Oleh, Oejank Indro
Tunggu sebentar,
aku hanya ingin mengingatkanmu. Sebenarnya, sudah lama aku ingin melambaikan
tangan dari anjungan kecil ini. Tapi, lagi-lagi karena hal yang sangat kecil
itu, semuanya urung kulakukan.
“Semua ini
salahmu.” Ia mulai menatapku. Nada bicaranya sangat tinggi, rok merah mudanya
terurai lembut ke tanah. Sebuah tas jinjing yang semula ia pegangi, sekarang ia
letakkan pelan di dekat simpuhannya. “Selalu saja itu, seenaknya kau
bermain-main dengan perasaanku. Apa kau kira aku ini kambing? Ha!!!”
Aku memalingkan
pandanganku ke seberang sungai. Sedikitpun berusaha memaki diri sendiri di
ujung anjungan kecil.
“Ini, kau lupa?”
Teriaknya sambil mngangkat sehelai selendang hijau tua. Selendang itu bergelayutan
terkena hembusan angin sore. “Ini, kau masih ingat, bukan? Jawab!!!!” Teriaknya
lagi. Kali ini ia menjatuhkan selendang
dan menyodorkan kotak kecil dari kayu akasia. Tentu saja aku
terperanjat. Tapi aku tidak sedikitpun berpaling.
Ia menjatuhkan
diri. Menangis.
Aku selalu
datang. Aku juga masih ingat semua itu. Tidak mudah kulupakan.
“Lalu?”
Kepalanya mendongak. wajahnya sudah merah dan berlumuran air mata. Aku berbalik
dan menatapnya heran. “Kau sudah mengerti sejak dahulu. Egomu yang membatasi
ketulusanmu. Semua ini bukan semata salahku.” Kataku pelan.
“Tidak. Kau
memang bajingan.” Ia memberontak. “Ini semua salahmu. Kau salah. Kau yang
kalah.” Ia mulai mengumpat. Nadanya semakin lama semakin tinggi. Aku langsung
memeluknya. Benar-benar memeluknya dengan sangat erat. Air matanya mulai
membasahi pundakku. Sulit baginya memang. Tangisnya tulus.
Sejujurnya saat
itu ia seperti Rapunzel ketika rambut ajaibnya ia relakan untuk dipotong. Aku
membelainya. Aku tahu ia sangat tertekan waktu itu. “Maafkan aku. Sebaiknya
segera kau pergi. Aku tidak mengusirmu. Tapi, mempersilahkanmu.” Aku berbisik
kepadanya. Ia masih terisak-isak dalam pelukanku. Pelukannya semakin erat dan
membuatku gusar.
“Sudah. Kau bisa
Julia. Aku tahu ini pasti sulit, tapi jangan kau buat lebih sulit.” Aku
berusaha merayunya. “Selamat jalan Julia.” Kataku singkat. Kulepaskan
pelukannya pelan-pelan dan menjauh perlahan. Julia tertunduk, lalu tersipu di
ujung anjungan. Sejak saat itu, aku tidak mendengar kabar Julia.
**
Bangun dini hari,
menghangatkan diri dengan secangkir kopi, dan menikmati sejuk pemandangan
berlatar sungai. Meskipun kadang-kadang kabut memutihkan hijau dan rindang
pepohonan diseberang sungai. Malam tadi aku tidak pulas tertidur. Gelisah. Asal
kau tahu, saat ini masih tercecer lembar-lembar kertas tulisan tanganku. Setidaknya
ada beberapa lembar yang sudah aku rampungkan. Sisanya menjubal di dalam tong
sampah, berserakan di atas ranjang, dan terinjak-injak di dasar lantai.
Selepas Julia
pergi, aku rajin menulis sajak-sajak kecil pada lembaran kertas, dengan
tanganku sendiri. Biasanya aku menulis ketika sang surya akan terlelap. Tempat favoritku
adalah di mejak kecil yang berdiri tepat di jendela kamar. Jendela itu menghadap
langsung ke arah barat, dari situ Aku dengan jelas melihat sungai yang
berkelok. Indah.
Entah sudah
berapa judul puisi, berapa sajak, dan bait yang sudah kutulis. Aku tidak begitu
peduli berapa jumlahnya. “Aku sudah hafal semua sajak yang aku tulis.” Begitulah
jawabanku ketika beberapa orang penghuni komplek mempertanyakan jumlah
sajak-sajakku. Aku dan mereka, tetangga kamarku dan segelintir orang merasa
dirinya manusia, sudah tidak mengerti lagi apa arti keluarga. Kami sudah
terlalu memahami makna keluarga. Rasa kekeluargaan kami tidak hanya berdasarkan
ikatan darah. Tidak seperti manusia di luar sana. Lantang berteriak, “Kami
adalah saudara, kami adalah keluarga, satu bangsa, satu bahasa….” Tapi mereka
lupa. Lupa makna keluarga.
