Tuesday, March 13, 2012

Budaya-nya Mudji Sutrisno SJ


Analisa Singkat Kuliah Umum Kebudayaan Indonesia[1]
Oleh, Oejank Indro

Sejarah manusia ditulis oleh manusia itu sendiri. Begitu juga dengan budaya manusia. Hanya manusia yang mampu memetakan hasil kebudayaan dan memahami sumber kebudayaannya. Namun budaya manusia tidak terlepas dari aktivitas manusia dengan manusia lain dalam sebuah komunitas. Aktivitas tersebut, menurut Mudji Sutrisno (selanjutnya disebut MS), dapat dikatakan sebagai seperangkat sistem makna yang dimiliki komunitas untuk melukiskan hidup dengan cara menuangkannya melalui sistem simbolik – yang memuat pandangan hidup, pandangan dunia, yang dilakukan sehari-hari sebagai dasar aktivitas kehidupannya.
Sebagai pendahuluan, MS menjelaskan empat tingkatan pandangan hidup manusia secara hierarki mulai dari common sense, ilmu pengerahuan, estetika, dan agama.
Common sense mengulas tentang sebab-akibat terjadinya sesuatu. Ilmu pengetahuan mencerminkan keingintahuan manusia melalui cara-cara ilmiah. Estetika merupakan luapan pemaknaan ‘indah’ – baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Terakhir adalah agama, tingkatan ini merupakan tingkat tertinggi dalam diri manusia. Keempat hal tersebut terbingkai dalam proses pembudayaan yang merupakan kinerja budaya untuk mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab.
Adapun proses pembudayaan yang disampaikan MS memiliki dua arah pematangan – melalui pengahayatan berjamaah. Pertama, kamanusiaan yang beradab. Artinya, manusia akan mengembangkan nilai saling menghormati dan menghargai peradabannya sesuai harkat atas manusia lainnya. Harkat atas manusia lain itulah yang menyebabkan proses pembudayaan menjadi  titik balik peradaban yang secara terus-menerus melawan anarki, pengahancuran kemanusiaan, dan kebiadaban. Jika melihat sejarah, proses manusia menentukan bahwa ini ‘anarki’, itu ;jahat’, ini ‘biadab’, dan seterusnya, tidak terjadi secara instan. Oleh karena itu – yang kedua, proses pembudayaan dimatangkan oleh humanisasi, yang menurut MS diartikan sebagai usaha mencipta sistem sosial, sistem hukum, sistem politis, dan sistem ekonomi untuk semakin manusiawi.
Sampai disini, proses humanisasi memerlukan; (1) perubahan mentalitas manusia dari sistem nilai dehumanis ke mentalitas humanis, (2) perubahan kondisi struktural dan lingkungan belajar – ruang budaya, (3) pencapaian komitmen anggota untuk member yang terbaik dari posisi sosial, ekonomi, politis, dan kultural sebagai sebuah bangsa ataupun negara.
Berdasar pada rumusan MS diatas, kesesuaian dengan kondisi bangsa Indonesia dapat dilihat dari keanekaragaman suku-suku bangsa sesuai dengan tipe-tipe sosial budayanya – Theory of Cultural Change, Stewart. Setidaknya, menurut Koentjoroningrat (1975), bangsa Indonesia memiliki enam tipe sosial budaya, yaitu; (i) tipe masyarakat berkebun yang masih sederhana; (ii) tipe masyarakat pedesaan yang berkebun dan bertani tapi tidak mengalami gelombang pengaruh Hindu dan Islam; (iii) tipe masyarakat pedesaan yang berkebun dan bertani yang tidak dipengaruhi gelombang Hindu tapi pengaruh Islam cukup besar; (iv) tipe masyarakat Indonesia berdasarkan bertani, semua gelombang pengaruh budaya asing dialami; (v) tipe masyarakat perkotaan yang mempunyai cirri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdaganan dan industri yang lemah; (vi) tipe masyarakat metropolitan yang didominasi oleh aktivitas kehidupan pemerintah dan berkembangnya sektor perdagangan dan industri.
Tipe-tipe masyarakat diatas memberi dampak munculnya kebudayaan lokal yang beraneka ragam. Tidak hanya memunculkan fenomena tersebut, pengaruh teknologi juga menggeser tipe-tipe masyarakat tersebut. Seperti yang diungkapkan MS diatas, proses dehumanisasi ke humanisasi juga akan memunculkan fenomena local genius[2]. Local Genius didefinisikan Soediman (dalam Siti, 2000: 503) sebagai, “Ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh sebagian bangsa sebagai hasil pengalaman hidupnya di masa lalu.”  Hal ini tentu penting untuk dilihat sebagai bagian pembudayaan (kulturalisasi) yang diungkapkan oleh MS diatas. Dus, secara langsung proses pembudayaan ini berkaitan dengan dua dari empat tingkatan pandangan hidup diatas, yaitu agama dan estetika. Dari pandangan agama, wujud dan isi kandungan budaya merupakan representasi bahwa ‘produk’ budaya dalam masyarakat beragama merupakan hasil dialektika agama dan budaya lokal (Siti, 2000: 507). Hasil dialektika tersebut kenyataannya lebih mudah diterima daripada proses pembudayaan estetika di dalam ‘produk budaya’ itu sendiri. Hal ini dapat disebabkan oleh kentalnya tradisi yang berkembang di masyarakat Indonesia yang plural.  Pertanyaannya adalah seberapa penting peran estetika dalam proses pembudayaan?

