DARI manakah asal bisnis media lahir? Karena apakah, bisnis media dinilai buruk? Jika pers adalah cermin masyarakat, apakah hanya pers yang bertanggungjawab? Beberapa pertanyaan itu kini menjadi wacana hangat di masyarakat.
Dengan judul yang seram, Budhiana misalnya menulis "The End of Journalism?" (Pikiran Rakyat, 21/7/02). Isinya menyertakan sejumlah fakta bahwa media sudah kelewatan menggerecoki masyarakat. Berita-beritanya kerap bikin mual. Teknologi informasi (internet) malah menjerumuskan masyarakat. Tiap orang jadi bebas kirim berita tanpa asas jurnalisme.
Beruntung, Budhiana--yang juga wartawan dan akan sekolah S2 di Ilmu Komunikasi, masih menyimpan harap. Ia masih menulis, 'mudah-mudah tidak', pada pertanyaan 'apakah ini berarti akhir dari jurnalisme?'
Pendapat itu seperti menyambung pandangan lain yang diungkap pengamat pers. Leo Batubara (Kompas, 20/7/02), tokoh SPS (Serikat Penerbit Suratkabar), juga menyorot hal yang sama. Dengan bahasan yang beda, ia menyoal bisnis media. Ia menolak tudingan kolusi modal bermain di arena media (dalam kaitan RUU Penyiaran). Sebab, pertumbuhan pers Indonesia masih minim. Perlu ada suntikan modal, lewat 'kepemilikan silang media' atau konvergensi. Industri koran yang senen-kemis jumlah tirasnya, mewah harganya, akan terbantu.
Akan halnya nanti akan muncul kepemilikan media yang cuma itu-itu saja orangnya, adalah hal lain. Sebab, 'kelompok-kelompok profesional seperti Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Majalah Tempo, Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka dan Bali Post akan menjadi lokomotif pertumbuh pers dengan bersinergi dalam konvergensi media (cetak tebal dari penulis) .... merekalah yang memiliki knowledge journalists dan staf bisnis yang profesional'.
**
DUA tulisan tersebut mengundang pemikiran ihwal perkembangan jurnalisme. Khususnya, di satu soal yang kian kini kian ramai dituding, yakni: bisnis media. Sebuah urusan yang tak bisa ditolak di jaman uang telah memutar mesin jadi mahluk sakti. Begitu banyak orang bicara bahayanya kapitalisme, begitu banyak pula kenyataan menyodorkan keampuhan industri.
Jurnalisme pun tak urung ditarik. Pers, yang dulu banyak disakralkan oleh nilai idealismenya, pun ikut masuk ke dalam kancah bursa saham. Media, yang dulunya jadi gengsi intelektual, kini hadir bersama misi jualan iklan di tiap milimeter halaman koran dan majalah, di tiap sekon siaran tivi dan radio, di tiap inci tampilan layar situs internet.
Perkembangannya bisa ditarik ke ranah Amerika, tempat udara liberalisme banyak diteriakkan. Ketika media Amerika menuding Osamah bin Laden, sebagai tokoh terorisme internasional, orang-orang mulai berpikir: apa media AS sudah jadi corong pemerintah? Sebab, sejak akhir 1970-an, berbagai pihak wanti-wanti pada gejala new propaganda model, propaganda model baru.
Pemikirnya, antara lain, Noam Chomsky dan Ed Herman (1979). Mereka was-was pada gerak masyarakat kapitalis-liberal, yang mulai kongkalingkong dengan gaya propaganda new. Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur oleh tokoh-tokoh yang punya bedil dan uang. Para elite kekuasaan dan elit bisnis berkolaborasi mengatur isi media. Akibatnya, kebebasan pers, yang dijiwai asas demokrasi dari liberalisme, telah disusupi corong-corong propaganda segelintir orang. Setiap keping informasi telah disusupi kepentingan tertentu, Setiap suara berita telah dimodali kekuatan politik dan bisnis.
Chomsky (1987) malah mulai menganalisa adanya konspirasi para elite yang melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Media menjadi alat kepentingan politik, ekonomi, militer dan kultur kalangan eksklusif National Security State . Para penjaga gawang (gatekeepers) media menjadi pion profit-making politisi dan industriawan.
Dengan kata lain, politik bisnis media mengatur pemberitaan sesuai keinginan pejabat (atas nama kepentingan bangsa) dan pedagang (atas dasar pertumbuhan ekonomi).
Apakah gejala itu itu timbul mendadak?
**
SEMUA itu diawali dari keinginan masyarakat sendiri, seusai Perang Dunia ke-2, yang tak mau dengar lagi berisiknya siaran atau pemberitaan propaganda perang. Bagaimana Hitler menyihir lautan manusia, senjata, dan peta bangsa-bangsa jadi sejenis ego bengkak. Ambisi menggelembung untuk meluluhlantakkan segala ras manusia pada kekuatan swastika. Media pun dijadikan sarana peniup terompet perang.
Media pun merupa corong penolakan kepada Hitler ketika berbagai negara membalas serangan tentara Nazi cs. Setiap wartawan mengangkat ujung pena dan meneriakan berita tentang kemenangan, semangat berjuang, dan letusan senjata.
