Thursday, April 28, 2011

DIK (Sebuah Novel) : Bagian III Pelamar


Bagian III
Pelamar

Kotak hitam dengan balutan ukiran klasik tergeletak di meja ruang tamu, dirumah ibu Halimah. Duduk di kursi reot dua orang pria berpenampilan agak rapi. Meraka adalah Parman dan H. Sodikin. Sepertinya ada perbincangan serius diantara ketiga orang ini. Tapi apa? Hal itu yang sedang ditebak oleh Yenia di balik kelambu. Ia sedang mengerjakan proyek kecil, yaitu menghiasi kupluk (jilbab) dengan merci bervariasi. Masyarakat sekitar menyebutnya krepos. Profesi in sudah ia jalani selama dua tahun. Biasanya Yenia mendapat upah Rp. 2.000 / pcs. Kali ini Yenia benar-benar merasa gugup. Sudah berulangkali orang-orang desa sekitar mengunjungi rumahnya dua bulan terakhir. Kebanyakan adalah pemuda dan orang tuanya. Jadi, Yunia mengerti betul apa yang diinginkan orang-orang tersebut. Melamarnya? Iya. Begitulah.

Yenia mulai beranjak dewasa. Organ yang menempel ditubuh indahnya mulai menampakkan keliaran sosok perempuan manis-cantik. Belum lagi lesung pipi kananya yang menggemaskan hati siapa saja yang meilhatnya Tidak heran banyak pemuda dari desa sekitar ingin meminangnya. Seperti yang dilakukan Parman, putra H. Sodikin kali ini. “Yen, kesini Yen! Ada yang mau ketemu..” Panggil Halimah dari ruang tamu.
Inggih Bu, Sekedap!” Jawab Yenia. Proyek kecilnya ditanggalkan. Ia menyematkan jilbab warna pink kesayangannya, menutupi rambut dan telinganya. Raut wajahnya berbinar seperti bidadari. Parman semakin terkesima ketika melihat Yenia menyelinap dari balik kelambu hijau tua sambil menawarkan senyum ramah kepadanya dan bapaknya. Kaki Parman menyenggol kaki bapaknya. Jarinya mengepal, mengacungkan ibu jari di bawah meja reot dari kayu jati. Isyarat itu pun langsung ditanggapi H. Sodikin. Ia membalas dengan menggeleng-nggelengkan kepala seraya berucap, “Subhanallah, Iki Widodari jenengan Bu Halimah? Subhanllah!” Halimah hanya mesem-mesem. Yenia duduk di sebelah ibunya. Ia hanya melempar senyum kalem beberapa kali. Kali ini Yunia merasa akan benar-benar dipersunting. H. Sodikin adalah tokoh masyarakat desa sebelah. Ia memiliki kharisma yang agung ditengah-tengah masyarakat. Halimah nampaknya tidak langsung menolak seperti pelamar yang dulu-dulu. “Iki lho nduk, pak H. Sodikin pengen minta kamu.” Kata Halimah sambil menepuk tangan kiri anaknya, “Piye? Sampean karep ora?”
Parman semakin risih. Seperti singa yang kehilangan wilayahnya. Gusar. Sesekali pandangannya menyelinap ke pandangan Yenia. Buliran keringat mulai merembes membasahi wajah, dada, dan ketiaknya. Seperti orang menunggu undian kupon berhadiah. Telinganya dipasang lebar-lebar. Matanya menuju persis ke bibir manis Yenia.
“Emm.. dus pundi nggih Bu..” jawab Yenia pelan. “ Kulo masih pengen sekolah.”
“Nikah sambil sekolah kan bisa Yen!” Sahut Parman. Ayahnya, H. Sodikin, tersenyum kecut, dahinya menggrenyit mendengar ucapan Parman.
“Pak Sodikin,jenengan sampun mirengaken jawabane Yenia. Larene belum siap.” Tegas Halimah dengan nada agak tinggi. H. Sodikin pun mengerti isyarat dari Halimah. Ia pun segera mengakhiri pembicaraan dengan gaya khas orang Jawa. Alus. Sementara Paman masih terpancung oleh kecantikan Yenia. “Man, ayo pulang!” H. Sodikin menghentakkan lamunan Parman. Mereka segera bergegas walk out dari rumah Halimah.
“Bu, aku ndak mau dilamar-lamar lagi sama orang. Aku pengen cari sendiri. Nanti.” Yenia menggumam keras kepada Halimah, dengan nada agak manja.
Iyo, ibu ora pernah maksa kamu toh nduk.. wis, sekolah aja yang pinter. Ben jadi dokter.” Cetus Halimah seraya melempar senyum canda pada Yenia.
Yenia membalas senyuman Halimah, Matahari mulai merangkak naik. Yenia melanjutkan aktifitas merajut benang dan beberapa helai jilbab. Halimah beranjak ke teras rumah. Kedua tangannya memegang cikrak dan sapu lidi, sebuah sapu rakitannya sendiri. Ia mulai membersihkan halaman rumah yang tidak luas. Dihalaman rumah itu tumbuh sebuah pohon mangga. Di pohon itulah biasanya Zunia dan Yenia bermain. Kadang juga bertengkar. Di lihatnya sebuah piring dan gelas plastik. Ia segera merapat ke pohon mangga. Pandangannya mulai kosong. Lamunannya mulai terbang. Ia menghayal tentang anaknya, Zunia. Sudah satu bulan ia berpisah dengannya. Perasaannya mulai gundah. Halimah tidak mau berlarut memikirkannya. Ia kembali menyapu halaman rumah.

