Sunday, April 17, 2011

Namaku Aisyah


oleh, Mang Oejank Indro, tinggal di htpp://mangoejankindro.blogspot.com

Namaku Aisyah, masih gadis atau perawan. Usiaku sekarang 18 tahun. Bapakku seorang Kiyai, pemangku pondok pesantren Al-Harun. Menulis sudah menjadi kegemaranku. Membaca apalagi. Setiap kaluar rumah aku mengenakan jilbab. Tidak lebar, tidak memakai kaus kaki juga. Bajuku tidak terlalu ketat, tidak pula ngelombyor. Mengenakan celana pun tidak riskan. Kegemaranku berkelahi. Karate olah raga favoritku. Tak peduli aku anak pemuka agama atau bukan. Bapak dan Ibuku tidak melarang. Mereka memberi kebebasan kepadaku untuk menjadi diriku. “Tuhan tidak pernah melarang manusia masuk neraka.” Itulah kalimat yang sering aku lontarkan kepada orang-orang yang sempit pikiran dan hatinya. Tapi aku bukan manusia penggila surga, meskipun aku selalu merindukan tempat itu.

Disekolah, aku selalu dimudahkan oleh pengajar, guru-guruku. Mungkin aku anak seorang ulama’. Ah, tetap saja aku tidak suka diistimewakan. Anak kiyai juga banyak yang berandal dan bajingan. Mungkin aku termasuk golongan bajingan itu suatu hari nanti. Aku tidak sangsi dengan kitab kuning, Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, Akidah al-Awam, sitiran karya Imam Syafi’i, Yusuf Qardhawi yang diusianya ke-10 sudah hafal Al-Qur’an, sampai karya Emile Dermenghem, juga pemikiran Guibert de Nogent dan Comte Boulainvilliers. Urusan selera musik, aku juga tidak risih menikmati Ode to Joy karya Ludwig van Beethoven, La Mer ciptaan Claude Achile Debussy, hingga The Magic Flute karya Wolfgang Amadeus Mozart. Bagiku semuanya adalah kuasa Allah SWT. Toh, mereka yang muslim maupun non-muslim tetap dirahmati Allah.
Malam ini, aku melamun. Pikiranku melayang. Membayangkan pengajian ba’da sholat isya’. Tafsir al Jalalain, bukan karya Ibnu Katsir. Pengjian itu di-ngaji-kan langsung oleh Kiyai Soleh, bapakku sendiri. Diluar kamar, masih banyak santri yang berdiskusi. Cukup sengit. Aku hanya memandangi langit-langit kamar. Merenung dalam. Al-inqiyad. Dan terlelap. Mulailah narasi mimpiku aku rangkai.
*
Rahmat sedang asik dengan pijitanku. Ia mendesah keenakan. Tubuhnya tengkurap. Aku menyandingnya. Badanku sedikit menempel, merebah lebih tepatnya. Rahmat adalah suamiku. Usianya 5 tahun lebih tua. Ia fasih mengaji. Hafalannya pun kuat. Dua tahun lalu ia menamatkan  studinya di Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah, di daerah Ciputat, Tanggerang. Bulan Februari yang lalu kami menikah. Belum punya momongan. Masih dalam proses produksi. “Dik, yang sebelah bawah.” Pintanya. Segera aku arahkan tanganku ke daerah tubuh yang dipintanya. “Kebawah lagi.” Imbuhnya. Aku sudah faham kemauan dia. Sekali lagi aku arahkan remasan tanganku ke daerah tubuh yang dipintanya. “Nah, pas. Agak lembut dikit ya Dik.” Rayunya dengan nada manja. Aku turuti saja pintanya. Jika tidak, ia akan mengeluarkan dalil-dalil yang sudah pasti aku lebih tahu dan faham penafsirannya. Tapi Nabiku menginstruksikan untuk patuh terhadap suami. Jika surga anak berada di telapak kaki ibu, maka surga isteri berda di telapak kaki suami. Adagium seperti itulah yang turun temurun menjadi nasihat keluargaku. “Emmm..Mas lagi pengen Dik.” Ucap Rahmat pelan. Tangannya mulai liar. Senyumku terlempar. Saat ini aku juga sedang on fire. Buat apa aku menolak. Ini juga ibadah kan?