Perang Dunia ke-2 akhirnya memberi catatan keras pada nilai propaganda. Luka dan cacatnya media dijadikan ujung tombak kekuatan senjata.
Berbagai negara sepakat melakukan pelbagai tindakan deregulatif pers. Pasca PD II, berbagai kelembagaan pers membicarakan kembali format Kebebasan Pers yang melindungi 'kepentingan publik dan kebebasan berbicara' dari cengkeraman kekuasaan. Potensi propaganda Hitler menjadi alasan deregulasi itu dilakukan. Kegiatan Hitler mengkooptasi pemberitaan media tidak boleh terjadi lagi.
Pers dijaga dari bahaya kekuasaan. Untuk itu, pemerintah mesti tafakur di ujung meja perundingan bila bicara soal media. Dalilnya, media adalah ruang menyuarakan pendapat rakyat. Maka, setiap orang adalah pemilik media. Pemilikan media dibuka lebar-lebar kepada setiap orang: yang yang hendak menerbitkan pers, mendirikan organisasi media, melaporkan segala peristiwa jurnalisme.
Kode etik jurnalistik diformat ulang. Kriterianya lebih diketatkan. Kelayakan berita diatur lebih lanjut ukuran-ukurannya. Akurasi, keberimbangan, faktualitas, kepatutan, penghargaan terhadap privasi, kemandirian, responsibilitas, hukum, dan moral: adalah nilai-nilai yang tak boleh luntur sedikit pun. Pemberitaan wartawan tidak boleh mendistorsi atau mempropagandakan informasi.
Fase tersebut memang punya gema panjang. Sampai kini, kita mendengar dari banyak belahan dunia, dan ruang-ruang kelembagaan pers internasional, ihwal impian jurnalisme. Dari peristiwa Watergate, kita mendengar dua wartawan Washington Post yang menghentikan Presiden Nixon untuk mengendus-endus busuknya kekuasaan. Dan di Indonesia, lewat secarik nota KKN pejabat Bulog, majalah Tempo menggelindingkan lebih keras kasus Buloggate 2 sampai ke pengadilan. Semua itu didapat lewat kerja jurnalisme yang menghargai kebebasan pers.
Akan tetapi, kisah-kisah jurnalisme tidak hanya itu. Seorang Putri Diana, dari Inggris, remuk kehidupan privasinya, dan tewas antara lain oleh kejaran papparazzi, wartawan foto yang mengejar raut dan tubuhnya jadi sensasi tabloidisme. Di Indonesia, seorang menteri urusan komunikasi dan informasi selalu sibuk omong kebablasan pers.
Semua itu mengarah pada perkembangan media yang antara lain memola hitungan bisnis. Dunia industri memaku pemberitaan media ke tempat-tempat margin laba. Wartawan bekerja ke dalam perilaku bisnis media.
Deregulasi 'propaganda' pers, pasca PD II, menghadapi 'propaganda' komoditas informasi, berdasar wacana politik bisnis kompetitif.
**
SELAMA tiga dekade abad 20, hitungan media market mempengaruhi perkembangan media pers. Kepentingan kapital menentukan arah-tumbuh jurnalisme, bahkan besar-kuatnya media.
Ben H. Bagdikian (1992), sejak 1980-an, telah mengulas The Media Monopoly, di AS. Bagaimana segelintir firma mendominasi sajian suratkabar, majalah, televisi, buku dan filem. Bagaimana resesi, akuisisi pemilikan, dan kelemahan antitrust policies mempengaruhi reportase pemberitaan. Informasi publik telah jadi produk industri, telah diongkosi dunia free advertising. Sendi-sendi demokrasi telah dipengaruhi pertumbuhan industri media. Bahkan, menghasilkan fenomena media massa tanpa masses, perkembangan media massa tanpa di-'ongkos'-i khalayak (pembaca/pemirsa/pendengar).
Melalui ulasan Bagdikian itu--yang kemudian jadi kritik klasik bagi analisa korporasi media--terungkap adanya sisi gelap dari kebebasan pers.
Kisah-kisah seperti pemilikan dan kontrol media di dalam jaringan international markets pun mengilustrasi--seperti ketika tycoon Rupert Murdoch mengimperium pasar media multinasional. Murdoch menjadi wakil ekspansi bisnis multilateral yang kerap mengakuisisi media sampai ke tingkat journalistic content (isi pemberitaan). Isi media dikontrol para pedagang yang ingin usahanya lancar ketika berhadapan dengan pemerintahan yang alergi dengan pemberitaan pers.
Struktur organisasi media menjadi terkait dengan sistem ekonomi kapitalis yang membawa tujuan bisnis kompetitif dari pemilik industri media. Setiap media menghitung laba yang dikeluarkan dari tiap kerja pemberitaannya. Maka itulah, item-item pemberitaan pun diseleksi dengan menggunakan asumsi riset pasar. Kerja pemberitaan bukan lagi dihitung hanya berdasar ongkos operasional liputan.
Kekuatan politik pun masuk.
