Monday, October 8, 2012

Seniman itu Tiang Dunia


Oleh, Oejank Indro

Mendengar kata seniman, sering terlintas bahwa orang tersebut adalah penghasil poduk kesenian. Seni yang bagaimana? Hal itu yang sulit untuk dijawab. Membicarakan seniman dalam perspektif filosofis bukanlah hal mudah. Karena hal ini mendekati secara langsung ruang pribadi seniman, dan seniman itu beranekaragam dan jumlahnya sangat banyak. Disadari atau tidak, dunia memang penuh dengan seniman. Seorang anak berusia sepuluh tahun mampu melukis mawar, lalu lukisan itu memberikan kenikmatan bagi orang yang melihat, dan seketika itu orang menganggap karya itu hasil dari seorang seniman. Apa benar demikian? Jika benar, bukankah seorang perancang pakaian, arsitek, pendongeng, politikus, hingga tukang cat keliling, memiliki keahlian berkesenian. Dalam artian menghasilkan produk seni dengan nilai estetik tertentu – dengan penikmat estetika masing-masing. Sampai disini, apakah seniman itu yang ada dalam benak Anda?

Secara sadar dan tidak sadar, setiap hari kita selalu berinteraksi dengan hasil aktifitas berseni. Mulai dari sikat gigi, bak mandi, piring, lemari, kunci, sampai pada hubungan suami isteri. Nah, bisakah kita mengatakan itu semua adalah hasil seorang seniman? Atau hanya produk komersil dengan beberapa inovasi yang bertujuan meningkatkan keuntungan individu dan kelompok tertentu saja? Jika demikian, apa bedanya seniman dan bisnisman?

Dasar pembeda antara seniman dan bukan seniman dalam pandangan Sujiwotejo, adalah pandangan seniman itu sendiri. Seorang dapat berpikir berbeda dengan masyarakatnya. Artinya, jika masyarakat memandang bahwa lukisan Lucien Freud – berjudul Nu Couche De Dos – itu vulgar dan tidak indah, lantas seniman juga berpandangan sama, mengapa lukisan tersebut memiliki nilai jual yang tinggi? Kenyataannya, seniman tersebut tidak memperkaya apa-apa.

Kekhawatiran dunia seni terhadap nilai-nilai etis sebuah penghadiran karya seni sering diperbincangkan. Disini posisi seorang seniman terhadap karya seninya dilempar ke masyarakat untuk dinilai dari berbagai sudut pandang. Misalnya, ketika kasus kelaparan dan kekeringan masih banyak di sebuah daerah, lalu seorang seniman menampilkan aksi dengan media puluhan telur dan berliter air bersih, keindahan yang dihasilkan tentu bertolak dengan realistas sosial – yang dekat dari seniman itu sendiri. Kasus lain ketika seorang penari melakukan aksi berbahaya dan mati saat beraksi, apakah ini bisa dikatakan etis? Jika hanya untuk menyakiti diri sendiri, prioritas etis atau estetis yang menjadi unsur apresiasi oleh masyarakat?

Jadi, seniman dalam artian khusus memiliki caranya sendiri dalam berkesenian – tentu saja ‘seni’ yang dihadirkannya berdampak pada tatanan sosial masyarakat. Seperti kisah yang dihidupkan Franco Rabelais melalui tokoh Gargantua dan Panteugral yang memberikan motivasi besar masyarakat Prancis waktu itu untuk bangkit. Atau tokoh Punakawan yang membekas dan menyalurkan nilai-nilai sosial hingga saat ini di Indonesia. Seniman itu, dalam artian luas, bisa dikatakan penyeimbang dan pengatur irama kehidupan manusia – yang selalu rindu akan keindahan – dalam bermasyarakat. 

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...