Sudah dua jam kami bergumul menikmati anugerah Allah, sex. “Dik, terimakasih. Mas sudah dilayani. Dik Ais seneng juga kan?” tukas Rahmat. Hanya selimut yang menutupi aurat kami. Ia mengelus-elus keningku. Menciumnya beberapa kali. “Mandi yuk. Terus kita sholat!” Ajaknya. Kepalaku mengangguk. Malam itu aku juga merasa terbang. Memang bukan malam pertama. Tapi inilah yang pertama sejak aku keluar dari rahim ibuku. Dalam hati aku bergumam, “Andai desahanku terdengar. Suamiku akan lebih bisa menikmatinya.”
“Ais, Sarung..!” Pekik suamiku dari balik pintu kamar mandi. Jemariku mengetuk pintu kamarmandi. Sarung putih berpola kotak-kotak aku sodorkan. “Terimakasih Cinta.” Ujar Rahmat mesra. Hatiku sungguh berbunga. Setelah selesai dengan urusan mandi besar dan berwudlu. Kami sholat, qiyamu al lailii. Dilanjutkan dengan berdzikir. Malam Jum’at adalah malam yang selalu ditunggu-tunggu oleh banyak ulama dan santri. Mereka menghabiskan banyak waktunya dengan duduk bersila, melafalkan pujian dan bacaan dzikir. Sedari tengah malam sampai subuh. Aku dan suamiku pun begitu. Kami pun larut dalam buaian dzikir dan do’a. Bersama malaikat-malaikat-Nya.
*
“Nduk, ikan mujair, kangkung, bawang merah, bawang putih, dan penyedap. Ini uangnya. Nanti bilang sama Cak Mat, berasnya diambil sama santri nanti siang.” Ibuku menyilahkanku untuk berbelanja. Seperti biasa, sepeda pancal hijau muda dengan keranjang di depan aku kendarai. Aku tidak bisa berkendara dengan sepeda bermotor. “Andaikan bapak tidak bersikap seperti Badui.” Gumamku dalam hati. Tapi ya sudahlah. Toh, aku tidak pernah pergi jauh sendirian. Paling jauh ke balai desa. Soalnya, balai desa kami terletak di sudut penjuru desa. Bersebelahan dengan pemakaman. Kalaupun pergi jauh, ada Pak Bogel yang siap mengantarku, juga menjagaku.
Aku menyodorkan kertas kecil ke Cak Mat, pemilik warung Harapan Baru. Nama lengkapnya Ahmad Wiwongso. Tapi orang desa akrab dengan panggilan Cak Mat. “Ini Ais, nanti sore berasnya diambil sama santri-santri kan?” Kata Cak Mat. Tanganku segera melipat, seperti orang bertapa. Melempar senyum dan menganggukkan kepala. Bungkusan belanjaan aku jatuhkan di keranjang sepeda. Dan, melesat kembali ke rumah. “Ais, darimana?” Sapa Suminah, sahabatku. Rem sepeda segera aku tarik. Kuat. Aku berhenti tepat di samping Inah, panggilan Suminah. “Wah, sekarang tambah gemuk ya.., gimana kabar suamimu? Udah belah duren?” Tanya Inah seraya melempar tawa. Aku hanya tersipu malu. Member isyarat. Suminah pun mengerti. Kami berdua berjalan beriringan. Melintasi jalan setapak. Menembus musamus yang bertebaran di pinggir jalan. Inah akan mengikuti pengajian di rumahku, pondok Al-Harun. Kali ini suamiku sendiri yang akan memberikan pengajian. Temanya tentang tasawuf. Aku tahu Inah banyak mencurahkan perhatian pada ilmu ini. Apalagi jika dihubungkan dengan Salafiyah dan Fiqh Siyasah. Pasti ia tidak berkedip meskipun Justin Beber lewat didepannya.
“Ais, Inah, barengan, tungguin aku.” Pekik seorang wanita dari belakang. Ia adalah Rasmi. Ia juga sahabatku. Ah, lengkap sudah. Rasmi berlari kecil. Jilbab nya pontang-panting. Badannya yang bahenol seperti meloncat-loncat. Mengumbar syahwat pria yang melihatnya. “Fiuh, habis belanja Ais?” Tanya Rasmi sambil terengah-engah. Aisah mengangguk. “Huum, emang matamu nggak lihat Itu bungkusan belanjaan?” Cetus Inah.
“Aku Tanya Ais, bukan kamu, Sum-sum?” Sanggah Rasmi sambari merapikan jilbabnya. Inah melotot. Pandangannya dingin. “Inah, gimana si Yayak? Udah jadian belom?”
