Istilah
postmodernisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz,
pada tahun 1917, untuk menggambarkan nihilisme budaya barat abad ke-20. Istilah
ini pertama kali muncul pada bidang seni dan kemudian juga arsitektur, ketika
perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis dihancurkan dengan dinamit dan dimulailah
pengembangan karya-karya arsitektur yang berwajah baru. Keyakinan
fundamental/fondasional menjadi syarat utama untuk membenarkan pengetahuan yang
dibangun di atasnya. Keyakinan-keyakinan tidak bersifat sirkuler, namun harus
sampai pada satu titik aksiomatis, yang tidak membutuhkan pembenaran apapun.
Jelas rasiolah yang mampu mengerjakannya dengan teliti, rasio adalah pusat.
Kebenaran
(truth) adalah persesuaian antara sesuatu dengan fondasinya dan sekaligus
persesuaian antara akal dan kenyataan yang dicermati, antara subjek yang
mengamati dan objek yang teramati. Fondasionalisme/fundamentalisme menyimpan
sebuah kepastian bahwa dasar mutlak tersebut tidak terikat pada ruang dan waktu
hidup manusia. Ia harus a-historis agar tetap mampu menjadi fondasi ilmu dan
segi-segi hidup lainnya. Kebenaran adalah absolut dan mengabaikan dialog yang
jujur dengan wacana historis dan sosial.
Postmodernisme
lahir sebagai kritik atas modernisme, yang sangat berpegang kepada
fundamentalisme dogmatis atau fudamentalisme epitemilogis. Aliran ini muncul
sebagai sebuah ‘gebrakan’ akibat dari maraknya faham modernisme dengan segala
bentuk dampaknya yang dibawa oleh Rene Descartes. Aliran modernisme sendiri
menasbihkan dirinya melalui zaman pencerahan (Aufklaerung) pada abad pertengahan, kemudian menjelma sebagai
pengabdi dalam dunia sains dan kapitalisme. Dengan kata lain, Filsafat
modern yang dibawa oleh Descartes dianggap melahirkan berbagai dampak buruk
untuk dunia di kemudian hari. Filsafat modern, bagaimanapun telah membawa dunia
kepada perubahan yang sangat besar. Namun, di sisi lain ia juga mendapat
kecaman dari berbagai pihak, khususnya aliran Postmodernisme. Pandangan
dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek dan obyek,
spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan
obyektisasi alam dan eksploitasi alam secara besar-besaran dan semena-mena.
Akibtnya banyak pihak yang mengecam tindakan ini. Zaman modern yang selalu
diasumsikan dengan kemajuan, ilmu pengetahuan, Hi-Tech, eksploitasi,
rasionalitas dan lain sebagainya, ternyata tidak dapat diterima begitu saja
oleh sebagian yang lain.
Salah
satu tokoh pencetus aliran postmodernisme adalah Francois Lyotard. Ia
memperkenalkan aliran ini melalui sebuah buku yang berjudul The Postmodern Condition: A Report on
Knowladge (1984). Selain Lyotard,
tokoh yang memprakarsai aliran ini antara lain adalah; Jacques Derrida, Michel
Foucault, dan Jean Baudrillard. Pengertian Postmodernisme sendiri sangat banyak
dan bervariasi. Berikut adalah beberapa definisi tentang Postmodernisme:
1. Postmodernisme
adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat
manusia modern (Lyotard).
2. Postmodernisme
adalah pengembangan dari modernitas (Jameson, dengan alasan tidak mungkin kita
dapat masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernisme).
3. Postmodernisme
adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna
begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis
adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka (insting, wahm) belaka
(Zygmunt Baumandalam karyanya “Post-Modern Ethics”).
4. Postmodernisme
merupakan suatu pemberontakan pada janji modernisme yang menjanjikan keadilan
dan kemakmuran manusia yang dinilai gagal memenuhi janjinya (Eddy Peter P).
5. Postmodernisme
adalah sebuah aliran pemikiran dan menjadi semacam paradigma baru, yang
merupakan antitesis dari modernisme, yang dinilai telah gagal dan tidak lagi
relevan dengan perkembangan zaman. Modernisme yang ditandai oleh kepercayaan
penuh pada keunggulan sains, teknologi, dan pola hidup sekuler, ternyata tidak
cukup kokoh untuk menopang era industrialisasi yang dikampanyekan dapat membawa
kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat (Maysa Syifa Aljauza).
