Bagian III
Pelamar
Kotak
hitam dengan balutan ukiran klasik tergeletak di meja ruang tamu, dirumah ibu
Halimah. Duduk di kursi reot dua orang pria berpenampilan agak rapi. Meraka
adalah Parman dan H. Sodikin. Sepertinya ada perbincangan serius diantara
ketiga orang ini. Tapi apa? Hal itu yang sedang ditebak oleh Yenia di balik
kelambu. Ia sedang mengerjakan proyek kecil, yaitu menghiasi kupluk (jilbab) dengan merci bervariasi.
Masyarakat sekitar menyebutnya krepos. Profesi in sudah ia jalani selama dua
tahun. Biasanya Yenia mendapat upah Rp. 2.000 / pcs. Kali ini Yenia benar-benar
merasa gugup. Sudah berulangkali orang-orang desa sekitar mengunjungi rumahnya
dua bulan terakhir. Kebanyakan adalah pemuda dan orang tuanya. Jadi, Yunia
mengerti betul apa yang diinginkan orang-orang tersebut. Melamarnya? Iya.
Begitulah.
Yenia
mulai beranjak dewasa. Organ yang menempel ditubuh indahnya mulai menampakkan
keliaran sosok perempuan manis-cantik. Belum lagi lesung pipi kananya yang
menggemaskan hati siapa saja yang meilhatnya Tidak heran banyak pemuda dari
desa sekitar ingin meminangnya. Seperti yang dilakukan Parman, putra H. Sodikin
kali ini. “Yen, kesini Yen! Ada yang mau ketemu..” Panggil Halimah dari ruang
tamu.
“Inggih Bu, Sekedap!” Jawab Yenia. Proyek kecilnya ditanggalkan. Ia menyematkan
jilbab warna pink kesayangannya,
menutupi rambut dan telinganya. Raut wajahnya berbinar seperti bidadari. Parman
semakin terkesima ketika melihat Yenia menyelinap dari balik kelambu hijau tua
sambil menawarkan senyum ramah kepadanya dan bapaknya. Kaki Parman menyenggol
kaki bapaknya. Jarinya mengepal, mengacungkan ibu jari di bawah meja reot dari
kayu jati. Isyarat itu pun langsung
ditanggapi H. Sodikin. Ia membalas dengan menggeleng-nggelengkan kepala seraya
berucap, “Subhanallah, Iki Widodari
jenengan Bu Halimah? Subhanllah!” Halimah hanya mesem-mesem. Yenia duduk di
sebelah ibunya. Ia hanya melempar senyum kalem beberapa kali. Kali ini Yunia
merasa akan benar-benar dipersunting. H. Sodikin adalah tokoh masyarakat desa
sebelah. Ia memiliki kharisma yang agung ditengah-tengah masyarakat. Halimah
nampaknya tidak langsung menolak seperti pelamar yang dulu-dulu. “Iki lho nduk, pak H. Sodikin pengen minta
kamu.” Kata Halimah sambil menepuk tangan kiri anaknya, “Piye? Sampean karep ora?”
Parman
semakin risih. Seperti singa yang kehilangan wilayahnya. Gusar. Sesekali
pandangannya menyelinap ke pandangan Yenia. Buliran keringat mulai merembes
membasahi wajah, dada, dan ketiaknya. Seperti orang menunggu undian kupon
berhadiah. Telinganya dipasang lebar-lebar. Matanya menuju persis ke bibir
manis Yenia.
“Emm..
dus pundi nggih Bu..” jawab Yenia
pelan. “ Kulo masih pengen sekolah.”
“Nikah
sambil sekolah kan bisa Yen!” Sahut
Parman. Ayahnya, H. Sodikin, tersenyum kecut, dahinya menggrenyit mendengar
ucapan Parman.
“Pak
Sodikin,jenengan sampun mirengaken
jawabane Yenia. Larene belum
siap.” Tegas Halimah dengan nada agak tinggi. H. Sodikin pun mengerti isyarat dari Halimah. Ia pun segera mengakhiri
pembicaraan dengan gaya khas orang Jawa. Alus. Sementara Paman masih terpancung
oleh kecantikan Yenia. “Man, ayo pulang!” H. Sodikin menghentakkan lamunan
Parman. Mereka segera bergegas walk out
dari rumah Halimah.
“Bu,
aku ndak mau dilamar-lamar lagi sama orang. Aku pengen cari sendiri. Nanti.” Yenia menggumam keras kepada Halimah,
dengan nada agak manja.
“Iyo, ibu ora pernah maksa kamu toh
nduk.. wis, sekolah aja yang pinter. Ben jadi dokter.” Cetus Halimah seraya melempar senyum canda pada
Yenia.