Ada lagi. Ini cerita
dari penghuni kamar sebelah. Namanya Seno, ia keturunan Jawa dan beraga Islam. Pernah
ia sedang merenung di anjungan sungai saat malam bulan purnama. “Kenapa bulan
tak selalu bulat setiap malam?” Aku masih berjalan mendekat ketika ia
menanyakan hal itu. “Dan kenapa matahari selalu bulat setiap hari?” Tanyanya
lagi.
“Sudah menjadi
kehendak Tuhan.” Jawabku. Lalu aku duduk di dekatnya. Ia mengambil batu kecil
dan melemparnya ke tengah sungai. “Kenapa bulan tidak pernah protes kepada
Tuhan?” Seno kembali bertanya. “Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Aku hanya
percaya, Tuhan memiliki maksud dibalik itu semua.” Kataku pelan.
“Kau terlalu
bodoh.” Sanggah Seno. Ia berdiri dan memandangi purnama. “Hei bulan, kau
senang? Apa kau tidak bosan dengan hanya memantulkan cahaya matahari? Kata orang
cahayamu itu indah, cahayamu itu menyejukkan. Bukankah kau hanya memantulkan
cahanya matahari? Kau tidak malu?”
Seno kembali
duduk dan menatapku. “Kau benar, seno.” Ujarku. Seno tersenyum. Ia kembali
melihat purnama. “Hei bulan, kau tidak perlu malu. Kau adalah temanku,
keluargaku. Kau selalu mengingatkanku. Karena aku masih tinggal di bumi.”
“Maksudmu?”
Tanyaku. Seno segera menatapku. Matanya menjuling dan posisi duduknya berubah. “Waktuku,
waktuku, dan waktu mereka tidak sebanyak orang-orang di luar sana.” Katanya
dengan santai. Aku mengambil nafas dalam-dalam. “Iya, aku mengerti. Kita akan
berjumpa lagi dengan Tuhan kita. Tidak lama lagi.”
Seno menundukkan
kepalanya. Badannya terlihat melemah. “Aku, kau, dan mereka…” ia memandangi
komplek. “Ibarat bulan yang memantulkan cahaya dari Tuhan. Cahaya itu tidak
selalu indah bukan? Biarlah, cahaya kita tidak indah untuk kita, tapi pantulan
cahaya kita akan indah untuk orang-orang di luar sana.” Lanjutnya.
“Bersyukurlah.
Tuhan memberikan kita jalan hidup yang spesial.” Kataku sambari menepuk
pundaknya.
Ia kembali
bercerita lagi. Kali ini tentang saudara seagamanya. “Kata bapakku, semua umat
Islam itu saudara. Ibarat tembok yang kokoh.” Katanya.
“Iya, kamu
benar.” Tukasku singkat.
“Kau tahu? Berapa
banyak jumlah orang yang mengaku Islam di Indonesia? Apakah mereka masih saling
menyapa ketika di dalam kereta? Apakah mereka masih mengucapkan salam ketika
bertegur sapa? Lalu, kenapa mereka mudah mengkafirkan saudara mereka sendiri?
Lalu, kenapa mereka tidak pernah mau memanusiakan saudara mereka sendiri?” Ia
mengangkat tangannya. Menunjuk ke langit malam yang berhias purnama dan
bintang-bintang.
Aku diam saja. Tidak
ada keinginan untuk menjawab pertanyaan Seno. Ya, sedikitpun tidak. Karena aku
sendiri selalu merasa jauh dari saudaraku yang seiman. Mungkin kalian juga
pernah merasakan hal yang sama. Tapi, kalian beruntung masih bebas memilih
saudara kalian sendiri. sedangkan Aku, Seno, dan sekelompok kecil manusia
disini, tidak seberuntung kalian yang diluar sana.
“Aku harus
kembali ke kamar.” Kataku. “Baik, buatkan sajak untukku!” Ujar Seno. Ia membalikkan
badannya ke sungai. Aku melenggang ramah menuju kamarku. “Hei, titip salam
untuk Julia.” Imbuhnya. Aku tersenyum kecil. Seolah-olah Julia masih mau membaca
surat-surat dan sajak-sajak rumpangku.
Aku merebahkan
diri di atas kamar tidur kecil berbalut sprai putih. Dan kubiarkan malam
berlalu seperti biasa. Untuk bangun di kala pagi buta, dan merajut kembali
benang-benang kehidupan yang terurai acak dalam sebuah librium kehdiupan yang
singkat.
Bersambung…
No comments:
Post a Comment