Tuesday, October 5, 2010

Menyoal Identitas Kultural Wong Gresik

 
-->
Di usianya yang ke-523 tahun, Gresik sedang berhadapan dengan model ekonomi kapitalistik yang merasuki struktur kognisi masyarakatnya. Akibatnya, muncul fenomena – fenomena seputar motif komersial yang menjadi variabel – yang dominan – dalam berekspresi, tradisi yang dihardik hanya sebatas komoditi, dan hilangnya ekspresi kesenian yang inheren dengan konteks sosial. Keadaan ini memaksa Wong Gesik untuk melepas ‘jilbab’ kesucian – dengan corak islami – yang semula diekspresikan atas dasar motivasi tradisi atau spiritual dengan motivasi baru, yaitu motivasi komersial. 

Tradisi dan budaya Gresik yang dalam makna ‘original-nya’ dihelat dan disajikan berdasarkan waktu, tempat, dan suasana tertentu, sekarang mulai ‘tunduk’ pada pesanan pasar. Orientasi kesenian, tradisi, dan budaya yang lekat dengan nilai dan norma yang otentik mulai bergeser. Wong Gresik yang familiar dengan tradisi Cangkruk’an sekarang perlahan menjadi ‘budak’ lokomotif industrialisasi – yang tidak pernah berhenti melintasi rell kapitalisme.

Yang menjadi pertanyaan dari fenomena diatas adalah – meminjam istilah Agus M. S – bagaimanakah prosesnya sehingga kapitalisasi tradisi dan budaya menjadi suatu fenomena yang masif. Dan bahkan telah dilegitimasi oleh kebijakan pemerintah daerah demi kepentingan pragmatis-ekonomi? Mampukah Wong Gresik mempertahankan pondasi otentisitas tradisi mereka dalam gempuran ekspansi kapitalisme industri? Dari gejolak tersebut, bisa dipastikan pengaruh kapitalisme industri akan merubah cara pandang individu terhadap eksistensi tradisi lokal Wong Gresik. Dan proses itu sudah dimulai sejak lama. 

Kehadiran industrialisasi melahirkan problematika dan implikasi yang sangat kompleks. Wong Gresik mulai menjadi ‘lakon’ – kapitalisme – yang diorganisir secara efisien mirip sebuah mesin. Mereka cenderung rasional dalam menganalisa lingkungan dan permasalahan yang dihadapinya. Kecenderungan tersebut – disadari atau tidak – telah melonggarkan pertalian Wong Gresik dengan tradisi – termasuk budaya dan kesenian – dan perubahan stratifikasi sosial secara progresif. Perubahan stratifikasi sosial tersebut bisa kita koreksi pada tatanan sosial berdasarkan peranan dan keberhasilan dalam berkarir, bukan dari golongan darah atau ningrat lagi. 

Fenomena lain yang timbul akibat kapitalisme industri adalah ambruknya otensitas Wong Gresik. Derasnya arus modernisasi dan kapitalisme industri merupakan ‘aktor’ nomor wahid atas lahirnya fenomena tersebut. Kota Pudak ini sekarang tidak hanha harus ‘bertarung’ dengan masalah lingkungan yang mengenaskan. Gresik mulai kehilangan idenitas sebagai kota santri – mungkin akan lebih cocok dengan sebutan kota kapitalis-industrialis. Pemilukada yang digadang-gadang akan diulang pertengahan Agustus 2010 mendatang adalah buki perubahan sistematis struktur kognisi Wong Gresik yang baru.  

Keberadaan ‘duo’ lembaga pemerintahan dengan ‘senandung’ birokrasi kebudayaan dan pariwisata sering melihat tradisi Wong Gresik – meminjam istilah Agus MS lagi – sebagai produk, bukan sebagai produksi. Sehingga ‘kapal’ tradisi yang berlayar tidak mampu berkembang. Apalagi gagasan untuk menciptakan suasana inspiratif. Yang tertanam di benak ‘mereka’ sepenuhnya adalah kepentingan eksploitasi, ekonomis, dan hegemoni – belaka. Identitas Wong Gresik sedang ditelanjangi Wong Gresik sendiri. Mau dibawa kemana identitas kultural Wong Gresik asli?


Mang Oejank Indro
(Iswanda F. S.)
Arek Gresik Asli
Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...