Oleh, Mang Oejank Indro,
tinggal di http://mangoejankindro.blogspot.com
Sebelum berkelana dalam isi opini nakal ini, baiknya
anda menyimak dengan seksama frasa yang amburadul, yang sengaja saya tempel
sebagai judul tulisan ini. Jika AA Navis ter-legenda-kan atas karya Robohnya Surau Kami, saya mencoba
memodifikasi dengan Robohnya “Wakil” Kami
dengan selipan huruf “B”, tujuannya adalah mengajak pembaca mencerna
kejadian-kejadian “bodoh” yang dipentaskan wakil rakyat kita. Tanpa mengurangi
rasa hormat, tulisan ini hanya tertulis untuk menghormati rakyat yang sudah
dibodohi.
Mengikuti perkembangan pembangunan gedung baru DPR
yang rencananya “berkasta” 36 lantai yang menelan biaya 1,138 T – belum
termasuk furniture, sistem keamanan, sistem informasi. Saya, sebagai seorang
mahasiswa merasa terpental. Kenapa? Lha,
bukannya Yang Mulia Marzuki Ali hanya meng-iya-kan argumentasi orang-orang
elite dan pinter saja, bukan? Tapi, dalam benak saya muncul sebuah pertanyaan,
“Memang seberapa pintar orang-orang di DPR?
Sehingga dengan mudah
membodoh-bodohkan rakyatnya? Sepintar apa anggota DPR jika di dalam sidang
sekelas paripurna masih sempat mantengi film porno?”
Bangunan megah yang berdesain mirip Monumen Arche de la
Défense di Perancis tersebut memang menyita perhatian banyak media. Meskipun
sempat mati pada Pemilu tahun 2009 – untuk meredam dan meningkatkan penciteraan
diri sebuah parpol, rencana pembangunan “Gubuk” baru wakil rakyat yang
direncakan sejak tahun 2008 ini kembali bergulir awal tahun 2011. Bahkan,
Presiden pun tidak mampu berkutik
untuk menahan rumusan gedung baru ini. Benarkah? Bukannya Presiden kita yang dandy ini sudah menginstruksikan untuk
melakukan optimalisasi dan efisiensi anggaran? Sekarang siapa yang bodoh? Orang
yang tidak bisa menafsirkan pernyataan atasan – dalam hal ini SBY sebagai
presiden dan ketua dewan pembina Demokrat, atau rakyat jelata yang bersandar
kepada “wakilnya”?
Bagunan gedung baru DPR yang rencananya berbanderol Rp.
7,2 juta per meter. Jika setiap ruangan anggota DPR beserta seorang asisten
pribadi dan empat staf ahli memiliki luas 112 m, maka satu ruangan memiliki
taksiran harga Rp. 800 juta. Cukup murah dibandingkan harga apartemen di Pantai
Indah Kapuk, bukan?
Seorang anggota DPR dari parpol binaan Presiden SBY
sempat melontarkan pernyataan yang menggelikan. “Jangan analogkan gedung DPR
dengan bangunan gedung SD. Sudah ada budget masing-masing. Gedung SD itu sudah
ada budget sendiri, 20 persen APBN.” Lalu
apa yang menggelikan? Bukankah 20 persen dari anggaran tersebut terbukti banyak
di sunat oleh pelaku pendidikan? Belum lagi dana BOS yang benar-benar sebagian
dikunyah oleh Bos! Yang lebih menggelikan, ketika masih “menulis” di lembaran
pertama KIB Jilid 1 bersama JK, SBY menargetkan perbaikan sekolah rusak
selesai, sekali lagi selesai, pada tahun 2008. Namun, data terbaru yang saya
“contek” dari Kompas (4/04/11). Sebanyak 20,97 persen ruang SD rusak, sedangkan
ditingkat SLTP, sekitar 20,6 persen mengalami kerusakan.
Sampai tahun 2011, tercatat
187.885 dari 895.761 ruang SD rusak dan dari 192.029 ruang pada tingkat SLTP, 39.554
nya tidak layak pakai. Sebagai mahasiswa yang menggeluti tentang ilmu
perpustakaan di Universitas Indonesia, sengaja saya menyertakan data tentang
kondisi perpustakaan di Indonesia. Eiittss…! Saya mohon anda tidak mengelus
dada terlalu lama. He he he.
Pada rapat kerja
dengan Komisi X DPR RI, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan,
kebutuhan dana untuk membangun ruang perpustakaan di SD dan SMP sekitar Rp 9,9
triliun. Namun, anggaran dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 10 triliun dari
pemerintah pusat tahun 2011 juga dipakai untuk memperbaiki ruang kelas yang
rusak dan peningkatan mutu, seperti pembelian buku referensi dan pengayaan
serta alat-alat peraga dan laboratorium. Hingga 2011, Kementerian Pendidikan
Nasional mencatat 55,39 persen SD belum memiliki perpustakaan sekolah. Dari
143.437 SD, ada 79.445 sekolah belum punya perpustakaan. Adapun di SMP, 39,37
persen sekolah (34.511 dari 13.588 sekolah) tidak punya perpustakaan. Nah, jika
memang anggota DPR tadi mengatakan “Sudah ada budget sendiri.” Kok masih nyolong-nyolong dana
alokasi untuk perpustakaan? Jangan sampai anggota DPR tadi ikut-ikutan mbodohi
rakyat jelata seperti saya. Memang saya sekarang masih bodoh, karena itu saya
belajar di perguruan tinggi, bukan begitu?