***

Pintu belakang rumah mendecit. Seekor kucing abu-abu kucel sedang mengobrak-abrik dapur. Yenia segera terperanjat dari tidur siangnya. “Hwa, Husss..husss..” Yenia menggertak si kucing. “Wah, kucingnya nyolong ikan pindang..!” Yenia menggerutu. Diambilnya sebuah sapu di balik pintu. Ia berlari keluar halman belakang rumah. Niatnya mengejar kucing tadi. Sayang, kucing itu keburu kabur. Dan Yenia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia kembali ke dapur. Melihat stock ikan pindang jatah makan malam. “Haduh, tinggal 2 potong. Nanti kalau Man Adji datang gimana ya?” Ujarnya lemas.
Malam ini rencananya Pak Adji, adik dari ibu Yenia akan mampir ke rumah. Pak Adji adalah seorang pengacara sukses. Ia tinggal di Malang, Jawa Timur. Sudah hampir 1 tahun Pak Adji tidak berkunjung ke kakaknya, Halimah. Kondisi Adji bertolak belakang dengan Halimah. Adji tidak kekurangan materi apapun. Rumah mewah di Villa Bukit Tidar, mobil berderet di garasi rumahnya. Belum lagi dua swalayan yang berdiri di daerah Dinoyo, Malang dan Kebonsari, Surabaya.
Sayangnya, Pak Adji belum dikaruniai buah hati selama 10 tahun berumah tangga. Sebenarnya sudah sejak lama Pak Adji ingin membawa Yenia untuk dijadikan anak pancingan. Dan akan dibiayai segala sesuatunya. Namun, Halimah terus saja menolak permintaan adik satu-satunya tersebut.
“Yen, udah kamu siapin belom sajian buat Man Adji?” Suara Halimah dari ruang tengah. “Injeh, sebentar bu, lha orang ikan pindangnya dogondol kucing satu.” Jawab Yenia dari halaman belakang. Halimah melesat ke dapur. Dilihatnya Yenia memegangi sapu, rambutnya sedikit berantakan.
“Habis ngapain aja kamu nduk?” Tanya Halimah.
Nguber kucing bu, he he he!” Jawab Yenia sambil mengelap keringat di dahinya. Halimah mengeluarkan selembar uang Rp. 5.000 yang diselipkan di entroknya. “Ini, kamu beli kopi, sekalian telur. Kembaliannya kamu simpan.”
Injeh, bu, Yenia mampir ke tempat Riztin sebentar ya? Mau balikin buku.” Rayu Yenia. Halimah hanya tersenyum, tanda izin sudah diberikan kepada Yenia. Yenia segera menuju ke warung Cak Mat, panggilan akrab Bang Mamat. Warungnya terletak di sebelah balai desa. Tidak jauh dari rumah Yenia.
“Cak, beli kopi. Trus, telor.” Ucap Yenia.
“Yo, buat apa beli kopi, kamu ngopi to?”
Ora, buat Man Adji, nanti dia mau mampir kesini.”
“Oo.., “ Sahut Cak Mat sambari memberikan bungkusan kopi dan telor.
“Ini kembaliannya.” Tambahnya.
“Terima kasih Cak.”
“Yo…” Jawab Cak Mat. Yenia melangkahkan kakinya menuju kediaman Riztin, Sahabatnya sedari kecil. Hingga saat ini, mereka masih kerasan satu kelas di sekolah. Sejak TK sampai SMA, mereka selalu berebut posisi pertama dan kedua juara kelas. Yenia menang dalam perebutan scudeto juara kelas. Terakhir, semester satu kemarin, di SMA, Yenia mengalahkan Riztin. Nilai mereka hanya terpaut 3 poin. Mereka juga sering mengikuti perlombaan tingkat kabupaten bersama-sama.
“Riz..!” Teriak Yenia dari balik pagar depan rumah Riztin. “Wooi…” Sahut Riztin dari teras rumahnya. Ia sedang asik memainkan handphone barunya. Yenia menyelinap masuk, melewati taman depan rumah Riztin.

bersambung...

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...