“Halah, aku masih pengen kuliah.” Jawab Inah.
“Apa? Kuliah? Ha ha ha ha..”
“Eeeee.. ngeledek ya?”
“Lho?”
“Iya, kamu kayaknya nggak percaya kalau aku bisa kuliah.”
“Bukan begitu Inah, katanya kamu mau nikah dulu, terus kuliah?”
“Yaa.. itu kan kemauan bapak dan ibukku.”
“Emang yakin bisa diterima? Ha ha ha.” Rasmi menertawakan Inah.
“Nilaiku kan lebih bagus dari kamu. “ Jawab Inah. “Lagian, aku juga dapat rekomendasi beasiswa. Aku mau kuliah di UI. weeeekk..!”
“Hemmm..!”
“Kok Hemmm?”
“Ya nggak apa-apa, sebagai seorang sahabat. Aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu. Tapi jangan lupa. Kalau uda d UI, kenalin sama cowok-cowoknya ya? Hiks hiks hiks.” Ujar Rasmi. Lantas mereka berdua tertawa. Aku menggelengkan kepala. Eh, malah diketawain. “Tenang Ais, kamu kan sudah punya dan sudah sah. Jadi, …” Kata Inah. “Jadi kita bisa Tanya soal gitu-gituan sama kamu.! Ha ha ha.” Sahut Rasmi. Aku tidak kuat menahan gemasnya. Cubitan persahabatan segera aku daratkan di bahu mereka dan sesekali menggelitiki. Kami bertiga segera larut dalam canda dan gurauan khas remaja. Meskipun statusku ibu rumah tangga.
Tak lama berselang, kami melewati pendopo. Itu tandanya kami sudah memasuki wilayah rumahku, pesantren Al-Harun. Inah dan Risma segera melangkah menuju mesjid. Sedangkan aku kembali ke dapur pesantren. Setelah memarkir sepeda, bungkusan belanjaan aku serahkan pada ibu. Di dapur sudah banyak orang. Bi Siti, Mbak Wulan, dan Pak Bogel juga ada disitu. Aku mengambil cobek, cabai, garam, dan penyedap rasa. Tomat yang sudah digoreng aku tumpahkan ke dalam cobek. Sedikit aku bubuhi dengan garam. Dan diulek. Bagianku membuat  sambal tomat. Seperti sambal lalapan ayam atau bebek. Bi Siti mengaduk-aduk gulai di wadah yang besar. Aku sendiri tidak sanggup melakukannya. Sedangkan mbak Wulan asik mengupas dan mengiris bawang. Pak Bogel sibuk keluar masuk dapur. Keluar dengan tangan hampa, kemudian masuk dengan bungkusan berupa karung. Isinya adalah kelapa. Ibuku berada di dekat pintu dapur, dibagian belakang. Ia sibuk mancakki kelapa. Mengulitinya dan memarutnya. Nanti malam akan ada Manqib-an di mesjid. Jadi semuanya serba sibuk. Beberapa santri bertugas membersihkan halaman mesjid dan merapikan rumput liar di samping asrama santriwati – sebutan untuk santri perempuan. “Nduk, nanti selesai bikin sambal, kamu bantuin ibu ya!” Pinta ibu. Kepalaku mengangguk.
Inah dan Rasmi mengagetkanku. Diam-diam mereka berdua mendekap dari belakang. Membungkam mataku. “Duarrr..!” Untung saja aku bukan pengidap penyakit jantungan. “Wah, makan besar nih!” Celoteh Rasmi. Ia segera mengambil jatah pekerjaannya. Seperti biasa, melipat kardus makanan. Sedangkan Inah membantu mbk Wulan kupas-kupas bawang. “Inah, kamu jadi ke Jakarta?” Tanya Bi Siti. “Katanya mau nikah dulu Bi, ha ha ha!” Sambar Rismah.
“Eh, eh.. kamu itu ikut aja.” Sahut Inah cepat.
“Oalah, nikah?” Kata Bi Siti.
Ora, kuliah dulu Bi, emang Risma mulutnya nyonyor. Tidak usah di dengar Bi!”
“Ha ha ha” Risma tertawa. Ibu dan aku memandangi mereka berdua. Seperti orang sedang menonton pertandingan bulu tangkis. Mata kami bergser ke kanan dan ke kiri.
“Ais, sudah ada niat punya momongan belum? Ibumu kayaknya sudah nggak sabar pengen punya cucu.” Bi Siti mengalihkan pembahasan.
