“Crito,aku
berhutang seekor ayam kepada Aesculaap, jangan lupa membayarnya kembali.”
Kata Sokrates. “Utang itu akan dibayar.” Jawab Crito, “Adakah pesan yang lain?”
Suasana berubah hening. Sokrates dengan tenang berkata, “Tidak ada.” Tidak
berselang lama, datang seorang pelayan penjara mengangkatkan kain yang menutupi
Sokrates. Matanya terbuka dengan tiada bercahaya lagi. Crito menutupkan
mulutnya dan matanya.
Paragraf di atas adalah potongan antiklimaks
dari kisah hidup seorang pelopor filsafat klasik di Yunani, Sokrates. Lahir
dari rahim seorang bidan yang bersuamikan pengerajin patung, Sokrates hidup
ketika ajaran Sofisme sedang berjaya di Atena. Sokrates lahir pada tahun 470 SM
dan meninggal pada 399 SM. Masa muda Sokrates dihabiskan dengan membantu
bapaknya sebagai pematung, sebelum akhirnya memutar haluan. Dari membentuk batu
menjadi patung, ia membentuk watak manusia. Ia merupakan filsof dengan coraknya
sendiri. Hidupnya adalah filosofinya. Sokrates tidak pernah menulis ajaran,
melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Tujuan filosofi
Sokrates adalah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya.
Menurut Sokrates, filosofi bukan isi,
bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi hidup.
Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak
mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. Potongan badan
Sokrates berbeda dari kaum Grik – yang pada umumnya berbdan ramping, tgap dan
bermuka elok. Sokrates berbadan pendek, sedikit gemuk, mulutnya lebar,
hidungnya botok, dan matanya terbudur. Ia dikenal sebagai orang yang jujur,
adil, dan baik. Di banyak riwayat yang ditulis murid-muridnya, ia di gambarkan
sebagai orang yang lurus, berkelakuan murni, hidupnya sederhana dengan tidak
berkeperluan. Ia selalu berkata terus terang. Ia baik kepada semua orang –
sikap saleh, gembira, tenang, tangkas, dan lucu. Begitulah Sokrates.
Hidup Sokrates selalu penuh dengan
pertanyaan. Tabiatnya sehari-hari adalah berjalan keliling kota, mempelajari
tingkah laku manusia dari berbagai segi hidupnya. Alasanya tidak pergi
meninggalkan kota adalah, “Padang rumput dan pohon kayu tidak member pelajaran
apapun kepadaku, manusia ada.” Rasa ingin tahunya sangat tinggi dan selalu
meluap-luap. Ia selalu bertanya, dan sungguh-sungguh bertanya, karena ia mau
tahu. Mulai dari seorang pelukis, ia menanyakan tentang apa itu ‘indah’. Ia
menanyakan ‘berani’ kepada prajurit. Ia bertanya tentang dan kepada semuanya.
Ia selalu berkata, yang ia ketahui cuma satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Oleh
sebab itu ia selalu bertanya. Tanya-jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh
pengetahuan. Itulah asal-muasal ‘dialektik’. Kata yang berakar dari ‘dialog’,
yang berarti bersoal jawab antara dua orang.
Sokrates memperoleh banyak kawan dan
murid karena sifat berani, adil, dan jujur. Banyak pemuda Atena yang kepincut
untuk berguru dan melaksanakan ajarannya. Tapi, karena ia hidup di zaman
pemikiran Sofisme – pandangan yang terlalu mengemukakan pendirian subjektif,
relatif, dan skeptis – yang sedang berkembang, Sokrates juga banyak memiliki
musuh. Mengajarkan orang mencari kebenaran, itulah tujuan Sokrates – sebagai
reaksi terhadap ajaran Sofisme.
Karena ‘ketidaktahuan’ Sokrates, ia
berguru kepada guru Sofis yang mengobral ilmu. Ia mulai dengan pertanyaan yang
mudah dan sederhana – hampir selalu begitu. Kemudian disusul dengan pertanyaan
selanjutnya. Dan dibarengi pertanyaan seterusnya. Pertanyaan tersebut semakin
mendesak dan tepat. Akhirnya guru Sofis tak sanggup lagi menjawab dan mengaku
ia tidak tahu. Retorikanya hilang. Lalu dengan tenang Sokrates mengunci
tanya-jawab tersebut dengan berkata, “Demikianlah adanya, kita berdua sama-sama
tidak tahu.” Karena hal inilah, banyak guru Sofis memusuhinya. Dan menjatuhkan
dua tuduhan kepada Sokrates. Pertama, ia meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh
Negara, dan mengemukakan dewa-dewa baru. Tuduhan kedua menyatakan bahwa
Sokrates itu menyesatkan dan meusak fiil
pemuda.
Ketika Sokrates mulai disidangkan ia
sudah mengetahui bahwa ia akan disalahkan dan dihukum. Tetapi pantang baginya
untuk menjilat, beriba-iba dan melepaskan semua pandangan dan pemikirannya.