Bukan hanya soal
biaya pembangunan “gubuk” baru wakil rakyat yang spektakuler itu, desain
bangunan yang mirip huruf U nyungsep tersebut mendapat kecaman dari berbagai
pihak. Tentunya pihak yang mengecam tersebut bukan rakyat biasa, Pak Marzuki
Ali! Ha ha ha. Mereka adalah pakar-pakar di dunia arsitektur dan teknik dari
Undip Semarang. Antara lain, Prof Dr Ir Sugiono Soetomo (Ketua Program Doktor
Teknik Arsitektur dan Perkotaan Undip), Prof Ir Totok Roesmanto (Ketua Program
Magister Teknik Arsitektur Undip), Dr Ir Bambang Setioko (dosen Fakultas Teknik
Undip), Dr Ir Adi Nugroho (dosen komunikasi Undip). Sekarang siapa yang lebih bodoh?
Mereka atau orang-orang yang ngotot mendirikan “gubuk” baru itu? Atau Budi
Asdar Sukada? Silahkan pembaca jawab sendiri.
Desain yang tidak mencerminkan ke-Indonesia-an, tidak
memiliki cita rasa Indonesia, Tidak mencerminkan “Rumah Rakyat’, dan banyak
lagi argumen lainnya dari masyarakat. Argumen ini saya dapat dari reportase yang
disiarkan di beberapa stasiun televisi. Bagaimana mungkin, di negara yang pendapatan perkapitanya pada
2010 mencapai 2.963 dolar AS itu atau posisi 109, masih di bawah Fiji, apalagi
dibanding Malaysia dan Thailand, mampu membangun “Hotel” wakil rakyat yang
super megah dengan anggaran Rp. 1,138 T? Kenapa juga bangunannya harus mirip
dengan gedung parlemen Chile, Congreso Nacional di Valparaiso.
Jangan-jangan sang insinyur lupa dengan Candi Borobudur, bangunan etnik khas
daerah-daerah di Indonesia, dan kekayaan rumah-rumah adat khas Indonesia?
Perancang gedung baru ini bersilat bahwa filosofi
rancangannya ini adalah ibarat gerbang, gerbang aspirasi rakyat menuju masa
depan yang lebih baik. Demikian
pernyataan beliau yang saya kutip dari Tempointeraktif. Namun, kenyataannya,
rakyat kita tidak terbiasa melihat gerbang seperti itu. Jangan-jangan pemahaman
Bang Asdar Sukada tentang “gerbang” berbeda dengan mayoritas rakyat
Indonesia. Tapi masak iya? Bukannya beliau ahli di bidang ini? Hemmm.. mungkin
rakyat kita memang bodoh, sehingga tidak tahu bentuk “gerbang”-nya sendiri. Ha
ha ha. Padahal, sulit sekali saya temukan bentuk gerbang seperti huruf U
nyungsep. Mungkin pembaca mengalami hal serupa dengan saya. Berarti
kesimpulannya, siapa yang lebih bodoh? Saya dan rakyat, atau pencipta “U
nyungsep” tadi?
Perlu dicatat, sejak tahun 2008, proses pembangunan
“gubuk” baru DPR ini telah memakan anggaran
Rp 14,7 miliar itu antara lain untuk perencanaan dan manajemen konstruksi
pembangunan gedung baru sekitar Rp 10,6 miliar. Sisanya, sekitar Rp 4,1 miliar,
telah dipakai untuk kajian ulang rencana induk, analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL), serta audit struktur. Sejumlah kegiatan itu dilakukan sejak
tahun 2008. Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan
Rakyat Nining Indra Saleh, Selasa (18/1) di Jakarta.
Belum terlambat untuk
melakukan tindakan pengunduran atau penghentian rencana pembangunan gedung baru
DPR. Masih banyak tugas DPR yang belum selesai. Belum kering jeritan hati
rakyat yang ngiler karena ditilap wakilnya ke Yunani. Sekarang
harus menjerit lagi karena wakilnya akan punya “gubuk” baru. Sedangkan gubuk
mereka belum menjadi sebuah bangunan rumah. Semoga Presiden SBY, Ketua DPR, dan
Anggota DPR diberikan kekuatan untuk mensejaterahkan rakyatnya yang bodoh ini
tanpa harus membodoh-bodohi dan bertindak bodoh. Amin..!!
Oejank Indro @ 2011
No comments:
Post a Comment