menjauh. Hilang.
Sinar sang surya perlahan
menipis. Kegelapan mulai merasuk disela-sela bangunan pondok. Mas Rahmat masih
asik bercengkeramah bersama beberapa santri di mesjid. Handuk dan sarung sudah
aku siapkan, sambari berjalan melewati lorong asrama putri, aku menunggu
suamiku memperhatikanku. Ketika suamiku menoleh kepadaku, handuk dan sarung ku
angkat ringan. Senyumku mengisyaratkan perintah untuk segera mandi. Suamiku
segera menghampiriku. Kami berjalan berdua ke bale, sebuah ruangan mirip gazebo besar yang dipakai untuk acara
pengajian dan lain-lain. Dibalik bale
itulah aku dan suamiku berumah tangga. Rumah yang tidak mewah. Dindingnya
dibangun dari kayu jati dengan ornamen dari kayu akasia. Tamannya juga tak
luas. Namun, di belakang rumah terdapat kolam ikan lele dumbo, beberapa pohon
pisang raja, dua pohon mangga, dan sepetak tanaman ubi. Hidupku cukup bahagia.
“Dik, ada yang perlu Mas omongin sama kamu.” Ujar Mas Rahmat. Kepalaku
mendongak. Tangannya memegang kedua pundakku. Menyandarkan tubuhku di kursi, di
pojok bale. “Emmm…!” Gumam Mas
Rahmat. Tanganku mendarat mesra di tangannya. Kami saling bertatapan. Ada yang
aneh, firasatku juga tidak enak. “Akan terjadi hal yang menyedihkan.” Batinku.
“Mas harus ke Jakarta. Mas dapat
tawaran menjadi dosen disana. Di UIN Syarif Hidayatullah. Mas ndak bisa nolak, karena bapak rektor
yang memintanya.” Tutur Mas Rahmat pelan. Awalnya aku sangat bahagia. Bukan
karena suamiku akan menjadi dosen, bukan pula akan menjadi kaya dan terpandang.
Tapi karena aku setidaknya bisa “bebas” dalam jangka waktu tertentu. “Bagaimana
Dik?” Sambung Mas Rahmat. tegurannya membuyarkan lamunanku akan “kebebasan”
tadi. Senyuman pasrah aku lontarkan. Kepalaku tersandar di pundaknya. Ia dengan
lembut melepaskan belaiannya. “Mas akan rajin kirim surat. Mungkin tidak setiap
tahun Mas pulang, tapi Mas pasti pulang.” Aku menganggukkan kepala. Menaruh
percaya yang dalam pada suamiku. Tidak ingin lama-lama terbuai dalam
pelukannya. Aku mencubit perutnya. Menggelitikinya. “Dik,,Dik,, apa-apaan sih,
geli Dik, geli..” Suamiku mulai membalas. Aku segera berlari menjauh. Ia
mengejar. Dengan wajah lucunya, ia terus mengejar. Menyergapku dari belakang.
Aku tak kuasa. Mati kutu. Dekapannya begitu nikmat. “Dik, Mas tidak pernah
belajar tentang cinta. Tapi Mas ingin mencintai. Ajari Mas ya! Karena Mas
percaya Dik Ais sudah mencintai Mas.” Bisik Mas Rahmat. Aku mengangguk.
Membalikkan badan. Senyum manjaku membuatnya tidak tahan untuk mencium
keningku. “Tetap jadi suamiku ya Mas.” Kataku dalam hati. Handuk dan sarung aku
sodorkan ke mukanya. Mas Rahmat segera mengerti maksudku. Senyum sinisku
memaksanya melepaskan pelukannya. Dan ia segera masuk ke kamar mandi.
*
Bersambung...
No comments:
Post a Comment