Ngomong Estetika
“Estetika adalah apa-apa yang indah serta ‘mulia’ dari dalam kehidupan.” Begitulah Prof. Mudji Sutrisno memaparkan pada bagian ‘1’ dalam artikel “Jalan Seni & Kebhinekaan Kita Sebagai Bangsa”. Tentu yang dimaksud pada kalimat tadi adalah dalam hal ‘meniti jalan seni’. Ada banyak jalan penghayatan estetika, baik dalam hal lukis, tari, suara, upacara, dan sebagaiya yang disandarkan pada warna-warni kehidupan, alam semesta, dan keharuan kepada Sang Pencipta kehidupan.
Memosisikan seni sebagai sesuatu yang estetik termasuk bagian proses pembudayaan. Mengapa? Karena taste (rasa) setiap manusia berbeda, meskipun memilki latar belakang pembudayaan yang sama. Seringkali kita terjebak dalam penilaian terhadap sesuatu hal yang estetis atau normatif? Contoh ketika seorang wanita telanjang melumuri tubuhnya dengan cat, lalu berguling-guling diatas kanvas raksasa, atau ketika, maaf, payudara dijadikan media ekspresi lukisan. Tentu kedua contoh tersebut memiliki dua konsekuensi. Apakah hal tersebut dikatakan ‘seni’ atau ‘pornografi’? Hal ini tentu akan menimbulkan perdebatan panjang – karena bermula dari common sense manusia itu sendiri. Akibatnya, subyektivitas masing-masing orang dalam merasai adalah dominan. Jika demikian, maka dimana peran estetika dalam merasai-menilai? Apakah hanya sebatas parameter normatif untuk menentukan itu buruk dan ini indah, itu seni dan itu sampah? Atau estetika tidak terbatas pada prinsip normatif yang  justeru akan mendisposisikan praktik-prakti berkesenian.
Estetika itu filsafat, lebih tepatnya filsafat keindahan. Namun, keterlibatan estetika dalam ranah seni/kesenian sebagai core-nya, seringkali estetika disebut sebagai filsafat kesenian. Keadaan demikian berbanding lurus dengan konteks historis estetika itu sendiri, yaitu sebagai teori tentang keindahan – hakikatnya, apa itu indah? – dan teori mengenai seni – seni itu apa? Teori estetika sebernarnya baru mencuat pada abad ke XVIII, tepatnya setelah kata ‘indah’ memiliki penfsiran sama dengan ‘memiliki nilai estetik’. Sejarah mencatat perdebatan panjang seputar konsepsi estetika seyogyanya. Dimulai dari Plotinus (204-269) yang membawa pengaruh besar pemikiran Plato (428-348 SM), pandangan Marsilio Ficino (1433-1499), pandangan Shaftesbury yang menegaskan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk merasai (faculty of taste) yang berfungsi ganda; (1) memberi pertimbangan baik-buruk mengenai perilaku – moral judgment; (2) sebagai alat peka akan keindahan (sense of beauty) dalam menimbang kadar estetika sesuatu. Pendapat Shaftesbury ini kemudian ditentang oleh Francis Hutcheson yang mendefinisikan estetika bukan sebagai nama dari sesuatu yang transenden – yang dipahami Plato dan Aquinas. Keindahan Hutcheson adalah “ide yang muncul pada kesadaran manusia’. Sejak itu konsepsi estetika/keindahan disubyektivisasikan.
Seperti ungkapan MS, pada awalnya kehidupan memang dihhayati dengan keindahan. Di sinilah realism kehidupan berhadapan dengan surrealism kehidupan ditangan dan di mata seniman. Pemaknaan atas sesuatu ‘diserahkan’ kepada masing-masing individu. MS menerangkan bahwa teori mengenai estetika yang pertama adalah toeri ritual, artinya seni berhubungan erat dengan ritus dan upacara penghormatan terhadap kehidupan yang miserius, eksotis, dan dahsyat ini. Baik berupa puisi, prosa, tarian, dan perupaan. Teori estetika, menurut MS, adalah penalaran dan perumusan apa itu pengalaman estetis – dengan usaha melampaui “apa itu titik estetis dan apa itu yang tak terungkap dan terucapkan ketika orang berdecak kagum atau tersentuh secara mendalam pada tragedi hidup yang ditampilkan pada pertunjukan drama.” Keterbatasan kemampuan manusia dalam merumuskan logis pengalaman estetis– yang bersifat beyond logic -  inilah yang menuntun ke arah subyektivitas – konsepsi gejala-gejala atau fenomena.