Yenia
membalas senyuman Halimah, Matahari mulai merangkak naik. Yenia melanjutkan
aktifitas merajut benang dan beberapa helai jilbab. Halimah beranjak ke teras
rumah. Kedua tangannya memegang cikrak dan sapu lidi, sebuah sapu rakitannya
sendiri. Ia mulai membersihkan halaman rumah yang tidak luas. Dihalaman rumah
itu tumbuh sebuah pohon mangga. Di pohon itulah biasanya Zunia dan Yenia
bermain. Kadang juga bertengkar. Di lihatnya sebuah piring dan gelas plastik.
Ia segera merapat ke pohon mangga. Pandangannya mulai kosong. Lamunannya mulai
terbang. Ia menghayal tentang anaknya, Zunia. Sudah satu bulan ia berpisah
dengannya. Perasaannya mulai gundah. Halimah tidak mau berlarut memikirkannya.
Ia kembali menyapu halaman rumah.
***
Pintu
belakang rumah mendecit. Seekor kucing abu-abu kucel sedang mengobrak-abrik
dapur. Yenia segera terperanjat dari tidur siangnya. “Hwa, Husss..husss..”
Yenia menggertak si kucing. “Wah, kucingnya nyolong ikan pindang..!” Yenia
menggerutu. Diambilnya sebuah sapu di balik pintu. Ia berlari keluar halman
belakang rumah. Niatnya mengejar kucing tadi. Sayang, kucing itu keburu kabur.
Dan Yenia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia kembali ke dapur. Melihat stock ikan pindang jatah makan malam.
“Haduh, tinggal 2 potong. Nanti kalau Man Adji datang gimana ya?” Ujarnya
lemas.
Malam
ini rencananya Pak Adji, adik dari ibu Yenia akan mampir ke rumah. Pak Adji
adalah seorang pengacara sukses. Ia tinggal di Malang, Jawa Timur. Sudah hampir
1 tahun Pak Adji tidak berkunjung ke kakaknya, Halimah. Kondisi Adji bertolak
belakang dengan Halimah. Adji tidak kekurangan materi apapun. Rumah mewah di
Villa Bukit Tidar, mobil berderet di garasi rumahnya. Belum lagi dua swalayan
yang berdiri di daerah Dinoyo, Malang dan Kebonsari, Surabaya.
Sayangnya,
Pak Adji belum dikaruniai buah hati selama 10 tahun berumah tangga. Sebenarnya
sudah sejak lama Pak Adji ingin membawa Yenia untuk dijadikan anak pancingan.
Dan akan dibiayai segala sesuatunya. Namun, Halimah terus saja menolak
permintaan adik satu-satunya tersebut.
“Yen,
udah kamu siapin belom sajian buat Man Adji?” Suara Halimah dari ruang tengah.
“Injeh, sebentar bu, lha orang ikan pindangnya dogondol kucing satu.” Jawab Yenia dari
halaman belakang. Halimah melesat ke dapur. Dilihatnya Yenia memegangi sapu,
rambutnya sedikit berantakan.
“Habis
ngapain aja kamu nduk?” Tanya
Halimah.
“Nguber kucing bu, he he he!” Jawab Yenia
sambil mengelap keringat di dahinya. Halimah mengeluarkan selembar uang Rp.
5.000 yang diselipkan di entroknya. “Ini, kamu beli kopi, sekalian telur.
Kembaliannya kamu simpan.”
“Injeh, bu, Yenia mampir ke tempat Riztin
sebentar ya? Mau balikin buku.” Rayu Yenia. Halimah hanya tersenyum, tanda izin
sudah diberikan kepada Yenia. Yenia segera menuju ke warung Cak Mat, panggilan
akrab Bang Mamat. Warungnya terletak di sebelah balai desa. Tidak jauh dari
rumah Yenia.
“Cak,
beli kopi. Trus, telor.” Ucap Yenia.
“Yo,
buat apa beli kopi, kamu ngopi to?”
“Ora, buat Man Adji, nanti dia mau mampir
kesini.”
“Oo..,
“ Sahut Cak Mat sambari memberikan bungkusan kopi dan telor.
“Ini
kembaliannya.” Tambahnya.
“Terima
kasih Cak.”
“Yo…”
Jawab Cak Mat. Yenia melangkahkan kakinya menuju kediaman Riztin, Sahabatnya
sedari kecil. Hingga saat ini, mereka masih kerasan
satu kelas di sekolah. Sejak TK sampai SMA, mereka selalu berebut posisi
pertama dan kedua juara kelas. Yenia menang dalam perebutan scudeto juara kelas. Terakhir, semester
satu kemarin, di SMA, Yenia mengalahkan Riztin. Nilai mereka hanya terpaut 3
poin. Mereka juga sering mengikuti perlombaan tingkat kabupaten bersama-sama.
“Riz..!”
Teriak Yenia dari balik pagar depan rumah Riztin. “Wooi…” Sahut Riztin dari
teras rumahnya. Ia sedang asik memainkan handphone barunya. Yenia menyelinap
masuk, melewati taman depan rumah Riztin.
bersambung...
bersambung...
No comments:
Post a Comment