“Iya Ais, aku sama Inah juga pengen dipanggil tante.” Sahut Risma lantas tertawa.
“Husss..” mbak Wulan menghardik genit.
“Biar saja, mereka kan Cuma bercanda.” Ibuku berusaha menyegarkan suasana. Aku pun tersenyum. Berusaha menutupi rasa malu. Wajahku saat itu memerah. Memang benar-benar malu. Ruangan dapur semakin penuh dengan asap. Sebagian besar hidangan untuk acara manaqib sudah siap santap. Risma dan Inah bersiap pulang. Bau badannya sudah seperti kebuli gosong. “Ais, kita pulang dulu. Nanti habis magrib kita kesini lagi.” Ujar Inah. Berpaamitan sederhana. Aku melambaikan tangan. Sedikit melempar senyum. Mereka perlahan menjauh. Hilang.
Sinar sang surya perlahan menipis. Kegelapan mulai merasuk disela-sela bangunan pondok. Mas Rahmat masih asik bercengkeramah bersama beberapa santri di mesjid. Handuk dan sarung sudah aku siapkan, sambari berjalan melewati lorong asrama putri, aku menunggu suamiku memperhatikanku. Ketika suamiku menoleh kepadaku, handuk dan sarung ku angkat ringan. Senyumku mengisyaratkan perintah untuk segera mandi. Suamiku segera menghampiriku. Kami berjalan berdua ke bale, sebuah ruangan mirip gazebo besar yang dipakai untuk acara pengajian dan lain-lain. Dibalik bale itulah aku dan suamiku berumah tangga. Rumah yang tidak mewah. Dindingnya dibangun dari kayu jati dengan ornamen dari kayu akasia. Tamannya juga tak luas. Namun, di belakang rumah terdapat kolam ikan lele dumbo, beberapa pohon pisang raja, dua pohon mangga, dan sepetak tanaman ubi. Hidupku cukup bahagia. “Dik, ada yang perlu Mas omongin sama kamu.” Ujar Mas Rahmat. Kepalaku mendongak. Tangannya memegang kedua pundakku. Menyandarkan tubuhku di kursi, di pojok bale. “Emmm…!” Gumam Mas Rahmat. Tanganku mendarat mesra di tangannya. Kami saling bertatapan. Ada yang aneh, firasatku juga tidak enak. “Akan terjadi hal yang menyedihkan.” Batinku.
“Mas harus ke Jakarta. Mas dapat tawaran menjadi dosen disana. Di UIN Syarif Hidayatullah. Mas ndak bisa nolak, karena bapak rektor yang memintanya.” Tutur Mas Rahmat pelan. Awalnya aku sangat bahagia. Bukan karena suamiku akan menjadi dosen, bukan pula akan menjadi kaya dan terpandang. Tapi karena aku setidaknya bisa “bebas” dalam jangka waktu tertentu. “Bagaimana Dik?” Sambung Mas Rahmat. tegurannya membuyarkan lamunanku akan “kebebasan” tadi. Senyuman pasrah aku lontarkan. Kepalaku tersandar di pundaknya. Ia dengan lembut melepaskan belaiannya. “Mas akan rajin kirim surat. Mungkin tidak setiap tahun Mas pulang, tapi Mas pasti pulang.” Aku menganggukkan kepala. Menaruh percaya yang dalam pada suamiku. Tidak ingin lama-lama terbuai dalam pelukannya. Aku mencubit perutnya. Menggelitikinya. “Dik,,Dik,, apa-apaan sih, geli Dik, geli..” Suamiku mulai membalas. Aku segera berlari menjauh. Ia mengejar. Dengan wajah lucunya, ia terus mengejar. Menyergapku dari belakang. Aku tak kuasa. Mati kutu. Dekapannya begitu nikmat. “Dik, Mas tidak pernah belajar tentang cinta. Tapi Mas ingin mencintai. Ajari Mas ya! Karena Mas percaya Dik Ais sudah mencintai Mas.” Bisik Mas Rahmat. Aku mengangguk. Membalikkan badan. Senyum manjaku membuatnya tidak tahan untuk mencium keningku. “Tetap jadi suamiku ya Mas.” Kataku dalam hati. Handuk dan sarung aku sodorkan ke mukanya. Mas Rahmat segera mengerti maksudku. Senyum sinisku memaksanya melepaskan pelukannya. Dan ia segera masuk ke kamar mandi.

*
Bersambung...

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...