Merujuk pada konsepsi estetika yang dikemukakan Emanuel Kant, daya estetika – faculty of taste – yang berfungsi dalam budi manusia itu memiliki empat ciri  khusus; (1) disinterestedness, tanpa pamrih. Disini fungsionalisasi daya yang dimaksdud harus bersih pamrih dan keinginan-keinginan atau pertimbangan-pertimbangan lain, kecuali penikmatan akan keindahan yang bersangkutan; (2) bercirikan universal. Jadi, fungsi daya estetika itu berlaku umum bagi seluruh manusia; (3) adanya ke-mutlak-an, tidak bisa tidak. Artinya, kehadiran daya ini dalam budi manusia adalah mutlak, meski kadar kehadirannya berbeda antarmanusia; (4) mempunyai tujuan, kemampuan estetik dimaksud secara langsung mengenal rupa yang terarah dan memiliki maksud tertentu. Terlepas dari perdebatan pemaknaan estetika, pemahaman yang sedehana terhadap seni – dalam pandangan MS – sebagai jalan untuk menghayati kehidupan dari segi estetika – seutuhnya – yaitu ranah apresiasi, merupakan hal yang penting dan sangat korelatif terhadap kondisi Indonesia yang memiliki sekitar 450 suku bangsa yang mengikrarkan dirinya sebagai bangsa Indonesia.
MS menuliskan tentang simpllifikasi wilayah kehidupan sebagai tempat jelajah kebenaran merupakan suatu wilayah verum (benar), bonum (etika), pulchrum (estetika). Jika kita hanya melihat kehidupan multidimensional sebatas tiga hal tersebut, maka akan diketahui bahwa yang ‘baik’ dari hidup ini dikenal dan dijelajahi sebagai ranah etika, ‘benar’ dan ‘logis’ terbungkus dalam filsafat epistemologi, dan yang ‘asri atau indah’ dari kehidupan merupakan cakrawala luas estetika. Pada akhirnya, estetika – pada hakikatnya – dalam seni harus berhdapan dengan dua pilihan; apakah ia hanya sekadar keindahan, atau keindahan yang dicapai dan difilterisasi-reflektif melalui internalisasi total terhdap dimensi kemanusiaan dan kemasyarakatan – yang selalu kompleks.
Daftar Pustaka:
Fawaizul Umam. 2000. Estetika “Seyogyanya” dalam Jurnal Gerbang Vol. 07. No. 03. Mei-Juli 2000. Hal. 2-19. Surabaya: eLSAD
Hatta, Moh. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press.
Mudji Sutrisno SJ. 2012. Jalan Seni & Kebhinekaan Kita Sebagai Bangsa. dalam Kuliah Umum Kebudayaan Indonesia. 21 Pebruari 2012 di Auditorium Gedung IX, FIB UI.
_______. 2012. Ruang Kebudayaan: Pengantar. dalam Kuliah Umum Kebudayaan Indonesia. 21 Pebruari 2012 di Auditorium Gedung IX, FIB UI.
_______. 1999. Kisi-Kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius.
Siti Chamamah S. 2006. Agama dan Dialektika Pemerkayaan Budaya Islam-Nasional. dalam buku Menjadi Indonesia. Bandung: Mizan


[1] Kuliah umum Kebudayaan Indonesia. Dilaksanakan pada tanggal 21 Pebruari 2012 bertempat di Auditorium Gedung IX, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat.
[2] Istilah yang dimunculkan pertamakali oleh H.G Quaritch Wales dalam bukunya The Making of Greater India: A Study of Southeast Asian Cultural Change (1948-1949).

No comments:

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL

RESTORASI ARSIP KONVENSIONAL Hasil Obervasi Restorasi Arsip Nasional RI dan Sinematek Indonesia Iswanda Fauzan S. ( LIS Rese...