Keterdekatan itu mempengaruhi kerja pemberitaan media. Khususnya, media-media yang di-saham-i para elite bisnis industri. Pemberitaan media sering terlihat memarginalkan sosok-sosok oposan atau menggaungkan statement-statement propaganda.
Investigasi media jadi sering terbentur dengan kongkalingkong politis mereka. Para pemilik media banyak yang menjadi kawan bahkan kader politisi dan kekuasaan, Para wartawan, redaksi, dan seluruh manajemen media, dikooptasi jaringan bisnis (campur politik) para pemilik media. Bahkan, bisa terkait dengan jaringan korporasi internasional yang diabsahkan politik-kekuasaan.
Pemberitaan jadi tidak bebas lagi, muatannya mesti memperhitungkan aspek pasar dan politik pemilu. Produk pemberitaan menjadi margin komoditas laba ekonomi sekaligus margin suara partai politik. Semua itu, pada banyak kasus, mereduksi kemandirian kelembagaan media.
Akibatnya, terjadi kasus-kasus liputan pers yang harus berhadapan dengan kepentingan politik bisnis. Tema-tema liputan disesuaikan dengan orientasi tersebut.
**
DAMPAK lainnya, ialah perubahan arah pemberitaan. Area pemberitaan hard journalism berubah jadi soft journalism. Kisah-kisah soft news dan human interest menjadi buruan wartawan. Liputan politik, seperti korupsi dan manipulasi serta nepotis, menjadi fleksibel dan adaptabel. Berita-berita tersebut tidak segera atau dapat disiarkan. Tapi, kerap dihambat, diatur, atau dikontrol.
Akan tetapi, berbeda dengan pemberitaan yang bersifat entertainment, semacam gosip selebritis atau liputan-liputan human interest kehidupan sehari-hari.
Hal itu terlihat dari riset US Local-Television News, pada 1998. Hasil riset menunjukkan media yang lebih banyak melakukan kegiatan entertainment journalism. Fenomena pemberitaan infotainment ialah contohnya. Pers banyak mengangkat pemberitaan semacam holidays, food, home mortgages, personal finance; atau isu-isu spektakuler yang bersifat lokal. Pada contoh ekstrim, kerja wartawan jadi semata melakukan peliputan konfirmasi semata. Hal ini banyak dikerjakan oleh media-media Western Eropean, seperti Inggris, Nederland , dan Denmarks .
Semua itu, menurut Deborah Chambers dalam Critical Aproaches to The Media (2000), membuat realitas media terindikasi ke dalam hal-hal berikut. Pertama, korporasi pemilikan media banyak yang membuat pers jadi binatang bisnis. Kedua, lemahnya kebijakan antimonopoli. Ketiga, orientasi pemberitaan consumer style yang disebabkan oleh ketergantungan media pada para pemasang iklan--para pemilik perusahaan yang kerap juga berkorporasi dengan perusahaan-perusahaan yang dimiliki para elite industriawan. Keempat, kerangka normatif journalistic skills and ideals menjadi didominasi promosi kerja public relations.
**
KEABSAHAN dan keberadaan media, yang berorientasi profit making, bukan hal yang salah. Hidup media memang tergantung pada pemasukan laba, sebagai upah bagi kerja peliputan mereka. Akan tetapi, bila melulu ingin meraup untung, hal ini juga harus ditolak. Visi dan misi jurnalisme bukan hanya meraih laba, lewat pemberitaan yang bersifat advertorial semata.
Jurnalisme (dalam melayani kepentingan publik) menolak proyek-proyek politik dan bisnis--berdalih kepentingan demokrasi dan komunikasi. Pemberitaan media justru harus membuka saluran marginalisasi dan ketertutupan kelompok, yang dibungkam kepentingan negara dan kepentingan komersial. Ruang publik, yang dinilai Jurgen Habermas (public sphere) mengandung banyak masalah, harus direkontruksi media. Media mesti menjadi pendorong gerak demokratisasi.
Pelbagai media watch, misalnya, mesti jeli menyidik para pemilik media yang hanya ingin mendapat untung dari bisnis komoditas pemberitaan.
Pelbagai kebijakan deregulasi media hendaknya dapat mengkombinasikan nilai profitable dengan idealisme pers. Setiap media didirikan untuk menjadi penyampai persoalan krusial masyarakat seperti ketidakadilan, kemiskinan, penyaluran aspirasi kalangan oposisi, dan sebagainya.
Dengan kata lain, selain tujuan meraih laba, pemberitaan media tetap harus dapat menjadi wacana investigatif publik. Liputan pers mesti mengangkat kasus-kasus seperti polusi industri, lingkungan hidup, serta emansipasi golongan minoritas--walau bertabrakan dengan kepentingan pemilik media, yang kerap ialah para elite pemilik industri dan berhubungan intim dengan elite kekuasaan pemegang keputusan publik.
Sebab, profesionalisme kewartawanan bukan cuma diukur dari gerak-pasar media informasi.***
SEPTIAWAN SANTANA K
Penulis pengajar Jurnalistik Fikom Unisba.
No comments:
Post a Comment