6. Postmodernisme
adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Dalam
postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh
emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari
sebuah konstruk sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan.
Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteristik
fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy),
dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan
struktur kekuatan.
Pemenuhan
kekosongan di atas sekarang diyakini terletak pada pemikiran postmodern.
Postmodernisme telah mempengaruhi hampir semua sisi kehidupan manusia. Pertama,
dari sisi filsafat. Rasionalisme telah digantikan dengan filsafat relativisme.
Kalau pada jaman modern orang berdebat tentang kebenaran yang objektif (baca:
absolut), sekarang orang justru menganggap kebenaran sebagai sesuatu yang
bersifat relatif dan pribadi (tergantung pada persepsi masing-masing orang
terhadap “kebenaran” tersebut). Kalau dahulu orang mempertanyakan sumber dan
isi (esensi) kebenaran, sekarang orang justru mempersoalkan eksistensi
kebenaran. Axiom lama bahwa dua hal yang kontradiksi tidak mungkin sama-sama benar
mulai dipertanyakan dan dianggap sebagai produk modernisme Barat.
Selain itu,
bahasa juga dianggap perlu untuk diinterpretasikan ulang, karena makna suatu
kata sangat tergantung pada persepsi individu. Kalau dahulu orang berusaha
mencari arti dalam suatu kata, sekarang orang berusaha memasukkan arti ke dalam
suatu kata. Kata tidak memiliki arti apa-apa sampai seseorang menerjemahkan
kata tersebut sesuai dengan persepsi masing-masing.
Postmodernisme
juga mengusung cara baru dalam melihat eksistensi suatu benda (substansi) maupun
peristiwa-peristiwa. Kalau dahulu orang berusaha menangkap arti dari semua yang
dilihat dan mengkaitkan itu dengan sesuatu yang metafisikal, sekarang orang
mengangga bahwa semua itu tidak memiliki arti intrinsik. “Arti” lebih dipahami
sebagai sebuah proses interpretasi terhadap sesuatu. Perhatikan perbedaan
berikut ini:
Pre-modern “A” ada. Aku menyebut “A”
sebagaimana adanya “A”
Modern “A” ada. Aku menyebut “A” sesuai
dengan apa yang aku lihat
Post-modern “A”
tidak akan ada, kecuali aku menyebut “A” sebagai “A”
Kedua,
dari sisi teologi/keagamaan. Paham relativisme di atas memicu lahirnya sikap toleransi,
bahkan cenderung kompromi. Eksklusivitas dalam berteologi dianggap sebagai sesuatu
yang kuno dan sebuah fanatisme buta. Perubahan paradigma berpikir dapat
dilikaji deengan melihat doktrin tentang Tuhan. Kalau pada jaman modern orang
bergelut dengan isu eksistensi Tuhan (is there God?) dan argumentasi yang
mendukung hal itu (what are the proofs for God’s existence?), sekarang orang
bertanya tentang identitas Tuhan (which God?). Yang lebih parah, orang sekarang
bahkan bertanya “Mengapa perlu bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan
tersebut?”
Pemikiran
postmodern juga mempengaruhi cara orang membaca Kitab Suci. Hermeneutik tidak lagi
dipahami sebagai pencarian terhadap “apa yang dimaksud penulis”, tetapi lebih
ke arah “apa yang pembaca pahami tentang suatu teks”. Dengan kata lain, pembaca
merupakan tuan atas teks dan teks diceraikan dari penulisnya. Pendekatan
seperti ini telah melahirkan interpretasi de-konstruktularis yang melihat teks
secara independen, sesuai dengan konteks modern pembaca.
Ketiga,
dari sisi etika (moralitas). Orang postmodern mulai memperdebatkan esensi
etika, yang dahulu selalu dihubungkan dengan konsep komunal. Sesuatu dianggap
etis atau tidak sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat (paling tidak
persepsi mayoritas) terhadap suatu tindakan. Sekarang etika tidak lagi dinilai
dari sesuatu yang “baku”. Orang berpendapat bahwa etika adalah masalah yang
sangat pribadi dan tidak terkait dengan orang lain. Sebagian manusia bahkan
berpikir bahwa “etika” seharusnya hanya diaplikasikan kepada orang manusia.