Bahkan ia mengatakan bahwa ia tidak bersalah, melainkan berjasa pada pemuda dan
masyarakat Atena. Bukan hukuman yang seharusnya ia terima, melainkan upah yang
harus diterimanya. Sokrates juga menuntut supaya seumur hidupnya de beri makan
oleh Negara pada Prytaneion, yaitu balai kota di masa kini.
Para hakim dan sahabat tercengan. Guru
Sofisme yang merasa dilecehkan akhirnya menjatuhkan hukuman mati dengan meminum
racun kepada Sokrates. Ia sedikitpun tidak gentar. Dengan tenang ia berkata
bahwa siap menjalani hukuman tersebut. Saat-saat terakhir sebelum eksekusi mati
Sokrates itu digambarkan oleh Plato dalam Phaidon. Dituliskan bahwa sebelum
Sokrates meminum racun, ia memasuki kamar mandi bersama Crito, salah seorang
muridnya. Setelah mereka kembali, ia duduk bersama murid-muridnya – Plato dan
Apollodorus. Kemudian dengan tenang ia meminum racun. Pertama kakinya mulai
mati rasa, dan kemudian menjalar ke bagian atas tubuh. “Apabila racun itu sudah
sampai ke jantung, sampailah ajalku.” Kata Sokrates disaksikan murid-murida dan
penjaga penjara.
Budi Ialah Tahu
Sokrates tidak mengajarkan, melainkan
menolong orang untuk mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Dalam
mencari kebenaran, Sokrates tidak memikir sendiri, melainkan selalu bersama
orang lain, dengan jalan dialektika (tanya-jawab). Sebab itu, metode yang
dilakukan Sokrates disebutnya maieutik,
menguraikan, seolah-olah menyerupai pekerjaan ibunya sebagai bidan – dukun
beranak. Sokrates merupakan pembangun dialektik pengetahuan – berdasar pada
keterangan Aristoteles. Pencarian kebenaran dengan jalan dialektika yang di
tutup dengan pengertian, maka Sokrates sebenarnya menempuh jalan induksi dan definisi. Induksi pada masa
Sokrates berbeda makna dengan induksi masa sekarang. Jika induksi sekarang
meperhatikan hal-hal yang kecil kemudaian ditarik ke dalam pengertian umum,
induksi Sokrates adalah membandingkan secara kritis – melalui dialektika. Ia
memakai komparasi (perbandingan) disertai contoh dan persamaan, dan kemudian
diuji dengan saksi dan lawan saksi. Begitulah cara Sokrates mencari
‘Pengertian’. Dari induksi sampai ke defisnisi.
Pengertian menurut paham Sokrates sama
dengan apa yang disebutkan Kant; prinsip regulatif, dasar menyusun. Dengan
demikian, hasil yang dicapai tidak takluk kepada paham subjektif, seperti yang
diajarkan kaum Sofis, melainkan meintikberatkan pada sifatnya, dan berlaku
selama-lamanya. Artinya, induksi dan definisi menuju pengetahuan yang
berdasarkan pengertian. Budi ialah tahu! Maksudnya, budi-baik lahir dengan
pengetahuan. Manusia yang dirusak oeh ajaran Sofisme mau dibentuknya kembali.
Daimonion
Membicarakan ‘kesenangan hidup”,
Sokrates tidak pernah mempersoalkan. Akibatnya murid-muridnya mengabil jalan
sendiri untuk mendefinisikan ‘apa itu kesenangan hidup?” Tidak heran jika
mereka bertentangan. Manusia itu pada dasarnya baik, kata Sokrates. Keadaan dan
tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Melihat Sokrates dari segi keagamaan,
kita akan menemukan bahwa di dalam pandangan keagamaan tersebut memiliki
pengaruh paham rasionalisme. Sokrates percaya adanya Tuhan. Alam ini teratur
susunannya berdasrkan ujud tertentu karena Tuhan. Disini Tuhan dipercayakan
sebagai segala-galanya yang tidak dapat diduga oleh otak manusia, karena
Sokrates memandang bahwa jiwa manusia adalah bagian dari Tuhan. Hal inilah yang
ia sebut sebagai daimonion. Sejatinya
semua orang merasakan kehadiran Tuhan dalam jiwa yang terdalam.
Sumber Referensi :
Hatta,
Moh. 1986 .Alam Pikiran Yunani.
Jakarta: Penerbit Universita Indonesia (UI-Pers).
Meliono,
Irmayanti. Dkk. 2010. Buku Ajar I:Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi. Jakarta: Badan Penerbit FK
Universitas Indonesia.
Downs,
Robert, B. 2001. Buku-Buku Pengubah
Sejarah. Yogyakarta: Tarawang Pers.
Oleh: Oejank Indro -2011-
Oleh: Oejank Indro -2011-
No comments:
Post a Comment