Oleh Mang Oejank Indro
tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com
--Apresiasi, Prestasi, dan Kontroversi-- (Bagian I)
Pertama kali saya menginjakkan
kaki di Universitas Indonesia, saya tercengang mellihat pemandangan yang
menakjubkan di dekat sebuah danau yang diapit 4 bangunan besar. Balairung UI,
Rektorat UI, Masjid UI, dan bangunan besar dengan atap agak berumput – yang
kata orang futuristik, Perpustakaan.
Awalnya, bangunan super megah tersebut, menurut naluri ke-desa-an saya, adalah
pusat administrasi dan relaksasi UI. Nah, baru setelah saya nyantri di UI, saya sadar itu bukanlah
sebuah tempat pusat administrasi baru UI ataupun Mall of Universitas Indonesia. Pencapaian UI dalam hal
bangun-membangun bangunan memang cukup baik. Terbukti pada tahun lalu sudah
lebih dari 3 bangunan terpatri di kampus UI, Depok.
Terlepas dari hal bangun-membangun. UI memang sedang berlari mengejar status World Class Research University. Atas target itulah, UI sangat rajin bangun-membangun penampilan fisik kampus UI. Salah satu yang menjadi topik hangat adalah perpustakaan baru UI yang terbilang megah. Bayangkan, bangunan “berkasta” delapan lantai tersebut memiliki toko buku, bank, cafeteria, fitness center, bioskop, ruang pertemuan, slide room, dan banyak lainnya.
Mungkin mahasiswa UI nanti tidak perlu repot-repot ke Depok Town Square atau Margocity Mall untuk sekadar refreshing, bukan?
Memang bapak rektor kita telah mengklaim bahwa perpustakaan baru UI merupakan perpustakaan terbesar di Asia. Bahkan dalam sebuah wawancara, bapak rektor juga menyatakan bahwa kompetitor UI di kancah Asia sangatlah kecil. Bagaimana tidak, perpus baru UI memakan area seluas 2,,5 hektar dan memiliki luas 33.000 m2. Selain itu, setiap harinya – perdasarkan klaim-klaim-an UI – sebanyak 20.000 pengunjung akan berjubel di sana. Koleksinya pun lebih dari 5 juta judul, belum termasuk koleksi digital. Jangan tercengang dulu. Masih banyak kejutan lainnya yang terpendam dalam bangunan ber-cropcircle tersebut. Salah satunya adalah slide room, yaitu sebuah ruangan khusus bagi mahasiswa atau dosen yang sedang menyusun laporan penelitian atau karya ilmiah.
Saya sempat membaca tulisan senior saya di program studi ilmu perpustakaan, FIB, saudara Hanif Ridwan, yang menulis artikel berjudul “Kontroversi Perpustakaan Baru UI.” Sebagai mahasiswa yang menekuni ilmu perpustakaan, saya berkelit bahwa apa yang disampaikan senior saya tersebut sangat perlu diapresiasi, bukan begitu? Penyatuan koleksi, menurut Dr. Zulfikar Zen,salah satu dosen di JIP, memang mudah. Namun, mengintegrasikan kognitifitas manusia dari berbagai disiplin ilmu itu yang sangat sulit – dan berbelit. Bang Zen – sapaan akrab Dr. Zulfikar – pernah beberapa kali memaparkan ke-tidak-terlibatannya dalam proses pembangunan perpus baru UI, tapi – insyaallah – tidak ada sedikitpun rasa jengkel terhadap siapa yang membangun dan apa yang dibangun di perpustakaan baru tersebut.
Setidaknya, mahasiswa UI patut bangga atas prestasi yang dicapai UI dalam hal bangun-membangun. Terutama perpustakaan baru UI. Saya berani yakin 100%, perpustakaan baru UI tidak akan mendapatkan kritik tajam dari mahasiswa, jika tidak mengamini system sentralisasi. Bukankah UI dulu – seingat saya – merupakan pelopor desentralisasi perpustakaan di perguruan tinggi? Kenapa salahsatu peringgi UI menyarankan sentralisasi? Demi standar WCUL? Atau superiotas keberhasilan memimpin UI? Andaikan Ibu Soma masih bernafas, mungkin beliau berada di garda depan dalam menentang sentralisasi perpustakaan.
--Bersambung--
No comments:
Post a Comment