Aplikasi etika dianggap sebagai produk dari imperialisme kemanusiaan.
Keempat,
dari sisi budaya. Karakteristik postmodernisme yang cenderung personal,
sinkretis, pragmatis dan kontra rasional telah memberi ruang bagi pemikiran
Timur yang memang cenderung bisa berkawan dengan karakteristik tersebut. Etika
relativistik juga telah ikut mempermudah terciptanya sebuah kultur global yang
sinkretis (percampuran beragam kultur), apalagi teknologi (televisi, internet)
telah menjadi kendaraan pribadi dari proses globalisasi. Salah satu fenomena
budaya yang perlu dicermati adalah Gerakan Jaman Baru (New Age Movement), yaitu
sebuah proses adopsi dan sinkretisasi budaya Timur ke dalam pemikiran Barat.
Fenomena spiritisme, yoga, kontemplasi spiritual, dll., merupakan wajah gerakan
ini yang sudah akrab bagi orang modern. Daftar pengaruh postmodernisme di atas
tentu saja bisa diperpanjang dan diperjelas (diperdetil), karena tidak dapat
disangkal bahwa postmodernisme telah mempengaruhi semua aspek kehidupan, dari
filosofi, edukasi, teologi, budaya, etika, seni, dll.
Seputar Teologi
Teologi
postmodernisme mengacu pada dua isu, yaitu: pertama, komunalitas hidup. Teologi
postmodernisme membebaskan manusia yang terasing dari manusia yang berkuasa dan
kemudian menempatkan mereka secara bersama-sama dalam kesejajaran.
Komunitas-komunitas basis yang selama ini terasing, diperkuat kembali. Manusia
hidup dalam konteksnya sehingga fungsi akal budi harus dibarengi dengan aksi
atau praksis terhadap kenyataan sosial yang dihadapi. Persoalan komunalitas
berimbas kepada oikumene. Jika oikumene dipahami sebagai seluruh bumi yang
didiami, maka terdapat dua arah teologis yang perlu dikembangkan, yaitu teologi
oikumene yang berwawasan ekologis, yang menempatkan manusia dalam konteks
lingkungan semesta, dan perlu dikembangkan sebuah teologi oikumene yang melihat
kehadiran sesama yang beriman lain dalam konteks dunia yang satu ini.
Isu
kedua dari teologi postmodernisme adalah makna dan kebenaran. Ide pluralitas
bukan hanya dalam diskursus mengenai wacana suci namun juga tentang Allah
sendiri, sungguh memberi kemungkinan teologis yang besar bagi sebuah theologia
religionum yang sehat. Seringkali penganut eksklusivis menuduh kaum pluralis
mengabaikan keunikan dalam agama-agama.
Bagi
kaum pluralis, keunikan agama-agama adalah sebuah keunikan relasional. Artinya,
mengakui kebenaran yang diyakini bersifat relatif di tengah arena agama-agama
lain, tidak serta-merta mengabaikan keunikan kebenaran agama, namun sebaliknya,
mengakui keunikan kebenaran itu dalam relasi dengan agama lain. Sehingga
interpertasi-interpertasi bukan didasarkan kepada sesuatu yang sifatnya
universal, namun interpertasi sangat terikat dengan kondisi kultural,
kontekstual dan historis di mana manusia berada.
Oleh
karena itu, manusia perlu disadarkan sehubungan dengan proses interpertasi
kebenaran, bahwa [1] munculnya beragam interpertasi; [2] pentingnya menghargai
interpertasi pihak lain; [3] menyadari keterbatasan interpertasinya sendiri.
Disinilah terjadi pemindahan pemikiran, dari sesuatu yang sifatnya metafisika
kepada interpertasi yang membebaskan.
Setidaknya
kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa
postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk
dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir
dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya.
Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya
tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.
Sumber
Referensi:
Sugiarto,
Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan
Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisisus. 182 hlm.
No comments:
Post a Comment