Monday, October 8, 2012

Ngomong Filsafat (2)


Oleh, Oejank Indro
-( 1 )-
Sosialisme

Istilah ‘sosialisme’ selalu identik dengan Karl Marx. Padahal cita-cita sosialisme sudah dicetuskan jauh sebelum Marx mulai memikirkan revolusi proletariat. Euhemeros dan Jambulos (sekitar abad ke-5 SM) mendeskripsikan sebuah ‘negara matahari’ dimana segala-galanya – termasuk para isteri – dimiliki bersama. Hal ini kemudian menjadi dasar cerita ilmiah yang di utarakan Marx dan Engels. Jika kita mengacu pada terminology ‘sosialisme’, kata ‘sosialisme’ muncul di Prancis pada tahun 1830, begitu juga istilah ‘komunisme’. Pada awalnya dua kata tersebut memiliki penafsiran yang sama, tetapi komunisme menjelma sebagai paham radikal dari sosialisme – menuntut penghapusan total hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan komunis itu bukan dari kebaikan pemerintah, melainkan semata-mata dari perjuangan kaum terhisap sendiri (Frans. 2003:20).
Tradisi pemikiran tentang sosialisme sendiri bisa dikatakan cukup panjang dan identik dengan kaum buruh. Berbeda dengan konsep konservatif dan liberal, konsep pemikiran sosialisme ini bertumpu pada kesadaran dan kebersamaan. Herman Dunker mengatakan bahwa sejarah sosialisme dimulai bersamaan dengan sejararah umat manusia – meskipun sebagian filsuf berpendapat faham ini dicetuskan di Prancis dan Inggris. Namun, perkembangan paham ini mendapat tempat di Jerman. Pernyataan tentang prinsip-prinsip dari kaum sosialis internasional adalah , “Tidak ada sosialisme tanpa kebebasan. Sosialisme hanya bisa direalisasikan  lewat demokrasi, dan demokrasi hanya bisa terampungkan oleh sosialisme.” Dari prinsip dasar tersebut – dan pemahaman tentang ‘kebebasan’, sosialisme yang demokratis secara jelas membedakan dirinya dengan rezim-rezim totaliter, terutama dari apa yang dinamakan dengan demokrasi-demokrasi rakyat dari blok timur.
Bentuk-bentuk paham sosialisme merupakan cerminan dari tokoh dan manusia yang terlibat saat itu – utopis, marxis, fabianis, dan sebagainya. Dalam pandangan penulis, memahami sosialisme tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan terbatas pada pertimbangan-pertimbangan moral semata. Dengan kata lain, menyederhanakan pendangan bahwa sosialisme itu baik dan kapitalisme itu jahat – berdasarkan orientasi prinsip dasar manusia dan syarat-syarat objektif hokum-hukum ditengah-tengah mereka.

***
-( 2 )-
Fundamentalisme

Memahami antara ‘fundamentalisme’ dan ‘radikalisme’ merupakan hal yang tidak mudah . Kedua istilah tersebut memiliki prinsip dasar yang – seolah-olah – sama, yaitu sama-sama ingin memperjuangkan apa yang ia yakini secara radikal dan menolak paham-paham lainnya yang bertentangan. Agaknya istilah ‘fundamentalisme’ di Indonesia dapat diidentikkan dengan terorisme. Aksi teror bisa jadi merupakan ‘ekspresi’ dari golongan fundamentalis yang membenarkan aksi kekerasan atas nama agama. Paham ini memang tidak dapat dijauhkan dari kepercayaan dan ke-Tuhan-an. Tidak jarang aktivitas penganut paham ini menimbulkan keresahan terhadap golongan lainnya – liberalis, sosialis, dan kapitalis.
Perkembangan paham fundamentalis sejatinya beriringan dengan perkembangan agama-agama itu sendiri. Beberapa faktor dapat memicu ‘pembenaran’ kekerasan dan tindakan anarkis atas nama agama. Pertama, adalah karena fungsi agama sebagai ideologi. Dalam fungsi ini agama kemudian menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni sejauh mana tatanan sosial di anggap sebagai representasi religius, yang dikehendaki Tuhan. Lebih jauh fungsi perekat ini, disisi lain juga bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutamamenyangkut masalah ketidak adilan dan kesenjangan yang selalu menjadi topik yang panas dan acapkali melahirkan tindak kekerasan.
Kedua, adalah fungsi agama yang juga sebagai faktor identitas. Agama secara spesifik dapat di identikkan kepemilikannya pada manusia atau kelompok manusia tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos dan sebagainya. Hal ini lebih mengkristal lagi bila dikaitkan dengan identitas lainnya seperti seksual (jenis kelamin), etnis (kesukuan), bangsa dan sebagainya. Pertentangan etis, kelompok, bangsa dan sebagainya sangat mungkin melahirkan kekerasan dan di sini agama sangat mungkin untuk turut diikutsertakan juga.
Ketiga, fungsi agama sebagai legitimasi etis hubungan antar manusia. Berbeda dengan agama sebagai kerangka penafsiran, mekanisme ini bukan sakralisasi hubungan antar manusia, tetapi suatu hubungan antar manusia yang mendapat dukungan dan legitimasi dari agama.
Mengenai peran agama, sebenarnya terdapat 2 konsep penting yang dimiliki setiap agama yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan manusia lain yakni; (a) fanatisme dan, (b) toleransi. Kedua hal ini harus dipraktekkan manusia dalam pola yang seimbang. Sebab ketidakseimbangan diantara keduanya akan melahirkan problem tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat agama tertentu bisa menjebak mereka ke dalam pengaburan makna ajaran agama meraka, selain bahwa eksistensi agama mereka juga akan melemah karena dalam situasi ini orang terkadang tidak lagi bangga dengan agama yang mereka peluk.
Agama bisa saja akhirnya hanya menjadi sekedar ritual; karena agama yang bersangkutan sama derajat dan kebenarannya dengan agama lainnya yang ada. Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Inilah juga yang terkadang menjadi biang lahirnya konflik dan kekerasan atas nama agama. Fanatisme yang berlebihan melahirkan truth claim (klaim kebenaran) yang bersifat eksklusif. Selanjutnya, eksklusivisme akan memandang penganut agama lain sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika ia menjadi mayoritas. Dalam kondisi mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung melakukan cara-cara pemaksaan dan kekerasan atas nama agama kepada kelompok lainnya.

