Monday, October 8, 2012

Ngomong Filsafat (4)


Oleh, Oejank Indro

-( 1 )-
Soekarno

Konsep awal pemikiran Sukarno berdasar pada Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme. Sukarno memang tokoh terkemuka yang seba unik. Manyur Suryanegera, seorang sejarawan dari Universitas Padjajaran Bandung mencatat, Bung Karnolah satu-satunya presiden di dunia yang minta jenazahnya diselimuti bendera Muhammadiyah, bukan Sang Saka Merah Putih, betapapun nasionalisnya dia sepanjang hidup. Tapi dari sukarno pula lahir pemikiran kontroversial yang berhasrat menyatukan nasionalisme, agama dan komunisme. Bila berpidato tentang nasionalisme, Bung Karno berperan jadi Bapak Bangsa. Bila berpidato tentang Islam, Bung Karno laksana pemimpin muslim. Bila berpidato tentang komunisme, Bung Karno adalah marxis sejati. Nampaknya apapun akan ia katakana untuk sebuah Indonesia yang besar dan disegani.
Seputar Marhaenisme
Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti - sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja - kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti. Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepakterjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik. Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul "Dibawah Bendera Revolusi", Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas. Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasanpenjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.



***

-( 2 )-
Sjahrir

Bagi Sjahrir politik rupanya bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas instrumental atau Zweckrationalitaet yang diajarkan Max Weber. Bagi Sjahrir politik lebih dari pragmatisme simplistis, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga rasionalitas nilainilai atau Wertrationalitaet dalam pengertian Max Weber. Karena itulah politik lebih dari sekedar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Kalau politik dalam pengertian Sjahrir bukan semua yang disebut di atas, apa gerangan politik menurut pandangan dia? Menurut tafsiran saya, kutipan dari Friedrich Schiller tersebut adalah sebagian jawabannya. Kalau penggal sajak Schiller itu boleh kita parafrasekan, maka politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen --- politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri.
Konsepsi politik seperti itu kedengarannya terlalu halus kalau diperhadapkan dengan Realpolitik baik pada tingkat nasional mau pun pada tingkat internasional. Akan tetapi di balik kehalusan tersebut tegak sebuah keberanian yang kokoh karena tanpa komplikasi, suatu kesahajaan yang menakutkan karena tanpa pretensi. Khusus untuk para politisi muda konsepsi seperti itu membantu mengingatkan bahwa dalam politik ada suatu keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu mudah dipahami oleh banyak orang, karena mengandaikan pengertian tentang beberapa asumsi yang filosofis sifatnya.
Mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang serba nekad. Tetapi Sjahrir memperingatkan bahwa dalam politik hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. Pada titik inilah dapat kita pahami kecemasannya tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan, yang penuh tenaga dan determinasi tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan. Setelah Jepang menyerah kalah Sjahrir mencatat dengan prihatin bahwa para pemuda terjebak di antara sikap nekad di satu pihak dan keragu-raguan di pihak lainnya. Semboyan “Merdeka atau Mati” ternyata dapat menjadi perangkap kejiwaan. Karena, selagi menyaksikan kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para pemuda itu terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Ini semua terjadi karena, menurut Sjahrir, selama Jepang berkuasa di Indonesia, para pemuda kita hanya dilatih untuk berbaris dan berkelahi, tetapi tak pernah dilatih untuk memimpin.

***

-( 3 )-
Filsafat Arab

Perkembangan filsafat Arab bisa dikatakan beriringan dengan penyebaran agama Islam. Oleh karena itu, mempelajari filsafat Arab cenderung memilki korelasi dengan mempelajari Islam. Hal ini disebabkan serapan filsafat Arab sendiri merupakan dari filsafat Yunani kuno yang dimasuki unsur agama Islam. Tidak jarang kita temukan beberapa buku filsafat Islam yang didalamnya memuat pemikiran Yunani.
Salah satu tokoh yang berpengaruh adalah Al Farabi (870-950). Ia memaknai filsafat tidak berbeda dengan tujuan agama, yakni mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil tertentu dan ditujukan kepada golongan tertentu. Sedangkan agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), kiasan-gambaran, dan bersifat universal. Filsafat dalam posisi demikian menjadi a second-level science, ia mempelajari semua objek dan bidang dan dipelajari oleh filsafat menurut sebab-sebab yang mendasar (per ultimas causas), yang merupakan objek formal filsafatnya. Tidak heran jika pemikiran ini dalam pandangan filsafat Arab, filsafat dan orang yang mempelajarinya – dianggap – radikal dan bebas.
Berbeda dengan lingkup filsafa Barat, filsafat Arab – dalam hal ini filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan filsuf agung seperti, Ibn Sina, Ibn Khaldun, Imam Ghazali, dan Imam Hanafi, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini. Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Dan ia menulisnya sedeikian lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita misalnya memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora, analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk matematika, ia menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti tentang langit, meteorologi, kejadian dan khancuran yang menandai semua benda fisik, tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi, farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai puncaknya ia menulis tentang metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan hubungan mereka dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika.
Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran, ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan tidak ada, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini terjadi, menurut hemat penulis, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.

Daftar Rujukan:
Agus Budi P. 2009. Sjahrir dan Sejarah Pemikiran. http://agusbudipurwanto.files.wordpress.com/2010/08/21-sjahrir-dan-sejarah-pemikiran1.pdf. (diakses 23 Desember 2011).
Charris Zubair, A. 1997. Ahmad Adzah Basyir: Sosok Pakar Di Bidang Filsafat (Hukum) Islam. dalam seminar Kajian Tokoh “Pemikiran KH. Ahmad Azhar Basyir dalam Perspektif Filsafat.” IAIN Sunan Kalli Jaga, Yogjakarta. http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/ahmad_azhar_basyir.pdf (diakses 23 Desember 2011).
Indriyanto. 2007. Pertentangan Politik Soekarno-Hatta dalam Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional dan Diskusi di UNDIP Semarang, 15 Maret 2007. http://eprints.undip.ac.id/1075/1/Indriyanto.pdf (diakses 23 Desember 2011).
Mulyadi Kartanegara. 2006. Masa Depan Filsafat Islam. http://images.ishacovic.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/R1OuXAoKCqM. (diakses 23 Desember 2011).
Oka Aditya. 2007. Bung Karno: Berlayar di Tengah Tiga Gelombang. http://okaaditya.files.wordpress.com/2009/02/makalah-bung-karno.pdf (diakses 23 Desember 2011).

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...