***

-( 3 )-
Feminisme

Dalam pemahaman penulis, feminisme merupakan pemikiran yang sia-sia. Kenapa? Karena tokoh feminis sendiri tidak mengetahui parameter ‘adil’ dan ‘sama’ sebagai dasar mereka menuntut persamaan gender. Bahkan dalam kilas balik sejarah, tokoh seperti Lady Mary Wortley  Montagu dan Marquis de Condorcet belum bisa menjawab pertanyaan tersebut. Mereka berpandangan bahwa perempuan itu seringkali dirugikan dan menjadi ‘manusia kedua’ di muka bumi. Sayangnya, jika dihadapkan pada persoalan dasar tentang kebutuhan wanita, pengikut paham feminisme ini terdiam dan tidak mau mengakui bahwa mereka berbeda – dan memang harus dibedakan.
Dari berbgai sumber yang diolah penulis, penulis menemukan bahwa ada beragam mazhab feminisme dengan latar belakang dan perspektif berbeda. Hal ini menarik, karena feminis mulai menyadari kelemahan dasar paham ini. Namun, hal ini berdampak pada lahirnya bub-aliran di tubuh femisme itu sendiri. seperti feminisme radikal, feminisme liberal, dan feminis sosialis. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki pendekatan dan strategi dalam melegitimasi ketidakadilan gender. Keadan inilah yang menjadikan feminisme merupakan sebuah paradigma ‘open source’, responsif, dan non-dogmatis.

***

-( 4 )-
R. A. Kartini

RA. Kartini umumnya disebut-sebut sebagai salah seorang di antara tokohtokoh terkemuka wanita feminis dari zamannya, dan ia memang tokoh feminis dari masa awal yang paling terkenal. Kartini (1879-1904) adalah anak kedua (wanita) dari Bupati Jepara, sebuah daerah di pantai utara Jawa. Ayahnya seorang yang berpikiran maju, karenanya mengizinkan anak-anak wanitanya mengikuti pendidikan sekolah dasar bersama-sama dengan kakak-kakak mereka. Suatu hal seluruh bangsa bumiputera untuk bangun dan memasuki “jaman baru”. Oleh karena itu tidak mengherankan jika hari lahirnya, 21 April, selalu dirayakan oleh organisasi-organisasi wanita dewasa ini. Adanya kaum wanita di sekolah-sekolah, universitas-universitas, atau angkatan bersenjata, biasanya disebut-sebut sebagai bukti tentang taraf emansipasi yang telah dicapai oleh wanita Indonesia. Pada tahun 1964 Kartini dinyatakan sebagai “Pahlawan Nasional”. Dalam kenyataannya kepahlawanan Kartini tersebut juga diakui oleh bangsa-bangsa lain
Secara nyata, perjuangan Kartini merupakan perjuangan yang halus dan berbudi luhur. Penentangan yang ia lakukan terbungkus dengan rapi di dalam surat-surat dan prestasinya pada masa penjajahan belanda. Karena status darah biru-nya, Kartini dengan mudah mendapatkan akses untuk melakukan ‘diplomasi kecil’ kepada penjajah dan perlahan menempuh jalan kemanusiaan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan Indonesia.
  
 ___________
Daftar Rujukan:

Akhyar. 2008. Fundamentalisme Dalam Agama Islam Dan Kristen. http://www.uinsuska.info/ushuluddin/attachments/073_Akhyar%20Artikel%20Fundamentalisme%20Agama.pdf diakses 10 Desember 2011.

Fuad, Nur Ahmad. 2011. Interrelasi Fundamentalisme Dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer: Survei Pendahuluan. http://blog.sunan-ampel.ac.id/nurfuad/files/2011/04/interelasi-ideologi-gerakan-islam-kontemporer.pdf. diakses 10 Desember 2011.

Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal.14-20.
Suharto, Edi. 2007. Teori Femnis Dan Pekerjaan Sosial. http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/YogyaFEMINISMESocialWork.pdf  diakses 9 Desember 2011.
Suraji. 2006. Kesetaraan Gender Di Indonesia Ditinjau Dari Teori-Konsep Dan Pendekatan Sosiologi Hukum.  http://pa-wonogirikab.go.id/static/file/Makalah_Suraji.pdf diakses 10 Desember 2011.


No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...